Anda di halaman 1dari 18

c   

 


Perilaku seksual remaja adalah tindakan yang dilakukan oleh remaja yang

berhubungan dengan dorongan seksual yang datang baik dari dalam dirinya

maupun dari luar dirinya. Adanya penurunan usia rata-rata pubertas mendorong

remaja untuk aktif secara seksual lebih dini. Adanya persepsi bahwa dirinya

memiliki resiko yang lebih rendah atau seksual, semakin mendorong remaja

memenuhi dorongan seksualnya pada saat sebelum menikah. Banyak remaja

mengira bahwa kehamilan remaja tidak akan terjadi pada p  (senggama)

yang pertama kali atau mereka merasakan bahwa dirinya tidak akan pernah

terinfeksi HIV/AIDS karena pertahanan tubuhnya cukup kuat (Notoatmodjo,2007).

Seringkali terjadi perbedaan pengertian antara perilaku seksual dengan

hubungan seksual. Perilaku seksual ditanggapi sebagai suatu hal yang selalu

negative. Padahal tidak demikian halnya perilaku seksual merupakan perilaku

yang bertujuan untuk menarik perhatian lawan jenis. Perilaku seksual ini sangat

luas sifatnya, contohnya antara lain mulai dari berdandan, mejeng, merayu,

menggoda, bersiul sekaligus juga terkait dengan aktivitas dan hubungan seksual

(PKBI,1999).

Menurut Soetjiningsih (2004) hubungan seksual yang dialami oleh remaja

dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:

1. Waktu atau saat mengalami pubertas saat itu mereka tidak pernah

memahami tetang apa yag akan dialami

2. Kontrol sosial kurang tepat yaitu terlalu ketat atau terlalu longgar
Œ. Frekuensi pertemuan dengan pacarnya. Mereka mempunyai

kesempatan untuk melakukan pertemuan yang makin sering tanpa

control yang baik sehingga hubungan akan semakin mendalam,

hubungan antar mereka akan romantis

4. Kondisi keluarga yang tidak memungkinkan untuk mendidik anak-anak

untuk memasuki masa remaja dengan baik

5. Kurangnya kontrol dari orang tua, orang tua terlalu sibuk sehingga

perhatian terhadap anak kurang baik

6. Status ekonomi mereka yang hidup dengan fasilitas kecukupan akan

mudah melakukan pesiar ke tempat-tempat rawan yang memungkinkan

adanya kesempatan melakukan hubungan seksual. Sebaliknya

kelompok yang ekonomi lemah tetapi banyak kebutuhan/tuntutan,

mereka mencari kesempatan untuk memanfaatkan dorongan seksnya

demi mendapatkan sesuatu

7. Tekanan dari teman sebaya. Kelompok sebaya kadang-kadang saling

ingin menunjukan penampilan diri yang salah untuk menunjukan

kematangannya, misalnya mereka ingin menunjukan bahwa mereka

sudah mampu membujuk seorang perempuan untuk melayani kepuasan

seksualnya

8. Penggunaan obat terlarang dan alkohol. Peningkatan penggunaan obat

terlarang dan alkohol makin lama makin meningkat

9. Mereka kehilangan kontrol sebab tidak tahu akan batas-batasnya mana

yang boleh dan mana yang tidak boleh


10. Mereka sudah merasa sudah melakukan aktifitas seksual sebab sudah

merasa matang secara fisik. Adanya keinginan untuk menunjukan cinta

pada pacarnya

11. Penerimaan aktivitas seksual pacarnya. Sekedar menunjukan

kegagahan dan kemampuan fisiknya

12. Terjadi peningkatan rangsangan seksual akibat peningkatan kadar

hormone reproduksi/seksual.

2.2 faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual menurut PKBI (1999)

yaitu sebagai berikut :

1. Pengalaman seksual

Makin banyak pengalaman mendengar, melihat, mengalami

hubungan seksual makin kuat stimulasi yang dapat mendorong

munculnya perilaku seksual misalnya : informasi media massa, obrolan

dari teman sebaya/pacar tentang pengalaman seks, melihat orang-orang

yang tengah berpacaran atau melakukan HUS (hubungan seksual).

2. Faktor-faktor kepribadian

Faktor-faktor seperti harga diri, kontrol diri, tanggung jawab,

 

,  p
, kemampuan membuat keputusan,

nilai-nilai yang dimilikinya. Remaja yang memiliki harga diri positif,

mampu mengelola dorongan dan kebutuhannya secara adekuat, memiliki

penghargaan yang kuat terhadap diri dan orang lain, mampu

mempertimbangkan resiko perilaku sebelum mengambil keputusan,


mampu meningkatkan diri pada teman sebaya secara sehat proposional,

cenderung mencari penyaluran dorongan seksualnya secara sehat dan

bertanggung jawab.

Œ. Pemahaman dan penghayatan nilai-nilai agama

Remaja yang memiliki penghayatan yang kuat tentang nilai-nilai

tentang keagamaan, integritas yang baik (konsistensi antara nilai sikap

dan perilaku) juga cenderung menampilkan perilaku seksual yang selaras

dengan nilai-nilai yang diyakininya serta mencari kepuasan dan perilaku

yang produktif

4. Peran keluarga dalam menjalankan fungsi control afeksi atau

kehangatan, pemahaman nilai moral dan keterbukaan komunikasi

Keluarga yang mampu berfungsi secara optimal membantu remaja

untuk menyalurkan dorongan seksualnya dengan cara yang selaras

dengan norma dan nilai yang berlaku serta menyalurkan energy psikis

secara produktif

5. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi

Remaja yang memiliki pengetahuan secara benar dan proposional

tentang kesehatan reproduksi cenderung memahami resiko perilaku

serta alternative cara yang dapat digunakan untuk menyalurkan

dorongan seksual secara sehat dan bertanggung jawab.

Berikut ini kerangka teori faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual

remaja.

Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja


Factor-faktor 1. Pengalaman seksual

a. Informasi media massa
Perilaku seksual
 b. Pergaulan teman sebaya
remaja
Ê c. Melihat orang berpacaran
2. Faktor-faktor kepribadian
a. Harga diri
b. Control diri
c. Tanggung jawab
d. Kemampuan membuat
keputusan
e. è 


f.  p

g. Nilai-nilai toleran yang
dimiliki
Œ. Pemahaman dna penghayatan
nilai-nilai agama
4. Peran keluarga
5. Pengetahuan tentang kesehatan
reproduksi

Menurut Djuwarno 2001 faktor-faktor pendukung perilaku seks yaitu sebagai

berikut :

a. Tekanan yang datang dari teman pergaulannya

Lingkungan pergaulan yang dimasuki oleh seorang remaja dapat juga

berpengaruh untuk menekan temannya yang belum melakukan hubungan


seks, bagi remaja tersebut tekanan dari teman-teman yaitu dirasakan lebih

kuat dari pada yang didapat dari pacarnya sendiri.

b. Adanya tekanan dari pacar

Karena kebutuhan seorang untuk mencintai dan dicintai, seseorang harus

rela melakukan apa saja terhadap pasangannya, tanpa memikirkan resiko

yang akan dihadapinya. Dalam hal ini yang berperan bukan saja nafsu

seksual, melainkan juga sikap memberontak terhadap orang tuanya. Remaja

lebih membutuhkan suatu hubungan, penerimaan, rasa aman dan harga diri

selayaknya orang dewasa

c. Adanya kebutuhan badaniah

Seks menurut para ahli merupakan kebutuhan dasar yang tidak dapat

dipisahkan dari kehidupan seseorang, jadi wajar jika semua orang tidak

terkecuali remaja, menginginkan hubungan seks ini, sekalipun akibat dari

perbuatannya tersebut tidak sepadan dengan resiko yang akan dihadapinya

d. Rasa penasaran

Pada usia remaja keingintahuannya begitu besar terhadap seks, apalagi

jika teman-temannya mengatakan bahwa terasa nikmat, ditambah lagi

adanya informasi yang tidak terbatas masuknya maka rasa penasaran

tersebut semakin mendorong mereka untuk lebih jauh lagi melakukan

berbagai maam perobaan sesuai dengan apa yang diharapkan

e. Pelampiasan diri

Faktor ini tidak hanya datang dari diri sendiri misalnya karena terlanjur

berbuat, seorang remaja perempuan biasanya berpendapat sudah tidak ada


lagi yang dapat dibanggakan dalam dirinya maka dalam pikirannya tersebut

ia akan merasa putus asa dan menari pelampiasan yang akan

menjerumuskannya dalam pergaulan bebas

f. Faktor lainnya datang dari lingkungan keluarga

Bagi seorang remaja mungkin aturan yang diterapkan oleh kedua orang

tuanya tidak dibuat berdasarkan kepentingan kedua belah pihak (orang tua

dan anak), akibatnya remaja tersebut merasa tertekan sehingga ingin

membebaskan diri dengan menujukkan sikap sebagai pemberontak yang

salah satunya dalam masalah seks.

Kurangnya pemahaman tentang perilaku seksual pada masa remaja sangat

merugian bagi remaja itu sendiri termasuk keluarga, sebab pada masa ini remaja

mengalami perkembangan yang penting yakni kognitif, emosi, social dan seksual.

Perkembangan ini akan berlangsung mulai sekitar 12-20 tahun. Kurangnya

pemahaman ini disebabkan berbagai factor antara lain adat istiadat, budaya,

agama dan kurangnya informasi dari sumber yang benar

Dilaporkan bahwa 80% laki-laki dan 70% perempuan melakukan hubungan

seksual selama masa pubertas dan 20% mempunyai empat atau lebih pasangan.

Ada sekitar 5Œ% perempuan berumur antara 15-19 tahun melakukan hubungan

seksual sebanyak dua kali lipat dari pada permepuan. Laporan ini disampaikan

oleh National survey of family growth pada tahun 1998 (Soetjiningsih,2004).

Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting

dalam pembentukan hubungan yang lebih matang dengan lawan jenis. Dengan

matangnya fungsi-fungsi seksual maka timbul pula dorongan-dorongan dan


keinginan-keinginan untuk pemuasan seksual. Sebagian besar dari remaja

biasanya sudah mengembangkan perilaku seksualnya dengan lawan jenis dalam

bentuk pacaran atau percintaan. Bila ada kesempatan para remaja melakukan

sentuhan fisik, mengadakan pertemuan untuk melakukan aktifitas seksual bahkan

kadang-kadang remaja tersebut mencari kesempatan untuk melakukan hubungan

seksual (Soetjiningsih,2004).

Meskipun fungsi seksual remaja perempuan lebih cepat matang dari pada

remaja laki-laki, tetapi pada perkembangannya remaja laki-laki lebih aktif secara

seksual dari pada remaja perempuan. Banyak ahli berpendapat hal ini dikarenakan

adanya perbedaan sosialisasi seksual antara remaja perempuan dan remaja laki-

laki. Remaja masa kini menganggap bahwa ungkapan-ungkapan cinta apapun

bentuknya adalah baik sejauh kedua pasangan remaja saling tertarik.

Bahkan hubungan seks sebelum menikah dianggap ³benar´ apabila orang-

orang yang terlibat saling mencintai ataupun saling terikat. Mereka sering

merasionalisasikan tingkah laku seksual mereka dengan mengatakan pada diri

mereka sendiri bahwa mereka terhanyut cinta. Sejumlah peneliti menemukan

bahwa remaja perempuan, lebih dari pada remaja laki-laki, mengatakan bahwa

alasan utama mereka aktif secara seksual adalah karena jatuh cinta

(Soetjiningsih,2004).

Perasaan bersalah atau berdosa tidak jarang dialami oleh kelompok remaja

yang pernah melakukan onani dalam hidupnya. Hal ini berakibat adanya

pemahaman tentang ilmu pengetahuan yang dipertentangkan dengan pemahaman

agama, yang seharusnya saling menyokong. Pemahaman yang benar tentang


seksualitas manusia amat diperlukan khususnya untuk para remaja demi perilaku

seksualnya dimasa dewasa sampai mereka menikah dan memiliki anak.

Sebagian kelompok remaja mengalami kebingungan untuk memahami

tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan olehnya,

antara lain boleh atau tidaknya untuk melakukan pacaran, melakukan onani,

nonton bersama atau ciuman. Ada beberapa kenyataan-kenyataan lain yang

cukup membingungkan antara apa saja yang boleh dilakuka atau tidak.

Kebingungan ini akan menimbulkan suatu perilaku seksual yang kurang sehat

dikalangan remaja (Soetjiningsih,2004).

2.Πcontoh perilaku seksual

Aktivitas seksual adalah kegiatan yang dilakukan dalam upaya memenuhi

dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ kelamin atau

seksual melalui berbagai perilaku. Contohnya berfantasi, masturbasi, nonton atau

baca pornografi, cium pipi, cium bibir, petting, berhubungan intim (p ).

Sedangkan hubungan seksual adalah kontak seksual yang dilakukan berpasangan

dengan lawan jenis atau sesama jenis. Contohnya pegangan tangan, cium kering,

cium basah, petting dan intercourse (PKBI,1999).

Selama ini perilaku seksual sering disederhanakan sebagai hubungan

seksual berupa penetrasi dan ejakulasi. Padahal menurut Wahyudi (2000),

perilaku seksual secara rini dapat berupa:

1. Berfantasi : merupakan perilaku membayangkan dan mengimajinasikan

aktivitas seksual yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan erotisme


2. Pegangan tangan : Aktivitas ini tidak terlalu menimbulkan rangsangan

seksual yang kuat namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba

aktivitas yang lain

Œ. Cium kering : Berupa sentuhan pipi dengan pipi atau pipi dengan bibir

4. Cium basah : berupa sentuhan bibir ke bibir

5. Meraba : Merupakan kegiatan bagian-bagian sensitif rangsangan

seksual, seperti leher, á , paha, alat kelamin dan lain-lain

6. Berpelukan : Aktivitas ini menimbulkan perasaan tenang, aman, nyaman

disertai rangsangan seksual (terutama bila mengenai daerah

aerogen/sensitive)

7. Masturbasi (wanita) atau Onani (laki-laki) : Perilaku merangsang organ

kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual

8. Oral seks : Merupakan aktivitas seksual dengan cara memasukkan alat

kelamin ke dalam mulut lawan jenis

9. p : Merupakan seluruh aktivitas 


p  (hingga

menempelkan alat kelamin)

10.  
(senggama) : Merupakan aktivitas seksual dengan

memasukan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin wanita

Menurut Pendidikan Penelitian Kesehatan (1999), sebuah standar untuk

mengukur strategi interpersonal heterogen perilaku dikalangan kaum muda

 
 
p
  (ASAI) skala Guttman yaitu sebagai berikut :

1. Berpelukan ( p ),

2. Memegang tangan,
Œ. Menghabiskan waktu berduaan,

4. Berciuman (pp ),

5. Bermanja-manjaan (p ),

6. Tidur bersama-sama,

7. Tangan seseorang memasukan ke dalam pakaiannya,

8. Memasukkan tangannya ke dalam pakaiannya,

9. Melepaskan pakaiannya dan melihatkan organ seks,

10. Terlibat dalam hubungan badan ( ).

c  
 


Dari faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku seksual pada remaja, maka dapat dilakukan

upaya mengatasi masalah tersebut dapat di lakukan pendekatan melalui :

  
 


Keluarga memiliki peranan dan pengaruh yang cukup besar bagi

perkembangan anak karena keluarga merupakan lingkugan social pertama yang

meletakan dasar-dasar kepribadian anak. Selain orang tua, saudara kandung dan

posisi anak dalam keluarga juga berpengaruh pada remaja tersebut. Pola asuh

otoriter, demokratik ataupun permisif memberikan dampak yang berbeda bagi

anak. Orang tua yang menerapkan disiplin yang kaku dan menuntut anak untuk

mematuhi aturan-aturannya membuat anak menjadi frustasi.

Pola asuh permisif adalah dimana orang tua memberikan kebebasan kepada

anak namun kurang disertai dengan adanya batasan-batasan dalam berprilaku

akan membuat anak mengalami kesulitan dalam mengendalikan keinginan-

keinginan maupun dalam berprilaku menunda pemuasan. Pola asuh demokratik


adalah pola asuh yang mengutamakan adanya dialog antaraanak dan orang tua

akan lebih menguntungkan. Bagi anak, karena selain memberikan kebebasan

kepada anak juga disertai adanya control dari orang tua sehingga apabila terjadi

konflik atau perbedaan pendapat diantara mereka dapat dibicarakan dan

diselesaikan bersama-sama (Soetjiningsih, 2004)

Pengertian dan dukungan orang tua sangat bermanfaat bagi perkembangan

anak. Komunikasi yang terbuka dimana masing-masing anggota keluarga dapat

berbicara tanpa adanya perselisihan akan memberikan kekompakan dalam

keluarga sehingga hal tersebut juga akan sangat membantu proses pencarian

identitas diri. Keluarga pun berhak membicarakan masalah seksualitas kepada

anak/remajanya. Anggapan sebagian orang tua bahwa mebicarakan masalah

seks adalah sesuatu yang tabu sebaiknya dihilangkan (Soetjiningsih, 2004).

Pentingnya memberikan pendidikan seks bagi remaja, sudah seharusnya kita

pahami. Karena pada dasarnya remaja merupakan masa transisi, masa terjadi

perubahan baik fisik, emosional, maupun seksual. Hormon seks dalam tubuh

mulai berfungsi dan siap untuk melakukan tugasnya yaitu berkembang biak

dengan memperbanyak keturunan. Perubahan hormon itu ditandai dengan

kematangan seksual dan dorongan itu akan semakin liar jika tidak diberi

bimbingan yang benar tentang perubahan ini. Akibat dorongan seksual yang

meledak-ledak tadi, para remaja biasanya melampiaskan dengan mencari bacaan

atau film-film porno, bahkan ada yang sengaja melakukan hubungan seksual

dengan pekerja seks komersial atau melakukan masturbasi (Dianawati,2006).


Memberikan pendidikan seks bagi remaja maksudnya membimbing dan

menjelaskan tentang perubahan fungsi organ seksual sebagai tahapan yang

harus dilalui dalam kehidupan manusia. Harusnya memasukan ajaran agama dan

norma-norma yang berlaku. Cara-cara yang biasa dilakukan yaitu dengan

berdiskusi masalah seks yang ingin diketahui oleh si anak. Cara seperti itu akan

menghilangkan rasa segan dalam dirinya. Lebih baik pendidikan seks itu

didapatkan dari orang tuanya dari pada si anak mendapatkannya dari pendapat

atau khayalan sendiri, teman, buku-buku atau film-film porno yang kini dijual

bebas.

Ciri khas dan karakteristik remaja yang cenderung keras kepala dan berani

menentang pengarahan orang tua dan gurunya. Dengan mengatasnamakan

kebebasan mereka berani berdebat dan membantah, sehingga masa remaja

dianggap masa yang sulit (Dianawati,2006).

Permasalahan yang dihadapi orang tua yang berkaitan dengan perilaku anak-

anak dan remaja bersumber dari hubungan yang keliru. Untuk itu penyelesaian

masalah dikalangan remaja separuhnya tergantung dari hubungan antara orang

tua dan remajanya. Sikap saling menghormati dan mempercayai merupakan

dasar bagi hubungan yang berdasarkan atas persamaan. Cirri-ciri khas hubungan

yang didasari dengan persamaan menurut Dianawati (2006) adalah sebagai

berikut:

1. Saling memperhatikan dan memperdulikan

2. Saling memberi empati

Œ. Saling mendengarkan satu sama lain


4. Adanya rasa ketertarikan untuk ikut bekerjasama, memanfaatkan hak dan

kewajiban dalam memecahkan dan menyelesaikan konflik

5. Lebih menekankan pada asset dari pada melihat kesalahan-kesalahan

6. Sama-sama satu pemikiran, perasaan dan tidak menyembunyikan atau

menanggung beban sendiri

7. Saling membantu dan menerima satu sama lain karena tidak ada orang

yang sempurna.

á  
 á

Teman sebaya adalah orang-orang seumur dan kelompok sosialnya seperti

teman sekolah dan mungkin teman sekerja atau tetangga. Tekanan berarti

dorongan atau kekuatan. Jadi jika kata-kata tersebut digabungkan berarti

dorongan yang berasal dari orang-orang yang sering kamu temui. Tekanan

sebaya adalah sesuatu yang berat, khususnya jika sudah menyangkut masalah

hubungan seks.

Beberapa remaja memutuskan untuk melakukan hubungan seks karena

teman mereka berfikir dengan melakukan hubungan seks adalah . Tekanan

lain berasal dari teman kencan kita. Lebih mudah melakukan hubungan seks dari

pada harus menjelaskan mengapa kita tidak mau melakukannya. Remaja

terperangkap dalam perasaan romantic dan percaya dengan melakukan

hubungan seks adalah jalan terbaik untuk membuktikan cinta mereka

(Mercy,2007).

Dalam pekembangan social remaja maka remaja mulai memisahkan diri dari

orang tua dan mulai memperluas hubungan dengan teman sebayanya. Pada
umumnya remaja menjadi anggota kelompok usia sebaya (
 ).

Kelompok sebaya menjadi begitu berarti dan sangat berpengaruh dalam

kehidupan social remaja. Kelompok sebaya juga merupakan wadah untuk belajar

kecakapan social karena melalui kelompok, remaja dapat mengambil peran.

Didalam kelompok sebaya, remaja menjadi sangat bergantung kepada teman

sebagai sumber kesenangannya dan keterkaitan dengan teman sebaya begitu

kuat. Kecenderungan keterikatan (kohesi) dalam kelompok tersebut akan

bertambah dengan meningkatnya frekuensi interaksi diantara anggota-

anggotanya (Soetjiningsih,2004).

Besarnya peran teman sebaya dalam kehidupan social remaja mendorong

remaja untuk membentuk kelompok-kelompok usia sebaya. Kelompok tersebut

bisa merupakan kelompok yang besar karena anggotanya banyak, yang disebut

 tetapi juga bisa kelompok kecil yang bisa disebut sebagai cp kelompok

besar biasanya terdiri dari beberapa p. Karena jumlah anaknya sedikit, maka

p mempunyai kohesi kelompok yang lebih tinggi. Didalam pembentukannya

kelompok juga akan diikuti dengan adanya perilaku konfornitas kelompok, dimana

remaja akan berusaha untuk dapat menyesuaikan dan menyatu dengan

kelompok agar mereka dapat diterima oleh kelompoknya.

Dalam kelompok dengan kohesi yang kuat dapat berkembang iklim

kelompok dan norma-norma kelompok tertentu. Meskipun norma-norma

kelompok bukan norma yang buruk, namun dapat membahayakan pembentukan

identitas diri remaja karena dalam hal ini remaja akan lebih mementingkan

perannya sebagai anggota kelompok dari pada mengebangkan pola norma diri
sendiri. Nilai-nilai norma dalam kelompok tersebut dapat berbeda sekali dengan

nilai-nilai yang dibawa remaja dan keluarga, maka hal tersebut tidak akan

menimbulkan masalah asalkan remaja betul-betul meyakinkan. Namun apabila

terjadi pemaksaan dari nilai-nilai kelompok sehingga nilai kelompok begitu

menguasai dan membatasi kebebasan dalam berperilaku, maka hal tersebut

dapat menyulitkan serta menghambat perkembangan kepribadian remaja

(Soetjiningsih,2004).

Remaja mulai bergabung dengan kelompok-kelompok minat tertentu seperti

olahraga, musik, geng-geng dan kelompok-kelompok lainnya. Pada usia remaja

juga sudah mulai menjalin hubungan-hubungan khusus dengan lawan jenisnya

yang dapat diwujudkan dengan kencan dan berpacaran. Pada akhir usia remaja

ikatan dengan kelompok teman sebaya menjadi kurang dan nilai-nilai dalam

kelompok menjadi berkurang begitu penting karena pada umumnya remaja lebih

merasa senang dengan nilai-nilai dan identitas dirinya (Soetjiningsih,2004).

á   

Kecenderungan pelanggaran makin meningkat oleh karena adanya

penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa dengan

teknologi canggih (video, kaset, foto dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi.

Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba akan meniru

apa yang akan dilihat atau didengar dari media massa karena masalah seksual

secara lengkap tidak diketahui dari orang tua. Orang tua sendiri karena

ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih menabukan pembicaraan

mengenai seks dengan anak tidak terbuka terhadap anak, maka anak akan
cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah seksual

(Muhamad,1998).

Menurut Muhamad (1998) kurangnya pengetahuan tentang kesehatan

reproduksi dan masalah tentang seksualitas masih dianggap hal yang tabu untuk

dibicarakan oleh para orang tua maupun guru-guru sekolah atau pengajian.

Padahal orang tua merupakan sumber informasi penting tentang masalah

seksual. Melalui ragam media inilah wacana dan praktik keterbukaan seksualitas

merambah dunia. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin

mencoba akan meniru apa yang dilihat atau didengar dari media massa karena

pada umumnya mereka belum pernah mengetahui masalah seksual secara

lengkap dari orang tuanya (Abah,2002).

Selain percepatan kematangan seksual, problem seksualitas remaja

khususnya di wilayah urban juga karena adanya pemaparan atas bacaan atau

tayangan visual yang menampilkan praktik seksualitas dalam berbagai bentuk.

Dalam kasus remaja Indonesia, masalahnya bukan karena moralnya rendah

dibanding dulu tapi lebih karena besarnya kesempatan serta gencarnya paparan

media yang memacu nafsu seksual mereka ketimbang zaman sebelumnya

(Radjab,2007).

Di satu sisi remaja merasa diuntungkan dengan adanya media yang

membahas seputar masalah dan kebutuhan mereka, sedangkan di sisi lain media

merasa remajalah yang pas menjadi konsumen dari berbagai produk yang

ditawarkan. Memang benar ornag tua dapat meminimalisir dampak buruk media

tersebut dengan memberikan pemahaman kepada anak-anaknya, namun tanpa


regulasi dari Negara yang jelas terhadap media, pada akhirnya hal ini hanya akan

memindahkan beban kepada para orang tua. Sementara media sendiri

nampaknya tidak memperdulikan dampak buruk yang ditimbulkan.

Hak-hak remaja yang seharusnya dipahami media yaitu media seharusnya

memberikan informasi yang benar, hak untuk meningkatkan rasa percaya diri,

bebas dari diskriminasi, terlindung dari pelecehan, kekerasan dan eksploitasi

seksual, mendapatkan pendidikan yang layak, hak untuk mengakses dan

mendapatkan informasi yang seluas-luasnya tentang kesehatan serta bebas dari

pornografi, narkoba dan sebagainya. Upaya perlindungan hak-hak remaja

tersebut tidak akan bisa terlaksana begitu saja tanpa bantuan media massa baik

cetak maupun elektronik (Rohmawati,2007).

Beberapa hal yang bisa diterapkan antara lain dengan membatasi jam

menonton televisi, memonitor media apa saja yang dikonsumsi, mulai dari

majalah, video dan internet. Memberikan penjelasan yang mereka butuhkan,

menanyakan perasaan mereka setelah menyelesaikan atau membaca membantu

mereka agar mampu membedakan antara fiktif dan yang riil. Sehingga para

remaja menjadi tahu bahwa semua itu ada konsekuensinya (Rohmawati,2007).

Anda mungkin juga menyukai