DISUSUN OLEH :
DOSEN PENGAJAR
Bencana banjir terutama di Pulau Jawa yang terjadi pada awal tahun 2002
mengingatkan kita bersama akan kepedulian terhadap turunnya kualitas lingkungan
dalam DAS. Menanggapi hal tersebut maka BTP DAS Surakarta yang mempunyai
Tupoksi berkaitan dengan pengelolaan DAS merasa sangat perlu untuk memberikan
kontribusi bagi solusi persoalan banjir. Untuk itulah maka disusun paper yang berjudul
Banjir, Penyebab dan Solusinya.
Paper ini disusun berdasarkan ekstraksi hasil kajian yang pernah dilakukan BTP
DAS Surakarta dan dilengkapi dengan hasil investigasi Tim Peneliti BTP DAS Surakarta
pada tiga lokasi sampel yaitu DAS Ciliwung (Jakarta dan Bogor), DAS Lampir (Batang –
Jawa Tengah) dan DAS Sampean (Bondowoso – Jawa Timur). Ringkasan paper ini kami
susun untuk dapat dijadikan Policy paper tentang masalah tersebut.
Kami sadar bahwa pokok bahasan yang ada pada paper ini belum dapat mencakup
seluruh perspektif yang ada. Oleh karena itu kami meminta kepada tiga pakar untuk
memberikan bahasannya dari perspektif yang berbeda yaitu dari Aspek Lingkungan,
Aspek Bencana Alam dan Aspek Sosiologi. Presentasi paper ini telah dilakukan dalam
format Diskusi Panel dan dihadiri instansi terkait dengan kehutanan, LSM Lingkungan
dan para pemerhati lingkungan. Agar informasi ini dapat efektif sampai ke masyarakat
luas maka kegiatan ini juga diliput pers dan hasil liputannya telah dimuat pada Harian
Kompas, Jawa Pos, Solo Pos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat serta RRI Surakarta.
Pemaparan paper ini juga dikaitkan dengan peringatan Hari Bakti Departemen Kehutanan
yang ke 19.
Semoga paper ini dapat bermanfaat untuk mengatasi masalah banjir dan sesuai
yang dimaksudkan yaitu sebagai bahan masukan kebijakan lebih lanjut.
(i)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR …………………………………...…………………........ i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………........ ii
I. PENDAHULUAN ……………………………………………….…................ 1
(ii)
Banjir, Penyebab dan Solusinya
I. PENDAHULUAN
1
Banjir, Penyebab dan Solusinya
2
Banjir, Penyebab dan Solusinya
Banjir pada hakekatnya hanyalah salah satu output dari pengelolaan DAS
yang tidak tepat. Bencana banjir menjadi populer setelah dalam waktu yang
hampir bersamaan (akhir bulan Januari 2002) beberapa kota dan kabupaten di
Indonesia terpaksa harus mengalami bencana ini. Bahkan, DKI Jakarta yang
notabene merupakan ibukota negara tercinta Republik Indonesia, terpaksa harus
terendam air. Sudah tentu kerugian yang harus diderita oleh masyarakat sangatlah
besar. Parahnya, setelah air menyurut muncul berbagai macam penyakit yang
mengancam kehidupan manusia, misalnya leptosirosis yang saat ini menjadi
momok perkampungan kumuh di Jakarta.
Dari hasil investigasi Tim Peneliti BTP DAS di tiga DAS di Pulau Jawa,
yaitu DAS Ciliwung, Lampir, Sampean, disimpulkan bahwa bencana banjir secara
fisik disebabkan oleh (1) curah hujan yang tinggi, (2) karakteristik DAS itu
sendiri, (3) penyempitan saluran drainase, (4) perubahan penutupan lahan. Dari
keempat tersebut 2 (dua) penyebab pertama berada diluar kemampuan manusia
untuk dapat melakukan intervensi. Artinya, dua penyebab pertama merupakan
keadaan ‘given’ dari suatu DAS. Manusia dalam hal ini hanya mampu atau
mungkin untuk melakukan intervensi pada dua penyebab yang terakhir. Namun
demikian, untuk dapat melakukan intervensi yang tepat perlu terlebih dahulu
diketahui akar permasalahannya yang melatarbelakangi penyebab tersebut.
Dengan demikian , ‘resep’ yang diberikan tidak sekedar ‘penyembuh’ sementara,
tetapi bersifat berkelanjutan.
3
Banjir, Penyebab dan Solusinya
18 Januari 2002 disebabkan oleh hujan sebesar 105 mm/hari, kemudian banjir
kedua terjadi pada tanggal 30 Januari 2002 disebabkan oleh hujan sebesar 143
mm/hari.
200
Jumlah Hujan (mm) 180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
13
17
21
25
29
10
14
18
22
26
1
6
Tanggal
4
Banjir, Penyebab dan Solusinya
900
800 Rata-rata
1600
1400 Rata-rata
Curah Hujan (mm)
1200 2002
1000
800
600
400
200
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
5
Banjir, Penyebab dan Solusinya
2500
Rata-rata
2000
2002
Curah Hujan
1500
1000
500
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Bulan
Jika dilihat dari rata-rata bulanannya maka banjir yang terjadi di Jakarta
disebabkan oleh peningkatan hujan sebesar 56 persen, sedangkan di Batang terjadi
peningkatan hujan sebesar 189 persen, dan di Situbondo terjadi peningkatan hujan
sebesar 62 persen.
6
Banjir, Penyebab dan Solusinya
menjadi banjir lebih lambat daripada bentuk DAS yang membulat. Bentuk
masing-masing DAS kajian dapat dilihat pada gambar 6, 7 ,dan 8.
100
90 Ciliwung
80 Lampir
70 Sampean
60
50
Persen
40
30
20
10
0
0-8 8-15 15-25 25-40 >40
Kelas
7
Banjir, Penyebab dan Solusinya
8
Banjir, Penyebab dan Solusinya
9
Banjir, Penyebab dan Solusinya
10
Banjir, Penyebab dan Solusinya
800
700 Dibutuhkan
600
Debit (m3/dt)
Yang Ada
500
400
300
200
100
0
A rt
ur
g
in
C rat
an
Bu r
g
na kut
na ke
g
e
aa
un
un
an
ra
im
nt
K a ng
ar
a
Ka ru
v
iliw
D
lB
ak
in
Su
lT
er
ip
g
C
ka
en
C
oo
ar
M
gk
ir
ir
nj
nj
en
Ba
Ba
C
Gambar 9. Perbandingan antara saluran drainase yang dibutuhkan dan yang ada
di Lapangan
11
Banjir, Penyebab dan Solusinya
Kotak 1
Kasus di Jakarta:
Sementara itu laporan yang dikeluarkan oleh Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, lokasi bantaran
sungai yang penuh dengan bangunan adalah sebagai berikut :
12
Banjir, Penyebab dan Solusinya
Hal lainnya yang turut serta dalam penyempitan saluran drainase adalah
kebiasan masyarakat yang suka membuang sampah ataupun limbah domestik ke
sungai. Sudah merupakan pemandangan yang biasa, apabila pintu-pintu air di
berbagai daerah di Indonesia tertutup penuh oleh sampah.
13
Banjir, Penyebab dan Solusinya
Menurut Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, setiap harinya sampah yang
masuk ke saluran drainase mencapai 800 meter kubik. Banyaknya sampah di
saluran drainase tidak hanya menambah pekerjaan bagi petugas pengairan untuk
mengangkut sampah, tetapi juga memerlukan biaya yang besar untuk
mengangkutnya ke tempat pembuangan sampah. Perilaku membuang sampah di
sungai tidak dimonopoli oleh warga Jakarta saja. Pada DAS lainnya yang menjadi
lokasi investigasi Tim BTPDAS juga menemukan hal yang serupa.
Kecenderungan masyarakat membuang sampah di sungai pada dasarnya
merupakan perwujudan dari persepsi yang selama ini dianut oleh masyarakat
awam tentang sungai. Sebagian masyarakat masih memandang sungai sebagai
tempat pembuangan sampah. Alasannya sederhana. Masyarakat sebagian besar
masih belum mau untuk bersusah payah membuat lubang atau bak sampah atau
bahkan lebih jauh lagi memanfaatkan sampah untuk keperluan lain yang lebih
bermanfaat. Membuang sampah di sungai adalah cara paling cepat melenyapkan
sampah sebatas padangan mata si pelaku tanpa pernah peduli akibatnya bagi
masyarakat yang lain.
Kotak 2
Kasus di DAS Sampean
Sempitnya saluran drainase di Sungai Sampean khususnya di sekitar lokasi banjir (Kota
Situbondo) lebih disebabkan oleh faktor fisik sungai. Dari pengamatan daya tampung saluran di alur
Sungai Sampean di Kota Situbondo bagian Barat, dengan lebar ± 50 meter dan kedalaman 8 meter,
banjir pada tanggal 4 – 8 Februari 2002 telah menyebabkan muka air Sungai Sampean mencapai badan
jalan pada jembatan. Hal tampak dari adanya sisa serasah/sampah yang ada di jembatan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa muka air sungai pada saat terjadi banjir telah melebihi 8 meter
dalamnya. Menurut informasi yang berhasil diperoleh, muka air Sungai Sampean paling tinggi
mencapai 6.8 meter (18-1-1976) dan 5.7 meter (6-2-2000). Dengan muka air setinggi itu tidak sampai
menimbulkan banjir besar di hilir (Kota Situbondo). Kejadian banjir pada awal 2002 ini merupakan
banjir yang ekstrim terjadi di DAS Sampean, yang telah melebihi daya tampung saluran (palung
sungainya).
14
Banjir, Penyebab dan Solusinya
40
35 Ciliwung
Lampir
30
Sampean
25
Persen
20
15
10
5
0
Hutan Sawah Tegal Perkebunan Pemukiman
Gambar 14. Penggunaan Lahan pada DAS Ciliwung, Lampir, dan Sampean
15
Banjir, Penyebab dan Solusinya
Padahal dalam UU No.41 Tahun 1999 minimal hutan dalam satu DAS
adalah 30 persen. Berdasarkan Gambar 14 tersebut yang memenuhi syarat hanya
DAS Sampean yang mempunyai hutan sekitar 36 persen dari luas DAS.
Walaupun DAS Sampean mempunyai hutan sebesar 36 persen namun banjir besar
juga masih terjadi. Dari kondisi tersebut terlihat bahwa keberadaan hutan tidak
mampu mencegah banjir. Hutan dapat mengurangi banjir hanya pada curah hujan
sedang (Dunne & Leopold. 1978). Pada curah hujan yang besar, hutan sudah tidak
mampu menguranginya. Namun demikian hutan dapat mengurangi erosi yang
menyebabkan pendangkalan di sungai atau saluran sehingga fungsi hutan ini lebih
menjaga saluran sungai agar lancar mengalirkan air (Dunne & Leopold. 1978).
Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Asdak (1995) yang menyebutkan bahwa
keberadaan hutan dapat dipandang sebagai kegiatan pendukung dari usaha lain
dalam menurunkan terjadinya banjir. Selain itu hutan berfungsi menjaga
kontinuitas aliran, karena hutan dapat mengatur tata air yaitu menampung air pada
musim penghujan dan mengalirkannya pada musim kemarau.
Selain perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke pemukiman dan dari
tanaman keras ke tanaman semusim, ada lagi perubahan penggunaan lahan yang
cukup signifikan menyebakan banjir yaitu penggunaan situ dan rawa untuk
pemukiman. Perubahan ini menyebabkan aliran permukaan dari bagian hulunya
tidak mempunyai tempat lagi untuk transit . Aliran permukaan akan langsung
mengalir dan menambah aliran dari sekitarnya sehingga menyebakan banjir atau
menggenangi pemukiman di daerah bekas situ atau rawa. Kawasan pemukiman
Pantai Indah Kapuk (PIK) dahulunya merupakan daerah berawa hutan manggrove
yang berfungsi untuk menampung air, kemudian diuruk dan dijadikan kawasan
pemukiman. Berdasarkan citra satelit 2002 retarding pond di kawasan PIK tinggal
sepertiganya (Kompas 7-2-2002). Contoh perubahan rawa menjadi pemukiman
yang sudah berlangsung lama adalah Rawa mangun, Rawa buaya, Rawa lembu,
Rawa sari dan sebagainya.
Kawasan resapan air di hulu DAS memiliki peran yang sangat penting
dalam siklus hidrologi di suatu DAS. Sayangnya, kebanyakan masyarakat awam
memahami DAS hanya sebatas pada air sungai yang mengalir. Padahal sistem
sungai adalah suatu hal yang sangat komplek dan terkait erat serta dipengaruhi
16
Banjir, Penyebab dan Solusinya
oleh berbagai faktor dari suatu DAS. Karenanya tidak mengherankan bila pada
saat ini banyak kawasan resapan air di hulu DAS telah mengalami perubahan
fungsi, misalnya menjadi pemukiman. Parahnya lagi, saat ini tercatat 58 DAS di
Indonesia dalam kondisi kritis1 (Pusat Data dan Informasi Publik, 2002).
Kotak 3
Kasus di Kawasan Puncak
Penegakan Hukum
Tidak dapat dipungkiri bahwa sub DAS Ciliwung hulu, khususnya kawasan puncak adalah
kawasan yang eksotis. Hamparan perkebunan teh dan hawanya yang sejuk serta infrastruktur yang
mendukung di kawasan ini, mampu menawarkan daya tarik tersendiri. Sejak jaman kolonial Belanda,
Puncak telah menjadi tempat peristirahatan tuan-tuan Belanda. Saat sekarang pun, Puncak masih
merupakan tempat yang populer untuk beristirahat bagi warga ibukota. Karenanya, tidak mengherankan
jika di kawasan ini tumbuh menjamur vila-vila mewah, hotel, dan sarana prasarana pariwisata lainnya.
Bencana banjir yang terjadi akhir bulan Januari hingga awal Pebruari 2002 di Jakarta, telah
mendorong berbagai pihak yang terkait dengan pengelolaan DAS untuk kembali menengok ke sub DAS
ciliwung hulu. Seperti kejadian di masa lalu, berkali-kali Puncak menjadi tertuduh penyebab banjir di
Jakarta. Sayangnya, tuduhan ini tidak berlanjut pada tindak lanjut yang berupa perbaikan tata guna
lahan di kawasan Puncak. Bahkan, sejalan dengan perkembangan derap pembangunan carut marut tata
guna lahan semakin menjadi.
Sebenarnya dasar hukum penataan kawasan puncak, menurut Silalahi (2002), telah cukup
memadai, ketat, dan jelas, karena telah diatur secara khusus selama 40 tahun lebih, berturut-turut
dengan peraturan Presiden tahun 1963, yang diubah dan diperbaiki masing-masing dengan Keppres
No.48/1983 dan Keppres No.79 /1985. Peraturan ini juga diperkuat dengan peraturan perundang-
undangan lainnya secara nasional maupun daerah. Namun, lagi-lagi dasar hukum ini sama sekali tidak
mampu menunjukkan kekuatannya setelah di lapangan. Hukum hanya kelihatan ‘garangnya’ di atas
kertas. Vila dan bangunan lainnya tetap dibangun tanpa peduli adanya peraturan yang membatasinya.
Persoalan Puncak memang rumit dan sangat kompleks. Di satu sisi, kawasan ini merupakan
kawasan wisata yang merupakan salah satu pemasok pendapat daerah terbesar. Pada sisi lain kawasan
ini juga merupakan kawasan lindung. Mempertemukan dua kepentingan ini memang tidak mudah.
Parahnya, euforia reformasi ternyata ikut pula berimbas pada kawasan ini. Lahan perkebunan teh PTP
Nusantara VIII/Gunung Mas yang masih dalam proses perpanjangan HGU, telah dimanfaatkan
masyarakat dengan menjarahnya. Menurut catatan terakhir, diperkirakan penjarahan lahan mencapai
600 hektar dan sekitar 200 diantaranya telah berubah menjadi arena permukiman dan vila (Kompas
12/03/2002).
Menurut hasil penelitian yang telah banyak dilakukan oleh para pakar
hidrologi menyimpulkan bahwa hutan merupakan regulator air yang baik.
Berdasarkan penelitian selama 5 tahun di daerah dengan ketinggian 1.110 –
1,1838 m dpl di hulu DAS Ciwulan – Tasikmalaya, yang mewakili daerah hulu
sungai, dengan kondisi topografi curam sampai sangat curam dan bantuan induk
vulkanik, menunjukkan bahwa evapotranspirasi tegakan hutan tercatat 1.300 mm
1
Sesuai hasil survai Dep.PU dan Dep.Kehutanan pada 1992 tercatat sekitar 22 DAS yang kritis
dan super kritis, sedangkan survai 1998 membengkak menjadi 58 DAS.
17
Banjir, Penyebab dan Solusinya
per tahun sehingga dengan curah hujan 3.500 mm per tahun, maka hutan mampu
menyimpan air tanah 420 mm per tahun lebih banyak dibandingkan DAS
pertanian yang hanya mempunyai laju evapotranspirasi 600 mm per tahun
(Arifjaya, 2002). Meskipun demikian, akhir-akhir ini luasan hutan di DAS hulu
semakin menyusut. Ada beberapa hal yang disinyalir sebagai penyebabnya,
diantaranya penjarahan dan perambahan hutan serta ketidaktaatan baik aparat
pemerintah maupun masyarakat terhadap tataguna lahan yang telah disepakati dan
diatur dengan keppres. Kasus Puncak merupakan contoh yang sangat baik untuk
menggambarkan hal tersebut (lihat Kotak 3).
Problematika perubahan penutupan lahan yang tidak mengikuti kaidah
pengelolaan DAS yang benar ternyata sangat dipengaruhi pula oleh pemahaman
yang keliru atas teknologi konservasi tanah. Akibatnya, teknologi konservasi
tanah diterapkan tidak pada tempatnya. Misalnya, pada lahan-lahan yang terjal
yang hanya diperbolehkan untuk hutan oleh masyarakat tetap diusahakan untuk
usahatani tanaman semusim yang membutuhkan pengolahan lahan sangat intensif.
Meskipun masyarakat dalam berusahataninya telah menggunakan teknologi
konservasi tanah, namun erosi masih akan tetap tinggi. Apalagi bila teknik
pengolahan tanah diupayakan untuk mengurangi peresapan air ke dalam tanah,
misalnya sawah, maka yang akan terjadi adalah tidak adanya air yang meresap ke
dalam tanah ketika hujan turun, tetapi air langsung menjadi limpasan. Hal inilah
yang akhirnya menyebabkan banjir.
Lokasi Penebangan
Hutan PT Perhutani
18
Banjir, Penyebab dan Solusinya
Bagi masyarakat Batang dan Sampean berusahatani padi adalah hal biasa. Kebiasaan ini
diperolehnya dari nenek moyang dulu. Yang membedakan masyarakat Batang dan Sampean saat ini
dengan nenek moyangnya dulu adalah lokasi sawahnya. Saat ini, sangat mudah ditemui areal
persawahan di lereng-lereng terjal (25 - >45%). Memang mereka telah menggunakan teras dengan baik.
Bahkan saluran pembuangan airnya pun telah tertata dengan baik. Namun, sawah bukanlah peresap air
yang baik. Lahan sawah justru diolah menjadi kedap air untuk mempertahankan kondisinya semirip
mungkin dengan rawa yang merupakan habitat asli padi. Akibatnya, ketika hujan turun air hujan
langsung menjadi limpasan yang besar karena tidak dapat meresap ke dalam tanah. Limpasan air yang
besar ini selanjutnya tidak dapat ditampung oleh saluran drainase yang memang kapasitasnya kecil.
Akhirnya banjirlah yang terjadi.
Secara ilmiah dan menurut tata guna lahan pada lereng yang terjal hanya boleh dimanfaatkan
untuk hutan yang berfungsi sebagai kawasan resapan. Dengan demikian perubahan penggunaan lahan
yang seharus hutan menjadi areal persawahan adalah kesalahan. Namun apabila kenyataan ini
konfrontasikan dengan perilaku masyarakat yang mencoba menerapkan teknolgi konservasi tanah, maka
hal tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya masyarakat telah memahami akan bahaya yang akan
terjadi setelah mereka melakukan perubahan lahan hutan menjadi sawah. Namun pemahaman yang
keliru tentang teknologi konservasi membuat masyarakat tetap membuka sawah di lereng yang terjal
dengan mengaplikasikan teknologi teras.
19
Banjir, Penyebab dan Solusinya
20
Banjir, Penyebab dan Solusinya
di ubah menjadi hutan sengon, pada saat harga sengon sedang melambung tinggi.
Sampai-sampai bibit sengon atau tanaman hutan lainnya sangat sulit dicari.
Namun, pada saat harga kayu jatuh petani beramai-ramai pula menebang tanaman
kayunya walaupun belum masak tebang.
Kotak 5
Hutan Rakyat
Hutan rakyat di DAS Sampean sebenarnya telah berkembang dengan baik. Masyarakat telah
banyak mengusahakan lahannya untuk hutan rakyat. Tanaman sengon adalah salah satu tanaman hutan
yang populer di masyarakat. Menurut data BRLKT luas hutan rakyat di DAS Sampean mencapai 4.500
hektar.
Saat ini luas hutan rakyat menyusut drastis. Sebagian besar petani menebang tegakan hutannya
karena harga kayu yang tidak menguntungkan menurut ukuran petani. Mereka telah merubah hutan
rakyat dengan tanaman perkebunan dan semusim. Menurut keterangan pihak dinas di daerah yang
menangani sektor kehutanan (dulu Dinas PKT) perbandingan antara tegakan hutan rakyat yang ditebang
dengan penanaman adalah 3:1, akan tetapi dinas tersebut sama sekali tidak berbuat apa-apa.
Seperti halnya dengan komoditas lainnya, dalam pasar kayu petani pun
tidak memiliki posisi tawar yang kuat karena tidak memiliki informasi pasar dan
tidak bersatu dalam suatu kelompok. Akibatnya, pengepul atau pedagang dapat
mempermainkan petani pada saat transaksi. Kelemahan posisi tawar petani ini
telah lama diketahui oleh pemerintah, tetapi sejauh ini pemerintah belum
melakukan tindakan yang bisa diterima oleh petani. Tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah baru sebatas pembentukan kelompok tani hutan rakyat yang
dipaksakan dan tidak mengakar. Potensi kelembagaan lokal yang telah dibangun
21
Banjir, Penyebab dan Solusinya
2
Tekanan penduduk terhadap lahan di sub DAS Ciliwung hulu mencapai 2.80, dan DAS Sampean
mencapai 1.20
22
Banjir, Penyebab dan Solusinya
23
Banjir, Penyebab dan Solusinya
24
Banjir, Penyebab dan Solusinya
25
Banjir, Penyebab dan Solusinya
IV. PENUTUP
Dengan adanya kejadian banjir pada tahun 2002 ini mengingatkan kita
kembali bahwa pentingnya untuk melakukan pembangunan yang berwawasan
lingkungan. Keterlanjuran yang terjadi di Pulau Jawa jangan sampai terulang di
Pulau-pulau yang lain di Indonesia. Sedangkan untuk Pulau Jawa sendiri dengan
kondisi yang sudah parah jangan sampai diperparah lagi, kalau bisa ditingkatkan
diantaranya dengan solusi di atas.
Dengan melihat kondisi fisik dan sosial ekonomi yang ada, maka banjir
kemungkinan masih akan terjadi pada tahun-tahun mendatang dan diperkirakan
akan terjadi dengan intensitas yang lebih besar. Hal ini harus dijadikan bahan
pemikiran oleh semua pihak bahwa untuk mengatasi banjir tidak bisa dilakukan
oleh Pemerintah saja tetapi juga oleh masyarakat. Banjir di DKI tidak bisa diatasi
oleh propinsi DKI sendiri, melainkan juga propinsi Jawa Barat dan Banten, tidak
bisa dilakukan hanya dengan perbaikan fisik tetapi juga perbaikan sosial ekonomi
masyarakat, tidak juga bisa dilakukan sepotong-sepotong tetapi harus terpadu
dalam satu kesatuan DAS.
Berdasarkan hasil investigasi di tiga DAS menunjukkan bahwa hutan
dalam DAS mempunyai batas maksimum tertentu dalam kaitannya dengan upaya
mengendalikan banjir. Pada intensitas hujan yang sangat tinggi fungsi hutan
menjadi tidak efektif dalam hal menahan laju limpasan. Dengan demikian
keberadaan hutan dalam DAS seharusnya dipandang sebagai salah satu bagian
dari keseluruhan usaha terpadu menurunkan terjadinya banjir .
26
Banjir, Penyebab dan Solusinya
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Pusat Data dan Informasi Publik. 2002. Dirjen Sumber Daya Air:Dua Macam
Penyebab Banjir di Indonesia. Artikel di http://www.kbw.go.id pada
tanggal 22/02/2002.
Silalahi, M.D. 2002. Kasus Puncak: Pelanggaran Hukum Tata Ruang dan
Lingkungan, Siapa yang Bertanggung Jawab? Harian Kompas edisi 20
Februari 2002 hal 28
27