Anda di halaman 1dari 5

Sumber : http://edukasi.kompasiana.

com/

Upaya Menyiapkan Guru Sastra Berkualitas


Eko Israhayu

1. Pembelajaran Sastra, Memprihatinkan

Pembelajaran sastra di sekolah memprihatinkan! Adalah isu klasik yang tetap populer
hingga kini. Isu tersebut jika diperbincangkan, seolah tidak pernah ada habisnya.
Selalu muncul mata air masalah berkait dengan pembelajaran sastra di sekolah yang
disinyalir tidak kunjung membaik. Taufiq Ismail bahkan sampai gregetan dengan
kondisi pembelajaran sastra yang demikian ancur-ancuran. Sebab berdasarkan
penelitian yang pernah dilakukan berkait pembelajaran sastra dan mengarang pada
siswa SMA di 13 negara tahun 1997, kondisi yang terjadi di Indonesia sungguh amat
memprihatinkan.

Dalam pidato pengukuhan gelar doktor honoris causa (HC) bidang pendidikan sastra
dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) 8 Februari 2003 lalu, Taufiq
mengemukakan beberapa data dari hasil riset yang pernah dilakukannya. Taufiq
membeberkan temuannya. Selama duduk di bangku sekolah, siswa SMU di Thailand
membaca 5 judul buku sastra, siswa SMU di Malaysia dan Singapura 6 judul buku
sastra, siswa SMU di Brunei Darussalam 7 judul, di Uni Sovyet 12 judul, di Kanada
13 judul, di Jepang dan Swiss 15 judul, di Jerman Barat 22 judul, di Perancis dan
Belanda 30 judul, dan di AS 32 judul buku sastra, sementara siswa SMU di Indonesia
nol judul buku sastra!

Penulis tidak tahu persis, bagaimana metode pengambilan sampel yang dilakukan
Taufiq untuk penelitiannya di 13 negara tersebut, sehingga diperoleh angka yang
demikian dramatis untuk kondisi pembelajaran sastra di Indonesia, yakni nol judul
buku. Terlepas dari valid atau tidak, hasil penelitian yang pernah dilakukan Taufiq,
masalah pembelajaran sastra yang memprihatinkan memang sudah merupakan isu
lama, tetapi apakah memang telah demikian parah, hingga para siswa kita sampai
tingkat SMU membaca buku sastra nol judul buku? Penulis kira data ini masih perlu
dipertanyakan. Apalagi mengingat penerbitan buku-buku teenlit dan chicklit yang
memiliki pangsa pasar remaja (siswa SLTP dan SLTA ) selalu laris manis di pasaran.
Bukankah hal ini merupakan indikasi bahwa siswa SLTP dan SLTA mempunyai
atensi yang cukup positip terhadap sastra?

Kendati penulis masih menyangsikan hasil penelitian Taufiq, hal menarik yang layak
diberi apresiasi positif dari Taufiq adalah langkah kongkret yang kemudian
ditempuhnya, sebagai wujud kepeduliannya terhadap kondisi pembelajaran sastra
yang demikian ancur-ancuran. Taufiq mengadakan terobosan dengan melakukan
enam gerakan sastra bagi siswa SMU hingga mahasiswa. Diantaranya membuat
Sisipan Kaki Langit (untuk siswa SMU, Madrasah Aliyah, Pesantren, SMK) dalam
Majalah Horison, mengadakan Pelatihan Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra
(MMAS) untuk Guru Bahasa dan Sastra di seluruh propinsi, Program Sastrawan
Bicara, Siswa Bertanya (SBSB) dan Program Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca
(SBMM). Ia juga mengadakan Lomba Mengulas Karya Sastra dan Lomba Menulis
Cerita Pendek. serta menghimpun siswa peminat sastra “Sanggar Sastra Siswa
Indonesia” di 12 kota pada 2002.

1 Perpustakaan Pribadi Didi Arsandi, www.sastra-indonesiaraya.blogspot.com


Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/

Jika melihat kiprah Taufiq yang pada usia uzur (Taufiq lahir 25 Juni 1935) masih
memiliki perhatian yang demikian besar terhadap kondisi pembelajaran sastra di
sekolah, tentu kita merasa bangga sekaligus sedih. Bangga, karena di usianya yang
telah uzur, Taufiq sebagai seorang sastrawan besar, tetap memiliki kepedulian
(dengan melakukan langkah-langkah konkret) untuk memperbaiki kondisi
pembelajaran sastra di sekolah. Sedih, karena: mengapa harus Taufiq yang menjadi
demikian repot memikirkan kondisi pembelajaran sastra di sekolah? Mengapa bukan
penulis, atau Anda yang dapat berbuat banyak seperti yang telah dilakukan Taufiq?
Mengapa bukan Dinas Pendidikan yang mengagendakan adanya pelatihan secara
berkesinambungan untuk para guru agar dapat meningkatkan profesionalismenya
dalam membelajarkan sastra? Mengapa bukan Balai Bahasa? Tentu masih berderet
pertanyaan mengapa yang lain.

Kolaborasi Balai Bahasa Semarang dan Dinas Pendidikan Kabupaten Wonosobo yang
pada hari ini mengadakan seminar dengan tema Peningkatan Apresiasi Sastra dalam
Rangka Permartabatan Bahasa Indonesia, merupakan langkah yang laik didukung dan
musti dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan sejenis dalam rangka upaya perbaikan
pembelajaran sastra di sekolah.

2. Sosok Guru Sastra Profesional

Saat membahas kondisi pembelajaran sastra yang tidak menggembirakan, pertanyaan


yang muncul kemudian adalah: salah siapa? Jawaban yang kemudian muncul
biasanya seperti benang kusut yang sulit untuk diurai. Menurut Taufiq, ada elemen
mikro dan makro yang menjadi penyebab pembelajaran sastra memprihatinkan.
Penyair yang menulis buku kumpulan puisi berjudul Malu Aku Jadi Orang Indonesia
ini mengemukakan sejumlah faktor penyebab. Faktor-faktor itu menyangkut berbagai
keterbatasan, seperti keterbatasan buku, guru, dosen pencetak calon guru, orangtua
siswa, siswa, kurikulum, pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, soal ulangan, dana,
pemerintah, dan sastrawan.

Pada kesempatan ini, penulis tidak bermaksud untuk membahas secara menyeluruh
tentang faktor penghambat pembelajaran sastra seperti dikemukakan Taufiq di atas.
Oleh karena yang hadir di forum ini para guru, maka penulis hanya akan
menyampaikan hal berkaitan dengan guru dalam pembelajaran sastra dan peran
perguruan tinggi dalam mempersiapkan guru sastra berkualitas.

Selama ini, pangkal dan ujung pembicaraan tentang kualitas pembelajaran sastra yang
memprihatinkan, paling sering dialamatkan kepada para guru. Atau dengan kata lain
faktor yang paling berpengaruh sehubungan dengan lemahnya pembelajaran sastra
adalah guru. Mengapa guru menjadi terdakwa utama atas kondisi buruknya kualitas
pembelajaran sastra? Barangkali karena penggerak utama dalam pembelajaran adalah
guru, maka guru menjadi pihak yang paling sering disorot. Guru yang gagap dalam
membelajarkan sastra dianggap kurang atau tidak profesional. Tidak dapat dipungkiri,
bahwa mengajar materi sastra memang membutuhkan kemampuan plus, dibandingkan
dengan menyampaikan materi pelajaran yang lain. Sebagai contoh, saat
menyampaikan pembelajaran sastra tentang membaca puisi yang baik, seorang guru
tidak cukup hanya menyampaikan teori-teori tentang baca puisi, tetapi sebaiknya guru
juga memberikan contoh berkait dengan membaca puisi. Demikian pula berkaitan
dengan pembelajaran drama. Dalam memberikan pembelajaran tentang drama seorang

2 Perpustakaan Pribadi Didi Arsandi, www.sastra-indonesiaraya.blogspot.com


Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/

guru tak cukup hanya memberi teori tentang bermain drama, akan lebih baik jika guru
mampu memberi contoh-contoh akting secara sederhana. Demikian pula dalam
pemberian materi berkait dengan mengarang, guru yang mempunyai kemampuan
menulis tentu akan menyampaikan materi pembelajaran mengarang tidak sekadar
pengetahuan yang bersifat teoretis. Pendeknya, untuk menjadi guru sastra yang baik
seorang guru sastra sebaiknya membekali dirinya tidak hanya berupa kemampuan
teoretis, tetapi yang juga cukup penting adalah kemampuan praktik. Jika seorang guru
mampu membekali dirinya dengan kemampuan teoretis dan praktis, tentu saja ia akan
dapat menjadi sosok guru sastra yang profesional.

Bagaimana sebenarnya gambaran sosok guru sastra profesional? Kali ini penulis akan
mengutip pendapat yang dikemukakan Sutejo yang pernah dimuat di harian Kompas
12 April 2007. Menurut Sutejo, guru sastra populis, demikian ia mengistilahkan
adalah guru sastra profesional, adalah guru yang memiliki kriteria: (1) punya
kemampuan receptive apresiasi atas karya-karya sastra populer dan serius; (2)
kemampuan kreatif reproduksi, utamanya sastra populer; (3) mau terlibat dalam
aktivitas sastra (baik populer maupun serius); (4) kreatif mengambil materi ajar sesuai
dengan konteks sosial anak, konteks psikologis anak (karena itu mestinya sastra
populer kembali menjadi pilihan awal); (5) berani memfragmentasikan penggalan
drama maupun fiksi (sinetron maupun teaterikalisasi lagu-lagu yang sedang ngepop);
(6) mampu membimbing siswa untuk berkreasi secara empiris; dan (7) memiliki
pustaka sastra yang “memadai”, tidak saja yang serius tetapi juga sastra populer.

Tentu saja untuk menuju cita-cita menjadi guru sastra yang populis, seperti
dikemukakan Sutejo di atas, sejumlah langkah dapat ditempuh. Peran pemerintah
(melalui Dinas Pendidikan dan Balai Bahasa, misalnya) yang secara terprogram dan
kontinyu mengadakan pelatihan untuk meningkatkan profesionalisme guru sastra,
kiranya sudah mulai perlu dilakukan. Sebab, selama ini sangat jarang adanya
pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme guru sastra. Selain itu,
perguruan tinggi melalui IKIP/ LPTK yang terdapat di sejumlah universitas di
Indonesia, kiranya dapat pula turut memberi sumbangsih untuk mempersiapkan guru
sastra berkualitas.

3. Peran Perguruan Tinggi

Tidak dapat dipungkiri, bahwa kekurangprofesionalan guru dalam mengajar sastra


disebabkan pula oleh perguruan tinggi yang belum maksimal dalam mengelola para
mahasiswanya untuk dididik menjadi guru sastra yang profesional. Oleh karenanya,
perguruan tinggi melalui IKIP dan LPTK dapat memberikan sumbangsih dalam
mempersiapkan guru sastra yang berkualitas. Sejumlah strategi dapat ditempuh untuk
mencapai hal tersebut. Adapun strategi yang dimaksud meliputi hal-hal berikut.

A. Menyediakan Tenaga Pengajar yang Profesional

IKIP dan LPTK penyedia calon guru sastra sebaiknya memiliki tenaga pengajar
(dosen) yang profesional. Tuntutan ini wajib hukumnya. Sebab, bagaimana sebuah
lembaga pengelola calon guru akan menghasilkan guru sastra yang profesional, jika
tenaga pengajar yang mendidik calon guru tidak profesional? Sebagai contoh,
pengampu mata kuliah Kajian Drama sebaiknya adalah seorang pengampu yang harus
benar-benar mengerti (minimal munguasai dasar-dasar dramaturgi) tentang drama. Ia

3 Perpustakaan Pribadi Didi Arsandi, www.sastra-indonesiaraya.blogspot.com


Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/

tidak harus seorang teaterawan, tetapi ia memiliki kemampuan yang cukup memadai
untuk pementasan, akting, atau penulisan skenario misalnya. Jika seorang dosen
pengampu mata kuliah Kajian Drama, tidak memiliki kemampuan plus, maka sudah
dapat dibayangkan tentang materi yang akan diajarkannya kepada para mahasiswanya
yang calon guru sastra tersebut. Tentu materi yang diberikan sebatas teori belaka.
Akibatnya? Ketika mahasiswa calon guru tersebut kemudian lulus dan praktik
mengajar, karena dosen pengampu tidak memberi bekal yang memadai, maka yang
terjadi sang mahasiswa didikan dosen teoretis, hanya akan memfotocopi gaya
dosennya saat mengajar. Ia mengajarkan tentang bermain peran, tetapi tidak
melakukan permainan peran. Atau, ia sekadarnya menyampaikan materi tentang
bermain peran, tanpa memberikan penguatan-penguatan yang membuat siswanya
tertarik dan jatuh cinta pada drama (sastra).

Pada sejumlah mata kuliah yang menuntut kemampuan plus (Kajian Puisi, Penulisan
Sastra Kreatif, Penulisan Skenario, Apresiasi Prosa, Menulis Ekspresif, dan
sebagainya), cukuplah berbahaya jika perguruan tinggi tidak mempercayakannya pada
dosen yang profesional. Sebab, imbasnya sudah dapat ditebak.

Apabila perguruan tinggi tidak memiliki tenaga profesional untuk mata kuliah yang
menuntut kemampuan plus, perguruan tinggi dapat bekerja sama dengan tenaga
pengajar praktisi dari luar, misalnya dengan sastrawan yang ada di daerah di wilayah
perguruan tinggi berada.

B. Kurikulum yang Proporsional

Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada program studi di perguruan tinggi yang
secara khusus mendidik calon guru sastra. Yang ada, biasanya program studi
Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia (ada juga yang menambah Sastra Daerah). Oleh
karena, program studi yang ada berupa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, maka
muatan kurikulum yang ada biasanya ditujukan pada dua aspek, yakni aspek
kebahasaan dan kesastraan. Pada kenyataannya, ternyata penyusunan kurikulum di
perguruan tinggi acapkali tidak terdapat perbandingan yang proporsional. Pada
sejumlah perguruan tinggi, penyusunan kurikulum lebih banyak menitikberatkan pada
aspek kebahasaan. Adanya fenomena ini tentu saja dapat menjadi salah satu
penyebab, bekal kemampuan sastra yang dimiliki calon guru sastra menjadi tidak
memadai. Yang cukup memperihatinkan jika, misalnya dari 150 SKS yang ditempuh
mahasiswa selama di perguruan tinggi, ternyata hanya 15 – 20 SKS saja yang
berkaitan dengan sastra. Apa yang dapat diperoleh mahasiswa calon guru sastra dari
jumlah SKS yang sangat sedikit itu untuk dapat mengajarkan sastra?

C. Mata Kuliah Pilihan untuk Sastra Apresiatif

Fenomena lemahnya pembelajaran sastra di sekolah yang terjadi selama ini, terutama
pada pembelajaran sastra berkait dengan sastra apreasiatif. Misalnya pembelajaran
sastra berkait dengan memahami puisi dan membaca puisi. Tidak sedikit guru-guru
yang merasa kurang ngeh saat menyampaikan materi berkait dengan pemaknaan dan
pembacaan puisi. Guru acapkali merasa gagap dalam menginterpretasi puisi, dan juga
grogi saat dimintai siswa memberikan contoh membaca puisi.
Oleh karenanya, IKIP/ LPTK yang bertugas mempersiapkan guru sastra, sebaiknya
juga mempertimbangkan sejumlah permasalahan yang muncul di lapangan untuk

4 Perpustakaan Pribadi Didi Arsandi, www.sastra-indonesiaraya.blogspot.com


Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/

selanjutnya memberikan pembekalan yang memadai kepada para mahasiswa. Berkait


dengan hal tersebut, cara yang mungkin dapat ditempuh misalnya dengan
menyediakan mata kuliah pilihan untuk materi sastra yang bersifat apresiatif. Melalui
mata kuliah pilihan ini, diharapkan pengetahuan mahasiswa baik secara teoretis
maupun praktis dapat bertambah dan berkembang.

D. Kerjasama dengan Lembaga Kemitraan

Upaya yang ditempuh IKIP/ LPTK yang bertugas mempersiapkan guru sastra, akan
sangat baik jika dilengkapi kerjasama dengan sejumlah lembaga kemitraan. Misalnya
dengan Dikti, Dinas Pendidikan setempat, Balai Bahasa, Dewan Kesenian, Pers/
Penerbitan, MGMP, LPPM, dan lembaga-lembaga lain yang memungkinkan. Dengan
adanya kerjasama kemitraan ini akan dapat memberikan wawasan kepada dosen dan
mahasiswa untuk berpartisipasi aktif dalam menggali dan mengekspresikan
pengetahuan tentang sastra.

Kerjasama dengan pihak Dikti dan Depdiknas, misalnya dengan adanya kegiatan
pelatihan pembelajaran sastra. Pihak Dikti setiap tahun selalu menyediakan sejumlah
anggaran yang dapat dimanfaatkan dosen dan mahasiswa untuk mengadakan kegiatan
berkait dengan peningkatan profesionalisme guru. Pada program Penerapan Ipteks
misalnya, para dosen dapat mengajukan sejumlah program untuk meningkatkan
kualitas guru dalam membelajarkan sastra. Melalui kerjasama dengan Depdiknas dan
Balai Bahasa, barangkali perguruan tinggi juga dapat mengupayakan untuk
mengadakan kegiatan-kegiatan untuk peningkatan profesionalisme guru.

Demikianlah sedikit pokok pikiran yang dapat penulis sampaikan kaitannya dengan
peran perguruan tinggi dalam mempersiapkan guru sastra yang berkualitas. Sedikit
pokok pikiran yang penulis sampaikan, mudah-mudahan dapat diperkaya oleh
segenap pembaca di forum ini, sehingga kita dapat saling berbagi.

**Y**
(Pernah disampaikan dalam Seminar “Gerakan Cinta Bahasa dan Sastra Indonesia” di
Kabupaten Wonosobo)

Eko Sri Israhayu, lahir di Klaten, 3 November 1965. Sejak 1992, mengabdikan
ilmunya di Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Pernah meraih prestasi: Juara I
Tk Nas. Lomba Menulis Naskah Persiapan Pembelajaran Sastra (2002), Juara II Tk.
Nas. Lomba Menulis Naskah Pembelajaran Sastra (2003), Pemenang Terbaik
Nasional Sayembara Penulisan Proposal Penelitian Bahasa dan Sastra (2004) dan
Pemenang II Tk. Nas. Sayembara Penulisan Buku Pengayaaan Pusbuk (2009) Novel
Merenda Angan Biru (Penerbit Kanisius,1997) adalah novelnya yang perdana.

5 Perpustakaan Pribadi Didi Arsandi, www.sastra-indonesiaraya.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai