Anda di halaman 1dari 6

“Askeskin (Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin)

Kemanakah Engkau ?
Masyarakat Miskin Membutuhkanmu”
Oleh : Agus Sumarsono

Sekedar mengingatkan bahwa persoalan kemiskinan memang sampai sekarang masih


saja menjadi bahan pembicaraan yang terus bergulir, baik dalam pembicaran sehari-hari
masyarakat, para akademisi di lingkungan pendidikan kampus, seminar-seminar yang
diselenggarakan oleh LSM maupun pemerintah dan lain-lain.
Perbincangan kemiskinan ini akan muncul ke permukaan seringkali juga
dilatarbelakangi oleh motif kepentingan politik yang sekarang menjadi agenda besar negeri ini,
baik menjelang pilkada (pemilihan kepala daerah), pemilu (pemilihan umum), pilpres (pemilihan
presiden). Entah kenapa jargon-jargon yang dikumandangkan adalah seputar kemiskinan.
Biarpun tidak sedikit yang secara serius memperbincangkan tema kemiskinan masyarakat guna
mencari solusi agar persoalan kemiskinan di Indonesia yang telah menjadi laten ini sedikit demi
sedikit dapat diatasi. Mungkinkah persoalan ini dapat teratasi ? apakah program-program yang
dipersiapkan sudah membantu masalah-masalah yang timbul sebagai dampak kemiskinan ?

Kemiskinan
Kemiskinan merupakan fenomena yang terjadi di hampir semua kabupaten/ kota di
Indonesia, termasuk di dalamnya Kabupaten Sukoharjo. Kemiskinan tersebut timbul karena
ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf
yang dianggap manusiawi. Tentunya kondisi ini menyebabkan menurunnya kualitas sumber daya
manusia sehingga produktifitas dan pendapatan yang dihasilkan rendah. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Robert Chambers, lingkaran kemiskinan ini akan terus terjadi karena dengan
penghasilan yang rendah akhirnya tidak mampu mengakses sarana pendidikan, kesehatan dan
nutrisi yang baik. Rendahnya kualitas SDM ini akan menyebabkan kelompok masyarakat miskin
menjadi tersisih dari persaingan ekonomi, politik, sosial budaya maupun psikologi sehingga

1
semakin tidak mampu mendapatkan kesempatan yang baik dalam sistem sosial ekonomi
masyarakat.

Sesungguhnya persoalan kemiskinan memang tidak sederhana. Apa itu kemiskinan ?.


Pertanyaan ini memang sederhana, tetapi mungkin terdapat banyak ragam jawaban mengenai
pengertian tentang kemiskinan. Mulai dari kemiskinan berarti adalah kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dasar ataupun untuk memperbaiki keadaan karena tidak mempunyai pekerjaan
yang layak dan berdampak pada kehilangan harga diri, terbentur pada ketergantungan, terpaksa
menerima perlakuan kasar, dan tidak dipedulikan ketika mencari pertolongan. Umumnya
pengertian kemiskinan ini mengacu kepada kebutuhan dasar material. Orang dianggap miskin
manakala tidak dapat memenuhi kebutuhan material atau standard kebutuhan pokok untuk dapat
hidup yang layak.
Problem Apa Yang Dihadapi oleh Masyarakat Miskin ?
Tentu sangat banyak sekali problem yang dihadapi oleh masyarakat miskin dalam
menjalani kehidupan sehari-hari. Dengan pendapatan ekonomi yang pas-pasan tentu masyarakat
akan lebih memprioritaskan bagaimana dapat bertahan hidup ketimbang yang lain.

kami tidak boleh sakit mas, bagaimana nanti kalau sakit, tentu harus ada
tambahan biaya, dari mana akan kami cari? Untuk bertahan hidup aja susah, dan
masih harus ditambah dengan biaya cukup mahal bagi anak yang sampai
sekarang masihtulisan
Dalam sekolah.
sederhana ini memang tidak menggambarkan problem hidup yang
dihadapi oleh masyarakat miskin secara menyeluruh, sebab hanya akan menjelaskan mengenai
kesulitan masyarakat miskin dalam mengakses layanan kesehatan saja. Ini pun masih sangat
mungkin belum cukup mampu menggambarkan mengenai problem di bidang kesehatan, hanya
sekedar memvisualisasikan keresahan masyarakat miskin untuk mengupayakan akses layanan
kesehatan yang murah dan terjangkau. Banyak kendala yang harus ditemui, terutama persoalan
pembiayaan yang dirasakan amat tinggi/ mahal. Sehingga menjadikan masyarakat miskin
menjadi skeptis, apatis terhadap dunia kesehatan.
Problem pelayanan kesehatan, pemerintah mengeluarkan sistem kesehatan nasional
2004 yaitu Kepmenkes 131 tahun 2004 dan Undang-undang No.40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional. Namun pada prakteknya masyarakat miskin masih merasa sulit untuk
memperoleh akses pelayanan kesehatan ini dan berdampak pada rendahnya kualitas kesehatan
tubuh masyarakat untuk bekerja dan mencari nafkah. Untuk mengatasi problem tersebut

2
pemerintah telah mempersiapkan berbagai upaya yang dikembangkan seperti program kesehatan
masyarakat, peningkatan investasi pada pelayanan kesehatan, peningkatan kualitas pelayanan,
desentralisasi sistem kesehatan, namun akses masyarakat pada pelayanan kesehatan tetap
menjadi masalah utama bahkan sangat berkontribusi pada kemiskinan.

Adapun kesulitan masyarakat untuk memperoleh akses layanan kesehatan ini bisa jadi
diakibatkan oleh ;
1. Mahalnya biaya kesehatan atau jarak yang jauh. Hal ini terutama terjadi di daerah-daerah
termasuk daerah tertinggal.
2. Rendahnya mutu layanan kesehatan dasar juga disebabkan oleh terbatasnya tenaga
kesehatan, kurangnya peralatan dan kurangnya tenaga medis.
3. Kesadaran pemerintah untuk mengelola rumah sakit masih jauh dari harapan masyarakat
karena tidak optimal. Terutama soal tidak adanya penertiban para dokter lebih senang
membuka praktek pribadi bila dibandingkan dengan pengabdian di rumah sakit.
Kesehatan sudah bukan lagi persoalan kemanusian, akan tetapi sudah menjadi komersial.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2003 angka kematian ibu tercatat
sekitar 307 tiap 100.000 kelahiran hidup. Kebijakan pemerintah (keputusan menteri kesehatan
no. 1457 tahun 2003 tentang Standard Pelayanan Minimum (SPM) Kesehatan di Kabupaten/
kota belum mampu berpengaruh cukup signifikan. Belajar dari beberap temuan di rumah sakit
umum daerah, banyak masyarakat yang mengeluhkan tentang pelayanan yang diberikan.
Masyarakat miskin mengeluh terhadap model penanganan kesehatan yang diberikan, dipandang
sebelah mata, dan mendapatkan pelayanan yang tidak begitu serius.

Sementara bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan kartu jaminan kesehatan


sesuai dengan keputusan menteri kesehatan tersebut masih sangat sulit, di samping beberapa
kasus di atas, ternyata problem yang seringkali ditemukan di lapangan adalah ;
1. Model pendataan yang seringkali tidak lengkap. Karena tidak langsung menyentuh
masyarakat bawah. Bahkan ditemukan beberapa kasus model pendataan yang dilakukan
terjadi politisasi. Artinya model pendataan yang dilakukan disinyalir untuk kepentingan
politik tertentu. Kasus ini seperti yang terjadi di Kecamatan Grogol Sukoharjo, terlepas
dari palsu atau tidak, pihak RT memberikan undangan kepada warga agar bisa
mendapatkan askeskin harus menjadi anggota salah satu parpol tertentu (sukoharjo pos

3
edisi 12). Model pendataan yang dikembangkan oleh RT ini justru mengharapkan semua
warganya mendapat kartu askeskin tanpa melihat sebenarnya askeskin hanya
diperuntukkan bagi masyarakat miskin saja, bukan masyarakat yang sudah berkecupan
(kaya).
2. Lemahnya sosialisasi kepada warga masyarakat miskin juga menjadi masalah yang
tidak sederhana. Mengingat sampai sekarang ini masyarakat miskin tidak mengetahui
bagaimana cara/ prosedur untuk mengurusnya. Sehingga kalau terjadi pendataan yang
tercecer mereka tidak mengetahui bagaimana mengurusnya.
3. Realitas yang ditemukan di lapangan. Masyarakat miskin ketika ingin mendapatkan
kartu jaminan kesehatan tersebut melalui kelurahan dan dinas kesehatan, selalu
mendapatkan jawaban bahwa kuotanya sudah habis. Sementara dia layak dan sangat
membutuhkan kartu jaminan kesehatan. Padahal diketemukan sebuah data bahwa sekarang
ini Kabupaten Sukoharjo kelebihan kuota sebanyak 3.459 kepala keluarga (KK) atau
35.380 jiwa. Pasalnya terjadi perbedaan jumlah penduduk miskin berdasarkan SK Bupati
No 470/784.A/2006 dan kuota yang ditetapkan Departemen Kesehatan (Depkes) RI.
Menurut SK tersebut, jumlah penduduk miskin di Sukoharjo adalah 69.944 KK atau
239.882 jiwa, sementara kuota Askeskin yang ditetapkan Menteri Kesehatan (Menkes)
tahun ini 73.403 KK atau 275.262 jiwa. Akan dikemanakan sisa kuota askeskin yang
begitu banyak ? apakah memang untuk menjembatani kepentingan politik tertentu ?
4. Pergi ke rumah sakit dengan memakai kartu jaminan kesehatan, selalu
mendapatkan penanganan nomor dua, bahkan cenderung ditelantarkan karena tidak
mendapatkan perhatian yang serius dari pihak rumah sakit.
Paradigma Apa Yang Dibutuhkan ?
Meminjam pendapatnya Drs. Abu Huraerah (Penulis, dosen tetap jurusan Ilmu
Kesejahteraan Sosial FISIP Unpas dan Ketua LSM Mata Air (Masyarakat Cinta Tanah Air)
Bandung, penangananan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah masih terdapat kekeliruan
paradigmatik yang dikembangkan oleh pemerintah, antara lain sebagai berikut ;

Pertama, masih berorientasi pada aspek ekonomi daripada aspek multidimensional.


Penanggulangan kemiskinan dengan fokus perhatian pada aspek ekonomi terbukti mengalami
kegagalan, karena pengentasan kemiskinan yang direduksi dalam soal-soal ekonomi tidak akan
mewakili persoalan kemiskinan yang sebenarnya. Dalam konteks budaya, orang miskin

4
diindikasikan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik,
ketidakberdayaan, dan sebagainya. Sementara dalam konteks dimensi struktural atau politik,
orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada hakekatnya karena mengalami kemiskinan
struktural dan politis.

Kedua, memposisikan masyarakat miskin sebagai objek daripada subjek.


Seharusnya, mereka dijadikan sebagai subjek, yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif terlibat
dalam aktivitas program-program penanganan kemiskinan.

Ketiga, pemerintah masih sebagai penguasa daripada fasilitator. Dalam penanganan


kemiskinan, pemerintah masih bertindak sebagai penguasa yang kerapkali turut campur tangan
terlalu luas dalam kehidupan orang-orang miskin. Sebaliknya, pemerintah semestinya bertindak
sebagai fasilitator, yang tugasnya mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki.

Oleh karena itu sangat dibutuhkan format strategi penanganan kemiskinan. Di bawah
ini digambarkan mengenai beberapa agenda yang dibutuhkan untuk melakukan penanganan
terhadap persoalan tentang kemiskinan terutama terkait dengan masalah kesehatan;
Agenda-agenda yang dibutuhkan oleh warga masyarakat untuk dapat menyampaikan
aspirasi pembangunan kurang lebih sebagai berikut :
Pertama, memberikan kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul. Ini menjadi
penting untuk mengakui, bahwa kedaulatan adalah di tangan masyarakat. Seiring dengan arus
demokratisasi yang terus berjalan, menjadi sangat penting masyarakat diberikan peluang yang
seluas-luasnya untuk mendapatkan akses informasi dan komunikasi politik demi terwujudnya
public sphare dan public space. Hal ini diwujudkan dalam bentuk pengorganisasian yang harus
dilakukan, baik oleh masyarakat (komunitas) sendiri, atau juga dapat dilakukan oleh kalangan
LSM guna memberikan daya tawar yang tinggi terhadap penyelenggara pemerintahan.

Kedua, alokasi media penyerapan aspirasi yang langsung menyentuh kepada


masyarakat bawah, mulai dari tingkat Rt, Desa, Kecamatan, dan Kabupaten.

Ketiga, media konsultasi publik oleh DPRD ataupun Eksekutif manakala akan
melakukan proses kebijakan, baik dalam kebijakan.

Keempat, kebijakan yang berorientasi keberpihakan kepada masyarakat miskin.


Artinya pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah, ataupun BUMD dengan menerapkan

5
prinsip keterjangkauan biaya bagi masyarakat miskin dalam kesehatan karena telah menjadi
kebutuhan hidup dasar yang harus diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat.
Penutup
Sekelumit tulisan sederhana ini sekedar menjadi gagasan dan “urun rembug” agar
implementasi askeski memang benar-benar dapat diterapkan di lapangan sesuai dengan
peruntukannya, yaitu masyarakat miskin yang benar-benar membutuhkan. Akan menjadi sangat
ironis manakala program yang telah dicanangkan oleh pemerintah justru jatuh ke tangan yang
bukan berhak mendapatkannya. Apalagi proses impelementasi di lapangan masih harus
terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu. Apakah semua program
pemerintah itu harus selalu disalah-gunakan untuk kepentingan politik ?

Anda mungkin juga menyukai