Anda di halaman 1dari 7

Ekonomi Cina

Cina mencirikan ekonominya sebagai. Sosialisme dengan system china Sejak akhir 1978,
kepemimpinan Cina telah memperbaharui ekonomi dari ekonomi terencana Soviet ke ekonomi
yang berorientasi-pasar tapi masih dalam kerangka kerja politik yang kaku dari Partai Komunis.
Untuk itu para pejabat meningkatkan kekuasaan pejabat lokal dan memasang manajer
dalam industri, mengijinkan perusahaan skala-kecil dalam jasa dan produksi ringan, dan
membuka ekonomi terhadap perdagangan asing dan investasi. Kearah ini pemerintah mengganti
ke sistem pertanggungjawaban para keluaga dalam pertanian dalam penggantian sistem lama
yang berdasarkan penggabunggan, menambah kuasa pegawai setempat dan pengurus kilang
dalam industri, dan membolehkan pelbagai usahawan dalam layanan dan pangan ringan, dan
membuka ekonomi pada perdagangan dan pelabuhan asing. Pengawasan harga juga telah
dilonggarkan. Ini mengakibatkan Cina daratan berubah dari ekonomi terpimpin menjadi ekonomi
campuran.

Pemerintah RRC tidak suka menekankan kesamarataan saat mulai membangun


ekonominya, sebaliknya pemerintah menekankan peningkatan pendapatan pribadi dan konsumsi
dan memperkenalkan sistem manajemen baru untuk meningkatkan produktivitas. Pemerintah
juga memfokuskan diri dalam perdagangan asing sebagai kendaraan utama untuk pertumbuhan
ekonomi, untuk itu mereka mendirikan lebih dari 2000 Zona Ekonomi Khusus (Special
Economic Zones, SEZ) di mana hukum investasi direnggangkan untuk menarik modal asing.
Hasilnya adalah PDB yang berlipat empat sejak 1978. Pada 1999 dengan jumlah populasi 1,25
milyar orang dan PDB hanya $3.800 per kapita, Cina menjadi ekonomi keenam terbesar di dunia
dari segi nilai tukar dan ketiga terbesar di dunia setelah Uni Eropa dan Amerika Serikat dalam
daya beli. Pendapatan tahunan rata-rata pekerja Cina adalah $1.300. Perkembangan ekonomi
Cina diyakini sebagai salah satu yang tercepat di dunia, sekitar 7-8% per tahun menurut statistik
pemerintah Cina. Ini menjadikan Cina sebagai fokus utama dunia pada masa kini dengan hampir
semua negara, termasuk negara Barat yang mengkritik Cina, ingin sekali menjalin hubungan
perdagangan dengannya. Cina sejak tanggal 1 Januari 2002 telah menjadi anggota Organisasi
Perdagangan Dunia.

Cina daratan terkenal sebagai tempat produksi biaya rendah untuk menjalankan
aktivitaspengilangan, dan ketiadaan serikat sekerja amat menarik bagi pengurus-pengurus
perusahaan asing, terutama karena banyaknya tenaga kerja murah. Pekerja di pabrik Cina
biasanya dibayar 50 sen - 1 dolar Amerika per jam (rata-rata $0,86), dibandingkan dengan $2
sampai $2,5 di Meksiko dan $8.50 sampai $20 di AS. Buruh-buruh RRC ini seringkali terpaksa
bekerja keras di kawasan berbahaya dan mudah ditindas majikan karena tiada undang-undang
dan serikat sekerja yang bisa melindungi hak mereka.
Pada akhir 2001, tarif listrik rata-rata di Provinsi Guangdong adalah 0,72 yuan (9 sen
Amerika) per kilowatt jam, lebih tinggi dari level rata-rata di Cina daratan 0,368 yuan (4 sen
AS). Cina resmi menghapuskan "direct budgetary outlays" untuk ekspor pada 1 Januari 1991.
Namun, diyakini banyak produsen ekspor Cina menerima banyak subsidi lainnya. Bentuk subsidi
ekspor lainnya termasuk energi, bahan material atau penyediaan tenaga kerja. Ekspor dari produk
agkrikultur, seperti jagungdan katun, masih menikmati subsidi ekspor langsung. Namun, Cina
telah mengurangi jumlah subsidi ekspor jagung pada 1999 dan 2000.

Biaya bahan mentah yang rendah merupakan satu lagi aspek ekonomi Cina. Ini disebabkan
persaingan di sekitarnya yang menyebabkan hasil berlebihan yang turut menurunkan biaya
pembelian bahan mentah. Ada juga pengawasan harga dan jaminan sumber-sumber yang tinggal
dari sistem ekonomi lama berdasarkan Soviet. Saat negara terus menswastakan perusahaan-
perusahaan miliknya dan pekerja berpindah ke sektor yang lebih menguntungkan, pengaruh yang
bersifat deflasi ini akan terus menambahkan tekanan keatas harga dalam ekonomi.Insentif pajak
"preferensial" adalah salah satu contoh lainnya dari subsidi ekspor. Cina mencoba
mengharmoniskan sistem pajak dan bea cukai yang dijalankan di perusahaan domestik dan asing.
Sebagai hasil, pajak "preferensial" dan kebijakan bea cukai yang menguntungkan eksportir
dalam zona ekonomi spesial dan kota pelabuhan telah ditargetkan untuk diperbaharui.

Ekspor Cina ke Amerika Serikat sejumlah $125 milyar pada 2002; ekspor Amerika ke Cina
sejumlah $19 milyar. Perbedaan ini desebabkan utamanya atas fakta bahwa orang Amerika
mengkonsumsi lebih dari yang mereka produksi dan orang Cina yang dibayar rendah tidak
mampu membeli produk mahal Amerika. Amerika sendiri membeli lebih dari yang dibuatnya
dan sekalipun rakyat RRC ingin membeli barangan buatan Amerika, mereka tidak dapat berbuat
demikian karena harga barang Amerika terlalu tinggi. Faktor lainnya adalah pertukaran
valuta yang tidak menguntungkan antara Yuan Cina dan dolar AS yang di"kunci" karena RRC
mengikatkannya kepada kadar tetap 8 renminbi pada 1 dolar. Pada 21 Juli 2005, Bank Rakyat
Cina mengumumkan untuk membolehkan mata uang renminbi ditentukan oleh pasaran, dan
membolehkan kenaikan 0,3% sehari. . Ekspor Cina ke Amerika Serikat meningkat 20% per
tahun, lebih cepat dari ekspor AS ke Cina. Dengan penghapusan kuota tekstil, RRC sudah tentu
akan menguasai sebagian besar pasaran baju dunia. [3],[4]

Pada 2003, PDB Cina dari segi purchasing power parity mencapai $6,4 trilyun, menjadi
terbesar kedua di dunia. Menggunakan penghitungan konvensional Cina diurutkan di posisi ke-7.
Meski jumlah populasinya sangat besar, ini masih hanya memberikan PNB rata-rata per orang
hanya sekitar $5.000, sekitar 1/7 Amerika Serikat. Laporan pertumbuhan ekonomi resmi untuk
2003 adalah 9,1%. Diperkirakan oleh CIA pada 2002 bahwa agrikultur menyumbangkan sebesar
14,5% dari PNBCina, industri dan konstruksi sekitar 51,7% dan jasa sekitar 33,8%. Pendapatan
rata-rata pedesaan sekitar sepertiga di daerah perkotaan, sebuah perbedaan yang telah melebar di
dekade terakhir.

Pada tahun 1978 total panjang jalan raya di Cina hanya 89.200 km, dan pada tahun 2002
meningkat tajam menjadi 170.000 km. Pada tahun 1988, jalan tol pertama dibuka dengan total
panjang 185 km, sementara pada tahun 2001 sudah mencapai 19.000 km. Untuk pelabuhan,
setidaknya saat ini Cina memiliki 3.800 pelabuhan angkut, 300 di antaranya dapat menerima
kapal berkapasitas 10.000 MT. Tahun 2001, Cina menghasilkan tenaga listrik sebesar 14,78
triliun kwh. Dan, direncanakan pada tahun 2009, Cina bakal mengoperasikan PLTA terbesar di
dunia yang menghasilkan tenaga listik sebesar 84,7 triliun kwh. Sementara, untuk saluran
telepon (fixed line), pada tahun 2002 Cina memiliki 207 juta sambungan. Padahal, tahun 1989
hanya ada 5,68 juta sambungan.

Sebuah studi terakhir menunjukkan bahwa negara-negara berkembang di Asia Timur


membutuhkan lebih dari 200 miliar dolar AS per tahunnya selama 2006-2010 untuk membangun
infrastrukturnya. Dari total kebutuhan tersebut, sebagian besar (80%) merupakan kebutuhan Cina
dalam membangun infrastruktur (lihat, misalnya, mega proyek Three Gorges Dam, Kereta Api
Super Cepat Beijing-Shanghai, dan sebagainya).

Oleh karena ukurannya yang amat luas dan budaya yang amat panjang sejarahnya, RRC
mempunyai tradisi sebagai sebuah negara penguasa ekonomi. Dalam kata Ming Zeng, profesor
pengurus di Shanghai,

“Dalam sebagian statistik, pada pengujung abad ke 16 sekalipun, RRC mempunyai sepertiga PDB. Amerika


Serikatyang gagah pada masa kini hanya mempunyai 20%. Jadi, jika Anda membuat perbandingan sejarah ini, tiga
atau empat ratus tahun terdahulu, Cina tentulah kuasa terbesar dunia. Percobaan mewujudkan kembali keadaan yang
membanggakan ini sudah tentu adalah salah suatu tujuan orang Tionghoa”[1].

Maka tidak mengherankan fenomena kebanjiran orang bukan Tionghoa dunia yang lain
mau mempelajari Bahasa Tionghoa ini dan kegeraman Amerika dan Barat terhadap Cina secara
umum terjadi pada skenario politik dunia pada hari ini.

Akan tetapi, jurang pengagihan kekayaan di antara pesisiran pantai dan kawasan


pendalaman Cina masih amat besar. Untuk menandingi keadaan yang berpotensi mengundang
bahaya ini, pemerintah melaksanakan strategi Pembangunan Cina Barat pada tahun
2000, Pembangunan Kembali Cina Timur Laut pada tahun 2003, dan Kebangkitan Kawasan
Cina Tengah pada tahun 2004, semuanya bertujuan membantu kawasan pedalaman Cina turut
membangun bersama
Cina
Home » Opini

Transformasi Sosial-Ekonomi China


Rabu, 22 September 2010 - 10:49 wib

China telah mengukuhkan diri sebagai salah satu kekuatan ekonomi paling tangguh di dunia.
Pencapaian gemilang pembangunan ekonomi selama lebih dari tiga dekade terakhir memang
spektakuler, yang membuat decak kagum banyak negara.

China telah tumbuh menjadi raksasa ekonomi Asia Timur yang menggetarkan negara-negara
maju. Kini poros kekuatan ekonomi dunia tidak lagi bertumpu hanya di dua benua: Amerika
dan Eropa. China di abad ke-21 adalah sebuah negara yang sukses melakukan transformasi
sosial ekonomi amat fundamental yang membawa dampak global.

Proses transformasi berlangsung mulus ketika China mampu mengatasi pertikaian politik dan
perseteruan ideologis akut yang menjelma dalam Revolusi Kebudayaan (1966-1976). Empat
dekade silam, China masih terjebak dalam pertarungan ideologis antarfaksi politik yang amat
keras dan selama bertahun-tahun mengisolasi diri dari pergaulan dunia.

Di bawah komando Mao Tse-tung, para penyokong Revolusi Kebudayaan melakukan


propaganda massal untuk melawan ideologi kapitalisme dengan retorika khas: “kaum borjuis
liberal yang menjadi watak dasar kapitalisme adalah bahaya bagi ideologi sosialisme.” Sejarah
mencatat, pergolakan politik dan pertarungan ideologis ini menelan korban tiga juta orang
tewas (mayoritas karena kelaparan dan kemiskinan akibat konflik panjang) dan merusak
infrastruktur sosial ekonomi-politik sehingga nyaris lumpuh total.

Setelah Revolusi Kebudayaan berakhir, China perlahan mulai membuka diri dan berinteraksi
dengan dunia luar secara politik dan ekonomi. Pergeseran ini merupakan gejala menarik
sekaligus fenomena paradoksal. China adalah penganut setia ideologi sosialisme, tapi bersedia
mengadopsi sistem ekonomi liberal dan menyerap nilai-nilai kapitalisme global.

Sejarah mencatat, Deng Xiaoping adalah tokoh yang sangat berjasa karena sukses memadukan
elemen-elemen dua ideologi besar dunia tersebut menjadi persenyawaan baru, yang menjelma
menjadi kekuatan dahsyat bagi China. Deng, lawan politik menjulukinya capitalist roader (antek
kapitalis), adalah tokoh pragmatis yang menjadi pelopor reformasi ekonomi propasar melalui
gagasan Gaige Kaifang—reforms and openness.

Dia mengambil langkah inovatif dengan mendefinisikan ulang dan melakukan reinterpretasi
doktrin sosialisme dengan mengadaptasi elemen-elemen kapitalisme: pasar terbuka, investasi
asing, dan perdagangan bebas. Untuk itu, Deng mengusung semboyan yang amat terkenal: it
does not matter if a cat is black or white as long as it catches mice.

Deng secara cerdik mengambil manfaat sistem kapitalisme mengingat China memiliki potensi
ekonomi sangat kaya: tenaga kerja murah, biaya transportasi dan komunikasi rendah, tarif
perdagangan kompetitif, iklim investasi kondusif, dan berbagai jenis biaya transaksi ekonomi
yang rasional.

Saripati Dua Sistem

Agar gagasan reformasinya tetap berpijak pada basis ideologi sosialisme, Deng menerapkan
sistem yang disebut socialist market economy. Sistem ini menegaskan, means of production
adalah milik kolektif negara dan kaum buruh. Namun, berbeda dengan sosialisme ortodoks,
sistem ekonomi ini mengakui peran pasar sepanjang dikontrol oleh pengambil kebijakan yang
menganut ideologi sosialisme.

Sistem ini bertumpu pada pemikiran dasar bahwa pasar bukan suatu mekanisme eksklusif bagi
sistem kapitalisme sehingga negara harus tetap memiliki kekuasaan untuk mengendalikan
means of production. Sebagian kalangan menyebut praktik ekonomi China ini sebagai socialism
with Chinese characteristics.

Praktik ekonomi ini merujuk pada “mixed forms of private and public ownership competing
within a market environment, creating a system that is in essence identical to capitalism where
the state dominates parts of the economy.” Deng Xiaoping terbukti benar, China meraup sukses
di tengah gelombang pasang kapitalisme global.

Pertumbuhan ekonomi China rata-rata 10% per tahun, suatu pencapaian yang sungguh
fantastik! Pada 2006 pertumbuhan ekonomi sembilan kali lebih tinggi dibandingkan 1978,
masa ketika China mulai membuka diri sehingga negara ini menempati posisi keempat setelah
Amerika, Jepang, dan Jerman. Sukses ekonomi China berdampak pada peningkatan
kesejahteraan dan perbaikan kualitas hidup rakyat.

Selama 20 tahun (1981- 2001), China berhasil mengangkat 400 juta rakyat dari jerat
kemiskinan dengan pendapatan per kapita naik enam kali lipat sejak 1978. Sukses ini bermula
dari keberhasilan dalam mengendalikan pertumbuhan penduduk, yang selama dua dekade
tumbuh 1,46% (1980-an) dan 1,02% (1990-an) per tahun.

Meski demikian, proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan meningkat dua kali lipat
mendekati dua perlima, dan lebih dari 150 juta penduduk pindah ke kota yang menjadi pusat-
pusat pertumbuhan ekonomi, sekaligus menandai proses migrasi paling masif dan kolosal
dalam sejarah China modern.
Reformasi Pendidikan

Pertumbuhan ekonomi China yang amat pesat itu dibarengi dengan reformasi pendidikan yang
bertumpu pada tiga kebijakan pokok. Pertama, meningkatkan kualitas pendidikan melalui
perbaikan mutu sekolah agar sesuai kebutuhan lapangan kerja, menstimulasi kegiatan
ekonomi, dan mempromosikan daya saing global. Kedua, mendayagunakan sumber daya secara
efisien, termasuk milik swasta, untuk mendukung pelayanan pendidikan bagi segenap warga
negara.

Ketiga, mengurangi disparitas pelayanan pendidikan dengan memperluas akses dan


pemerataan pendidikan di wilayah perdesaan. Selain itu, China juga membangun banyak
sekolah kejuruan, politeknik, dan universitas yang terintegrasi dengan pembangunan ekonomi
di daerah-daerah yang menjadi pusat pertumbuhan, seperti Shenzhen, Zhuhai, Shanghai,
Guanzhou, Dalian, Zhanjiang, Hanian (lihat Loren Brandt & Thomas Rawski, China’s Great
Economic Transformation, Cambridge 2008).

Reformasi pendidikan ini sejalan dengan kebijakan pengembangan sains dan teknologi untuk
meningkatkan daya saing nasional. Penguasaan sains dan teknologi merupakan faktor
determinan dalam proses produksi, efisien dalam memproduksi barang-barang berkualitas
dengan harga murah. Diyakini sepenuhnya, kemampuan negara menjaga pertumbuhan
ekonomi secara berkelanjutan bergantung pada kemampuannya dalam mengembangkan sains
dan melakukan inovasi teknologi.

Pusat-pusat riset sains dan teknologi dikembangkan melalui dua program utama. Pertama,
“Xinghuo” (Spark Program) yang difokuskan pada teknologi pertanian untuk mendukung
pengembangan ekonomi perdesaan.Kedua, “Huoju” (Torch Program) yang difokuskan pada
teknologi komunikasi dan informasi dan manufaktur untuk memperkuat industri jasa dan
perdagangan, yang sekaligus dijadikan sebagai basis dalam mendorong transformasi
perekonomian nasional.

Saksikan, ikhtiar Pemerintah China melakukan reformasi ekonomi yang terintegrasi dengan
sektor-sektor lain telah mengundang minat banyak investor asing untuk mengembangkan
bisnis dan membangun industri di Negeri Tirai Bambu ini. China bahkan tercatat sebagai negara
Asia yang paling besar mendapat aliran modal asing— foreign direct investment, yang terus
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Data per Desember 2008 menunjukkan, di tengah-tengah tren penurunan ekonomi dunia,
China justru sukses menarik FDI sebesar 92,4 miliar dolar, meningkat sekira 23,6%
dibandingkan 2007 (Reuters, 14/01/2009). Pertumbuhan ekonomi China yang demikian
gemilang itu tak lepas dari kesediaan untuk menerima realitas betapa kapitalisme sudah
menjadi gejala global.
Bagi China, pilihan yang tersedia hanya dua: terus mengisolasi diri dari pergaulan dunia dengan
menjalankan ekonomi sosialisme tertutup yang melahirkan kesengsaraan atau memeluk
kapitalisme yang potensial mendorong kemajuan dan menciptakan kemakmuran. China secara
sadar memilih opsi kedua, namun masih tetap mempertahankan ajaran sosialisme.

China memang gejala paradoksal. Untuk menjaga daya hidup ideologi sosialisme justru
bersandar pada sistem kapitalisme. Maka, Deng Xiaoping, sang pelopor reformasi ekonomi
propasar, dijuluki sebagai free rider of capitalism—penumpang gelap kapitalisme. Siapa saja
perlu belajar ke China karena banyak sarjana menulis: bila abad ke-17 sampai ke-19 milik
Inggris, abad ke-20 milik Amerika, abad ke-21 tampaknya akan menjadi milik China.(*)

Anda mungkin juga menyukai