Anda di halaman 1dari 7

MUSTAKIM

207500263

Survey of English Literature

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Beberapa kritik sastra dengan jelas mengungkapkan kondisi waktu dan tempat yang
meliputi bidang penulis maupun pembaca dan akan mempengaruhi sebuah karya. Sebagai
contoh, Sigmund Freud, pendiri psychoanalysis dalam psychology mencatat bahwa sebuah karya
sastra pengganti dari setiap keinginan, obsesi dari penulis (Mak Miller, 1997:97).

Namun ada beberapa karya sastra dengan jelas mengungkapkan karya merupakan sebuah
ekspresi jiwa, yang akan membakar dan menghilangkan kegelisahan dalam pikiran umat
manusia. Dalam kasus ini digambarkan bahwa dalam pendekatan sastra diperlukan pengetahuan
fungsi sastra itu sendiri. Ada empat pendekatan yang pasti mengenai ruang lingkup dari karya
sastra(Kennedy 1983). Pandangan ini beranggapan sebuah cerita memiliki identitasnya sendiri
yang ada dalam setiap halamanya yang dapat kita baca dan pahami sendiri tanpa harus
mempelajari kehidupan dari pengarang atau kapan karya itu dibuat.

Karya merupakan sebuah tiruan dari kehidupan. Aristotle menyebut, seni dari menulis
tragedy yang merupakan tiruan atau penciptaan ulang dari sebuah perilaku. Dari teori klasik ini,
esay mendatangkan bahwa karya sastra merupakan tiruan dari kehidupan masyarakat didunia ini.
Sebuah karya dari ekspresi. Dalam pandangan ini sebuah karya merupakan ekspresi dari
kejiwaan seseorang yang menulisnya. Sehingga suatu karya dipandang sebagai realiata atau
pengalaman dari penulis, oleh karena itu diperlukan kajian mendalam untuk hal ini. Yakni
diperlukan pengetahuan pendekatan yang tepat dengan cara mengetahui kehidupan si penulis.
Karya sebagai pengaruh. Dalam perspektif ini, suatu karya memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi seseorang. Berharap adanya respon, membangunkan emosi mereka, dan berharap
dapat bertukar pikiran.

Tidak ada batasan untuk mendefenisiskan sastra yang tak terbatas, tapi ada yang lebih
penting untuk didiskusikan yakni dalam setiap karya sastra memiliki tanda yang penuh arti.
Setiap aspek tanda perlu diartikan atau dimaknai kembali oleh semua yang membuat karya itu
exist.

B. Rumusan Masalah

Beradasarkan dengan yang diuraiankan dalam latar belakang masalah yang muncul diatas
bahkan menarik untuk dikaji lebih dalam lagi. Maka penulis akan merumuskan hal-hal sebagai
berikut:

1. Apa tujuan penulis membuat karya tersebut?

2. Apa Gaya penulisan karya tersebut?

BAB II
KONSEP TEORI

A. Strukturalism

Strukturalisme adalah suatu metode analisis yang dikembangkan oleh banyak semiotisian
berbasis model lingusitik Saussure. Strukturalis bertujuan untuk mendeskripsikan keseluruhan
pengorganisasian sistem tanda sebagai bahasa seperti yang dilakukan Lévi-Strauss dan mitos,
keteraturan hubungan dan totemisme, Lacan dan alam bawah sadar; serta Barthes dan Greimas
dengan grammar pada narasi. Mereka melakukan suatu pencarian untuk suatu struktur yang
tersembunyi yang terletak di bawah permukaan yang tampak dari suatu fenomena.

Social Semiotics kontemporer telah bergeser di bawah concern para strukturalis yang
menemukan relasi internal dari bagian-bagian di antara apa yang terkandung dalam suatu sistem.
Melakukan eksplorasi penggunaan tanda-tanda dalam situasi tertentu. Teori semiotik modern
suatu ketika disatukan dengan pendekatan Marxist yang diwarnai oleh aturan ideologi.

Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia


ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang mempunyai logika
independen yang menarik, berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusia. Bagi
Freud, strukturnya adalah psyche; bagi Marx, strukturnya adalah ekonomi; dan bagi
Saussure, strukturnya adalah bahasa. Kesemuanya mendahului subyek manusia individual
atau human agent dan menentukan apa yang akan dilakukan manusia pada semua keadaan.

Strukturalisme terutama berkembang sejak Claude Levy-Strauss Hubungan antara


bahasa dan mitos menempati posisi sentral dalam pandangan Lévi-Strauss tentang pikiran
primitif yang menampakkan dirinya dalam struktur-struktur mitosnya, sebanyak struktur
bahasanya. Mitos biasanya dianggap sebagai ‘impian’ kolektif, basis ritual, atau semacam
‘permainan’ estetika semata, dan figur-figur mitologisnya sendiri dipikirkan hanya sebagai
wujud abstraksi, atau para pahlawan yang disakralkan, atau dewa yang turun ke bumi sehingga
mereduksi mitologi sampai pada taraf semata sebagai ‘mainan anak-anak’, serta menolak
adanya relasi apapun dengan dunia dan pranata-pranata masyarakat yang menciptakannya.

Perhatian Lévi-Strauss terutama terletak pada berkembangnya struktur mitos


dalam pikiran manusia, baik secara normatif maupun reflektif, yaitu
dengan mencoba memahami bagaimana manusia mengatasi perbedaan antara alam dan
budaya. Tingkah laku struktur mitos yang tak disadari ini membawa Lévi-Strauss pada
analisis fonemik, di mana berbagai fenomena yang muncul direduksi ke dalam beberapa
elementer-struktural dasar, namun dengan satu permasalahan yang mendasar:

Di satu sisi tampaknya dalam mitos apa saja mungkin terjadi. Tak ada logika di sana, tak
ada kontinuitas. Karakteristik apapun bisa disematkan pada subjek apa saja ; setiap relasi yang
mungkin bisa saja ditemukan. Namun di sisi lain, kearbitreran penampakan ini dipungkiri oleh
keserupaan yang mengejutkan di antara mitos-mitos yang dikumpulkan dari berbagai wilayah
yang amat luas. Jika muatan dari mitos bersifat kontingen, bagaimana kita menjelaskan suatu
fakta bahwa mitos-mitos di seluruh dunia tampak serupa?

Mitos, menurut Levi-Strauss, memiliki hubungan nyata dengan bahasa itu sendiri karena
merupakan satu bentuk pengucapan manusia sehingga analisisnya bisa diperluas ke bidang
linguistik struktural. Namun tentu saja, analogi seperti ini tidaklah eksak dan mitos tidak bisa
dengan begitu saja disamakan dengan bahasa sehingga sekaligus pula harus ditunjukkan pula
perbedaannya melalui konsep Saussure mengenai langue dan parole, struktur dan kejadian
individual.

Versi-versi individual yang berbeda-beda dalam tiap mitos, yaitu aspek parole-nya,
diturunkan dari dan memberikan kontribusi pada struktur dasar langue-nya. Sebuah mitos, secara
individual, selalu dikisahkan dalam suatu waktu: ia menunjuk pada kejadian-kejadian yang
dipercaya begitu saja pernah terjadi di waktu lampau, namun pola spesifik atau strukturnya
dikatakan sebagai sesuatu yang kekal dan ahistoris: ia merangkum mode penjelasan tentang
kekinian dengan apa yang terjadi di masa lalu dan sekaligus masa depan.

Maka, setiap kali mitos dikisahkan kembali, ia menggabungkan elemen-elemen langue


dan parole-nya, dan dengan begitu mentrandensikan keduanya sebagai penjelasan trans-historis
dan transkultural atas dunia. Tidak seperti puisi, mitos tak terpengaruh oleh penerjemahan
maknanya: penggunaan bahasa atau aspek linguistik yang paling rendah sekalipun cukup untuk
mengungkapkan nilai mitikal dari mitos. Mitos merupakan bahasa, yang bekerja pada suatu
tingkat di mana makna terlepas dari tataran linguistiknya.
Berdasarkan anggapan ini, Lévi-Strauss memformulasikan dua proposisi dasar dalam
hubungannya dengan mitos: Makna dari mitologi tidak dapat muncul dalam elemen-elemennya
yang terisolir, tetapi haruslah melekat dalam suatu cara elemen-elemen itu dikombinasikan, dan
punya peran potensial bagi sebuah transformasi yang melibatkan kombinasi seperti ini. Bahasa di
dalam mitos memperlihatkan ciri khasnya yang spesifik: ia menguasai tataran linguistik biasa.

B. Psychoanalysis

Psikoanalisis sendiri pada awalnya adalah sebuah metode psikoterapi untuk


menyembuhkan penyakit-penyakit mental dan syaraf, dengan menggunakan teknik tafsir mimpi
dan asosiasi bebas. Teori ini kemudian meluas menjadi sebuah teori tentang kepribadian.
Konsep-konsep yang terdapat dalam teori kepribadian versi psikoanalisis ini termasuk yang
paling banyak dipakai di berbagai bidang, hingga saat ini.

Psikoanalisis dalam sastra memiliki empat kemungkinan pengertian. Yang pertama


adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi
proses kreatif. Yang ketiga adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada
karya sastra. Yang keempat adalah mempelajari dampak sastra pada pembaca. Namun, yang
digunakan dalam psikoanalisis adalah yang ketiga karena sangat berkaitan dalam bidang sastra.
Asal-usul dan penciptaan karya sastra dijadikan pegangan penilaian karya sastra itu sendiri. Jadi
psikoanalisis adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.

Konsep Freud yang paling mendasar adalah teorinya tentang ketidaksadaran. Pada
awalnya, Freud membagi taraf kesadaran manusia menjadi tiga lapis, yakni lapisan unconscious
(taksadar), lapisan preconscious (prasadar), dan lapisan conscious (sadar). Di antara tiga lapisan
itu, taksadar adalah bagian terbesar yang memengaruhi perilaku manusia. Freud
menganalogikannya dengan fenomena gunung es di lautan, di mana bagian paling atas yang
tampak di permukaan laut mewakili lapisan sadar. Prasadar adalah bagian yang turun-naik di
bawah dan di atas permukaan. Sedangkan bagian terbesar justru yang berada di bawah laut,
mewakili taksadar.

Dalam buku-bukunya yang lebih mutakhir, Freud meninggalkan pembagian lapisan


kesadaran di atas, dan menggantinya dengan konsep yang lebih teknis. Tetapi basis konsepnya
tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu bahwa tingkah laku manusia lebih banyak digerakkan oleh
aspek-aspek tak sadar dalam dirinya. Pembagian itu dikenal dengan sebutan struktur kepribadian
manusia, dan tetap terdiri atas tiga unsur, yaitu id, ego, dan superego.

Id adalah bagian yang sepenuhnya berada dalam ketidaksadaran manusia. Id berisi


cadangan energi, insting, dan libido, dan menjadi penggerak utama tingkah laku manusia. Id
menampilkan dorongan-dorongan primitif dan hewani pada manusia, dan bekerja berdasarkan
prinsip kesenangan. Ketika kecil, pada manusia yang ada baru id- nya. Oleh karena itu kita
melihat bahwa anak kecil selalu ngotot jika menginginkan sesuatu, tidak punya rasa malu, dan
selalu mementingkan dirinya sendiri.

Ego berkembang dari id, ketika manusia mulai meninggalkan kekanak-kanakannya,


sebagai bentuk respon terhadap realitas. Ego bersifat sadar dan rasional. Keinginan-keinginan id
tidak selalu dapat dipenuhi, dan ketika itulah ego memainkan peranan. Ego bekerja berdasarkan
prinsip realitas. Misalnya, ketika id dalam diri kita ingin makan enak di restoran mahal, tetapi
keuangan kita tidak mampu, maka ego tidak bisa memenuhi keinginan itu.

Superego muncul akibat persentuhan dengan manusia lain (aspek sosial). Dalam
keluarga, superego ditanamkan oleh orang tua dalam bentuk ajaran moral mengenai baik dan
buruk, pantas dan tidak pantas, dsb. Superego muncul sebagai kontrol terhadap id, terutama jika
keinginan id itu tidak sesuai dengan moralitas masyarakat. Superego selalu menginginkan
kesempurnaan karena ia bekerja dengan prinsip idealitas.

Bab III

Pembahasan

Anda mungkin juga menyukai