Anda di halaman 1dari 6

THE TAO OF ORGANIZATION

Suatu Tinjauan Filosofis tentang Organisasi


S. Batunanggar, UPB3/Tim6

“Guidance can be articulated, but not in an unchanging course;


terms can be defined, but not a fixed terminology …
Therefore wise people live without artificiality and act on unspoken teaching.” (Lao Tsu)

Pendahuluan
Pada dasarnya, organisasi memiliki banyak kesamaan dengan manusia -- salah satu elemennya
yang terpenting. Organisasi lahir, berkembang dan menghilang seperti halnya mahluk hidup.
Ada yang mampu bertahan (survive) dan banyak juga yang ‘sakit’ bahkan mati karena tidak
mampu mengadaptasi perubahan lingkungannya seperti diungkapkan oleh Arie de Geus dalam
The Living Company (1997). Organisasi juga memiliki prilaku (behaviour) dan budaya (culture)
sebagaimana dikemukakan oleh para proponen konsep organizational culture (e.g. Deal and
Kennedy, Schein (1985). Sebagaimana halnya manusianya, organisasi pun mengalami proses
pembelajaran (learning) (e.g. Argyris and Schon, (1978); Senge (1990).

Tulisan ini bukanlah review yang komprehensif dari konsep-konsep tersebut, tetapi suatu upaya
untuk memahami beberapa aspek organisasi dari sudut pandang filosofi timur khususnya Yoga
dan Tao. Konsep organisasi the seven Ss framework of McKinsey, manajemen Jepang dan
organisasi pembelajar (the learning organization) sengaja dipilih sebagai rujukan dalam membahas
aplikasinya.

“Aturan dapat disusun dan diajarkan, tetapi harus terus disesuaikan; istilah-istilah dapat
didefinisikan, tetapi bukanlah suatu terminologi yang tetap … Karena itu orang bijak hidup
terbebas dari kedangkalan (berfikir) dan bertindak berdasarkan ajaran yang tak tertulis”, begitu
kira-kira arti dari ajaran Lao Tsu yang dikutip diatas. Karena itu pula mengapa tulisan lebih
dimaksudkan sebagai suatu refleksi sederhana daripada suatu pedoman tehnis untuk
memahami organisasi.

Kerangka Analisis Organisasi


Salah satu alat analisis organisasi yang paling komprehensif dan powerful adalah konsep the
seven Ss of McKinsey (Waterman et.al., 1980). Struktur bukanlah organisasi, begitu argumen
mereka. Dalam organisasi, selain structure dan strategy terdapat lima elemen penting lainnya
yakni systems, staffs, skills, style, dan shared values. Diantara ide dasar terpenting dari konsep ini
adalah keterkaitan (interconnectedness) antara dan antar elemen. Karena itu, adalah sulit atau
mungkin mustahil membuat kemajuan dalam satu elemen tanpa menyempurnakan elemen-
elemen lainnya. Aspek lainnya yang ditekankan dalam the seven Ss adalah sisi manusia (the
human side) dari organisasi yang sama pentingnya dengan elemen lainnya. Singkatnya, dua
prinsip dasar terpenting dalam kerangka McKinsey ini adalah interdependensi antar elemen

GEMA KORPS No.305/XXV/Juli 1997


S. Batunanggar, THE TAO OF ORGANIZATION: Suatu Tinjauan Filosofis tentang Organisasi

dan peniadaan ‘starting point’. Artinya elemen mana saja bisa digunakan sebagai starting point
dalam proses pengorganisasian. Namun demikian, setidaknya terdapat satu aspek yang belum
dibahas secara mendalam dalam konsep the seven Ss yaitu faktor keseimbangan.

Manusia, Organisasi dan Keseimbangan


Agar efektif, organisasi sebagaimana halnya manusia, mensyaratkan keseimbangan individual
masing-masing elemen, keselarasan antar elemen, keseimbangan antara unsur ‘keras’ dan unsur
‘lunak’ dan keseimbangan organisasi secara total. Secara filosofis, keseimbangan dalam arti
yang sesungguhnya lebih banyak mendapat perhatian pada budaya dan falsafah timur (oriental).
Pada dasarnya, falsafah ‘barat’ (Aristotelian) lebih menekankan pada aspek logika dan rasional
serta pemikiran ‘sekuler’. Karena itu, untuk memahami hakikat organisasi, selain menggunakan
konsep ‘manajemen barat’, adalah bermanfaat untuk merenungkan kembali filosofi timur yang
lebih bersifat menyeluruh (holistic), alamiah (natural) dan sederhana namun sangat mendasar
(profound). Dalam pandangan timur, alam beserta isinya -- termasuk manusia dan organisasi --
berjalan mengikuti hukum-hukum dasar, diantaranya prinsip interdependensi dan
keseimbangan. Menurut falsafah klasik seperti Yoga, Tao dan Zen, pada dasarnya, alam dan
isinya termasuk manusia dan organisasi memiliki elemen yang sama. Falsafah Samkhya
mengatakan bahwa alam terbentuk dari tiga kekuatan – Sattva (keseimbangan), Rajas (aktivitas)
dan Tamas (inaction or inertness). Ketiga kekuatan yang juga terdapat dalam manusia ini tidak
dengan selaras dengan sendirinya. Bila seseorang didominasi oleh Tamas, dia menjadi pemalas
dan pasif. Bila seseorang didominasi oleh Rajas, dia menjadi overactive dan selalu menunjukkan
energi dan kekuatannya. Yang menyeimbangkan Tamas dan Rajas dalam diri manusia adalah
Sattva, yang membawa harmoni, ketenangan dan kebijaksanaan. Yoga berhubungan dengan
ketiga kekuatan ini dan menunjukkan jalan bagaimana untuk menyelaraskannya dan juga
mengembangkannya. Sejalan dengan Hatha Yoga, falsafah Tao juga menekankan pada
penyeimbangan antara unsur atau kekuatan Yin (bersifat lembut, feminin dan dilambangkan
sebagai rembulan) dan Yang (bersifat keras, maskulin dan dilambangkan sebagai matahari)
untuk mencapai harmoni dan kesempurnaan. Agama-agama lainnya, seperti Islam sebagai
pedoman hidup yang paripurna juga mengajarkan pentingnya faktor keseimbangan dalam segala
aspek kehidupan termasuk keseimbangan antara dunia dan akhirat.

Filosofi Yoga: The Seven Ss vs Tujuh Chakra

Menurut Peters & Waterman sebenarnya tidak terdapat suatu ‘rahasia’ dibalik the seven Ss
framework tersebut. Terlepas dari apakah konsep 7S didasarkan pada falsafah Yoga atau tidak,
agaknya terdapat persamaan antara konsep ‘the-seven Ss’ dengan falsafah Yoga. Pada
hakekatnya, Yoga adalah penyatuan (union). Penyatuan dari dua atau lebih gunas atau kekuatan
(powers) yang ditujukan untuk memperoleh suatu keseimbangan (equilibrium) dan keselarasan
(harmony). Falsafah dan metode Yoga tidak hanya relevan untuk diterapkan secara ‘mikro’
dalam konteks pengembangan dan pengenalan diri, tetapi juga dalam konteks yang lebih
‘makro’ yakni dalam pengembangan organisasi. Tujuh elemen organisasi tersebut ibarat tujuh
pusat energi (chakra) dalam diri manusia yang perlu dikembangkan, difokuskan dan diselaraskan
untuk mencapai tujuan hakiki.

GEMA KORPS No.305/XXV/Juli 1997 2


S. Batunanggar, THE TAO OF ORGANIZATION: Suatu Tinjauan Filosofis tentang Organisasi

Filosofi Tao: The Hard Ss and the Soft Ss vs Yin dan Yang

Salah satu prinsip dasar dari falsafah Tao adalah relativitas atau contingency yang sejalan dengan
konsep Yin-Yang. Menurut Tao :

Bila setiap orang menganggap “indah” itu indah, maka hal ini adalah buruk.
Bila setiap orang menganggap “baik” itu baik, maka hal ini adalah tak baik.
Pengakuan dan penolakan saling menghasilkan,
kesulitan dan kemudahan saling melengkapi,
panjang dan pendek saling membentuk,
pemikiran dan perkataan saling menyetujui,
sebelum dan sesudah saling mengikuti – kesemua ini adalah konstan.
Karena itu orang bijak hidup terbebas dari kedangkalan
dan bertindak berdasarkan ajaran yang tak tertulis. (Lao Tsu)

Salah satu ‘rahasia’ keberhasilan perusahaan-perusahaan Jepang seperti dikemukakan oleh


beberapa penulis Amerika, terletak pada keunikan budaya perusahaan (corporate culture)nya
yang banyak didasarkan pada falsafah Tao dan Zen yang menekankan pada pentingnya aspek
keseimbangan dan harmoni. Karenanya, tidak mengherankan apabila perusahaan-perusahaan
Jepang besar dan ternama seperti Sony dan Matsushita sangat menganjurkan para eksekutifnya
untuk selalu melakukan meditasi Zen untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan dan daya
intuisi mereka.

Implementasi dari ajaran Tao ini sangat mengakar dalam budaya termasuk gaya manajemen
Jepang (e.g. Pascale and Athos, 1981). Penulis buku terkenal The Art of Japanese Management ini
mengklassifikasikan the seven Ss of McKinsey tersebut kedalam dua golongan. Tiga S yang
pertama yakni strategy, structure and system disebut sebagai ‘the hard Ss’ dan keempat S lainnya
yakni: staffs, skills, style, and shared values sebagai ‘the soft Ss’. Banyak survey yang
menyimpulkan bahwa organisasi-organisasi yang unggul (excellent) adalah mereka yang tidak
hanya menekankan pada pengembangan ‘the hard Ss’ tetapi juga pada ‘the soft Ss’. Sebaliknya,
banyak organisasi besar dan terkenal sebelumnya tidak mampu survive karena terlalu
menekankan pada pentingnya ‘the hard Ss’ tanpa memberikan perhatian yang cukup pada
pengembangan faktor sumberdaya manusia atau ‘the soft Ss’. Dalam perspektif Tao dan Zen,
‘the hard Ss’ adalah unsur Yang dan ‘the soft Ss’ adalah Yin yang harus diselaraskan untuk
mencapai harmoni. Lalu, dalam konteks organisasi, bagaimana cara untuk mencapai
keseimbangan itu?

Mencapai Resolusi dan Keseimbangan


Kehidupan organisasi memang penuh dengan dinamika dan konflik sama halnya dengan
manusia. Richard Pascale (1990) dalam bukunya yang terkenal, Managing on the Edge
mengungkap bagaimana perusahaan-perusahaan yang sukses – seperti Ford, General Electric,
Citicorp, Hawlett-Packard, General Motor dan Honda – mampu menggunakan konflik dalam
organisasinya untuk tetap bertahan sebagai yang terbaik. Pada dasarnya, gagasan yang
dikemukakan oleh Pascale merupakan pengembangan lebih lanjut dari konsep the seven Ss of
McKinsey dengan penekanan pada aspek keseimbangan dalam artian dinamis, bukan statis.
Pascale mengajukan suatu pendekatan ‘tengah’ yang harmonis berdasarkan Hagelian dialectic –
thesis, antithesis, synthesis – seperti ditunjukkan pada tabel berikut:

GEMA KORPS No.305/XXV/Juli 1997 3


S. Batunanggar, THE TAO OF ORGANIZATION: Suatu Tinjauan Filosofis tentang Organisasi

Elements Thesis Antithesis Synthesis


Strategy Planned versus Opportunistic Strategic Opportunism
Structure Elitist versus Pluralist Interdependent Superstars
Systems Mandatory versus Discretionary Regulated Latitude
Style Managerial versus Transformational Enlightened Discipline
Staffs Collegiality versus Individuality Socialized Activists
Skills Maximize versus ‘Metamize’ Evolving Excellence
Shared Values Hard Minds versus Soft Hearts Compassionate Pragmatism
Source: Richard Pascale, Managing on the Edge: How Successful Companies Use Conflict to Stay Ahead (1990)

Hasil sintesis diatas merupakan suatu resolusi unik yang dicapai oleh Ford dalam upayanya
mendorong ketegangan konstruktif (constructive tension) untuk mempercepat adaptasi dan
pembelajaran berkelanjutan (continuos learning) dalam organisasi.

Manusia dan Organisasi: Sebuah Metafora

Secara sederhana, keterkaitan antara unsur the hard Ss dan the soft Ss dapat dilukiskan dengan
suatu metafora. Bila struktur organisasi berfungsi sebagai kerangka (skeleton) bagi organisasi,
maka strategi berperan sebagai otak (brains)-nya, sedangkan berbagai sistem yang ada berfungsi
sebagai aliran darah (arteries) yang vital bagi organisasi. Staffs and skills ibarat raga (body),
sedangkan style adalah ‘hati’ (the heart) dan shared values jiwa (soul) dari organisasi.

Tao, Pembelajaran Individu dan Organisasi

Secara konseptual, agaknya ajaran Tao juga mendasari konsep organisasi pembelajar (the
learning organization) yang dipopulerkan oleh Peter Senge (1990) melalui karyanya yang
terkenal The Fifth Discipline. Menurut Senge, organisasi yang efektif dan mampu bertahan adalah
organisasi yang secara kontinu mengembangkan kemampuannya dalam berinteraksi dengan
lingkungannya yang terus berubah. Proses pembelajaran dalam organisasi dimulai dengan
pembelajaran individu (individual learning) yang kemudian dikembangkan menjadi pembelajaran
kelompok (team learning) hingga pembelajaran organisasi (organizational learning).

Sesuai dengan ajaran sufi : “Kenalilah dirimu maka kau akan mengenal Tuhanmu”, ajaran Tao
mengawali pembinaan dan pemahaman pribadi (self) untuk memahami entitas diluar pribadi
dalam konstalasi ‘mikro’ dan ‘makro’ secara bertahap. Idealnya, pemahaman dan pembinaan
perlu dilakukan mulai dari entitas yang paling kecil (mikro) yakni diri sendiri, kemudian
dilanjutkan ke keluarga, organisasi, masyarakat dan seterusnya. Dalam Tao Te Ching, Lao Tsu
mengajarkan :

GEMA KORPS No.305/XXV/Juli 1997 4


S. Batunanggar, THE TAO OF ORGANIZATION: Suatu Tinjauan Filosofis tentang Organisasi

Apa yang telah dibangun dengan kukuh takkan tumbang.


Apa yang telah digenggam dengan erat takkan hilang.
Hal itu akan dihormati dari generasi ke generasi.
Binalah kebajikan dalam dirimu, dia akan menjadi nyata.
Binalah kebajikan dalam rumah tangga, dia akan menyatu.
Binalah kebajikan dalam organisasi, dia akan tumbuh.
Binalah kebajikan dalam negara, dia akan melimpah,
Binalah kebajikan dalam dunia, dan kebijakan akan universal.
Karena itu pandanglah pribadi sebagai pribadi;
Pandanglah keluarga sebagai keluarga;
Pandanglah organisasi sebagai organisasi;
Pandanglah negara sebagai negara;
Pandanglah dunia sebagai dunia.
Bagaimana saya mengetahui dunia seperti ini?.
Dengan melihat!
(Lao Tsu, Tao Te Ching)

Penutup
Untuk memahami realitas di dalam (inner) dan di luar (outer) pribadi (self), Tao mengajarkan kita
agar mampu ‘melihat’ hakikat atau essensi segala sesuatu. Untuk itu dituntut kemampuan
melihat dengan mata dan pikiran kita, tetapi juga dengan ‘mata’ hati yang jernih, untuk
memahami realitas yang sesungguhnya. Inilah inti dari falsafah Tao yakni membuka kesadaran
kita untuk merasakan atau mengalami dan melihat visi realitas yang sebenarnya.

Akhirnya, ajaran lama Tao berikut ini masih relevan untuk kita renungkan:

Mereka yang mengenal orang lain adalah orang pintar,


Mereka yang mengenal diri mereka sendiri adalah orang yang mendapat petunjuk
Mereka yang mampu mengendalikan orang lain adalah orang kuat,
Mereka yang mampu mengendalikan diri mereka sendiri adalah orang yang linuwih.
(Lao Tsu)

Wallahu alam
Kebonsirih, Mei 1997

GEMA KORPS No.305/XXV/Juli 1997 5


S. Batunanggar, THE TAO OF ORGANIZATION: Suatu Tinjauan Filosofis tentang Organisasi

Referensi

1) Argyris, C. and Schon, D. (1978), Organization Learning: A Theory-in-Action Perspective, Reading,


Massachusetts: Addison-Wesley.
2) Cleary, Thomas (trans.) (1993), The Spirit of Tao, Shambala Publication, Inc
3) de Geus, Arie (1997), ‘The Living Company’, Harvard Bussiness Review, March-April 1997
4) Messing, Bob (1988), The Tao of Management, Humanic Ltd. Georgia, USA.
5) Murata, Sachiko (1992), The Tao of Islam, A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought,
State University of New York Press.
6) Pascale, R.T. (1990), Managing on the Edge: How Successful Company Use Conflict to Stay Ahead,
Penguin Books.
7) Pascale, R.T. and Athos A.G. (1981), The Art of Japanese Management, Penguin Books.
8) Peters, T.J. and Waterman, R.H. (1982), In Search of Excellence, Harper Row.
9) Senge, Peter M. (1990), ‘The Leader’s New Work: Building Learning Organizations’, Sloan
Management Review, Fall 1990 pp 7-23.
10)__________ (1990), The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization, New York:
Doubleday/Currency.
11)Schein, E.H. (1985), Organizational Culture and Leadership, Jossey Bass.
12)Sinha, Paulgenda (1973), Yoga: Meaning, Values and Practice, Jaico Publishing House.
13)Swami, Svatmarama (1972), Hatha Yoga Pradipika, translated by Elsy Becherer, Aquarian/Thorson.
14)Tsu, Lao, (600 BC) Tao Te Ching, translated by Gia-Fu Feng and Jane English (1972), Vintage Books,
New York.
15)Waterman, R.H., Peters, T.J., and Philips, J.R. (1980), ‘Structure is not Organization’, Bussiness
Horizon, June 1980.

The Tao of Organization New.doc

GEMA KORPS No.305/XXV/Juli 1997 6

Anda mungkin juga menyukai