1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Aspek keberhasilan pembangunan Indonesia adalah pembangunan berbasis kebutuhan
(need based approach) dan pembangunan berbasis hak (right based approarch). Kedua
pendekatan ini harus mewarnai semua perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dari
program/kegiatan kerja baik oleh pemerintah maupun pihak-pihak lainnya. Dalam
pendekatan berbasis kebutuhan, masyarakat lebih banyak berperan sebagai penerima
manfaat dari hasil pembangunan dengan partisipasi yang harus tinggi. Untuk
pembangunan berbasis hak menekankan penggabungan hak asasi manusia dan
pembangunan manusia dalam aktivitas pembangunan masyarakat. Dengan demikian,
masyarakat ditempatkan sebagai pemegang hak (right holder), pemerintah sebagai
pemangku kewajiban (duty bearer) dan lembaga non pemerintah adalah pemangku
kewajiban kedua setelah pemerintah (secondary bearer).
Pendekatan pembangunan berbasis hak juga berlaku untuk anak sebagai bagian dari
masyarakat. Pendekatan pembangunan berbasis hak anak menekankan bahwa
pembangunan berbasis hak dengan menempatkan anak sebagai pusat dari seluruh
kegiatan dalam pembangunan (child centered) dengan menggunakan instrument hukum
yang memayungi anak, seperti Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the
Children) serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia pada tahun 1990
secara tegas menetapkan hal-hal penting tentang hak-hak yang melekat pada diri anak.
KHA meminta kewajiban bagi pemerintah yang meratifikasi untuk membuat langkah-
langkah implementasi dan kemudian melaporkannya ke Komite Hak Anak secara
regular. Di Indonesia, Undang-Undang Dasar tahun 1945 secara jelas juga mengatur
tentang hak-hak anak, seperti yang tertuang dalam pasal 28B ayat 2, ”Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Berkaitan dengan itu, Indonesia telah
menetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai
Pelaksanaan Konvensi PBB tentang Hak Anak. Selanjutnya ditetapkan pula Peraturan
Kajian Kota Layak Anak di Kota Bandung 1
2009
Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2004-2009. Melalui Perpres ini, pemerintah berupaya meningkatkan
kesejahteraan anak dan mewujudkan anak Indonesia yang sehat, cerdas, ceria, dan
berakhlak mulia; serta melindungi anak terhadap berbagai bentuk kekerasan,
eksploitasi, dan diskriminasi.
Selain Konvensi Hak Anak terdapat kesepakatan internasional lainnya di bidang anak
yang juga telah ditandatangani oleh pemerintah Indonesia, yakni Deklarasi Dunia Yang
Layak Bagi Anak (World Fit For Children) tahun 2002. Kesepakatan tersebut dijabarkan
ke dalam Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015 yang kemudian menjadi
visi dan misi pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak dalam rangka
pemenuhan hak anak. PNBAI mencakup 4 (empat) bidang pokok yaitu : promosi hidup
sehat, penyediaan pendidikan yang berkualitas, perlindungan terhadap perlakuan salah,
eksploitasi dan kekerasan, serta memerangi HIV dan AIDS. Untuk mempercepat
terwujudnya visi dan misi pemenuhan hak dan perlindungan anak melalui PNBAI 2015,
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama sektor
pemerintah terkait, organisasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat
mengembangkan model Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA).
1.2. Tujuan
Tujuan dilakukan kajian pengembangan KLA di Kota Bandung pada dasarnya adalah
untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh mengenai pelaksanaan bidang
kesejahteraan dan perlindungan anak melalui pengembangan kabupaten/kota layak
anak di Kota Bandung. Kajian ini juga akan melihat penyediaan informasi yang relevan
dengan kebijakan pengembangan KLA dan mendapatkan rekomendasi tentang
pelaksanaan kebijakan KLA di Kota Bandung.
1.4. Manfaat
Manfaat dari kajian KLA di Kota Bandung baik secara langsung dan tidak langsung
adalah:
1. Untuk memperoleh gambaran terkini tentang upaya Kota Bandung dalam
mewujudkan KLA;
2. Sebagai bahan masukan untuk mempercepat terwujudnya KLA di Kota Bandung;
3. Sebagai bahan pelajaran untuk pengembangan KLA di daerah lainnya di Indonesia.
1.5. Lokasi
Penelitian dilaksanakan di Kota Bandung yang merupakan salah satu kota yang
mengembangkan KLA secara mandiri pada tahun 2007.
Keuangan meliputi besarnya anggaran yang peduli terhadap anak yang ada di
kabupaten/kota baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
maupun dari donor internasional, donor swasta, stimulan perlindungan anak dan lainnya.
Untuk pelaporan meliputi adanya panduan kerja dan pelaporan, data dan analisa
masalah anak dan laporan laiinnya yang menginformasikan tentang anak.
Dari analisis ini paling tidak terdapat sejumlah pertanyaan yang akan dijawab, yakni:
1. Indikator apa saja yang tersedia datanya?
Kajian Kota Layak Anak di Kota Bandung 6
2009
2. Seberapa besar tingkat pemenuhan indikatornya ?
3. Permasalahan apa saja yang muncul dalam penyediaan data?
4. Adakah data statistik lain yang relevan yang dimiliki yang bisa menjadi pelengkap dari
indikator KLA?
5. Adakah data pendukung yang diperoleh dari penelitian dan monitoring kasus
Strengths atau kekuatan dalam hal ini diartikan sebagai faktor-faktor internal yang
mendukung kebijakan kota layak anak, seperti adanya komitmen pemerintah, kebijakan-
kebijakan dan program dan di bidang kesejahteraan dan perlindungan anak berikut
penganggarannya serta implementasinya yang berjalan baik di lapangan. Sedangkan
Kajian Kota Layak Anak di Kota Bandung 7
2009
weakness atau kelemahan adakah tidak ada atau lemahnya faktor-faktor pendukung
tersebut.
Tentang opportunities atau peluang, dalam hal ini diartikan sebagai faktor-faktor
eksternal yang mendukung terwujudnya KLA, seperti data-data statistik yang
mencerminkan kondisi ideal atau positif, kelembagaan di luar pemerintah di bidang
kesejahteraan dan perlindungan anak berikut aktivitasnya. Sedangkan threats atau
ancaman adalah data-data statistik yang tidak atau kurang mencerminkan kondisi yang
ideal atau positif serta permasalahan-permasalahan yang belum bisa teratasi yang
mengancam atau menghalangi terwujudnya sebuah kota layak anak.
Analisis relevansi, diartikan sebagai kriteria untuk melihat apakah upaya-upaya yang
dilakukan pemerintah selama ini relevan dengan tujuan dari kebijakan KLA. Di sisi lain
juga harus dilihat apakah kebijakan KLA ini relevan dengan visi dan misi dari pemerintah
kota setempat.?
Analisis dampak, diartikan sebagai kriteria untuk melihat melihat efek yang lebih luas
dari kebijakan, program dan kegiatan di bidang KLA pada individu, masyarakat, dan
lembaga. Dampak dapat bersifat segera dan jangka panjang, yang dimaksudkan dan
Analisis keberlanjutan, diartikan sebagai kriteria untuk melihat sejauh mana kebijakan
KLA ini bukan lagi hanya sebagai kebijakan milik dan dilakukan oleh pemerintah semata,
tetapi sudah menjadi milik masyarakat, sehingga masyarakat itu sendiri yang akan
mengawalnya.
Sebelum memperoleh penghargaan atau predikat sebagai Kota Layak Anak, Kota
Bandung telah memiliki 6 fungsi kota yaitu sebagai :
Batas-batas administratif tersebut terlihat dalam peta Kota Bandung berikut ini.
Rupanya jauh sebelum surat itu keluar, bupati Bandung sudah merencanakan untuk
memindahkan ibukota Kabupaten Bandung. Tempat yang dipilih adalah lahan kosong
berupa hutan, terletak di tepi barat Sungai Cikapundung, tepi selatan Jalan Raya Pos
yang sedang dibangun (pusat kota Bandung sekarang). Alasan pemindahan ibukota itu
antara lain, Krapyak tidak strategis sebagai ibukota pemerintahan, karena terletak di sisi
selatan daerah Bandung dan sering dilanda banjir bila musim hujan. Sekitar awal tahun
1809, bupati beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Krapyak mendekali lahan bakal
ibukota baru. Dengan kata lain, Bupati R. A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the
founding father) kota Bandung. Kota Bandung diresmikan sebagai ibukota baru
Kabupaten Bandung dengan surat keputusan tanggal 25 September 1810.
Pada masa kolonial, pengembangan Kota Bandung mendapat perhatian besar dari
pemerintah Hindia Belanda, yang ingin membangun Bandung menjadi sebuah “kota
ideal”. Berbagai infrastuktur kota tersebut dibangun untuk menunjang kepentingan
sistem kolonial, serta kebutuhan pembangunan sebuah wilayah ekslusif orang Belanda
atau Eropa. Di samping itu, kota Bandung yang dibangun dengan nuansa Eropa
menyebabkan Bandung dijuluki sebagai “Kota Eropa di daerah tropis”. Hal ini tampak
dari terbaginya wilayah kota atas dasar penataan kependudukan Hindia Belanda yang
diskriminatif. Konsep pembangunan yang dipakai dalam membangun Kota Bandung
adalah:
membangun kota menjadi prototipe sebuah koloniaalstad (kota kolonial)
menata dan menghijaukan kota dalam upaya mewujudkan tuinstad (kota taman)
mempersiapkan Bandung sebagai ibu kota Hindia Belanda.
Konsep “kota kolonial” mengacu pada desain model arsitektur barat yang
mendominasikan Kota Bandung, sedangkan konsep “kota taman” tampak dari
banyaknya taman yang tersebar diseluruh Bandung. Untuk merealisasikan gagasan
tersebut, infrastuktur segera dibangun secara bertahap. Berdasarkan raadbesluit
(Keputusan Dewan Kotamadya) pada 18 Desember 1918, gemeente Bandung
menyediakan lahan seluas 27.000 m² untuk kompleks bangunan instansi pemerintah.
Seiring terjadinya gejolak politik pada masa periode 1945-1965 terjadi perubahan
drastis terhadap kondisi kota-kota di Indonesia termasuk Bandung. Peristiwa Bandung
Lautan Api maupun peristiwa politik lainnya di satu sisi telah melumpuhkan aktivitas dan
merusak tatanan kota Bandung. Euforia kemerdekaan telah mengakibatkan berubahnya
Baru pada tahun 1971 dengan disepakatinya (1) Master-Plan Kota Bandung, Kota
Bandung dikembangkan menjadi kota dengan fungsi sebagai berikut : Pusat
Pemerintahan, Pusat Perguruan Tinggi, Pusat Perdagangan, Pusat Industri, Pusat
Kebudayaan dan Pariwisata. Dengan fungsi tersebut, Kota Bandung berkembang dengan
pesat dan timbulah beberapa permasalahan, yaitu urbanisasi yang tinggi, transportasi,
disparitas kepadatan penduduk dan terkonsentrasinya/tercampurnya kegiatan komersial
pada satu kawasan dan sebagainya, sehingga keterbatasan lahan menjadi salah satu
persoalan. Kemudian ditetapkanlah (2) Rencana Induk Kota (RIK) Bandung 1971-1991
dan RIK 1985-2005. Dalam RIK ini fungsi-fungsi yang telah ditetapkan dalam Master-
Plan tersebut masih ditetapkan kembali sehingga memberikan peluang kegiatan yang
sangat luas.
Kota Bandung merupakan ibukota dari provinsi Jawa Barat, yang terletak di antara 107°
36” Bujur Timur, 6° - 55‟ Lintang Selatan. Ketinggian tanah mencapai ± 791 m di atas
permukaan laut, dengan titik terendah sekitar 675 m yang berada di sebelah selatan
dengan permukaan relatif datar dan titik tertinggi sekitar 1,050 m berada di sebelah
utara dengan kontur yang berbukit-bukit. Iklim asli Kota Bandung dipengaruhi oleh iklim
pegunungan yang sejuk tetapi beberapa tahun belakangan mengalami peningkatan suhu
yang disebabkan polusi dan meningkatnya suhu global akibat efek rumah kaca.
Luas wilayah Kota Bandung 16.729,65 ha yang terdiri dari dataran (145,52 km²),
perbukitan (0,82 km²) dan pesawahan (21,56 km²) dan sebanyak 8.791.35 (52.55%)
digunakan untuk daerah perumahan/pemukiman.
Jumlah penduduk Kota Bandung tahun 2007 adalah 2.329.928 jiwa (BPS Kota Bandung
Tahun 2007) dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 1.188.312 jiwa atau 51.00%
dan penduduk perempuan sebesar 1.146.865 jiwa atau sebesar 49.00%. Selama 2003
Jumlah penduduk laki-laki dan perempuan hampir sama banyaknya, yang membedakan
adalah komposisi umur. Komposisi penduduk Kota Bandung menurut kelompok umur
menunjukkan bahwa penduduk berusia muda yaitu 0 – 14 tahun 24.21%, usia produktif
15 – 64 tahun sebesar 71.75% dan usia tua = 65 tahun sebesar 3,72%. Pengelompokan
penduduk berdasarkan umur berguna bagi intervensi program kesehatan yang akan
dilakukan. Kelompok umur rentan seperti kelompok umur balita dan usia lanjut
merupakan sasaran program kesehatan karena resiko terhadap penyakitpenyakit
tertentu yang memerlukan penanganan khusus dalam bidang kesehatan.
Kondisi perekonomian Kota Bandung dapat terlihat dari Indikator Laju Pertumbuhan
Ekonomi (LPE) yang setiap tahun mengalami kenaikan yang signifikan. Hal tersebut
berkaitan dengan penetapan salah satu target program prioritas yaitu LPE Kota Bandung
tahun 2008 adalah 11%. LPE Kota Bandung pada tahun 2007 mencapai 8.24% diatas
pencapaian LPE Propinsi Jawa Barat yang mencapai 5,31%. Faktor lain yang menjadi
salah satu ukuran kemajuan dalam proses pembangunan adalah Produk Domestik
Kajian Kota Layak Anak di Kota Bandung 15
2009
Regional Bruto (PDRB) yang menggambarkan produksi barang dan jasa masyarakat Kota
Bandung. Peningkatan PDRB ini secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap
tingkat kesehatan masyarakat di Kota Bandung.
Setidaknya ada dua karakteristik budaya yang perlu mendapat perhatian yaitu
kebudayaan Sunda dan kebudayaan perkotaan. Kota Bandung bermula dari sebuah kota
kolonial, namun sejak tahun 1950-an telah menjadi „Kota Sunda‟ dengan dominasi suku
bangsa Sunda yang merupakan penduduk asli yang mayoritas (E.M. Bruner 1974).
Secara stereotipik, Orang Sunda menganut nilai kemandirian sosial, dalam arti bahwa
setiap orang dewasa bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri, dan terkait dengan
pandangan ini adalah sikap „tidak mencampuri urusan orang lain‟. Di satu sisi, nilai ini
mendukung atau setidaknya sejajar dengan nilai demokrasi dan kesetaraan, namun di
sisi lain mengandung kelemahan pengendalian sosial.
Masyarakat Kota Bandung sejak awal merupakan masyarakat yang heterogen, dan
semakin lama semakin dibanjiri oleh pendatang yang menumpang hidup, dan turut
menghidupi. Studi Bruner tersebut menunjukkan bagaimana kebudayaan Sunda menjadi
pedoman pergaulan antar budaya di tempat-tempat umum. Menurutnya, acuan ke
kebudayaan setempat yang dominan ini menunjang integrasi antar golongan penduduk
yang beragam di kota. Meskipun studi itu tidak sampai memperlihatkan bagaimana
peranannya dalam pembangunan kota. Namun dewasa ini interaksi sosial di beberapa
jenis tempat umum tidak lagi berpedoman kepada kebudayaan Sunda, melainkan ke
kebudayaan nasional atau diwarnai oleh unsur-unsur kebudayaan para pelaku yang
dominan di bidang kegiatan yang bersangkutan. Dengan demikian peranan kebudayaan
Sunda (terutama bahasanya) sebagai sarana komunikasi umum di Kota Bandung, telah
melemah.
Namun studi lain oleh Parsudi Suparlan (1974) memperlihatkan penyerapan bahasa
Sunda oleh generasi kedua pendatang di Kota Bandung. Demikian pula, rasa turut
memiliki Kota Bandung juga menguat di kalangan para pendatang yang telah tinggal di
sini beberapa generasi. Bahkan beberapa tokoh yang terkemuka dalam upaya
pelestarian peninggalan sejarah Bandung dan tradisi budaya Sunda, adalah orang-orang
bukan-Sunda. Mereka ini juga menjadi semacam fasilitator antar golongan budaya,
Kajian Kota Layak Anak di Kota Bandung 16
2009
meski jumlahnya terlalu kecil. Sementara itu, kiranya juga dapat diterima bahwa di
kalangan pendatang yang tinggal sementara, atau belum lama, belum tumbuh sense of
belonging yang kuat untuk menumbuhkan sikap turut memelihara keadaan Kota
Bandung, juga tidak memiliki legitimasi sosial untuk turut mengendalikan keadaan kota
ini.
Perkumpulan para pendatang banyak, perkumpulan penduduk asli juga banyak, namun
belum terjalin. Di Kota Bandung belum tumbuh perasaan kewargaan yang kuat yang
mengikat baik orang Sunda maupun bukan-Sunda sebagai warga kota, meskipun ada
juga potensinya pada pertandingan-pertandingan olahraga tingkat tinggi dengan daerah
lain, seperti solidaritas yang kuat di kalangan „bobotoh Persib‟ yang anggotanya juga
meliputi warga Bandung yang bukan-Sunda.
Secara harfiah, Bermartabat diartikan sebagai harkat atau harga diri, yang menunjukkan
eksistensi masyarakat kota yang dapat dijadikan teladan karena kebersihan,
Berdasarkan pemahaman tersebut, sangatlah rasional pada kurun waktu lima tahun
kedepan diperlukan langkah dan tindakan pemantapan (revitalisasi, reaktualisasi,
reorientasi dan refungsionalisasi) yang harus dilakukan oleh pemerintah Kota Bandung
beserta masyarakatnya serta didukung secara politis oleh pihak legislatif melalui upaya-
upaya yang lebih keras, cerdas dan terarah namun tetap ramah dalam meningkatkan
akselerasi pembangunan guna tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Sementara misi kota Bandung atau tugas yang diemban Pemerintah Kota Bandung
meliputi :
1. Mengembangkan sumber daya manusia yang handal yang religius, Yang mencakup
pendidikan, kesehatan dan moral keagamaan.
2. Mengembangkan perekonomian kota yang adil, yang mencakup peningkatan
perekonomian kota yang tangguh, sehat dan berkeadilan dalam rangka
meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan
kesempatan berusaha.
3. Mengembangkan Sosial Budaya Kota yang ramah dan berkesadran tinggi, serta
berhati nurani, yang mencakup peningkatan partisipasi masyarakat dalam rangka
meningkatkan ketenagakerjaan, meningkatkan kesejahteraan sosial, keluarga,
pemuda dan olah raga serta kesetaraan gender.
4. Meningkatkan penataan Kota, yang mencakup pemeliharaan serta peningkatan
prasarana dan sarana kota agar sesuai dengan dinamika peningkatan kegiatan kota
dengan tetap memperhatikan tata ruang kota dan daya dukung lingkungan kota .
5. Meningkatkan kinerja pemerintah kota secara professional, efektif, efisien akuntabel
dan transparan, yang mencakup pemberdayaan aparatur pemerintah dan
masyarakat.
6. Mengembangkan sistem keuangan kota , mencakup sistem pembiayaan
pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Kondisi tersebut selain terekam dalam data kuantitatif yang berupa data-data statistik di
bidang anak, juga dalam data-data kualitatif yang merupakan pandangan dari para
pemangku kepentingan di bidang anak tentang kondisi anak yang ada. Data-data
tersebut juga merupakan cerminan dari permasalahan anak yang terjadi serta upaya-
upaya yang dilakukan baik dalam bentuk kebijakan pemerintah maupun dalam bentuk
program dan kegiatan yang dilakukan baik oleh pemerintah dan masyarakat.
Namun demikian, tidaklah berarti bahwa suatu kota atau kabupaten harus menunggu
terlebih dulu kondisi yang ideal di bidang kesejahteraan dan perlindungan anak sebelum
mencanangkan diri sebagai KLA atau kota yang menuju KLA. Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sendiri juga tidak memberi batasan
kondisi anak yang seperti apa yang bisa menggambarkan sebuah kota atau kabupaten
layak anak. Yang lebih diperhatikan adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah
dan masyarakat dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak.
Berikut ini adalah gambaran dari upaya-upaya tersebut yang dijabarkan daalm
pelayanan-pelayanan dasar yang ditujukan untuk kelompok anak yang terdapat di kota
Bandung. Di dalamnya akan diuraikan tentang visi dan misi serta program dan kegiatann
dari SKPD terkait, sejauh informasinya tersedia, serta , data-data statistik terkait
termasuk gambaran permasalahan secara kualitatif. Pelayanan dasar yang diuraikan
Kajian Kota Layak Anak di Kota Bandung 19
2009
meliputi bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan sosoail, infrastruktur dan
sebagainya.
Untuk melihat pelayanan dasar yang disediakan pemerintah kota Bandung di bidang
kesehatan secara lebih komprehansif, maka akan diawali dengan dengan melihat visi
dan misi pemerintah Kota Bandung di bidang kesehatan, bagaimana strategi dalam
menjabarkan visi dan misi tersebut, fasilitas pelayanan yang disediakan, serta hasil-hasil
yang telah dicapai, termasuk gambaran permasalahan di bidang kesehatan anak.
Visi Pemerintah Kota Bandung di bidang kesehatan tercakup dalam visi “Bandung Sehat
2007”, dimana diharapkan seluruh pelaku kesehatan bersama seluruh elemen
masyarakat Kota Bandung pada tahun 2007 :
1. hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku hidup sehat
2. memiliki kemampuan hidup sehat
3. memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara
adil,merata, dan
4. memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Untuk merealisasikan visi Bandung Sehat 2007, maka ditetapkan “Misi Pembangunan
Kesehatan” sebagai berikut :
1. Menggerakkan pembangunan Kota Bandung berwawasan kesehatan,
2. Memelihara serta meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat serta
lingkungannya sehingga mandiri untuk hidup sehat,
3. Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan
terjangkau,
4. Mengembangkan sumber daya manusia kesehatan yang berkualitas dan
professional,
Dalam rangka peningkatan derajat kesehatan, selain kebijakan dan program yang sudah
tersusun secara sektoral, pemerintah kota Bandung juga mempunyai program khusus,
yang berupa Bantuan Walikota Khusus atau Bawaku Sehat, yang merupakan bagian dari
trilogi Bawaku, yakni Bawaku Cerdas (untuk bidang pendidikan), Bawaku Sehat (untuk
bidang kesehatan) dan Bawaku Makmur (untuk bidang ekonomi).
Dengan visi, misi, kebijakan, program dan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan
yang cukup komprehensif, tidaklah berarti semua permasalahan kesehatan bisa diatasi
dan data-data statistik kesehatan selalu positif. Namun paling tidak pemerintah kota
Bandung bisa berbangga dengan sejumlah prestasi atau catatan positif yang berhasil
diraihnya, seperti Angka harapan hidup (AHH) Kota Bandung yang pada tahun 2008
telah mencapai 73,39 tahun. Capaian ini dipengaruhi oleh menurunnya Angka Kematian
Bayi (AKB) yang pada tahun 2007 berjumlah 186 kasus turun menjadi 181 anak kasus
pada tahun 2008. Angka Kematian Ibu (AKI) tahun 2007 untuk Kota Bandung meski
belum dapat dihitung tetapi terjadi kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya dari 8
orang menjadi 20 orang.
Data lain menunjukkan, jumlah balita yang menderita gizi buruk tahun 2006 adalah
1.141 balita (0.74%). Terjadi penurunan dibandingkan tahun 2005. Tahun ini juga
ditemukan 3 kecamatan rawan gizi di Kota Bandung. Di Bandung, jumlah anak-anak
kurang gizi ternyata kebanyakan berasal dari keluarga yang secara ekonomi mampu.
Menurut Kasubdin Kesehatan Keluarga Dinkes Kota Bandung, jumlah kasus masalah
gizi di Bandung per Februari 2007 mencapai 16.171 anak balita. Sebanyak 1.286 anak
dinyatakan gizi buruk. Jumlah anak balita di Bandung sendiri sekitar 154 ribu. Kasubdin
Kesehatan Keluarga menyatakan,
Dari 16.171 anak balita yang mengalami masalah gizi, sebanyak 12.368 anak dari
kalangan mampu yang terserang masalah gizi. Sedangkan dari kalangan tidak mampu
secara ekonomi hanya sekitar 3.400-an anak. Berdasarkan penelitian di pos-pos
pelayanan terpadu, petugas kesehatan menemukan asupan gizi yang diberikan orangtua
dari kalangan mampu tidak terkontrol dengan baik, karena menyerahkan persoalan
pemenuhan kebutuhan anak kepada pembantu rumah tangga yang kebanyakan minim
pengetahuan soal gizi. Sementara untuk kalangan kurang mampu justru termotivasi
untuk memenuhi kebutuhan gizi anak mereka. Contoh konkret tentang pemeriksaan gizi
yang dilakukan di 26 kecamatan di Bandung menunjukan pemukiman kalangan
menengah ke atas seperti Gumuruh, Batununggal, sebagai kawasan yang terbanyak
ditemukan kasus gizi buruk.
Dilihat dari aspek kinerja kesehatan, data yang ada menunjukkan adanya peningkatan
Angka Harapan Hidup dan Cakupan Air Bersih masing-masing 0,19% dan 10,31%, yang
didukung dengan penurunan Status Gizi Buruk pada anak balita. Khusus ketersediaan
air bersih untuk rumahtangga, bila dibandingkan dengan tingkat provinsi kota Bandung
berada pada peringkat ketiga setelah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bandung.
Pencapaian indikator-indikator tersebut didukung oleh peningkatan cakupan kunjungan
ibu hamil sebesar 0,17%, peningkatan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
sebesar 5,54%, peningkatan cakupan tempat-tempat umum memenuhi syarat hyigiene
sebesar 3,37%, peningkatan cakupan rumah tangga sehat 5,6%, peningkatan cakupan
Posyandu Purnama Mandiri sebesar 4,98% dan peningkatan cakupan penyediaan obat
dan perbekalan kesehatan sampai dengan 100%.
Dalam bidang pendidikan pemerintah kota Bandung memiliki visi, yang dituangkan
dalam visi Bandung Cerdas 2008, yang terdiri dari sejumlah target sebagai berikut :
Dari sisi penyediaan fasilitas pelayanan pendidikan, sampai dengan 2008, Kota Bandung
memiliki 602 TK/RA, 998 SD/MI, 250 SMP/MTs dan 245 SMA/SMK/MA yang tersebar di
30 Kecamatan. Selain itu sebagai pusat pendidikan, Kota Bandung juga memiliki cukup
banyak Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang telah
memiliki reputasi cukup baik pada skala internasional maupun regional. Jumlah
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sebanyak 8 buah yang terdiri dari : 2 universitas, 1 institut,
3 sekolah tinggi dan 2 politeknik. Sementara untuk Perguruan Tinggi Swasta (PTS)
sebanyak 78 yang terdiri dari : 14 universitas, 2 institut, 33 sekolah tinggi, 16 akademi,
13 politeknik. (Sumber Bandung Dalam Angka Tahun 2007).
Akan tetapi penyebaran lembaga pendidikan tersebut tidak merata baik dari sisi
kuantitas maupun kualitas, sarana prasarana pendidikan, maupun ketenagaan
pendidikan, dimana hal ini akan mempengaruhi kualitas penyelenggaraan pendidikan di
Kota Bandung, dengan munculnya sekolah favorit dan sekolah yang kurang peminatnya
sehingga harus merger.
Dalam hal ketenagaan pendidikan, Kota Bandung memiliki guru sebanyak 26.049 orang,
dengan proporsi terbanyak adalah guru SD dan guru SLTA. Rasio guru per sekolah
semakin meningkat bila jenjang pendidikan semakin tinggi, karena kebutuhan bidang
Dalam hal bantuan pendidikan, perkembangan jumlah bantuan bagi siswa miskin dari
tahun ke tahun dapat dilihat pada angka berikut :
Tahun 2004 : 12.000 anak
Tahun 2005 : 14.000 anak
Tahun 2006 : 22.000 anak
Tahun 2007 : 68.835 anak
Melalui Bawaku Cerdas, Pemerintah kota Bandung juga telah membantu sejumlah
67.000 siswa rentan DO dan menggratiskan 244 SD/MI, 51 SMP/MTs dan 30
SMA/SMK (67.756 Siswa) Kota Bandung adalah perintis vokasi Jawa Barat dengan SMK
Bertaraf Internasional dan berstandar SMM ISO 9001:2000 (SMKN7, SMKN 13 dan
SMKN 3).
Untuk kondisi sarana dan prasarana pendidikan dipandang belum memadai. Hal ini
dapat dilihat pada tabel berikut :
Dari target capaian IPM (Indeks Pembangunan Manusia), yang dilihat dari Angka Melek
Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS), hasilnya adalah Angka Melek Huruf di
Kota Bandung pada tahun 2008 sebesar 99,50 %, meningkat 0,06 % dari tahun 2007,
dengan demikian keberadaan buta aksara masih tersisa sebanyak 849 orang laki-laki
dan 1.913 orang perempuan, dan hal ini akan dituntaskan pada tahun 2009 melalui
Program Keaksaraan Fungsional kerjasama Pemerintah Propinsi Jawa Barat dengan
Pemerintah Kota Bandung. Sedangkan capaian Rata-Rata Lama Sekolah pada tahun
2008 baru mencapai 10,52 tahun, hal ini sangat jauh dari target capaian semula yaitu
12 tahun, sehingga Pemerintah Kota Bandung perlu merevisi kembali target capaian
rata-rata lama sekolah sampai dengan tahun 2013.
Banyak faktor yang jadi penyebab dari ketidaktercapaiannya rata-rata lama sekolah 12
tahun sampai tahun 2008. Jika dilihat dari penduduk usia 16 sampai 18 tahun, dimana
capaian angka partisipasi murni tahun 2008 baru mencapai 75,91 %, antara lain
disebabkan oleh persepsi masyarakat tentang pendidikan, yang dianggap belum
menjanjikan karena tidak relevannya kompetensi atau kecakapan lulusan dengan
kebutuhan dunia kerja, sehingga masyarakat kurang terdorong untuk menyekolahkan
anaknya ke jenjang pendidikan menengah, sementara anggapan lainnya adalah
pendidikan masih dianggap mahal, sehingga masyarakat menjadi apatis untuk
berpartisipasi dalam pendidikan.
Jika dilihat dari keberhasilan penyelenggaraan wajib belajar Sembilan tahun, Kota
Bandung telah beberapa kali mendapat penghargaan. Dilihat dari angka partisipasi kasar
maupun angka partisipasi murni telah melebihi target, karena sesuai dengan fungsinya
sebagai kota pendidikan, banyak siswa usia pendidikan dasar dari daerah sekitar
bersekolah di Kota Bandung
Meskipun hasil dari pembangunan pendidikan dengan visi Bandung Cerdas 2008
menunjukkan hasil yang relatif positif, namun mengingat kompleksitas
permasalahannya, pendidikan di kota Bandung masih menyimpan sejumlah
permasalahan, yakni sebagai berikut :
1. Keterbatasan daya tampung dan aksesibilitas pendidikan, terutama bagi masyarakat
kurang mampu;
2. Kerusakan infrastruktur sekolah, terutama di sekolah dasar;
3. Masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru dan belum optimalnya pengembangan
kompetensi dan profesionalisme guru;
4. Belum optimalnya kemitraan dengan dunia usaha dan dunia industri;
5. Pengembangan pendidikan belum berbasis pada potensi daerah;
6. Kinerja pelayanan pendidikan masih rendah;
7. Kualitas dan distribusi buku pelajaran masih rendah;
8. Pengembangan lifeskill pada peserta didik belum optimal;
9. Proses pembelajaran masih konvensional serta beratnya beban kurikulum sekolah;
10. Biaya pendidikan dirasakan mahal dan belum efisien;
11. Belum optimalnya kualitas manajemen sekolah.
Tugas pokok dari Dinas Sosial adalah melaksanakan kewenangan daerah di bidang
sosial. Sedangkan fungsinya adalah :
1. Pelaksanaan kebijakan teknis bidang sosial,
2. Pelaksanaan tugas teknis operasional bidang sosial yang meliputi bina sosial,
pelayanan sosial, rehabilitasi sosial, dan keluarga sejahtera, dan
3. Pelaksanaan pelayanan teknis ketatausahaan kantor.
Dilihat dari misinya, khususnya pada misi yang pertama, yakni mengembangkan sosial
budaya kota yang ramah dan berkesadaran tinggi, bermartabat, ....dst, terlihat adanya
harapan dari pemerintah kota Bandung akan terwujudnya suasana kota yang ramah,
secara sosial dan budaya. Hal ini relevan sekali dengan ciri kota layak anak. Namun dari
sisi lain, menurut salah seorang narasumber dari penelitian ini, sifat ramah dari
masyarakat kota Bandung ini yang menjadi daya tarik penduduk dari kota lain untuk
datang atau tinggal menetap di kota Bandung, sehingga menimbulkan berbagai masalah
sosial dan lingkungan.
Berbagai masalah sosial yang berkembang di masyarakat pada tahun 2008 menurut
catatan Dinas Sosial pemerintah kota Bandung adalah seperti terlihat dalam tabel
berikut.
Dari kelompok penyandang masalah sosial tersebut, yang dipandang paling menonjol
adalah masalah anak jalanan. Meskipun dalam tabel disebutkan jumlahnya hanya 4.821
anak, namun dalam perkiraan BPPKB jumlahnya hampir 8000. Dari jumlah tersebut
sekitar 90% bukan warga kota Bandung.
Pendekatan penanganan anak jalanan yang dilakukan masih mengandalkan razia dan
pembinaan di panti, dengan menggunakan payung hukum Perda tentang K3 (Ketertiban,
Keamanan dan Keindahan). Perda ini dipandang merugikan kelompok anak jalanan
karena mereka sering memperoleh tindak kekerasan dari aparat. Kendalanya adalah
mereka yang tertangkap razia hanya dikenakan denda sebesar Rp 10.000,- hingga Rp
50.000,-. Sebagian dari PMKS tersebut ada yang dipulangkan ke daerag asalnya, tapi
kemudian mereka kembali lagi ke kota Bandung. Sedangkan untuk anak-anak dan
pekerja seks komersial (PSK) yang tertangkap kemudian ke dinas sosial untuk
dimasukkan ke panti. Akan tetapi kapasitas panti dan anggaran yang disediakan dalam
hal ini hanya untuk 60 orang pertahun.
Menurut pandangan KPAID Kota Bandung, penanganan anak jalanan saat ini masih
belum maksimal, komprehensif, menyeluruh dan terpadu. Penanganan anak jalanan
Pusat pelayanan yang sudah dimiliki pemerintah kota Bandung saat ini adalah Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), yang didirikan pada
tahun 2009. Lembaga ini bersifat lintas sektoral yang bertugas untuk menangani atau
mendampingi perempuan dan anak yang mengalami kasus-kasus kekerasan dan
eksploitasi.
Data lain tentang anak-anak yang memperoleh perlindungan khusus, adalah anak
korban eksploitasi. Dari catatan Bagian PP Pemkot Bandung, 2006, terdapat
buruh/pekerja anak sebanyak 7.244 orang. Mereka pada umumnya adalah anak-anak
yang bekerja pada industri pembuatan sepatu, tas dan dompet serta Boneka Kain.
Sebagian dari mereka juga bekerja di toko meubel, Pabrik Roti, Sapu Lidi, Aquarium,
Konfeksi, Sablon, Penjual Koran dan Cleaning Service. Sedangkan anak yang
dieksploitasi secara ekonomi yang komunitasnya pada dua tahun terakhir sangat tinggi
adalah anak-anak pedagang coet (cobek).
Sedangkan permasalahan pemenuhan hak sipil anak khususnya akta kelahiran dan
wadah partisipasi anak, data yang ada menunjukkan bahwa hingga tahun 2007 cakupan
kepemilikan akta kelahiran pada kelompok anak sudah mencapai sekitar 68%. Meskipun
angkanya sudah di atas angka rata-rata nasional akan tetapi masih dianggap rendah
sehingga harus ditingkatkan. Untuk itu pemerintah kota Bandung sudah menggratiskan
biaya pengurusan akta kelahiran melalui Perda Penyelenggaraan Administrasi
Kependudukan di tahun 2009, akan tetapi secara formal masih harus menunggu
perubahan Perda tentang Retribusi yang masih mewajibkan retribusi bagi pengurusan
akta kelahiran.
Untuk masalah partisipasi anak, di kota Bandung saat ini sudah terbentuk Forum
Komunikasi Anak Bandung (FOKAB) yang merupakan wadah partisipasi anak di kota
Bandung, bahkan pada tahun 2006 lalu salah seorang anggota FOKAB menjadi wakil
anak Indonesia untuk menghadiri acara Unicef di New York. Keberadaan FOKAB ini
melengkapi keberadaan kelompok-kelompok anak yang sudah ada sebelumnya seperti
OSIS dan Karang Taruna.
Tentang pelibatan kelompok anak dalam penyusunan kebijakan, memang sudah mulai
dirintis oleh pemerintah kota Bandung, namun belum optimal dan belum diatur secara
khusus. Praktek mengundang kelompok anak dalam pertemuan yang membahas
kebijakan pemerintah paling tidak pernah dilakukan ketika diadakan musyawarah
perencanaan pembangunan (Musrenbang), dimana kelompok anak sekolah dilibatkan
dalam pertemuan tersebut. Selain itu kelompok anak, khususnya anak penyandang
cacat juga diundang dalam pembahasan Perda tentang Penyandang Cacat.
Permasalahan lain yang tak kalah memprihatinkannya adalah anak-anak yang berkonflik
dengan hukum (ABH) yang akhir-akhir ini meningkat tinggi. Jika pada tahun 2006 jumlah
Kajian Kota Layak Anak di Kota Bandung 35
2009
ABH hanya sebanyak 75 orang anak, maka pada tahun 2007 menjadi sebanyak 93 anak
dan meningkat lagi pada tahun 2008 menjadi 115 anak. Kasus yang paling banyak
dilakukan anak-anak adalah kasus pencurian, sedangkan kasus yang paling banyak
melibatkan anak-anak terjadi pada kasus melanggar ketertiban umum (tawuran, geng
motor, dsb). Presentase angka penahanan terhadap AKH pada tahun 2007 (Januari-
Oktober) di wilayah hukum Pengadilan Negeri Bandung mencapai 95%. Hal ini meningkat
jika dibandingkan dengan tahun 2006 yang mencapai 85%.
Namun dalam masalah penanganan ABH ini, kota Bandung memiliki catatan positif,
karena PN Bandung telah memiliki Ruang Sidang Ramah Anak (RSRA). Keberadaan
RSRA ini sebetulnya bukan merupakan prestasi pemerintah kota Bandung karena
seharusnya menurut Surat Edaran Mahkamah Agusng, RSRA ini ada di setiap pengadilan
negeri. PN Bandung sendiri juga bukan organ dari pemerintah kota Bandung, karena
kekuasaan kehakiman merupakan salah satu urusan yang tidak didelegasikan ke daerah
dalam otonomi daerah, sehingga secara struktural masih merupakan bagian dari
kementerian kehakiman.
Sidang kasus anak biasanya berlangsung secara tertutup untuk mengurangi beban
psikologis pelaku anak. Selama persidangan juga diharapkan kehadiran orangtua
pelaku, meskipun terkadang tidak bisa terpenuhi. Begitu juga lamanya persidangan juga
lebih singkat, karena hakim diminta untuk mempercepat proses persidangan kasus-
kasus yang menjadikan anak sebagai tersangka. Namun proses yang cepat inipun juga
seringkali tidak terpenuhi karena jaksa mengalami kesulitan menghadirkan saksi.
Kondisi yang berlangsung saat ini di kota Bandung dalam hal ini adalah terjadinya kejar
mengejar antara perkembangan kualitas lingkungan yang semakin memburuk dengan
upaya-upaya pemerintah kota untuk memperlambat perkembangan negatif tersebut.
Hasilnya pemerintah kota merasa kewalahan, sehingga tak mengherankan sebuah studi
menyimpulkan bahwa selama setahun hanya sekitar 55 hari kota Bandung memiliki
kualitas udara yang bersih. Hal ini tentu saja tidak menjadikan lingkungan yang kondusif
bagi keberadaan KLA.
Predikat membanggakan yang selama ini disandang Kota Bandung adalah Paris van
Java, karena kota ini dikenal memiliki desain kota yang indah dan memiliki banyak
taman atau ruang terbuka hijau. Namun demikian, saat ini Kota Bandung memiliki beban
berat untuk mengembalikan kebanggaan tersebut. Pada bebarapa tahun terakhir terus
digalakkan optimalisasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam bentuk taman kota.
Perkembangan luas RTH Kota Bandung pada tahun 2006 seluas 1.314,20 ha (7,85%)
menjadi 1.466,13 ha (8,76%) di tahun 2007. Perkembangan luas RTH di Kota Bandung
tampak pada tabel berikut.
Sesuai dengan RTRW Kota Bandung (Peraturan Daerah Nomor 03 tahun 2006) pada
tahun 2013 Kota Bandung diharapkan memiliki luas RTH sebesar 10%, dan sesuai
dengan RPJPD Kota Bandung (Peraturan Daerah Nomor 08 tahun 2008) luas RTH Kota
Bandung pada tahun 2025 mencapai 30%, yang terdiri dari 20% RTH Publik dan 10%
RTH Privat.
Iklim asli kota Bandung dipengaruhi oleh iklim pegunungan di sekitarnya, dengan
temperatur udara rata-rata 23ºC. Namun beberapa tahun terakhir mengalami
peningkatan suhu, yang disebabkan polusi dan meningkatnya suhu global. Temperatur
maksimum di kota Bandung pada tahun 2008 mencapai 30.7ºC. Hal ini
mengindikasikan bahwa sebenarnya terdapat kenaikan temperatur di Kota
Bandung. Semakin sedikitnya Ruang Terbuka Hijau (RTH), serta meningkatnya
pencemaran udara berkontribusi dalam meningkatkan iklim mikro di Kota Bandung.
Berikut adalah temperatur rata-rata kota Bandung delapan tahun terakhir.
Pelaksanaan program Langit Biru di Kota Bandung yang bertujuan untuk mengurangi
pencemaran udara sudah berjalan sekitar 10 tahun, namun hasil pengukuran
kualitas udara ambien (SO2 , CO, NO x, O3 , HC, Pb dan debu) di beberapa tempat
menunjukkan masih terdapat parameter yang mendekati dan bahkan melebihi
Salah satu predikat yang disandang Kota Bandung adalah Kota Seni dan Kota
Pariwisata, karena berkembangnya kesenian tradisional dan modern dan tersedianya
tempat-tempat pariwisata, baik itu wisata alam, wisata pendidikan, wisata belanja dan
wisata kuliner. Selain itu juga terlihat dari meningkatnya secara pesat kunjungan
wisatawan ke kota Bandung. Dari sisi kesejahteraan dan perlindungan anak, pemenuhan
hak dan kebutuhan anak untuk berkesenian selain untuk mengembangkan bakat di
bidang seni juga mengasah kepekaan emosional anak yang berguna bagi perkembangan
kepribadiannya. Selain itu tersedianya obyek pariwisata juga merupakan pemenuhan
anak untuk memanfaatkan waktu luang dan rekreasi.
Sejumlah fasilitas publik di bidang budaya dan pariwisata telah tersedia sejak lama di
kota Bandung, yakni lapangan terbuka yang menjadi pilihan untuk kegiatan seni skala
besar, misalnya Lapangan Gazibu dan Tegallega. Selain itu juga terdapat sejumlah
gedung-gedung seni yang dapat dimanfaatkan, baik milik pemerintah maupun swasta.
Galeri-galeri seni pribadi juga banyak terdapat di Kota Bandung. Sarana seni di Kota
Bandung di antaranya adalah museum (6 unit), gedung pertunjukan (12 unit), galeri (28
unit), gedung bersejarah (637 unit). Sarana olahraga di Kota Bandung terdiri dari
lapangan indoor dan outdoor, yaitu kolam renang (13 unit), pusat bilyar (49 unit), bowling
(4 unit), stadion (6 unit), pusat kebugaran (9 unit) dan lapangan golf serta lapangan
umum yang dapat digunakan oleh masyarakat.
Sedangkan sarana pariwisata dan rekreasi di Kota Bandung ragamnya sangat besar,
baik obyek wisata alam, sejarah, buatan, modern, basis kreatifitas dan lain sebagainya.
Seluruh obyek dan sarana tersebut sebaiknya menjadi paket wisata menarik yang dan
menjadi obyek yang utuh, sehingga setiap sisi Bandung dapat menjadi obyek wisata yang
menarik. Perkembangan pariwisata Kota Bandung didukung keberadaan hotel (170
unit), restoran (123 unit), rumah makan (440 unit), biro perjalanan wisata (116 unit),
agen wisata (12 unit), penyelenggara wisata (4 unit), lembaga pendidikan wisata (16
unit), hiburan lingkung seni dan budaya (367 unit), galeri (25 unit) dan bioskop (9 unit).
Selain itu, terdapat perubahan asumsi yang digunakan dalam penelitian atau kajian Kota
Layak Anak (KLA) ini, yakni asumsi tentang kebijakan KLA ini dimana awalnya
diasumsikan bahwa kebijakan KLA merupakan kebijakan yang spesifik, yang bersifat
lintas sektoral dan harus dijadikan acuan bagi setiap instansi atau SKPD terkait dalam
mengembangkan kebijakan dan program-programnya. Dalam kenyataannya, asumsi
tersebut tidak tepat karena yang terjadi adalah implementasi tentang apapun kebijakan
dan program di masing-masing SKPD terkait yang mempunyai kaitan dengan masalah
kesejahteraan dan perlindungan anak.
Terlebih lagi, penetapan kota Bandung sebagai kota yang menuju Kota Layak Anak
dilakukan secara mandiri dalam arti tidak melalui proses dan tahapan pengembangan
seperti yang terjadi pada kota-kota lain yang diinisiasi, diadvokasi dan difasilitasi oleh
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP dan PA). Predikat
Kota Layak Anak kepada kota Bandung diberikan oleh Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) pada tahun 2006 dengan sejumlah pertimbangan yang kemudian
diapresiasi oleh KPP dan PA sebagai model KLA Mandiri, yang bisa menjadi alternative
bagi kota dan kabupaten lain yang tertarik untuk mencanangkan diri sebagai KLA yang
mandiri.
Penetapan Bandung sebagai KLA, seperti telah diuraikan, secara formal merupakan
penghargaan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2006, yang
kemudian diapresiasi oleh KPP dan PA sebagi model pengambangan KLA secara mandiri.
Namun demikian sebelum itu, pemerintah kota Bandung sendiri beserta para pemangku
kepentingan di bidang telah lebih dulu menggagas konsep Kota Ramah Anak. Pada
tahun 2004, LPA Jabar melakukan sosialisasi tentang Kota Ramah Anak yang dihadiri
oleh walikota serta berbagai unsur dinas instansi maupun dari tokoh masyarakat.
Acara seminar Kota Ramah Anak itu sendiri sebenarnya inisiatif dari salah seorang
pengurus LPA Jabar, yakni Prof. Sambas yang pada tahun 2002 mengikuti Worls Summit
for Children di New York, yang melahirkan gagasan World Fit for Children (Dunia yang
Layak bagi Anak). Gagasan tersebut selain telah dijadikan referensi utama bagi
perumusan Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI), oleh Prof. Sambas juga
ditawarkan kepada walikota Bandung untuk diaplikasikan di Jawa Barat atau Bandung
pada tahun 2004 dan disambut positif melalui penyelenggaraan seminar Kota Ramah
Anak. Menurut Prof. Sambas, setelah seminar tersebut juga pernah beberapa kali
dilakukan sosialisasi tentang Kota Ramah Anak (KRA). Namun demikian, setelah itu tidak
ada langkah konkrit dari pihak walikota meski sudah didesak LPA beberapa kali.
Ketika komitmen tentang KRA tidak ditindaklanjuti, Pemerintah kota Bandung malah
tertarik untuk merespons keinginan KPAI untuk membentuk KPAID di tingkat provinsi dan
kota/kabupaten, sehingga pada tahun 2005 pemerintah kota Bandung mempersiapkan
pembentukan KPAID melalui panitia seleksi calon anggota KPAID Kota Bandung, yang
kemudian baru dilantik pada tahun 2006. Mendahului pembentukan KPAID, pemerintah
kota Bandung juga membentuk Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan
Annak (P2TP2A). Dua upaya terakhir inilah yang terutama mendorong KPAI memberikan
penghargaan Kota Layak Anak kepada kota Bandung.
Kajian Kota Layak Anak di Kota Bandung 43
2009
Penghargaan sebagai KLA tidak lantas membuat pemerintah kota Bandung membuat
suatu kebijakan khusus tentang KLA di Bandung, seperti Keputusan Walikota Tentang
Pembentukan Gugus Tugas KLA seperti yang terjadi di kota dan kabupaten lain. Begitu
juga dalam aspek promosi pelaksanaan kebijakan, mengingat tidak adanya kebijakan
spesifik tentang KLA maka sosialisasi tentang KLA pun juga tidak dilakukan. Namun
menurut pihak BPPKB, kegiatan-kegiatan di bidang anak senantiasa diarahkan bahwa
kegiatan tersebut berkaitan dengan KLA.
Jika melihat visi misi, rencana strategis serta program pokoknya, sangat terlihat bahwa
Pemerintah kota Bandung pada dasarnya memiliki komitmen yang tinggi dalam urusan
kesejahteraan dan perlindungan anak. Komitmen tersebut meski tidak secara spesifik
terbungkus dalam konteks kebijakan kota layak anak, tetapi mempunyai sumbangsih
yang sangat besar dalam pemenuhan hak anak terutama dalam bidang pendidikan dan
kesehatan.
Di bidang pendidikan, komitmen pemerintah kota Bandung yang kuat juga tercermin
dalam alokasi anggaran pendidikan yang cukup besar. Pada tahun 2009 pemkot
mengeluarkan kebijakan untuk membebaskan pendidikan SD - SMU, tidak terkecuali
sekolah swasta. Alokasi anggaran untuk bidang pendidikan sendiri tahun 2009 telah
mencapai 52% (Rp 1,1 trilyun) dari APBD, yang sebesar Rp 2,1 trilyun lebih. Namun
diakui bahwa persentase untuk sektor pendidikannya sendiri hanya sekitar 15% dari
Komitmen lain yang ditunjukkan Pemkot Bandung adalah dengan meningkatkan derajat
kelembagaan SKPD yang mengurusi bidang perlindungan anak, meski belum optimal.
Sebelumnya urusan anak secara spesifik ditangani oleh Bagian Pemberdayaan
Perempuan, namun sekarang sudah ditangani Badan Pemberdayan Perempuan dan
Keluarga Berencana. Meskipun demikian untuk program dan kegiatan di bidang
perlindungan anak belum bisa berdiri sendiri, melainkan masih menempel pada bidang
pemberdayaan perempuan dan bidang keluarga berencana, karena di kedua bidang
tersebut juga terdapat kelompok sasaran anak-anaknya. Dengan kondisi yang seperti,
komitmen yang tinggi lebih ditunjukkan oleh para pejabat di BPPKB sendiri, bagaimana
agar urusan perlindungan anak tetap bisa dikelola dengan baik, meskipun tidak ada pos
anggaran khusus untuk bidang perlindungan anak. Alokasi anggaran untuk BPPKB
sendiri sangat kecil, hanya sekitar 1 – 2% dari APBD.
5.2.2. Kebijakan/Legislasi
Dari sisi kebijakan atau peraturan di tingkat kota Bandung, seperti sudah disinggung,
belum ada kebijakan atau peraturan khusus tentang KLA, mengingat memang belum ada
tindak lanjut dari pemerintah kota Bandung pasca pemberian penghargaan sebagai kota
layak anak. Namun demikian, pasca pemberian penghargaan tersebut sudah ada
kebijakan baru berupa peraturan daerah yang dibuat yang mempunyai dampak
mendasar pada hak anak. Kebijakan tersebut tertuang dalam Perda No. 7/2008
tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan yang menggratiskan biaya
pengurusan surat administrasi kependudukan, seperti KTP, akta kelahiran dan akta
kematian. Dengan penggratisan akta kelahiran, pemenuhan hak sipil anak berupa
identitas dan kewarganeraan semakin mudah dipenuhi.
Kendala yang masih dihadapi adalah penerapan kebijakan tersebut masih harus
menunggu keluarnya Perda Retribusi yang baru, karena selama ini biaya pengurusan
akta kependudukan diatur secara khusus dalam Perda Retribusi. Dengan demikian
penggratisan biaya pengurusan akta kelahiran yang dilakukan selama ini masih bersifat
terbatas dan lebih merupakan kebijaksanaan yang dikeluarkan pada momen-momen
tertentu, seperti dalam rangka menyambut peringatan Hari Anak Nasional.
Kajian Kota Layak Anak di Kota Bandung 45
2009
Setelah dikeluarkannya Perda No. 7/2008, Pemkot Bandung sendiri sudah mempunyai
rencana untuk membuat Perda tentang Perlindungan Anak, yang diharapkan sudah bisa
mulai diproses tahun 2010. Dalam Raperda Perlindungan Anak tersebut, direncanakan
materi atau pasal tentang Kota Layak Anak akan dimasukkan. Keberadaan Gugus Tugas
KLA kemungkinan juga akan diintegrasikan ke dalam Gugus Tugas Perlindungan Anak.
Dukungan sebetulnya sudah terlihat pada saat pertama kali pemerintah kota
menyelenggarakan Seminar Kota Ramah Anak tahun 2004. Bahkan salah seorang
penggagas tersebut, yakni Prof. Sambas dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa
Barat, ikut terlibat dalam perumusan konsep Kota Layak Anak. Dukungan serupa juga
terlihat dari hasil focus group discussion (FGD). Para peserta FGD, yakni para pemangku
kepentingan yang terdiri dari perwakilan tokoh agama dan masyarakat, KPAID, kalangan
pendidikan dan lembaga swadaya masyarat siap mendukung kebijakan dan program KLA
dari pemerintah kota Bandung.
....saya sangat setuju kalau Bandung nanti layak anak. Saya setuju.., saya ingin
sebagai warga Bandung mencapai seperti itu, hanya mungkin tidak bisa hanya
ngobrol saja.... perlu adanya satu kebersamaan antara pamerintah dengan
masyarakat atau pemerintah dengan lembaga-lembaga yang ada, yang
sebenarnya mitra pemerintah adalah masyarakat yang komit terhadap rencana
pemerintah itu, ya kan?......
Mereka juga berharap dan mendukung adanya payung hukum bagi kota layak anak di
Bandung. Mereka juga berharap masyarakat diajak dalam pembuatan payung hukum
tersebut maupun pada saat pelaksanaannya nanti.
Sosialisasi tentang KLA yang dilakukan pemerintah kota Bandung masih sangat terbatas,
belum banyak masyarakat yang mengetahui apa itu Kota Layak Anak. Bahkan di tingkat
aparat SKPD sendiri masih banyak yang belum pernah mendengar tentang KLA.
Kenyataan yang sama juga terjadi di masyarakat serta di kelompok anak-anak sendiri.
Meskipun demikian, ketika dilacak dari media, pernah ada satu artikel tentang Bandung
dan Kota Ramah Anak.
Masih terbatasnya pemahaman masyarakat tentang KLA tentu saja tidak mendukung
bagi munculnya wacana publik tentang KLA yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan
diskusi atau mengkritisi terhadap berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka
pengembangan Bandung sebagai KLA. Media massa belum tergerak untuk mengangkat
isu KLA di hadapan pembacanya, tetapi hanya sekedar memberitakan kegiatan
sosialisasi atau acara pemberian penghargaan kepada kota Bandung sebagai KLA.
Partisipasi anak dalam arti memberi ruang bagi anak untuk menyampaikan pendapatnya
dan atau terlibat dalam suatu kegiatan bukan barang baru di Bandung. Secara
kelembagaan beberapa tahun sebelumnya di Bandung sudah berdiri wadah partisipasi
anak yang bernama Forum Anak Daerah (FAD) Jawa Barat yang bertempat di Bandung.
Di tingkat kota Bandung sendiri juga sudah dibentuk Forum Komunikasi Anak Bandung
(FOKAB). Di kedua lembaga ini anak-anak sudah dibiasakan menyampaikan aspirasinya,
terutama ketika memperingati Hari Anak Nasional maupun dalam berbagai pertemuan
yang mengundang mereka. Namun demikian, keberadaan FAD dan FOKAB ternyata
belum banyak diketahui oleh para anak-anak itu sendiri. Jauh sebelumnya juga sudah
ada organisasi di tingkat anak dan remaja seperti OSIS di sekolah dan Karang Taruna
(KT) di masyarakat, meskipun sebagian anggota KT sudah bukan anak-anak lagi.
Meskipun secara kelembagaan sudah ada wadah partisipasi anak, namun pelibatan
mereka dalam pengambilan keputusan atau kebijakan masih sangat terbatas dan belum
melembaga dengan baik. Untuk menggali pandangan anak, pemerintah kota pernah
mengundang perwakilan dari OSIS dalam pertemuan Musyawarah Perencanaan
Meskipun tidak secara eksplisit ditujukan terhadap kebijakan dan program Kota Layak
Anak, masyarakat secara diam-diam mengamati berbagai perubahan yang terjadi di
masyarakat yang dampaknya dirasakan anak-anak dan mereka menunjukkan
kerisauannya namun tidak bisa berbuat banyak. Setelah memperoleh gambaran tentang
KLA mereka pun berharap agar kerisauannya tersebut memperoleh tanggapan.
Beberapa orang peserta FGD dari Kelompok Orang Dewasa mengamati adanya kondisi di
lapangan yang tidak hanya mengganggu kesehatan anak, tetapi mengganggu aspek
sosial, mental dan moral anak. Seperti yang dialami setiap hari di jalanan dimana
kendaraan umum menyebabkan polusi yang mengganggu kesehatan anak. Mereka juga
melihat gorong-gorong jalan yang terbuka yang bisa membahayakan anak pejalan kaki.
Jalur khusus bagi anak yang naik sepeda, sehingga keselamatan anak juga terganggu.
Dari sisi ketersediaan dan pemanfaatan lahan terbuka, mereka juga merasakan
bagaimana anak-anak sekarang semakin terbatas ruang bermainnya karena lahan-lahan
terbuka yang dulu bisa digunakan anak untuk bermain sekarang sudah dipakai untuk
bangunan gedung. Dari sisi keindahan kota, mereka juga merasa terganggu dengan
billboard yang gambarnya belum layak dikonsumsi oleh anak, sehingga mental dan moral
anak pun bisa terganggu.
Terhadap kebijakan dan program Kota Layak Anak di kota Bandung, masyarakat
mendukung sepenuhnya. Dengan menjadikan Bandung sebagai kota layak anak,
masyarakat berharap agar kasus-kasus atau masalah-masalah anak, seperti anak
jalanan, putus sekolah, kenakalan remaja maupun masalah lingkungan dan infrastruktur
Kajian Kota Layak Anak di Kota Bandung 48
2009
kota dan lain-lain bisa diatasi dengan baik. Mereka juga siap untuk dilibatkan dalam
implementasi kebijakan KLA di lapangan.
Dalam bidang pendidikan terdapat program wajib belajar sembilan tahun dan pendidikan
gratis hingga SMA. Kepada anak-anak putus sekolah juga terdapat program Kelompok
Belajar Paket A-C yang bebas biaya juga. Dengan program Bawaku Cerdas, anak-anak
yang mengalami permasalahan dalam pendidikan bisa memperoleh bantuan. Kerusakan
bangunan sekolah juga bisa dibantu perbaikannya.
Namun demikian, pelayanan dasar melalui program bawaku ini hanyalah ditujukan bagi
warga kota Bandung, sehingga anak jalanan atau gepeng (gelandangan dan pengemis)
yang pada umumnya tidak memiliki KTP Bandung dan berasal dari luar daerah
mengalami kesulitan untuk bisa mengakses program bawaku ini.
Pelayanan dasar lainnya, adalah penggratisan layanan pengurusan akta kelahiran yang
awalnya hanya diberikan pada momen-momen tertentu, seperti HAN atau Hari Ulang
Tahun Kota Bandung, pada tahun 2009 ini sudah dibuatkan dasar hukumnya, meskipun
masih harus menunggu perubahan Perda tentang Retribusi yang masih membolehkan
penarikan retribusi bagi pengurusan akta catatan sipil.
Kajian Kota Layak Anak di Kota Bandung 49
2009
Untuk anak-anak yang mengalami kasus-kasus kekerasan, di Bandung juga telah
dibentuk Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang
sudah berjalan. Untuk anak-anak yang berhadapan dengan hukum, pengadilan negeri
Bandung juga sudah menerapkan system restorative justice untuk kasus-kasus pidana
ringan serta fasilitas pengadilan ramah anak. Namun demikian untuk anak-anak yang
menjalani hukuman pidana juga belum disediakan Lapas Khusus Anak, sehingga
penahanan mereka masih disatukan dengan narapidana dewasa, meskipun berada
dalam blok yang terpisah.
Jika diartikan secara spesifik yang dikaitkan langsung dengan tahapan pelaksanaan
kebijakan KLA, maka monitoring dan pelaporan tentang kegiatan-kegiatan yang
dilakukan dalam rangka pengembangan KLA di kota Bandung, belum bisa terlaksana..
Hal ini mengingat belum adanya upaya khusus pasca pencangan Bandung sebagai kota
yang menuju KLA. Akan tetapi secara umum, pemerintah kota Bandung setiap tahun
menyusun Rencana Pembangunan Jangka Pendek Daerah (RPJPD) yang jangka
waktunya satu tahun.
Jika disimak dalam RPJPD Kota Bandung ini fungsi monitoring dan pelaporan untuk
setiap sektor dijalankan, tidak terbatas pada sektor yang berkaitan dengan masalah
anak. Sebelum disusun rencana program dan kegiatan tahun berikutnya dari setiap
bidang atau sektor, terlebih dahulu dilakukan review terhadap apa yang sudah dilakukan
pada tahun sebelumnya.
5.3. Gambaran Mengenai Persepsi Masyarakat dan Anak tentang Kebijakan KLA
Menengok hasil yang diperoleh dari focused group discussion (FGD) baik yang dilakukan
terhadap kelompok masyarakat maupun kelompok anak, pemahaman tentang Bandung
sebagai kota yang menuju Kota Layak Anak masih sangat terbatas. Hasil dari angket
yang disebarkan kepada sekitar 150 anak SMP dan SMA di kota Bandung juga
menunjukkan fakta yang sama. Sebagian besar (76%) belum pernah mendengar tentang
Kota Layak Anak (KLA). Jika ada anak yang pernah mendengar tentang KLA, hal itu
karena mereka pernah diundang pemerintah kota dalam acara pemberian penghargaan
Bandung sebagai kota yang menuju kota layak anak. Pemahaman yang sebenarnya
Dengan masih terbatasnya sosialisasi KLA, persepsi yang dimiliki publik (orang dewasa
dan kelompok anak) tentang kebijakan kota layak anak sendiri masih didasarkan pada
pengamatan terhadap kondisi fasilitas publik yang bersifat fisik dan mudah dilihat mata.
Mereka menyaksikan bagaimana kondisi fasilitas pelayanan publik, seperti bis-bis kota
yang banyak mengeluarkan asap, tidak adanya jalur khusus untuk sepeda bagi anak,
gorong-gorong jalan yang membahayakan anak, terbatasnya lapangan bermain atau olah
raga di sekolah serta gambar yang terpajang di billboard yang dianggap kurang mendidik.
Selain itu mereka juga mengamati perubahan peruntukan lahan yang semakin
membatasi ruang terbuka untuk anak-anak bermain akibat dipakai untuk bangunan
gedung.
Pada umumnya yang lebih mudah dilihat adalah perkembangan yang negatif yang
menimpa anak-anak. Akan tetapi ada pula yang juga melihat perkembangan positif,
seperti yang diungkapkan salah seorang peserta FGD orang dewasa, seperti berikut.
Dari sudut pandang kelompok anak sendiri, kebijakan pemkot yang terkait dengan KLA
sendiri lebih dilihat dari bagaimana nasib anak-anak yang ada di kota Bandung. Menurut
mereka, selama anak-anak Bandung belum merasa bahagia dan dibatasi kreativitasnya
maka kota Bandung belum bisa disebut sebagai kota layak anak, seperti yang
diungkapkan salah seorang anak peserta FGD berikut:
Keberadaan anak jalanan dan pengemis juga menunjukkan bahwa kota Bandung belum
menjadi KLA. Begitu juga dengan belum adanya fasilitas khusus buat anak penyandang
cacat atau difable di tempat-tempat umum, seperti yang dinyatakan seorang anak
berikut.
diskriminasi buat difable juga kan masih, selain aksesnya sedikit di Bandung
juga masih banyak yang mencibir....
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut perlu digali faktor-faktor apa yang menjadi
pendukung sehingga perlu dikembangkan dan faktor-faktor penghambat apa yang perlu
diwaspadai. Selain itu kebijakan dan program KLA itu sendiri juga harus mampu
mengidentifikasi faktor-faktor yang mampu menjamin keberlanjutan status sebagai kota
layak anak. Untuk menggali berbagai faktor tersebut dilakukan analisis SWOT dan
Keberlanjutan.
Analisis SWOT terdiri dari 4 pisau analisis, yakni kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman. Kekuatan merupakan faktor yang bersifat positif yang berasal dari dalam
pemilik kebijakan, yakni pemerintah kota Bandung. Sebaliknya, kelemahan merupakan
faktor yang bersifat negatif yang berasal dari dalam pemerintah kota Bandung.
Sedangkan peluang dan ancaman sama-sama berasal dari luar pemerintah kota
Bandung, dimana peluang merupakan faktor yang bersifat positif sementara ancaman
merupakan faktor yang bersifat negatif.
Kajian Kota Layak Anak di Kota Bandung 53
2009
Kekuatan :
Kekuatan yang dimiliki oleh kota Bandung terutama adalah sebagai berikut :
1. Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang dan maju dalam pengembangan kota
modern. Hal ini tentu saja merupakan bekal positif yang tidak banyak dimiliki oleh
kota lain, dalam mengembangkan kebijakan kota layak anak, khususnya ditinjau dari
segi tata ruang dan penyediaan infrastruktur kota. Kondisi tersebut juga didukung
oleh keberadaan kalangan akademisi yang berasal dari perguruan tinggi teknik
terkenal di kota Bandung yang juga mempunyai kepedulian terhadap lingkungan fisik
perkotaan. Kekuatan ini tentu saja tidak menafikan kemungkinan adanya
penyimpangan-penyimpangan yang bisa terjadi.
2. Penghargaan sebagai kota yang menuju kota layak anak dari KPAI merupakan
pengakuan obyektif dari pihak luar terhadap apa yang sudah dilakukan oleh
pemerintah kota di bidang kesejahteraan dan perlindungan anak. Penghargaan dari
sebuah lembaga negara ini merupakan pertimbangan yang cukup kuat bagi
pemerintah kota untuk mengembangkan lebih lanjut kebijakan dan program KLA dan
meminta dukungan dari pihak legislatif.
3. Pemerintah kota Bandung memiliki walikota yang visioner, dengan konsep Bandung
Cerdas, Bandung Sehat, Bandung kota Seni dan Budaya, dll.. Pemimpin yang visioner,
apalagi visinya tersebut relevan dengan kesejahteraan dan perlindungan anak,
sangat dibutuhkan dalam pengembangan kota layak anak. Dari sisi komunikasi
massa, konsep yang berisi namun singkat padat dan mudah diingat, bisa menggugah
masyarakat untuk mendukungnya.
4. Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang memadai, baik dari kalangan birokrasi,
akademisi dan masyarakat aktivis peduli anak merupakan kekuatan sinergis yang
dibutuhkan dalam pengembangan kota layak anak. Upaya-upaya pemerintah yang
ditujukan bagi kesejahteraan dan perlindungan anak akan dikembangkan secara
lebih matang, yang akan diimbangi oleh sikap kritis dari kalangan akademisi maupun
baik daro konseptualnya maupun dari sisi implementasinya. Interaksi seperti ini akan
menghasilkan perbaikan-perbaikan terhadap upaya yang telah dilakukan.
5. Keberadaan wadah partisipasi anak seperti Forum Anak Daerah (FAD) Jabar maupun
Forum Komunikasi Anak Bandung (FOKAB) dan kesediaan dari pemerintah kota
untuk menggali pandangan dari kelompok anak, meskipun belum optimal merupakan
kondisi yang kondusif bagi pengembangan kota layak anak, bahkan dalam jangka
Kajian Kota Layak Anak di Kota Bandung 54
2009
panjang akan sangat dibutuhkan. selain itu indikator partisipasi anak ini sangat
penting dalam KLA karena anak sangat menentukan dalam menentukan seperti apa
kota hendak dibangun,
6. Tersedianya fasilitas pelayanan dasar dan rehabilitasi yang memadai dan bisa
diakses dengan mudah oleh masyarakat, baik itu di bidang pendidikan, kesehatan,
perlindungan serta infrastruktur kota, sehingga setiap anak bisa memanfaatkannya.
7. Keberadaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kota Bandung yang
dibentuk oleh pemerintah kota, serta LPA Jabar, meski senantiasa bermitra dengan
pemerintah kota namun mereka tak kehilangan daya kritisnya dalam merespon apa
yang sudah dilakukan oleh pemerintah kota terhadap kelompok anak.
8. Terdapat komitmen yang kuat dari pejabat di BKBPP, meskipun bidang anak masih
melekat pada bidang pemberdayaan perempuan dan secara eselon birokrasi
pengaruhnya terbatas, namun sudah berhasil mengadvokasi kebijakan KLA.
Kelemahan :
Kelemahan yang masih terdapat dalam pengembangan Bandung sebagai kota yang
menuju KLA adalah sebagai berikut :
1. Meskipun pernah menginisiasi Kota Ramah Anak dan beberapa tahun kemudian
memperoleh penghargaan sebagai Kota Layak Anak, namun secara konkrit
pemerintah kota belum memiliki kebijakan spesifik tentang KLA. Hal ini untuk jangka
pendek menjadi kendala untuk melakukan upaya-upaya dalam rangka
pengembangan kota layak anak. Sebagai salah satu akibatnya adalah sosialisasi KLA
menjadi masih sangat lemah, sehingga masyarakat tidak banyak yang
memahaminya. Keterbatasan ini juga berimbas pada lemahnya wacana publik
tentang KLA, sehingga masih sulit untuk mendapatkan dukungan publik dalam
pengembangan KLA.
2. Komitmen yang tinggi dari pemerintah kota belum diimbangi dengan kekuatan
nomenklatur bidang perlindungan anak dalam SKPD berikut eselon pejabatnya.
Bidang perlindungan anak belum berdiri sendiri dalam BPPKB, tetapi masih melekat
pada bidang pemberdayaan perempuan maupun bidang keluarga berencana. Hal ini
menyebabkan SKPD terkait mengalami kendala untuk membuat program yang
spesifik di bidang perlindungan anak dan mengajukan anggarannya.
3. Meskipun sudah ada rintisan pelibatan anak dalam proses pengambilan keputusan
di tingkat pemerintah kota, namun belum ada upaya khusus untuk mengembangkan
Kajian Kota Layak Anak di Kota Bandung 55
2009
rintisan tersebut ke arah yang lebih permanen dalam bentuk kebijakan. Di sisi lain,
wadah partisipasi anak, terutama FOKAB, juga belum dikembangkan kapasitasnya
sehingga sehingga mampu berperan optimal dalam pengambilan keputusan
pemerintah. Wadah partisipasi anak juga masih berposisi sebagai wadah melatih
anak menyampaikan pandangannya dan mengadakan kegiatan di kalangan anak
sendiri. Keberadaan mereka sendiri ternyata juga belum banyak diketahui oleh anak-
anak pada umumnya.
4. Dalam mengatasi masalah anak jalanan, pemerintah kota Bandung belum
melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupaten di sekitar Bandung yang
menjadi daerah asal anak jalanan, sehingga masalah anak jalanan belum bisa diatasi
secara efektif, serta bisa mengganggu predikat kota Bandung sebagai kota layak
anak.
Peluang :
Sejumlah peluang yang dimiliki kota Bandung dalam mengembangkan KLA adalah
sebagai berikut
1. Terdapat kelembagaan di luar pemerintah, yakni KPAID Kota Bandung dan LPA Jawa
Barat yang saling mendukung, yang selama ini menjadi mitra pemerintah namun
tetap kritis merupakan peluang besar untuk mengembangkan Bandung sebagai KLA.
Di belakang kedua lembaga tersebut juga terdapat sejumlah LSM anak yang selama
ini sudah terbukti integritasnya mendamping kelompok anak.
2. Di tingkat anak sendiri juga terdapat sejumlah wadah partisipasi anak, seperti Forum
Anak Derah Jabar serta Forum Komunikasi Anak Bandung (FOKAB) yang belum
diberdayakan dengan baik. Begitu juga dengan OSIS dan Karang Taruna yang selama
ini lebih menjadi wadah aktivitas dibanding wadah aspirasi, juga belum diberdayakan
dengan baik. Jika mereka memperoleh capacity building, maka keberadaan wadah
partisipasi anak ini akan menjadi kekuatan tersendiri bagi sebuah kota layak anak.
3. Dibukanya ruang partisipasi anak dalam pengambilan keputusan, seperti yang terjadi
dalam pembahasan Perda Penyandang Cacat dan Pertemuan Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) merupakan titik awal untuk proses-proses
serupa di masa datang, sehingga keputusan pemerintah benar-benar di bidang anak
benar-benar bisa berperspektif anak.
4. Sebagai ibukota provinsi, Bandung memiliki kelebihan dalam perhatian yang
diberikan oleh pemerintah provinsi. Kedudukan khusus atau keistimewaan sebagai
Kajian Kota Layak Anak di Kota Bandung 56
2009
ibukota propinsi memiliki peluang yang lebih besar dalam pengembangan kota
karena dalam konteks kewilayahan memiliki dukungan dari pemerintah provinsi
maupun pemerintah pusat
5. Perhatian dan kepedulian dari berbagai elemen masyarakat yang selama ini bergerak
di bidang kesejahteraan dan perlindungan anak, seperti PKK dan Forum PAUD dan
aktivis dan pemerhati anak perseorangan merupakan sumber dukungan yang luar
biasa dalam mengembangkan KLA.
Ancaman :
Terdapat sejumlah faktor yang bisa dipandang mengancam dalam pengembangan
Bandung sebagai kota layak anak, yakni sebagai berikut :
1. Ketimpangan pembangunan antara kota Bandung dan kota-kota dan kabupaten
sekitarnya, yang mendorong munculnya fenomena urbanisasi dan melahirkan
masalah anak jalanan yang tidak mudah diatasi. Keberadaan anak jalanan yang tidak
teratasi merupakan bukti yang kasat mata yang mengganggu predikat Bandung
sebagai kota layak anak. Terlebih lagi masalah anak jalanan juga bisa memicu
kriminalitas di jalanan, baik yang membuat anak menjadi korban maupun pelaku
tindak kriminalitas dan kekerasan.
2. Sebagai kota besar, permasalahan anak di kota Bandung juga semakin kompleks,
selain masalah anak jalanan, juga terdapat permasalahan lain seperti pekerja anak,
anak berhadapan dengan hukum, anak korban kekerasan, eksploitasi dan trafiking
serta kenakalan remaja. Kompleksitas permasalahan tersebut jika tidak diatasi
dengan baik, bisa mengganggu predikat sebagai kota layak anak
3. Perkembangan kota yang sangat cepat yang terjadi di kota Bandung dipastikan akan
memakan lahan-lahan kosong sehingga mengurangi ruang-ruang publik yang menjadi
tempat bermain anak. Selain itu bertambahnya jumlah kendaraan dari warga
Bandung sendiri maupun dari para wisatawan dari luar menyebabkan kualitas udara
kota semakin memburuk, di mana sebuah penelitian menyimpulkan bahwa kota
Bandung hanya memiliki udara bersih selama 55 hari dalam setahun dan
4. Karakteristik geografis wilayah Bandung yang memiliki daratan yang tidak merata
menyebabkan sebagian sebagai wilayahnya menjadi langganan banjir tahunan.
Berkaca pada pengalaman melakukan inisiasi Kota Ramah Anak pada tahun 2004, yang
tidak ditindaklanjuti dengan kebijakan dan program spesifik yang disebabkan oleh
lemahnya posisi SKPD yang membidangi urusan perlindungan anak di hadapan SKPD
lain, maka predikat KLA juga dikawatrikan hanya tinggal predikat.
Prospek untuk keberlanjutan dari kebijakan dan program KLA di kota Bandung sangatlah
besar. Peluang tersebut akan sangat tergantung pada bagaimana mensinergikan
kekuatan-kekuatan yang dimiliki kota Bandung serta memanfaatkan peluang-peluang
yang dimilikinya. Selain itu keberlanjutan KLA juga akan tergantung pada bagaimana
mengatasi kelemahan-kelemahan serta mengantisipasi ancaman-ancaman yang dimiliki
kota Bandung.
Berbeda dengan kota-kota lain yang menjadi obyek kajian KLA, kota Bandung dipilih
karena pencanangan sebagai KLA atau kota yang menuju KLA bersifat mandiri, dalam
arti tidak melalui fasilitasi dari Kementerian PP dan PA. Dalam kenyataan, predikat KLA
dari kota Bandung ini secara formal memang merupakan penghargaan dari KPAI atas
kepedulian dari pemerintah kota atau walikota Bandung terhadap permasalahan anak,
yang secara khusus diwujudkan dengan pembentukan KPAID tingkat kota, yang
merupakan KPAI tingkat kota yang kedua setelah Makassar.
Jika alasan pemilihan kota Bandung sebagai obyek kajian pengembangan KLA secara
mandiri yang diharapkan bisa menginspirasi kota-kota atau kabupaten lain untuk
mengembangkan KLA-nya secara mandiri pula, maka terdapat beberapa catatan yang
harus diberikan, yakni sebagai berikut.
1. Kota Bandung merupakan ibukota propinsi dan sekaligus kota terbesar keempat di
Indonesia, yang memiliki keistimewaan sebagai ibukota provinsi yang posisinya tidak
bisa ditiru oleh kabupaten atau kota yang bukan merupakan ibukota provinsi.
2. Kota Bandung mempunyai sejarah perkembangan kota modern yang panjang, karena
sejak awal memang sudah didesain oleh pemerintah Belanda sebagai sebuah kota
modern. Dengan demikian sejak awal Bandung sudah memiliki kejelasan konsep tata
ruang dan penyediaan infrastruktur sebuah kota.
3. Pihak pemerintah kota Bandung sendiri dan pemangku kepentingan yang lain
mengaku masih membutuhkan dukungan dari pihak Kementerian PP dan PA. Mereka
sendiri juga belum memiliki konsep sendiri tentang KLA yang berbeda dari konsep
yang dimiliki KPPPA. Pemkot Bandung sendiri juga tidak merasa menjadi model
pengembangan KLA secara mandiri yang bisa ditiru oleh kota dan kabupaten lainnya.
Dengan demikian, kota Bandung sebenarnya kurang tepat untuk dijadikan model
pengembangan KLA secara mandiri. Namun demikian jika Bandung tetap ingin dijadikan
model pengembangan KLA, maka idealnya hanya lebih tepat berlaku untuk kota yang
sama-sama menjadi ibukota provinsi. Kota dan kabupaten lain yang bukan merupakan
ibukota provinsi yang ingin mengembangkan diri menjadi KLA sebetulnya masih bisa
memperoleh pelajaran dari kota Bandung, khususnya dalam sejumlah hal sebagai
berikut :
1. kepedulian dari walikota terhadap permasalahan anak, yang antara lain diwujudkan
dengan program aksi yang dirasakan langsung oleh kelompok anak, seperti bawaku
sehat dan bawaku cerdas.
2. penyusunan visi pembangunan kota yang secara eksplisit maupun implisit memiliki
keberpihakan pada kesejahteraan dan perlindungan anak, seperti bandung cerdas
2008 dan bandung sehat 2007
Kajian Kota Layak Anak di Kota Bandung 60
2009
3. pendirian atau pembentukan lembaga-lembaga di luar SKPD yang berfungsi
mencegah dan menangani permasalahan-permasalahan anak, seperti KPAID dan
P2TP2A.
4. inisiatif ruang sidang ramah anak (RSRA), meskipun ini bukan domainnya pemerintah
kota, tetapi karena keberadaannya di tingkat kota, sehingga tetap mempunyai nilai
lebih yang mendukung keberadaan kota layak anak,
7.1. KESIMPULAN
1. Dilihat dari indikator-indikator yang dimiliki untuk sebuah kota layak anak, meskipun
belum semua indikator bisa terpenuhi, namun secara umum Kota Bandung, memiliki
sejumlah prestasi di setiap bidang pembangunan sehingga Bandung bisa
dikategorikan sebagai kota yang menuju kota layak anak. Penghargaan dari KPAI
merupakan bukti adanya pengakuan pihak luar terhadap kelayakan Bandung sebagai
KLA.
2. Di bidang kesehatan, pemerintah kota memiliki visi Bandung Sehat 2007. Dalam
realitasnya, sebagai kota besar Bandung memiliki fasilitas yang lengkap untuk
pelayanan kesehatan dengan jumlah fasilitas yang memadai, termasuk
beroperasinya puskesmas keliling. Aksesibilitasnya pun juga sangat memadai, kecuali
bagi warga yang bukan penduduk kota Bandung yang masih mengalami kesulitan.
Untuk jaring pengaman juga terdapat Program Bawaku Sehat. Data-data statistik di
bidang kesehatan, secara umum bervariasi dimana sebagian data menunjukkan hasil
yang positif, sedangkan sebagian yang lain masih negatif. Hal ini menunjukkan
masalah kesehatan di kota Bandung sangatlah berat dan kompleks.
3. Di bidang pendidikan, situasinya juga mirip yang terdapat dalam bidang kesehatan.
Kota Bandung juga memiliki visi Bandung Cerdas 2008. Sebagai kota besar Bandung
juga memiliki fasilitas pendidikan yang lengkap dan jumlah yang memadai serta
mudah diakses. Untuk jaring pengamannya juga terdapat program Bawaku Cerdas.
Tentang data statistiknya, meskipun masih terdapat data-data di bidang pendidikan
yang kurang bagus, namun secara umum pembangunan pendidikan dengan visi
Bandung Cerdas 2008 dan dukungan APBD yang tinggi telah menunjukkan hasil yang
relatif positif. Namun demikian sejumlah masalah masih harus dihadapi, seperti
keterbatasan daya tampung, kerusakan bangunan sekolah, dan masih rendahnya
kesejahteraan guru.
7.2. REKOMENDASI :
1. Komitmen pemerintah kota Bandung yang tinggi terhadap KLA perlu ditingkatkan
dengan segera melaksanakan tahap-tahap pengembangan KLA, seperti yang
terdapat dalam buku pedoman KLA. Hal ini mengingat model KLA mandiri dari kota
Bandung belum dirumuskan secara tersendiri dan pemerintah kota Bandung sendiri
masih tetap berharap adanya dukungan dari Kementerian PPPA dalam
pengembangan dan implementasi KLA di kota Bandung.
2. Untuk mempercepat proses pengembangan dan implementasi KLA perlu digunakan
pendekatan bimbingan teknis (technical assistance) secara reguler, baik itu
dilakukan oleh pihak Kementerian PPPA maupun konsultan yang ditunjuk khusus
untuk itu. Penggunaan konsultan ini, agar lebih efisien bisa diterapkan secara
regional yang mencakup beberapa kota dan kabupaten yang berdekatan yang juga
ingin mencanangkan diri sebagai KLA.
3. Sehubungan kurang kuatnya posisi bidang perlindungan anak dalam kelembagaan
birokrasi pemerintah kota, maka nomenklatur perlindungan anak dalam BPPKB perlu
diperjelas sehingga program dan kegiatan di bidang perlindungan anak dalam rangka
KLA bisa dilakukan secara lebih konkrit.
4. Mengingat masih terbatasnya pihak-pihak yang mengetahui tentang KLA, mak perlu
adanya peningkatan pemahaman dan pengetahuan semua jajaran SKPD dan
masyarakat secara rutin dan terorganisir, melalui sosialisasi dan pembuatan berbagai
bentuk materi KIE yang berisi tentang kebijakan KLA yang sederhana dan mudah
dipahami.
5. Sehubungan dengan akan dibahasnya Raperda Perlindungan Anak pada tahun 2010,
maka dalam draf Raperda tersebut perlu dimasukkan klausul tentang KLA secara
spesifik, agar kedudukan dasar hukum pengembangan dan implementasi KLA bisa
lebih kuat.
Badan Pemberdayaan Masyarakat Kota Bandung. (2008). Laporan Hasil Kajian Kota
Layak Anak dalam Rangka Pengembangan Model Kota Layak Anak di
Bandung.
Bagian Pemberdayaan Perempuan Kota Bandung dan KPAID Kota Bandung 2007, Profil
Kesejahteraan dan Perlindungan Anak Di Kota Bandung
Dinas Kesehatan Kota Bandung, Profil Kesehatan Kota Bandung Tahun 2007
Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kota Bandung, Selayang Pandang
KPAID Kota Bandung 2006 -2009, Menuju Bandung Kota Layak Anak Tahun
2009
Pemerintah Kota Bandung (2009), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota
Bandung 2010
http://www.aids-ina.org/
http://www.mdopost.com/
http://www.Bandungkota.go.id/
http://www.poskoBandung.com/
http://www.suaraBandung.com/