Anda di halaman 1dari 32

HUKUM PERDATA

INTERNASIONAL

 Perkembangan Teori Statuta Perancis


Teori Statuta Belanda
Teori HPI Universal
PERKEMBANGAN TEORI STATUTA DI
PRANCIS
(Abad ke-16)
Kota-kota di Perancis secara de facto merupakan wilayah-
wilayah yang berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan.

Kenyataan menunjukkan bahwa :

- Masing-masing propinsi memiliki sistem hukum lokalnya


sendiri (Coutume). Statuta = hukum lokal provinsi-provinsi.

- Meningkatnya aktivitas perdagangan antar provinsi di Perancis


mengakibatkan bertemunya kaidah-kaidah hukum pelbagai
provinsi dalam konflik-konflik hukum antara provinsi.
Para ahli hukum Perancis mendalami dan
memodifikasi Statuta Italia.

Tokoh Statuta Perancis :


a. Dumoulin
b. D’Argentre
Pendapat Dumoulin
Membicarakan mengenai Perjanjian / Kontrak yang menurut
Bartolus (Statuta Italia) dikategorikan sebagai Statuta Realia
(atau mixta menurut Post Glassator).

Pendapat Dumoulin :
a. Pihak-pihak dalam perjanjian pada dasarnya memiliki
kebebasan berkontrak.

b. Kebebasan berkontrak diwujudkan dalam kebebasan


memilih hukum yang hendak diberlakukan dalam kontrak.
c. Kebebasan untuk memilih hukum mirip dengan
persoalan Status Personal seseorang.

d. Sebagai status personal, maka kebebasan ini


melekat terus pada diri orang yang akan menjadi
pihak dalam perjanjian manapun ia berada dan
membuat perjanjian.

e. Karena itu, perjanjian seyogianya masuk dalam


Statuta Personalia dan memiliki sifat ekstra
teritorial.
Kesimpulan :

Dumoulin ingin memperluas ruang lingkup


Statuta Personalia Bartolus dan
memasukkan Perjanjian sebagai Statuta
Personalia.
Pendapat D’Argentre
D’Argentre berpendapat bahwa :

a. Banyak statuta yang mengatur kedudukan


orang (personalia) tetapi dalam kaitannya
dengan hak milik atas suatu benda (realia);

b. Banyak statuta yang mengatur perbuatan-


perbuatan hukum (realia atau mixta) tetapi
dilakukan di wilayah provinsi tertentu.
c. Statuta a & b harus dikategorikan sebagai
Statuta Realia karena isinya berkaitan erat
dengan wilayah propisi dari penguasa yang
memberlakukan statuta itu.

d. Dalam kaitan itu yang harus diutamakan


adalah otonomi dari provinsi-provinsi, dan
bukan otonomi subjek hukum.
Kesimpulan :

D’Argentre memperluas ruang lingkup


Statuta Realia, dan memasukkan
perjanjian-perjanjian dan perbuatan
melawan hukum lainnya ke dalam
lingkup Statuta Realia.
TEORI STATUTA BELANDA
Prinsip dasar :
Kedaulatan Eksklusif Negara. Jadi statuta yang
dimaksud adalah Hukum Suatu Negara yang
berlaku di dalam teritorial suatu Negara.

Tokoh Statuta Belanda :


a. Ulrik Huber (1636 – 1694)
b. Jonannes Voet (1647 – 1714)
Pandangan Ulrik Huber
Untuk menyelesaikan Perkara HPI, harus bertitik tolak
pada 3 prinsip dasar :

a. Hukum Negara hanya berlaku pada batas-batas


teritorial negara itu.

b. Semua orang yang secara tetap atau sementara


berada dalam teritorial suatu negara berdaulat :
- Merupakan subjek hukum dari negara tersebut;
- Tunduk serta terikat pada hukum negara tersebut.
c. Namun demikian berdasarkan prinsip Sopan
Santun Antara Negara (comitas gentium), hukum
yang harus berlaku di negara asalnya tetap
memiliki kekuatan berlaku dimana-mana,
sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan subjek hukum dari negara pemberi
pengakuan.
Suatu perbuatan hukum yang dilakukan di suatu tempat
tertentu :

- Dianggap sebagai perbuatan hukum yang sah menurut


hukum setempat, harus diakui / dianggap sah juga di
negara-negara lain, (termasuk di negara forum) meskipun
hukum negara lain itu mengganggap perbuatan semacam
itu batal; atau

- Dianggap sebagai perbuatan melawan hukum menurut


hukum setempat, akan dianggap batal di manapun juga
termasuk di dalam wilayah negara forum.
Kesimpulan :

- Setiap negara memiliki kedaulatan, sehingga


negara memiliki kewenangan penuh untuk
menetapkan kaidah-kaidah HPI-nya; tetapi

- Dalam kenyataan, negara-negara itu tidak dapat


bertindak secara bebas, dalam arti bahwa
berdasarkan asas Comitas Gentium negara itu
harus mengakui pelaksanaan suatu hak yang
telah diperoleh secara sah di negara lain itu.
Pandangan Johannes Voet
Pemberlakuan hukum asing di suatu negara
bukan merupakan kewajiban Hukum
Internasional (Publik) atau karena sifat
hubungan HPI-nya.

Suatu negara asing tidak dapat menuntut


pengakuan / pemberlakuan kaidah hukumnya
di dalam wilayah hukum suatu negara lain.
Karena itu, pengakuan atas berlakunya suatu hukum
asing hanya dilakukan demi sopan santun
pergaulan antarnegara (Comitas Gentium).

Namun demikian, asas Comitas Gentium ini harus


ditaati oleh setiap negara, dan asas ini harus
dianggap sebagai bagian dari sistem hukum
nasional negara itu.

Salah satu asas yang berkembang dari Statuta


Belanda adalah asas Locus Regit Actum, yaitu
“tempat dimana perbuatan dilakukan akan
menentukan bentuk hukum dari perbuatan itu”.
TEORI HPI UNIVERSAL
(Abad XIX)

Pencetus Teori HPI Universal adalah


Freidrich Carl v. Savigny di Jerman,
didahului oleh pemikir ahli hukum Jerman
lain, C.G. von Wachter.
Pandangan C.G. Von Wachter

Mengkritik Statuta Italia, karena dianggap


menimbulkan ketidakpastian hukum, dan ia menolak
sifat ekstrateritorial karena akan menyebabkan
timbulkan kewajiban hukum di negara asing.

Asumsi Wachter :
Hukum intern forum hanya dapat diterapkan pada
kasus-kasus hukum lokal saja. Karena itu, dalam
perkara-perkara HPI, forumlah yang harus
menyediakan kaidah-kaidah HPI atau yang
menentukan hukum apa yang harus berlaku.
Wachter berusaha meninggalkan klasifikasi ala teori
Statuta, dan memusatkan perhatiannya pada
penetapan hukum yang seharusnya berlaku
terhadap hubungan hukum tertentu.

Titik tolak penentuan hukum yang seharusnya


diberlakukan adalah hukum dari tempat yang
merupakan LEGAL SEAT (tempat kedudukan)
dari dimulainya suatu hubungan hukum tertentu.
Perkara HPI sebagai suatu hubungan hukum mulai
ada sejak perkara itu diajukan di suatu forum
tertentu.

Karena itu forum pengadilan itulah yang harus


dianggap sebagai tempat kedudukan hukum (Legal
Seat) perkara yang bersangkutan.

Karena forum merupakan “legal seat”, maka Lex


Fori-lah yang harus diberlakukan sebagai hukum
yang berwenang menentukan hukum apa yang
dapat berlaku dalam perkara HPI.
PANDANGAN F.C VON SAVIGNY
Menggunakan konsepsi “Legal Seat” dengan
asumsi bahwa untuk setiap jenis hubungan
hukum, dapat ditentukan Legal Seat / Tempat
Kedudukan Hukum, dengan melihat pada
hakikat hubungan itu.

Bila hendak menentukan aturan hukum yang


seharusnya diberlakukan, Hakim wajib
menentukan tempat kedudukan hukum / legal
seat dari hubungan itu.
Caranya : dengan melokalisasi tempat
kedudukan hukum dan hubungan hukum itu
dengan bantuan titik-titik taut.

Bila tempat kedudukan hukum dari suatu jenis


hubungan hukum telah dapat ditentukan,
maka Sistem Hukum dari Tempat itulah yang
digunakan sebagai Lex Cause.
Setelah tempat kedudukan hukum itu dilokalisasi,
maka dibentuklah asas hukum yang bersifat
universal yang dapat digunakan untuk menentukan
hukum yang berlaku.

Terpusatnya titik-titik taut pada suatu tempat tertentu


akan menunjukkan bahwa tempat tersebutlah yang
menjadi centre of gravity (pusat gaya berat).
Perlu disadari bahwa sebuah kaidah HPI
berdasarkan pendekatan ini sebenarnya
digunakan untuk menunjuk ke arah sistem hukum
suatu negara yang akan menjadi Lex Cause, atau
yang akan digunakan untuk menyelesaikan suatu
persoalan hukum.

Lex Cause ini yang harus diberlakuan untuk


menjawab semua legal issues dari perkara yang
dihadapi.
Contoh :

Sarah, merupakan seorang pengusaha berkewarganegaraan


Inggris dan keturunan India. Sarah mengadakan perjanjian
jual beli mobil dengan Beni, seorang pelajar
berkewarganegaraan Indonesia yang sedang menjalankan
studinya di Belanda. Perjanjian jual beli mobil tersebut
dibuat di Indonesia dengan menggunakan bahasa Inggris.
Setelah perjanjian ditandatangani, Sarah kemudian secara
sepihak membatalkan perjanjian dan menjual mobil
tersebut kepada orang lain. Beni yang tidak menerima
perbuatan Sarah tersebut kemudian mengajukan gugatan
ke Pengadilan Indonesia.
Statuta Italia :

Perkara dikualifikasikan sebagai Statuta


Mixta.

Lex Cause : Indonesia (tempat perbuatan


dilakukan)
Statuta Perancis (Dumolin) :

Perkara dikualifikasikan sebagai statuta


Personalia.

Lex Cause : Inggris (tempat


kewarganegaraan Sarah)
Statuta Perancis (D’Argentre):

Perkara dikualifikasikan sebagai statuta


Realia.

Lex Cause : Indonesia


HPI Universal :

Titik Taut :
- Kewarganegaraan Tergugat (Ing)
- Kewarganegaraan Penggugat (Ind)
- Tempat Pembuatan Perjanjian (Ind)

Legal Seat = Lex Cause = Indonesia


Contoh :

A merupakan warga negara Indonesia yang menikah


dengan B, warga negara Inggris. Setelah menikah, A
menjual tanahnya yang terletak di India kepada B.
Perjanjian dibuat di Indonesia. 1 tahun kemudian, A
hendak membatalkan perjanjian jual beli tersebut,
karena berdasarkan hukum Indonesia perjanjian
antara suami istri adalah dilarang. A mengajukan
pembatalan di pengadilan India.
Statuta Belanda (Ulrik Hubert) :

Perjanjian dianggap tidak sah, karena


berdasarkan hukum Indonesia perjanjian
tersebut adalah tidak sah (Commitas
Gentium).
Bila perkara diajukan di Pengadilan Inggris,
dan Hukum Inggris menyatakan perjanjian
jual beli antara suami istri adalah sah, maka :

Perjanjian akan dianggap sebagai perjanjian


yang sah, karena terdapat kepentingan
subjek hukum Inggris sehingga commitas
gentium tidak belaku.

Anda mungkin juga menyukai