Indikasi Operasi Kasus TBC
Indikasi Operasi Kasus TBC
Latar Belakang
Tuberkulosis paru (TB paru) hingga saat ini masih merupakan masalah penting
bagi kesehatan. TB paru adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis (M. tb) yang ditemukan pada tahun 1882 oleh
Robert Koch. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI
tahun 1992 tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
jantung dan penyakit saluran pernapasan pada semua kelompok usia dan nomor satu
dari golongan penyakit infeksi.1-2 Insidens TB diperkirakan meningkat dari 8,8 juta
kasus pada tahun 1995 menjadi 10,2 juta kasus pada tahun 2000 dan 11,9 juta kasus
pada tahun 2005. Pada tahun 1995 terjadi 3 juta kasus kematian yang disebabkan oleh
TB dan diperkirakan tahun 2000 terjadi 3,5 juta kasus.3
Epidemiologi
yang tinggal di luar Jawa dan Bali mempunyai prevalensi TB 3 kali lebih banyak
daripada yang tinggal di Jawa dan Bali.2
Besar Permasalahan
Di Indonesia sebagian besar kasus TB paru tidak ditemukan secara keseluruhan
dan dari kasus yang ditemukan tersebut hanya sebagian kasus TB dengan basil tahan
asam (BTA) sputum positif yang dapat disembuhkan.1 Sulitnya pengobatan penderita
TB paru BTA positif menyebabkan banyak terjadi kegagalan pengobatan. Pengobatan
tidak teratur, penggunaan obat anti tuberkulosis (OAT) tidak adekuat ataupun
pengobatan terputus menimbulkan kuman yang resisten terhadap OAT.3 Penderita
TB tersebut akan menjadi sumber penularan kuman yang resisten di masyarakat.
Resistensi kuman terhadap OAT harus ditanggulangi agar tidak menimbulkan situasi
yang lebih parah, sehingga dibutuhkan pengobatan yang efektif dan rasional agar
penderita TB paru sembuh dan insidens TB dapat diturunkan.4
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan
rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan
pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20 – 30%. Jika ia meninggal akibat TB,
maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara
ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial – stigma bahkan
dikucilkan oleh masyarakat.1
Estimasi terbaru dan kecenderungan indikator TB (2005)7
Pembahasan
Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksi pada paru yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (M. tb) yang ditemukan pada
tahun 1882 oleh Robert Koch. Kuman ini tumbuh lambat dan membelah diri setiap 18
– 24 jam pada suhu yang optimal. Kuman M.tb tumbuh dan berkembang biak pada
tekanan O2 140 mmH2O di paru. Kuman M.tb berbentuk agak bengkok atau berbentuk
batang lurus dan pada biakan invitro mempunyai ukuran panjang 1 – 4 mm dan tebal
0,3 – 06 mm. Basil TB di jaringan pejamu yang sakit mempunyai bentuk karakteristik
yang berbeda. Bila M.tb ditanam / dibiak pada sel manusia maka tampak lebih
panjang dan lebih bengkok. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya.1,5
berdegenerasi dan sel raksasa multinuklear yang disebut lesi tuberkel. Tuberkel ini
diliputi fibrin dengan bagian sentralnya menjadi nekrosis kaseosa. Pecahnya tuberkel
kaseosa akan menghasilkan kaviti yang menyebabkan sejumlah kuman TB dilepaskan
ke dalam sputum. Kemudian kuman TB akan menyebar melalui aliran limfatik
menuju kelenjar getah bening hilus/mediastinum dan duktus torasikus atau secara
langsung masuk sirkulasi melalui erosi tuberkel ke dalam pembuluh darah.15-17 Pada
gambar 1 dapat dilihat perkembangan kuman M.tb yang bisa menyebabkan infeksi
primer paru dan TB paru pascaprimer.
Penularan TB2,4,5
1. Cara penularan
- Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
- Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak.
- Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara
sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada gambar berikut:
Faktor Risiko Kejadian TB1,3
Penemuan pasien TB
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah
pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan
pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian
akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan
pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.
Strategi penemuan
Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan
tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan
secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan
cakupan penemuan tersangka pasien TB.
Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif, yang
menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.
Diagnosis TB5,9,10,11,12,14,17
Diagnosis TB paru
• Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu -
pagi - sewaktu (SPS).
• Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB
(BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan
dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai
dengan indikasinya. Uji tuberkulin berperan dalam penegakan diagnosis TB sesuai
ukuran yang direkomendasikan WHO. Tetapi cut-off point ukuran indurasi tiap daerah
berbeda khususnya daerah dengan prevalensi TB yang tinggi. Cut-off point ini masih
dalam perdebatan sehingga tuberkulin yang dipakai dalam penunjang diagnosis TB
banyak menimbulkan positif palsu dan negatif palsu.5
Mantoux test 7
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Siloam Lippo Village – FK UPH 10
Indikasi Operasi pada Kasus Tuberkulosis Paru
DNA alamiah yang terjadi dalam pembelahan sel yang bertujuan melipatgandakan
gen yang memerlukan template untuk memulai sequencing. Dasar proses PCR terdiri
dari 3 tahap yang berulang :6
1. Denaturasi ( suhu 940C) : Selama tahap ini DNA rantai ganda dipisahkan
dengan pemanasan menjadi rantai tunggal dan reaksi enzimatik dihentikan.
2. Hibridisasi atau annealing ( suhu 540C). Pada tahap ini DNA rantai tunggal
menempel pada primer yang sesuai dengan target.
3. Extension ( suhu 720C ). Selama tahap ini terjadi pada suhu ideal guna
polymerase. Disini primer memulai proses multiplikasi sehingga terjadi DNA
rantai ganda kembali.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
• Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik
TB paru BTA negatif harus meliputi:
- Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
- Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
- Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
Catatan:
• Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
• Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat
sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
Tipe Pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa
tipepasien yaitu:
• Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
• Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
• Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
• Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
• Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
• Kasus lain :
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal,
default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan
secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis
spesialistik,.
Pengobatan TB
Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT.
Jenis, sifat dan dosis OAT
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
• OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
• Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
• Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
- Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
Tahap Lanjutan
- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama
- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan
dalam bentuk OAT kombipak.Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4
jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan
ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi
pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1)
pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan
dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan
OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang,
namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan
seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang.
Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk
Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Siloam Lippo Village – FK UPH 20
Indikasi Operasi pada Kasus Tuberkulosis Paru
• Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian
kembali OAT harus dengan cara “drug challenging” dengan menggunakan obat lepas.
Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari
efek samping
tersebut.
• Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena
kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian
diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses
rechallenge yang dimulai dengandosuis rendah sudah timbul reaksi, berarti
hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas.
• Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya
pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan
lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain.
Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan
risiko terjadinya kambuh
• Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap
Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh
sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek.
Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut
HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan
desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar
terjadi keracunan yang berat.
Resistensi5,11,13
Pengobatan yang tidak teratur, memakai paduan OAT yang tidak atau kurang
tepat maupun pengobatan yang terputus telah mengakibatkan resistensi kuman
terhadap obat, Resistensi adalah keadaan kuman dalam situasi yang tidak peka lagi
terhadap suatu obat meskipun dalam kadar yang tinggi. Dasar-dasar yang ditempuh
oleh mikroorganisme sehingga resisten antara lain melalui proses adaptasi dan mutasi.
Adaptasi terjadi karena lingkungan baru sebagai efek kemoterapi sehingga kuman
tersebut mengalami perubahan enzimatik yang selanjutnya diturunkan ke generasi
selanjutnya. Mutasi pada keadaan ini adalah terjadi proses perubahan genetik pada
kuman secara spontan atau mutasi. Makin banyak jumlah kuman makin mudah timbul
mutasi. Mekanisme resistensi kuman TB terhadap OAT terjadi umumnya melalui
proses tersebut yang bervariasi tergantung dari jenis OAT. MDR-TB merupakan
problem utama di dunia. Banyak faktor yang memberikan kontribusi terhadap
resistensi obat pada negara berkembang termasuk ketidaktahuan penderita tentang
penyakitnya, kepatuhan penderita buruk, pemberian monoterapi atau regimen obat
yang tidak efektif, dosis tidak adekuat, instruksi yang buruk, keteraturan berobat yang
rendah, motivasi penderita kurang, suplai obat yang tidak teratur, bioavailabiliti yang
buruk, dan kualiti obat memberikan kontribusi terjadinya resistensi obat sekunder.
Aditama melaporkan Di RS Persahabatan resitensi primer terhadap dua atau lebih
OAT bervariasi antara 0,08% - 2,71 %, sedangkan resistensi sekunder antara 0,55% -
16,69%. Tanjung melaporkan di RS Dr. Pirngadi Medan terdapat 96% penderita yang
resisten terhadap satu atau lebih gabungan OAT.
Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:
Untuk TB paru:
Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif.
Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.
Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai
kelainan neurologik.
Komplikasi
1.Pneumotoraks
Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan atau traumatic. Namun pada kasus
tuberculosis terjadi Pneumotoraks Spontan Sekunder, yaitu pneumotoraks yang
terjadi karena penyakit paru yang mendasarinya (tuberkulosis paru, PPOK, asma
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Siloam Lippo Village – FK UPH 22
Indikasi Operasi pada Kasus Tuberkulosis Paru
bronkial, pneumonia, tumor paru, dan sebagainya). Pasien PSS bilateral dengan
reseksi torakoskopi dijumpai adanya metastase paru yang primernya berasal dari
sarkoma jaringan lunak di luar paru. 1,2
Patogenesis
Pleura secara anatomis merupakan satu lapis sel mesotelial, ditunjang oleh
jaringan ikat, pembuluh darah kapiler dan pembuluh getah bening. Dibatasi oleh 2
lapisan tipis sel mesotelial, terdiri atas pleura parietalis dan pleura viseralis. Pleura
parietalis melapisi otot-otot dinding dada, tulang, dan kartilago, diafragma dan
mediastinum, sangat sensitif terhadap nyeri. Pleura viseralis melapisi paru dan
menyusup ke dalam semua fisura dan tidak sensitif terhadap nyeri. Rongga pleura
individu sehat terdiri dari cairan 10-20 ml dan berfungsi sebagai pelumas di antara
kedua lapisan pleura. Patogenesis pneumotoraks sendiri masih belum jelas. 1,2,3,8
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Siloam Lippo Village – FK UPH 24
Indikasi Operasi pada Kasus Tuberkulosis Paru
Manifestasi Klinik
Keluhan Subjektif
Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul adalah: 1,2,3,4
Sesak nafas, yang didapatkan pada 80-100% pasien.
Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Lindskog dan Halasz
menemukan 69% dari 72 pasien mengalami nyeri dada.
Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi ditemukan keadaan umum sakit berat (akut), dada lebih
menonjol, pergerakan tertinggal atau berkurang. Pada ekstremitas dapat
ditemukan kondisi sianosis, distensi vena leher, dan gambaran takipneu
(hiperventilasi, pernafasan lebih dari 30 kali/menit). 1,2,3
Pada palpasi dapat ditemukan deviasi trakea kearah kontralateral.
Pulsasi takikardia, fremitus juga melemah bahkan menghilang. Perkusi
hipersonor dan auskultasi dengan tandan suara nafas melemah sampai
dengan menghilang. 1,2,3,5
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa analisis gas darah arteri memberikan
gambaran hipolksia meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak
diperlukan. Pada penelitian didapatkan 17% dengan PO2 < 55 mmHg, 4%
dengan PO2 < 45 mmHg, 16% dengan PCO2 > 50 mmHg dan 4% dengan PCO2
> 60 mmHg. Pada pasien PPOK lebih mudah terjadi pneumotoraks spontan.
Dalam sebuah penelitian 51 dari 171 pasien PPOK (30%) dengan fev < 1,0 liter
dan 33% dengan FEV1/FVC <40%. Penelitian lain menyebutkan bahwa gagal
nafas yang berat (PO2 < 50 mmHg dan PCO2 > 50 mmHg atau disertai dengan
syok) terdapat pada 16% pasien dan secara signifikan meningkatkan
mortalitas sebesar 10%. Pneumotoraks primer paru kiri sering menimbulkan
perubahan aksis QRS dan gelombang T prekordial pada rekaman EKG dan
dapat ditafsirkan sebagai infark miokard akut. 5,6,7
Pemeriksaan foto dada garis pleura viseralis tampak putih, lurus, atau
cembung terhadap dinding dada dan terpisah dari garis pleura parietalis.
Celah antara kedua garis pleura tersebut tampak lusens karena berisi
kumpulan udara dan tidak didapatkan corakan vaskular pada daerah
tersebut. Pada tension pneumotoraks gambaran foto dadanya tampak
jumlah udara pada hemitoraks yang cukup besar dan susunan mediastinum
yang bergeser ke arah kontralateral. Terjadi pula pelebaran sela iga dan
pergeseran mediastinum ke arah kontralateral. 1,5,7
Pemeriksaan CT-scan mungkin diperlukan apabila dengan
pemeriksaan foto dada diagnosis belum dapat ditegakkan. Pemeriksaan ini
lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan
pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner
serta untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer atau
sekunder.
Pembahasan Kasus
Karena penyakit Tuberkulosis pada pasien ini telah mengakibatkan komplikasi
berupa pneumotoraks dan efusi pleura, maka berikut akan dibahas mengenai
penanganannya.
Tindakan pengobatan pneumotoraks tergantung dari luasnya pneumotoraks.
Tujuan dari penatalaksanaan tersebut yaitu untuk mengeluarkan udara dari rongga
pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. British Thoracic Society
dan American College of Chest Physicians telah memberikan rekomendasi untuk
penanganan pneumotoraks. Prinsip-prinsip penanganan pneumotoraks adalah : 2,9
Observasi dan pemberian tambahan oksigen.
Pemasangan Check Valve à Sucking Wound Phenomenon.
Aspirasi sederhanan dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi dengan atau
tanpa pleurodesis.
Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadpa adanya bleb atau bulla.
Torakotomi.
Dilakukan pada pasien pneumotoraks yang luasnya > 15%. Tindakan ini
bertujuan mengeluarkan udara dari rongga pleura (dekompresi). Dilakukan
dengan cara: 1,2,8,9,10
1. Menusukkan jarum melalui dinding dada sampai masuk rongga pleura,
sehingga tekanan udara positif akan keluar melalui jarum tersebut.
2. Membuat hubungan dengan udara luar melalui saluran :
a. Jarum infus set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk rongga pleura,
kemudian ujung pipa plastik di pangkal saringan tetesan dipotong dan
dimasukkan ke dalam botol berisi air kemudian klem dibuka, maka akan
timbul gelembung-gelembung udara di dalam botol.
b. Jarum abbocath no. 14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah mandrin
dicabut, dihubungkan dengan pipa infus set, selanjutnya dikerjakan seperti
(a).
c. Water seal drainage : pipa khusus (kateter urin) yang steril dimasukkan ke
rongga pleura dengan perantaraan trokar atau klem penjepit. Sebelum
trokar dimasukkan, dilakukan insisi kulitpada ruang antar iga ke enam
pada linea aksilaris media. Insisi juga dapat dilakukan pada ruang antar iga
kedua pada linea mid klavikula. Prosedur disinfektan harus dikerjakan
terlebih dahulu pada daerah yang akan diinsisi serta prosedur anestesi lokal
yang umumnya menggunakan prokain atau xilokain 2%. Setelah ditutup
dengan duk steril, trokar ditusukkan ke dalam rongga pleura, pipa khusus
(kateter urin) segera dimasukkan ke rongga pleura dan trokar dicabut,
sehingga hanya pipa khusus tersebut yang masih tertinggal di dalam
rongga pleura. Kemudian pipa tersebut dihubungkan dengan pipa yang
lebih panjang, terakhir dengan pipa kaca yang dihubungkan dengan air di
dalam botol. Pipa kaca dimasukkan ke dalam air kira-kira 2 cm dari
permukaan air, agar gelembung air mudah keluar. Kemudian diamati
selama 3 hari dan dibuat foto dada, bila paru sudah dapat mengembang
WSD dapat dicabut. Prosedur pencabutan WSD dilakukan saat pasien
dalam kondisi ekpirasi maksimal. Pada wanita muda, insisi kulit dilakukan
pada sela iga empat atau lima karena alasan kosmetika. Apabila akan
Torakoskopi
Dilakukan pertama kali oleh Dr. Hans Christian Jacobeus dari Stockholm
Swedia pada tahun 1919, dengan menggunakan alat sitoskop. Tindakan ini
dilakukan apabila: 1,8,9,10
Tindakan aspirasi maupun WSD gagal.
Paru tidak mengembang setelah 3 hari pemasangan tube torakostomi.
Terjadinya fistula bronkopleura.
Timbulnya kembali pneumotoraks setelah tindakan pleurodesis.
Pada pasien yang berkaitan dengan pekerjaannya agar tidak mudah
kambuh kembali seperti pilot atau penyelam.
Jika didapatkan adanya bleb atau bulla, maka yang bisa dilakukan adalah: 1,8,9,10
Lesi ukuran kecil, bleb atau bulla < 2cm, dikoagulasi dengan
pleurodesis.
Bleb atau bulla > 2 cm, reseksi torakoskopi dengan suatu alat
EndoGIA, kemudian diikuti skarifikasi (electrocoagulation) pada
pleura parietalis.
Torakotomi
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Siloam Lippo Village – FK UPH 29
Indikasi Operasi pada Kasus Tuberkulosis Paru
--
Patofisiologi cairan pleura 1
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara
cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura
dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini
terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan jaringan interstisial
submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura. Selain
itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.
Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh
peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah,
sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar
pleura dapat menyebabkan hemotoraks.
Proses terjadinya pneumotoraks karena pecahnya alveoli dekat pleura
perietalis sehingga udara akan masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering
disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastis
lagi seperti pada pasien emfisema paru.
Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan
primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis
peritoneum, hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva,
keganasan, atelektasis paru dan pneumotoraks.
Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan
permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial
berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga
pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena
mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa.
Sebab lain seperti parapneumonia, parasit (amuba, paragonimiosis, ekinokokkus),
jamur, pneumonia atipik (virus, mikoplasma, fever, legionella), keganasan paru,
proses imunologik seperti pleuritis lupus, pleuritis rematoid, sarkoidosis, radang sebab
lain seperti pankreatitis, asbestosis, pleuritis uremia dan akibat radiasi.
Manifestasi klinik
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan fisis
yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi and analisa
cairaan pleura. 1
Cairan yang berlebih pada ruang pleura menimbulkan gejala-gejala dan
karakteristik khas pada pemeriksaan fisik. Gejala-gejala yang timbul dipengaruhi oleh
proses yang mendasari terjadinya efusi dan akibat adanya efusi itu sendiri. Akibat
efusi antara lain inflamasi pleura, menurunnya kerja paru, terganggunya pertukaran
gas, atau menurunnya curah jantung. 4
Pemeriksaan penunjang
Foto Toraks (X Ray)
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk
bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi dari pada
bagian medial disertai dengan menumpulnya sudut kostophrenikus (gambar 5). Bila
permukaannya horizontal dari lateral ke medial, pasti terdapat udara dalam rongga
tersebut yang dapat berasal dari luar atau dalam paru-paru sendiri. Kadang-kadang
sulit membedakan antara bayangan cairan bebas dalam pleura dengan adhesi karena
radang (pleuritis). Perlu pemeriksaan foto dada dengan posisi lateral dekubitus. Cairan
bebas akan mengikuti posisi gravitasi. Posisi lateral dekubitus merupakan posisi yang
tersensitif karena efusi pleura dapat tampak dengan cairan minimal 50 mL. 1, 2, 3
Gambar 5. Efusi pleura yang tampak pada foto toraks Postero
Anterior memperkirakan minimal terdapat 300 mL cairan. 2, 3
Cairan dalam pleura bisa juga tidak membentuk kurva, karena terperangkap
atau terlokalisasi. Keadaan ini sering terdapat pada daerah bawah paru-paru yang
berbatasan dengan permukaan atas diafragma. Cairan ini dinamakan juga sebagai
efusi subpulmonik. Gambarannya pada sinar tembus sering terlihat sebagai diafragma
yang terangkat. Jika terdapat bayangan dengan udara dalam lambung, ini cenderung
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Siloam Lippo Village – FK UPH 34
Indikasi Operasi pada Kasus Tuberkulosis Paru
menunjukkan efusi subpulmonik. Begitu juga dengan bagian kanan di mana efusi
subpulmonik sering terlihat sebagai bayangan garis tipis (fisura) yang berdekatan
dengan diafragma kanan. Untuk jelasnya bisa dilihat dengan foto dada lateral
dekubitus, sehingga gambaran perubahan efusi tersebut menjadi nyata. 1
Hal lain yang dapat terlihat dari foto dada pada efusi pleura adalah
terdorongnya mediastinum pada sisi yang berlawanan dengan cairan. Di samping itu
gambaran foto dada dapat juga menerangkan asal mula terjadinya efusi pleura yakni
bila terdapat jantung yang membesar, adanya massa tumor, adanya densitas parenkim
yang lebih keras pada pneumonia atau abses paru. 1
Pemeriksaan dengan ultrasonografi pada pleura dapat menentukan adanya
cairan dalam rongga pleura. Pemeriksaan ini sangat membantu sebagai penuntun
waktu melakukan aspirasi cairan terutama pada efusi yang terlokalisasi. Pemeriksaan
CT scan dada dapat membantu. Adanya perbedaan densitas cairan dengan jaringan
sekitarnya, sangat memudahkan dalam menentukan adanya efusi pleura. Pemeriksaan
ini tidak banyak dilakukan karena biayanya masih mahal. 1
Pemeriksaan penunjang dengan foto thoraks pada pasien didapatkan:
Laboratorium
Laboratorium merupakan pemeriksaan penunjang yang mempunyai sifat
sebagai pelengkap diagnosis dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, sebagai penentu
dari diagnosis, dan sebagai bahan evaluasi dari suatu perkembangan pengobatan atau
penyakit.
Dari laporan kasus ini didapatkan Hb, Ht (hematokrit), dan trombosit dalam
batas normal. Leukosit yang meningkat (19.300/dL, N 5.000–10.000/dL) menandakan
adanya infeksi sistemik pada pasien tersebut. Peningkatan laju endap darah (73
mm/jam, N < 20 mm/jam) merupakan tanda dari adanya peradangan sistemik yang
kronik. Peningkatan SGOT (60 mu/ml, N < 25 mu/ml) dan SGPT (66 mu/ml, N < 20
mu/ml) yang tidak signifikan (signifikan jika meningkat > 3 kali diatas batas normal)
tetap mempunyai makna bahwa adanya tanda hipoksia pada jaringan tertentu terutama
hati (contoh: kerusakan sel hati, meningkatnya permeabilitas dinding sel hati).
Pada kasus ini sebaiknya dilakukan uji hitung jenis leukosit, karena dari tes
laboratorium ini memiliki makna yang menunjukkan tanda infeksi akut atau kronik.
Pada infeksi akut akan didapatkan peningkatan jumlah basofil, eosinofil serta
neutrofil batang (shift to the left). Sedangkan pada infeksi kronik akan terjadi
peningkatan jumlah pada limfosit dan monosit (shift to the right).
Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) berguna sebagai sarana untuk
diagnostik maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada pasien
dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis
aksilaris posterior dengan memakai jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran
cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000 - 1500 cc pada setiap kali aspirasi.
Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang dari pada satu kali aspirasi sekaligus
yang dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru akut. Edema paru
dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme sebenarnya
belum diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan intra pleura yang
tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah melalui permeabilitas kapiler
yang abnormal. 1, 5
Komplikasi lain torakosentesis adalah: pneumotoraks (ini yang paling sering
udara masuk melalui jarum), hemotoraks (karena trauma pada pembuluh darah
interkostalis) dan emboli udara yang agak jarang terjadi. 1
Gambar 9A. Posisi pasien dalam keadaan duduk, Gambar 9B. Posisi jarum berada dibatas superior
dan tempat penusukan jarum dilakukan diatas tulang kosta untuk menhindari trauma pada
interkosta 8 untuk menghindari trauma pada organ pembuluh darah dan saraf. 5
abdomen. 5
Pleuritis tuberkulosa
Permulaan penyakit ini terlihat sebagai efusi yang sero-santokrom dan bersifat
eksudat. Penyakit ini kebanyakan terjadi sebagai komplikasi tuberkulosis paru melalui
fokus subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga
dari robeknya perkijuan ke arah saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga
atau kolumna vertebralis (menimbulkan penyakit Pott). Dapat juga secara hematogen
dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Cairan efusi yang biasanya serous, kadang-
kadang bisa juga hemoragik. Jumlah lekosit antara 500-2000 per cc. Mula-mula yang
dorninan adalah sel polimorfonuklear, tapi kemudian sel limfosit. Cairan efusi sangat
sedikit mengandung kuman tuberkulosis, tapi adalah karena reaksi hipersensitivitas
terhadap tuberkuloprotein. Pada dinding pleura dapat ditemukan adanya granuloma. 1
Diagnosis utama berdasarkan adanya kuman tuberkulosis dalam cairan. efusi
(biakan) atau dengan biopsi jaringan pleura. Pada daerah-daerah dimana frekuensi
tuberkulosis paru tinggi dan terutama pada pasien usia muda, sebagian besar efusi
pleura adalah karena pleuritis tuberkulosa walaupun tidak ditemukan adanya
granuloma pada biopsi jaringan pleura. 1