Anda di halaman 1dari 3

Semula mau berbagi tentang perspective Governmentality-nya Foucault dan kritik pembangunan di

Indonesia, namun ternyata bukan hal yang mudah bagi saya. Foucault, idenya bisa saya mengerti
dalam sebuah konteks namun ketika dia berdiri sendiri sebagai perspective, tantangannya jauh lebih
susah.

Adalah buku Tania Li Murray yang saya baca term lalu yang bergulat tentang pembangunan di
Indonesia. Judul bukunya Will to Improve, mungkin ada teman-teman yang sudah membaca buku
ini. Murray banyak menggunakan pemikiran Foucault tentang governmentality untuk menerangkan
will atau keinginan untuk memperbaiki (improve) di Indonesia. Dirinya sendiri berangkat dari sebuah
kepercayaan bahwa will to improve bermaksud untuk kebaikan dan akan menghasilkan sebuah
kebaikan.

Murray menerangkan konsep Foucault dengan tak terlalu rumit. Intinya adalah governmentality
dimana governmentality diartikan sebagai seni memerintah (art of government). . Hingga abad ke 18,
masalah pemerintah menurut Foucault masih ditempatkan pada konteks yang jamak dalam arti,
pemerintah tidak hanya diasosiasikan dengan politik saja namun juga agama, medis, dan pendidikan.
Ide pemerintahan, dibenak Foucault, mencakup teknik untuk mengkontrol –mulai dari kontrol diri
sampai kontrol “biopolitical”terhadap populasi.

Konsep governmentality dirancang untuk memberikan perspektif baru terhadap kekuasaan (power),
tak hanya dalam arti hierarki atau top down, namun dalam sudut pandang yang lebih luas termasuk
bentuk kontrol social insititusi serta pengetahuan. Kekuasaan bisa memanifestasi diri dalam bentuk
pengetahuan atau wacana yang lantas di internalisasi dalam individu dan digunakan untuk memandu
populasi dalam jumlah yang lebih luas.

Caranya?

Foucault menyebutkan dua cara: disciplinary power dan governmental power. Disciplinary power –
yang jamak terjadi dimasa modern-dilakukan lewat cara-cara kasat mata, misalnya menanamkan
sebuah ide (kondisi ideal yang diharapkan) kepada individu- atau
dogmatisasi/brainstorming/pembinaan.

“Disciplinary society is that society in which social command is constructed through a diffuse
network of dispositive or apparatuses that produce and regulate customs, habits, and productive
practices. Putting this society to work and ensuring obedience to its rule and its mechanisms of
inclusion and/or exclusion are accomplished through disciplinary institutions (the prison, the
factory, the asylum, the hospital, the university, the school, and so forth) that structure the social
terrain and present logics adequate to the "reason" of discipline. Disciplinary power rules in
effect by structuring the parameters and limits of thought and practice, sanctioning and
prescribing normal and/or deviant behaviors."

Foucault membandingkan masyarakat modern dengan Panopticon-nya Jeremy Bentham.


Panopticon adalah penjara yang dibangun oleh filosof dan ilmuwan social Jeremy Bentham
tahun 1785-logikanya kini dipakai di serial LOST oleh dharma association. Konsep ini didesign
untuk memungkinkan pengamat mengamati (opticon) semua (pan) narapidana tanpa narapidana
sadar bahwa dirinya sedang diamati. Bentham mendeskripsikan Panopticon sebagai cara baru
mendapatkan kekuasaan atas pikiran.
Lewat logika ini Foucault menyatakan bahwa “visibilitas adalah jebakan”, semakin tinggi derajat
pembinaan bisa dilakukan oleh sebuah institusi, semakin mampu institusi berkaitan merunut
tingkah laku individu sepanjang hidupnya. Penjara, dalam hidup yang nyata, digantikan dengan
akomodasi dan kenyamanan, pekerja social, polisi, guru, kegiatan sehari2 dan kehidupan pribadi
yang dihubungkan dengan supervise (dalam bentuk tingkah laku yang diterima) oleh masyarakat
secara umum.

Sedang governmental power atau monarchical punishment menginkorporasikan tindak


represi/tekanan dengan kekuasaan yang ditunjukkan lewat penyiksaan atau eksekusi.

Kembali ke bukunya Murray, dia membahas pembentukan Indonesia jauh dari masa penjajahan
Hindia Belanda dielaborasi dengan persaingan politis di Eropa, naiknya perdagangan
Internasional yang ditandai dengan politik tanam paksa (cultuurstelsel) dan desakan
diberlakukannya politik balas budi oleh Vandeventer. Secara social dan politis, fondasi
kebangsaan kita dibentuk dimasa ini. Dimasa ini juga, hubungan yang dicirikan feudalistis,
patron client, pemerintahan local/desa, konsep inner dan outer island dikukuhkan.

Buat Murray, pemerintahan Orde Baru adalah the second significant moment buat Indonesia.
Masa ini adalah masa dimana keinginan untuk membangun didengungkan. Soeharto dengan
mesin ekonomi pro-Keynesiannya percaya bahwa pertumbuhan ekonomi secara makro (yang
diindikasikan dengan growth) adalah kunci mengatasi kemiskinan-masih ingat dengan teorinya
tentang Trickle Down Effect kan?

Soeharto pintar. Dia ada sebelum Foucault atau dengan latar belakang militernya; dia paham
tentang Panopticon?

Indonesia adalah Negara yang sangat terfragmentasi, secara geografis, suku, agama dan budaya.
Untuk bisa membangun, ada prasyarat berupa soliditas. Nah, PR besarnya lantas
adalah..bagaimana ya menyatukan masyarakat yang sangat terfragmentasi itu?

Yap, benar. Bhinneka Tunggal Ika- unity in diversity; satu nusa, satu bangsa, satu bahasa:
Indonesia. Salah satu perwujudannya, menurut Murray, adalah dogmatisasi Pancasila,
standarisasi pemerintahan desa, penggunaan bahasa Indonesia (debatable: Lingua Franca atau
Domination tools?). Kata perbedaan diharamkan, semua orang harus percaya bahwa mereka
berbeda tapi satu.

Kelompok masyarakat yang tidak mau menerima itu-misalnya masyarakat Samin atau
masyarakat Lore Lindu di Sulawesi dan Badui Dalam- dianggap masyarakat primitive yang
harus “dibina”.

Masyarakat Samin-mungkin teman-teman sudah nonton film Lari dari Blora- adalah masyarakat
yang menolak bentuk pemerintahan dari jaman Hindia Belanda. Mereka tidak taat peraturan
Negara, tidak bersekolah (karena menganggap sekolah adalah alat Negara untuk memasukkan
ide-ide yang selama ini mereka lawan), tidak mau berbahasa Indonesia. Sebagai akibatnya,
mereka dianggap sebagai masyarakat liar yang harus dibina.
Pembinaan..pembinaan..pembinaan…

Salahkan untuk jadi beda? Wah, kalau ini saya bahas nanti jadi ngalor-ngidul nggak karuan.
Yang jelas, kalau beda nggak nurut aturan. Beda itu haram hukumnya..”kata bukunya Murray”

Saya terkejut ketika saya membaca buku Tania Li Murray ini untuk pertama kalinya. Banyak
flashback dan kenangan-kenangan serta pertanyaan yang saya tanyakan waktu masih kecil
misalnya:

1. Kenapa harus ada upacara bendera di hari Senin?

2. Kenapa harus hapal butir-butir pancasila

3. Kenapa harus ikut penataran P4

4. Kenapa harus ada pelajaran PMP, PSPB…kenapa?

Nah, pertanyaan masa kecil saya sudah terjawab jelas sekarang.

Note:

Bisa jadi teman-teman yang membaca artikel saya tersebut diatas akan marah dengan saya atau
tidak mau bicara lagi dengan saya. Saya sadar dengan konsekuensi itu, namun rasanya saya
berdosa kalau tidak sharing apa yang saya baca, renungkan, dan telaah selama beberapa bulan
terakhir ini.

Anda mungkin juga menyukai