Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada ilah
(Tuhan, yang didahulukan) melainkan Allah. Allah memiliki sifat-sifat
terpuji; demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak
akan mampu menjangkau hakikat-Nya.

Mahasuci engkau --Wahai Allah-- kami tidak mampu memuji-Mu; Pujian


atas-Mu, adalah yang Engkau pujikan kepada diri-Mu, demikian ucapan para
malaikat. Itulah sebabnya mengapa Al-Quran mengajarkan kepada manusia
untuk memuji-Nya, Wa qul al-hamdulillah (Katakanlah "al-hamdulillah").
Dalam Al-Quran surat An-Naml (27): 93, secara tegas dinyatakan-Nya
bahwa,

Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu
tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu
tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan." (QS.An-Naml (27): 93)
Mahasuci Allah dan segala sifat yang mereka sifatkan kepada-Nya, kecuali
(dari) hamba-hamba Allah yang terpilih (QS Ash-Shaffat [37]: 159-160).

Teramati bahwa semua makhluk selalu menyertakan pujian mereka kepada


Allah dengan menyucikan-Nya dari segala kekurangan. Dan para malaikat
menyucikan sambil memuji Tuhan mereka (QS Asy-Syura [42]: 5). Guntur
menyucikan (Tuhan) sambil memuji-Nya (QS Ar-Ra'd [13]: 13). Dan tidak
ada sesuatu pun kecuali bertasbih (menyucikan Allah) sambil memuji-Nya
(QS Al-Isra' [17]: 44).

Semua itu menunjukkan bahwa makhluk tidak dapat mengetahui dengan baik
dan benar betapa kesempurnaan dan keterpujian Allah SWT Itu sebabnya

1
mereka --sebelum memuji-Nya-- bertasbih terlebih dahulu dalam arti
menyucikan-Nya. Jangan sampai pujian yang mereka ucapkan tidak sesuai
dengan kebesaran-Nya. Bertitik tolak dari uraian mengenai kesempurnaan
Allah, tidak heran kalau Al-Quran memerintahkan manusia untuk
berserah diri kepada-Nya, karena segala yang bersumber dari-Nya adalah
baik, benar, indah, dan sempurna.

(Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka
jadikanlah Allah sebagai wakil (pelindung). (QS. Al-Muzzammil (73): 9)
Allah mengetahui dan kamu sekalian tidak mengetahui (QS Al-Baqarah:
216). Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja
bencana yang menimpamu, itu dan (kesalahan) dirimu sendiri (QS An-Nisa'
[4]: 79).
Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat, bukan jalan orang
yang dimurkai, dan bukan (jalan) mereka yang sesat (QS Al-Fatihah [1]: 7).

B. Tujuan Makalah
Adapun tujuan makalah ini buat untuk :
1. Mengetahui Pengertian Akhlaq kepada Allah dan bagaimana cara
melaksanakannya?
2. Sebagai salah satu tugas pada mata kuliah Aqidah Akhlaq?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Taqwa Pada Allah


1. Pengertian Takwa
Takwa, menurut istilah, berasal dari kata waqa yaqi wiqayatan yang
artinya berlindung atau menjaga diri dari sesuatu yang berbahaya. Takwa
juga berarti takut.

Sedangkan menurut syara, dalam Kitab Syarah Riyadhus Shalihin (1/290),


Syeikh Utsaimin berkata, “Takwa diambil dari kata wiqayah, yaitu upaya
seseorang melakukan sesuatu yang dapat melindungi dirinya dari azab
Allah SWT. Dan, yang dapat menjaga seseorang dari azab Allah SWT
ialah (dengan) melaksanakan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi
larangan-larangan-Nya.”

 
2. Pentingnya Takwa Kepada Allah SWT
a. Takwa adalah kunci keberuntungan di dunia dan akhirat
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imra
[3]:130)
 
b. Takwa mengundang limpahan berkah dan rahmat Allah SWT
Allah SWT berfirman, “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf [7]:96)

3
Dia juga berfirman, “Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-
orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang
beriman kepada ayat-ayat Kami." (QS. Al-A’raf [7]:156)
 
c. Takwa adalah kunci mendapatkan ampunan dan kasih sayang Allah
SWT
Allah SWT berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah,
niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan
segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Dan
Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal [8]:29)

Dia juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman (kepada para


rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya,
niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan
menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat
berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (Al-Hadid [57]:29)

Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang


bertakwa.” (QS. At-Taubah [9]:4&9)
 
d. Takwa adalah solusi
Allah SWT berfirman,
“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah
yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS.
Ath-Thalaq [65]:2-3)

4
Dia juga berfirman, “Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS.
Ath-Thalaq [65]:4)

e. Orang paling mulia adalah orang bertakwa


Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS. Al-Hujurat [49]:13)

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, telah ditanyakan kepada Rasulullah


Saw, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling mulia?”
Rasulullah Saw menjawab, “Orang yang paling bertakwa.” (Muttafaq
‘Alaihi)

3. Hakekat Taqwa
Takwa merupakan wasiat Allah kepada seluruh umat, baik generasi
pertama maupun generasi akhir. Allah Ta’ala berfirman, “Dan kepunyaan
Allah-lah apa yang ada dilangit dan yang dibumi, dan sungguh Kami
telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum
kamu, dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika
kamu kafir, maka (ketahuilah) sesungguhnya apa yang di langit dan apa
yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah, dan Allah Maha Kaya lagi
Maha Terpuji.” (QS. An-Nisa: 131)

Para ulama salaf telah banyak memberikan makna mengenai hakikat


takwa. Ibnu Umar berkata, “Seorang hamba tidak akan mencapai hakikat
takwa sebelum meninggalkan apa yang menggelisahkan di dada.”

Ali bin Abi Thalib ditanya tentang takwa, lalu beliau menjawab, “Takut
kepada Al-Jalil (Yang Mahamulia), mengamalkan tanzil (Al-Qur’an),

5
qana’ah kepada pemberian yang sedikit, serta bersiap-siap untuk
menghadapi yaum ar-rahil (hari kematian).”

Ibnu Mas’ud berkata, “Takwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya


takwa, yakni Allah ditaati tanpa pernah didurhakai, diingat tanpa pernah
dilupakan, disyukuri tanpa pernah dikufuri.”

Umar bin Abdul Aziz berkata, “Takwa adalah meninggalkan apa yang
diharamkan dan melaksanakan apa yang diwajibkan Allah. Maka, apa-apa
yang dikaruniakan Allah sesudah itu adalah kebaikan ditambah
kebaikan.”

Thalq bin Habib berkata, “Takwa adalah taat kepada Allah, mengikuti
cahaya dari Allah dengan mengharap pahala dari Allah, dan
meninggalkan maksiat kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah
dengan rasa takut akan hukuman Allah.”

Ibnu Al-Mu’taz menyatakan dalam sya’irnya, “Jauhilah dosa-dosa kecil


maupun besar, itulah takwa. Berbuatlah seperti orang yang berjalan di
atas tanah berduri, melihat dengan hati-hati. Jangan sepelekan dosa-dosa
kecil, karena sesungguhnya gunung itu terdiri dari pasir.” Jadi, hakikat
takwa merupakan kata yang mencakup segala perbuatan taat dan
meninggalkan maksiat─baik besar maupun kecil.

Takwa secara garis besar adalah mengekang jiwa yang beriman dari
dalam sehingga muncul kebaikan dari dirinya tanpa tekanan-tekanan
eksternal, dan menjauhi keburukan tanpa ancaman atau paksaan.

6
B. Cinta dan Ridho
1. Cinta pada Allah
Mencintai Allah adalah merupakan kewajiban bagi hamba, hingga Allah
SWT menjadi lebih dia cintai daripada siapapun dan apapun. Bahkan
seharusnya dia tidak mencintai sesuatu melainkan demi kecintaannya
kepada Allah. Dan sebab terwujudnya rasa cinta terhadap sesuatu
adakalanya karena ada kesempurnaan padanya atau kemuliaan atau
karena mendapat perhatian khusus darinya.

Jika kitatergolong diantara orang yang mencintai sesuatu karena rasa


kagum akankesempurnaannya, maka ketahuilah bahwa kesempurnaan,
keindahan dan keagunganhanya milik Allah Yang Maha Mulia.

Sedangkan apapun yang membentang di setiap lembar yang ada di dunia,


yang mempunyai arti keindahan atau apa pun yang tampak padanya dari
keindahan dan keelokan mempesona maka hakikatnya Allah lah yang
menyempurnakan dan membuatnya indah, bahkan hanya Allah sajalah
Dzat yang dapat mewujudkan dan mempesonakannya. Jikalau saja tidak
karena Allah maka itu semua tidak akan wujud dan jika Dia
tidak menjadikannya indah maka yang ada di bumi adalah sesuatu yang
buruk lagi tercela. Maka keindahan dan kesempurnaan adalah milik
Allah semata.

Kemudian, jika kita tergolong orang yang mencintai sesuatu karena


mendapat perhatian khusus dari kekasih kita itu, maka tidakkah kita
selama ini merasakan dan sadar terhadap kebaikan Allah dan
perhatiannya kepada kita, tidakkah kita menyaksikan karunia Nya,
tidakkah kita melihat pada kenikmatan dan anugerah lahir batin
yang Allah curahkan kepada kita?. Dialah Allah Ta’ala yang memberikan
segala karunia dengan tulus penuh hormat lagi penyantun. Lalu tanyakan

7
pada diri kita berapa banyak nikmat Nya kepada kita, dan apakah kita
sudah mensyukurinya?.

Dia lah Allah, Dzat yang menciptakan, menunjukkan kepada kebenaran,


mematikan dan menghidupkan. Dia lah Dzat yang memberi makan,
minum, yang mencukupi, membimbing, memberi ketenangan dan tempat
tinggal kepada kita. Dialah Allah yang mengetahui kekurangan kita lalu
menutupinya, yang jika kita berdosa lalu meminta ampun pada Nya maka
pasti Dia akan mengampuni kita.

Dialah Allah yang melihat kebaikan kita lalu melipatgandakan


pahalanya. Dialah yang berkat pertolongan dan hidayahNya kita mampu
beribadah dan bertaat serta bisa menjauhi dosa dan maksiat. Dialah Allah
yang meletakkan rasa rindu dan cinta di dalam hati para kekasihNya.
Sehingga tampaklah cahaya di wajah-wajah mereka. Dan mereka tidak
akan melepaskan rindu dan kecintaannya kepada Allah sampai mereka
benar-benar berjumpa dengan-Nya.

Dia lah Allah yang tetap memberikan kenikmatan kepada hamba


sekalipun mereka durhaka dan /tidak bersyukur atas nikmat itu. Dzat
yang tetap akan memberikan kebaikan kepada pelakunya sekalipun
banyak yang lain berbuat maksiat dan menimbulkan
kemurkaanNya. Dialah Arhamur Raahimin (Dzat yang Maha pengasih
dari semua yang pengasih).

Tanda-tanda kecintaan kepada Allah


Taat dan patuh pada perintahNya dan meninggalkan laranganNya. Inilah
tanda yang paling tampak jelas dari seorang hamba yang mengaku
sebagai pecinta Allah dan hal ini sudah maklum kita ketahui, seorang
kekasih pasti akan tunduk dan patuh kepada apapun yang diperintah
kekasihnya, bahkan dia akan tetap mencintai kekasihnya itu seklaipun

8
semua orang membencinya. Bahkan merupakan kesempurnaan sifat cinta
adalah mencintai apa yang dicintai yang kekasih dan membenci apa yang
dibenci oleh sang kekasih.

2. Ridho Kepada Allah Ta’ala.


Ketahuilah bahwa seorang hamba manakala mengetahui bahwa Allah Swt
adalah Dzat Paling Bijaksana atas aturannya, dan Maha Kuasa dan Maha
Tahu atas apa yang diputuskan dan diaturNya, dan apabila hamba tahu
dirinya bodoh terhadap apa yang dicinta dan dibenci, maka ia akan ridho
kepada Allah Ta’ala dalam aturan dan ketentuanNya.

Ridho adalah tentramnya qalbu kepada Dzat Yang Maha Mengatur dan
membiarkan pilihan kepadaNya disertai kepasrahan. Tidak ada yang lebih
berat bagi nafsu kecuali harus ridho terhadap ketentuan Allah Ta’ala.
Karena ridho pada ketentuanNya biasanya berbeda dengan kerelaan hawa
nafsunya. Maka berbahagialah jika ada hamba yang memprioritaskan
ridhonya Allah Ta’ala dibanding kerelaan dirinya.

Diriwayatkan bahwa Nabi Musa as bermunajat : ” Illahi, Engkau beri


keistimewaan padaku dengan kalam, dan belum pernah Engkau bicara
kepada manusia sebelumku. Maka tunjukanlah aku pada amal yang bisa
kuraih ridhoMu…”

Allah Ta’ala menjawab, ” Hai Musa! RidhoKu padamu, adalah ridhomu


atas ketentuanKu…”

Perlu diketahui bahwa ketentuan Allah itu berkisar empat hal :


a. Ketentuan nikmat Allah Ta’ala, maka bagi hamba haruslah ridho dan
bersyukur.
b. Ketentuan cobaan Allah Ta’ala, maka bagi hamba harus rela dan
sabar.

9
c. Ketentuan taat dari Allah Ta’ala maka bagi hamba harus rela dan
memandang anugerahNya serta menegakkan kewajiban hingga maut
menjemputnya.
d. Ketentuan maksiat, maka bagi hamba ridho bahwa takdir Allah Ta’ala
dan bertaubat.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib, di tanya mengenai Qodlo dan Qadar. Beliau
menjawab, ” Malam yang gelap, lautan yang dalam, dan rahasia Allah
yang agung. Siapa yang ridho kepadaNya, maka ia akan ridho atas takdir
itu. Dan siapa yang benci maka Allah akan membencinya.”

C. Ikhlas Kepada Ketentuan Allah SWT


Niat merupakan pendorong kehendak manusia untuk mewujudkan suatu
tujuan yang dituntutnya. Pendorong ini banyak sekali ragamnya. Ada yang
bersifat materiil, dan ada pula yang bersifat spiritual. Ada yang bersifat
individual, dan ada yang bersifat sosial. Ada yang bertujuan duniawi, dan ada
yang bertujuan akhirat. Ada yang berkaitan dengan hawa nafsu, dll.

"Bahwasanya segala amal perbuatan tergantung pada niat, dan bahwasanya


bagi tiap-tiap orang memperoleh menurut apa yang diniatkannya.
Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya kepada dunia yang ingin
didapatkannya, atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya kepada
apa yang ditujunya ". (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tarmidzi dan An-
Nasa'I)

"Barangsiapa yang menghendaki keuntungan akhirat, akan Kami tambahkan


keuntungan itu baginya, dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan
dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada
baginya suatu kebahagiaan pun di akhirat ". (QS. Asy-Syuraa: 20)

10
"Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali jika (pelaku) amal itu
ikhlas dan mencari keridhaan Allah dengannya ". (HR. Nasa'i)

Sebagai seorang mukmin, hendaknya pendorongnya dalam beramal itu adalah


semata-mata menghendaki keridhaan Allah dan demi akhirat, tidak
mencampuri suatu amal dengan kecenderungan dunia, misalnya karena
menghendaki harta dunia, menghendaki kedudukan, mencari sanjungan, tidak
ingin dicela, dll, dan inilah yang disebut ikhlas. Ikhlas dengan pengertian
seperti di atas merupakan buah tauhid yang sempurna kepada Allah SWT
yaitu metauhidkan ibadah dan memohon pertolongan hanya kepada Allah
SWT, seperti yang sering kita ungkapkan di dalam sholat ketika membaca Al-
Fatihah: 5, "Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada
Engkaulah kami mohon pertolongan. " Dengan ikhlas yang murni inilah, kita
bisa membebaskan diri kita dari segala bentuk perbudakan, melepaskan diri
dari segala penyembahan selain Allah, seperti penyembahan kepada dinar,
dirham, perhiasan, wanita, kedudukan, tahta, kehormatan, nafsu, dll, dan dapat
menjadikan kita seperti yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada Rasul-
Nya.

"Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku


hanyalah untuk Allah, Rabb sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan
demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).'" (QS. Al-An'am: 162-163).

Riya' merupakan lawan dari ikhlas merupakan kedurhakaan yang sangat


berbahaya terhadap diri dan amal, juga termasuk dosa yang merusak,
sebagaimana firman Allah SWT,
"... seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya' kepada manusia dan
dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Maka perumpamaan orang itu
seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan
lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai

11
sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orangorang yang kafir ". (QS. Al Baqarah [2]: 264)

Di ayat lain Allah SWT berfirman,


"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang
lalai dari sholatnya, orang-orang yang beruat riya', dan enggan (menolong
dengan) barang yang berguna ". (QS. Al-Ma'un [107]:5-7)

Tentang riya' ini di dalam hadits, Rasulullah SAW pun bersabda,


"Sesungguhnya orang yang pertama-tama diadili pada hari kiamat adalah
orang yang mati syahid. Dia didatangkan ke pengadilan, diperlihatkan
kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka diapun mengakuinya. Allah bertanya,
"Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?" Dia menjawab, 'Aku
berperang kepada Engkau hingga aku mati syahid.' Allah berfirman, "Engkau
dusta. Tetapi engkau berperang supaya dikatakan, 'Dia adalah orang yang
gagah berani.' Dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu) ".
Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan muka tertelungkup lalu
dilemparkan ke dalam neraka.

Berikutnya yang diadili adalah seseorang yang memperlajari ilmu dan


mengajarkan serta membaca Al-Qur'an. Dia didatangkan ke pengadilan, lalu
diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka diapun mengakuinya. Allah
bertanya, "Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?" Dia
menjawab, 'Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca
Al-Qur'an karena-Mu.' Allah berfirman, "Engkau dusta. Tetapi engkau
mempelajari ilmu agar dikatakan, 'Dia adalah orang yang berilmu,' dan engkau
membaca Al-Qur'an agar dikatakan,'Dia adalah qari' (pandai membaca).' Dan,
memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu) ". Kemudian
diperintahkan agar dia diseret dengan muka tertelungkup lalu dilemparkan ke
dalam neraka.

12
Berikutnya yang diadili adalah orang yang diberi kelapangan oleh Allah dan
juga diberi-Nya berbagai macam harta. Lalu dia didatangkan ke pengadilan,
diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka diapun mengakuinya. Allah
bertanya, "Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?" Dia
menjawab, 'Aku tidak meninggalkan satu jalanpun yang Engkau suka agar
dinafkahkan harta, melainkan aku menafkahkannya karena-Mu.' Allah
berfirman, "Engkau dusta. Tetapi engkau melakukannya agar dikatakan, 'Dia
seorang pemurah.' Dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu) ".
Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan muka tertelungkup lalu
dilemparkan ke dalam neraka ". (HR. Muslim, An-Nasa'I, At-Tarmidzi dan
Ibnu Hiban)

Tatkala Mu'awiyah mendengar hadits ini, maka ia pun menangis hingga


pingsan. Setelah siuman dia berkata, 'Allah dan Rasul-Nya benar. Allah telah
berfirman,

"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya


Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka itu di dunia dengan
sempurna dan mereka di dunia tidak akan merugi. Itulah orang-orang yang
tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka ".' (QS. Huud [11]: 15-16)

D. Khouf dan Roza’


Khauf dan roja` adalah dua ibadah yang sangat agung. Bila keduanya
menyatu dalam diri seorang mukmin, maka akan seimbanglah seluruh
aktivitas kehidupannya. Bagaimana tidak, sebab dengan khauf akan
membawa dirinya untuk selalu melaksanakan ketaatan dan menjauhi perkara
yang diharamkan; sementara roja` akan menghantarkan dirinya untuk selalu
mengharap apa yang ada di sisi Rabb-nya 'Azza wa Jalla. Pendek kata dengan
khauf dan roja` seorang mukmin akan selalu ingat bahwa dirinya akan
kembali ke hadapan Sang Penciptanya, disamping ia akan bersemangat
memperbanyak amalan-amalan. Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-

13
orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) tuhan mereka, dan orang-
orang yang beriman dengan ayat-ayat tuhan mereka, dan orang-orang yang
tidak mempersekutukan tuhan mereka (dengan sesuatu apapun), dan orang-
orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang
takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali
kepada tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-
kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya." [QS. Al-
Mukminun: 57-61].

'Aisyah -radhiyallahu 'anha- pernah bertanya kepada Rosulullah -shallallahu


'alaihi wa sallam- apakah mereka itu orang-orang yang meminum khamr,
berzina, dan mencuri? Rosulullah menjawab, "Bukan! Wahai putri Ash-
Shiddiq. Justru mereka adalah orang-orang yang melakukan shoum, sholat,
dan bershodaqah, dan mereka khawatir tidak akan diterima amalannya.
Mereka itulah orang-orang yang bergegas dalam kebaikan." [HR. At-Tirmidzi
dari 'Aisyah]. Allah juga berfirman, "Sesungguhnya mereka adalah orang-
orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang
baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas." [QS. Al-
Anbiya': 90].

1. Hakikat Khauf
Khauf (takut) adalah ibadah hati, tidak dibenarkan khauf ini kecuali
terhadap-Nya Subhanahu wa Ta'ala. Khauf adalah syarat pembuktian
keimanan seseorang. Allah berfirman: "Sesungguhnya mereka itu tidak
lain syaitan-syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya
(orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada
mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang
beriman." [QS. Ali Imran: 175].

14
Apabila khauf kepada Allah berkurang dalam diri seorang hamba, maka
ini sebagai tanda mulai berkurangnya pengetahuan dirinya terhadap Rabb-
nya. Sebab orang yang paling tahu tentang Allah adalah orang yang paling
takut kepada-Nya.

Rasa khauf akan muncul dengan sebab beberapa hal, di antaranya:


pertama, pengetahuan seorang hamba akan pelanggaran-pelanggaran dan
dosa-dosanya serta kejelekan-kejelekannya; kedua, pembenarannya akan
ancaman Allah, bahwa Allah akan menyiapkan siksa atas segala
kemaksiatan; ketiga, mengetahui akan adanya kemungkinan penghalang
antara dirinya dan taubatnya.

Para ulama membagi khauf menjadi lima macam:


a. Khauf ibadah, yaitu takut kepada Allah, karena Dia Mahakuasa atas
segala sesuatu, memuliakan siapa yang dikehendaki-Nya dan
menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya, memberi kepada siapa
yang dikehendaki-Nya, dan menahan dari siapa yang dikehendaki-
Nya. Di Tangan-Nya-lah kemanfaatan dan kemudharatan. Inilah yang
diistilahkan oleh sebagian ulama dengan khaufus-sirr.
b. Khauf syirik, yaitu memalingkan ibadah qalbiyah ini kepada selain
Allah, seperti kepada para wali, jin, patung-patung, dan sebagainya.
c. Khauf maksiat, seperti meninggalkan kewajiban atau melakukan hal
yang diharamkan karena takut dari manusia dan tidak dalam keadaan
terpaksa. Allah berfirman, "Sesungguhnya mereka itu tidak lain
syaitan-syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya
(orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut
kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar
orang yang beriman." [QS. Ali Imran: 175].
d. Khauf tabiat, seperti takutnya manusia dari ular, takut singa, takut
tenggelam, takut api, atau musuh, atau selainnya. Allah berfirman
tentang Musa, "Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut

15
menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya)." [QS. Al-
Qashash: 18].
e. Khauf wahm, yaitu rasa takut yang tidak ada penyebabnya, atau ada
penyebabnya tetapi ringan. Takut yang seperti ini amat tercela bahkan
akan memasukkan pelakunya ke dalam golongan para penakut.

2. Hakikat Roja`
Adapun roja` secara bahasa artinya harapan/cita-cita; sedangkan menurut
istilah ialah bergantungnya hati dalam meraih sesuatu di kemudian hari.
Roja` merupakan ibadah yang mencakup kerendahan dan ketundukan,
tidak boleh ada kecuali kepada Allah 'Azza wa Jalla. Memalingkannya
kepada selain Allah adalah kesyirikan, bisa berupa syirik besar atau pun
syirik kecil tergantung apa yang ada dalam hati orang yang tengah
mengharap.

Roja (harapan/mengharap) tidaklah menjadikan pelakunya terpuji kecuali


bila disertai amalan. Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka
itu mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." [QS. Al-Baqarah: 218]. Allah juga berfirman, "Barang siapa
mengharap perjumpaan dengan tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan sesuatupun dalam
beribadah kepada tuhannya." [Al-Kahfi: 110].

Berkata Ibnul Qoyyim dalam "Madarijus-Salikin": "Orang-orang yang


mengerti telah bersepakat bahwa roja` tidak akan sah kecuali jika
dibarengi dengan amalan. Oleh karena itu, tidaklah seseorang dianggap
mengharap apabila tidak beramal". Dengan demikian, roja` kepada Allah
akan tercapai dengan beberapa hal, diantaranya: pertama, senantiasa
menyaksikan karunia-Nya, kenikmatan-Nya, dan kebaikan-kebaikan-Nya
terhadap hamba; kedua, jujur dalam mengharap apa yang ada di sisi Allah

16
dari pahala dan kenikmatan; ketiga, membentengi diri dengan amal shaleh
dan bergegas dalam kebaikan.

Ibnul Qayyim -rahimahullah- membagi roja` menjadi tiga bagian, dua di


antaranya roja`,yang benar dan terpuji pelakunya, sedang yang lainnya
tercela. Roja` yang menjadikan pelakunya terpuji, pertama: seseorang
mengharap disertai dengan amalan taat kepada Allah, di atas cahaya Allah,
ia senantiasa mengharap pahalaNya; kedua: seseorang yang berbuat dosa
lalu bertaubat darinya, dan ia senantiasa mengharap ampunan Allah,
kebaikan-Nya dan kemurahan-Nya. Adapun yang menjadikan pelakunya
tercela: seseorang terus-menerus dalam kesalahan-kesalahannya lalu
mengharap rahmat Allah tanpa dibarengi amalan; roja` yang seperti ini
hanyalah angan-angan belaka, sebuah harapan yang dusta.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setiap muslim meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam
kehidupannya. Allah adalah Pencipta dirinya, pencipta jagad raya dengan
segala isinya, Allah adalah pengatur alam semesta yang demikian luasnya.
Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia,
dan lain sebagainya. Sehingga manakala hal seperti ini mengakar dalam diri
setiap muslim, maka akan terimplementasikan dalam realita bahwa Allah lah
yang pertama kali harus dijadikan prioritas dalam berakhlak.

Jika kita perhatikan, akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi atau dasar
dalam berakhlak terhadap siapapun yang ada di muka bumi ini. Jika
seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah, maka ia tidak akan
mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian
pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap Allah, maka
ini merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap
orang lain.

Diantara akhlak terhadap Allah SWT adalah:


1. Taat terhadap perintah-perintah-Nya.
2. Memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diembankan padanya.
3. Ridha terhadap ketentuan Allah SWT.
4. Senantiasa bertaubat kepada-Nya.
5. Obsesinya adalah keridhaan ilahi.
6. Merealisasikan ibadah kepada-Nya.
7. Banyak membaca al-Qur’an.

18
B. Saran
Dengan dibuatnya makalah ini, mudah-mudahan penulis secara khusus dan
pembaca umumnya dapat diberikan pemahaman tentang akhlaq pada Allah
SWT. Tentunya dengan memahaminya dengan baik juga harus diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari.

19

Anda mungkin juga menyukai