com/2009/03/29/sawali-guru-sastra-untuk-semua/
Perkenalannya dengan blog dimulai pada tahun 2007. Dia mengaku masih gaptek saat
memulai jalan-mendaki.blogspot.com. Namun keinginan untuk segera bisa ngeblog
sedemikian kuatnya, hingga kemudian dibelinya buku-buku panduan ngeblog.
Setelah itu, Sawali bersemangat untuk menularkan kebiasaan ngeblog ini kepada
teman-temannya sesama guru. Beberapa waktu yang lalu, bersama 300-an guru
membuat blog bersama-sama. Ratusan guru yang berasal dari Kabupaten Banyumas
ini terbagi menjadi empat angkatan. Namun sayangnya, kini yang tersisa aktif hanya
sekitar sepuluh persen saja. “Pada tiarap”, katanya.
Menurutnya, ada dua hal yang menyebabkan “tiarap”nya para guru untuk tetap
ngeblog. Pertama, akses internet yang belum memadai. Memang kini Pemerintah
sudah melakukan usaha untuk membuat internet lebih terjangkau oleh lebih banyak
kalangan pendidikan melalui pembangunan ICT di beberapa daerah. Namun pada
kenyataannya, pembangunan ICT belum merata di seluruh sekolah, terutama sekolah-
sekolah yang lokasinya belum terjangkau sinyal ICT.
Penyebab kedua adalah budaya menulis di kalangan guru yang belum terbangun
dengan baik. “Bagaimana mungkin bisa melahirkan generasi yang memiliki budaya
baca-tulis yang bagus kalau guru gagal memberikan teladan yang baik?”, tanyanya.
Guru yang merupakan akronim digugu-ditiru memang diharapkan bisa menurunkan
kegemaran membaca dan menulis kepada murid-muridnya.
Apa yang harus dilakukan untuk menumbuhkan budaya menulis di kalangan guru?
“Yang pertama mesti gemar membaca dulu”, jawabnya tegas. “Membaca
menumbuhkan inspirasi. kalau inspirasi sudah ada, guru ‘kan tinggal
menuliskannya, baik dalam bentuk fiksi maupun non-fiksi”, jelasnya kemudian.
Menurutnya, guru tidak akan kesulitan soal bahan untuk ditulis. “Peristiwa-peristiwa
di kelas, bahan ajar, metode dan pembelajaran, opini pendidikan. Wah, banyak sekali
pokoknya, hehe!”. Intinya, banyak hal yang bisa dibagi.
Sawali berpendapat bahwa selain media cetak, yang pasti blog masih akan menjadi
primadona untuk membudayakan aktivitas menulis di kalangan guru. Tak lain karena
keunggulan blog yang mudah dan murah. “Blog itu ndak perlu pakai redaksi seperti di
media cetak”, tambahnya.
Sebelum mengenal blog, Sawali memang sudah suka menulis di media cetak baik
lokal maupun nasional. Tapi blog memberikannya kenyamanan dalam beberapa hal.
“Ndak harus menunggu otoritas redaksi yang begitu ketat dalam menyortir tulisan.
Lewat blog, saya bisa memublis tulisan apa saja dan kapan saja saya mau”, begitulah
katanya.
Pengajar Bahasa Indonesia pada sebuah SMP di Kendal ini memang kerap menulis
soal sastra dan pengajaran sastra di bangku sekolah. Menurut Sawali, idealnya
pengajaran sastra mesti difokuskan pada apresiasinya, bukan teoretis dan hafalan
melulu. “Saya sedih ketika masih ada rekan sejawat yang menyajikan pengajaran
sastra sekadar mencekoki anak-anak dengan pengertian-pengertian dan hafalan nama-
nama pengarang dan karyanya”, ungkapnya. Baginya, ini sebuah proses
“pembusukan” terhadap proses apresiasi itu sendiri.
Sawali setuju dengan pendapat Danarto bahwa bengalnya anak-anak remaja sekarang
lantaran tidak pernah diajar apresiasi sastra dengan baik. “Kalau saja mereka
mendapatkan pengajaran sastra yang baik, mereka bisa terangsang untukmenjadi
manusia yang lebih humanis, beradab, dan berbudaya, sehingga bisa mengontrol
perilaku anomali yang merangsek dalam jiwa dan batinnya”, jelasnya..
Dengan demikian, keluaran dari pengajaran sastra yang baik adalah output dari
pengajaran sastra yang baik adalah manusia2 yang humanis dan beradab. “Ada yang
bilang, aktivitas apresiasi sastra bisa membuat seseorang menjadi lebih responsif
terhadap berbagai fenomena hidup dan kehidupan yang terjadi di sekelilingnya.
Mereka bisa menjadi lebih berempati terhadap sesamanya”, katanya.
Sumber : http://dagdigdug.com/2009/03/29/sawali-guru-sastra-untuk-semua/