Anda di halaman 1dari 28

KONSEP KERJASAMA KEAMANAN

(COOPERATIVE SECURITY )
DALAM RANGKA MENGHADAPI
BAHAYA KEAMANAN KOMPREHENSIF
(COMPHREHENSIVE SECURITY)
DAN KETAHANAN NASIONAL
--------------------------------------------------------
Prof. Dr. Muladi, SH
(Gubernur Lemhannas RI)

Pendahuluan
Istilah kerjasama keamanan secara bergantian digunakan sebagai
terjemahan dari “security cooperation” atau “cooperative security”. Hal ini
menjadi sangat populer di kalangan negara-negara ASEAN dengan tekadnya
pada tahun 2003 dalam summit meeting di Bali menerima ASEAN Concord
II, menggantikan Deklarasi ASEAN Concord I (1976). Untuk membangun
pilar “ASEAN Security Community”, di mana terkandung tekad agar supaya
segala konflik dikelola secara kolektif (managed collectively). Dalam hal ini
tercakup apa yang dinamakan “conflict prevention”, “conflict resolution” dan
“post conflict peace building”.
Dengan istilah “cooperative security” dapat digambarkan adanya
penekanan perbedaan dengan pendekatan konvensional seperti “collective
defence and collective security”. “Collective defence” menekankan pada
pembentukan “military alliances” (defence pact) diarahkan untuk melawan
musuh yang bersifat spesifik. Dengan demikian pendekatan yang digunakan
adalah bersifat konfrontatif, yang ditujukan untuk mencegah atau
menghalangi serangan musuh dengan cara memelihara kemampuan militer
untuk melancarkan serangan balik.
Sebaliknya pengertian “cooperative security” mendorong negara-negara
untuk melakukan suatu pendekatan kerjasama dan bertujuan membangun
usaha-usaha multilateral tanpa beranggapan adanya hubungan antara
teman-musuh. Dengan demikian merupakan usaha untuk mencapai “security
with others”, sedangkan “collective defence” merupakan suatu usaha untuk
memelihara prinsip “security against enemy”. Selanjutnya tujuan “collective
security” adalah mematahkan agresi melalui pemeliharaan kekuatan militer
untuk menghukum agresor. Di dalam kerangka “collective security “ ini, asas

1
“one for all, all for one” diterapkan. Agresi terhadap salah satu anggota
dianggap sebagai suatu serangan terhadap seluruhnya, sehingga semua
anggota dapat menghukum agresor.
Sebaliknya “cooperative security” pada hakikatnya bersifat “non-
militeristic”. Dalam kerangka kerjasama ini semua peserta bekerjasama
untuk meningkatkan stabilitas suatu kawasan, yang sangat didambakan oleh
semua anggota. Asas yang berlaku dalam hal ini adalah “all for all”.
Hal ini sangat menjiwai makna security community yang memungkinkan
para anggotanya untuk mengembangkan rasa “We-ness” atau “We -feeling”
dan ada suatu jaminan bahwa mereka tidak akan berkelahi secara fisik satu
sama lain dan akan menyelesaikan segala perselisihannya dengan cara lain
(Deutchan security community). Cara lain adalah cara damai.
Bagi Indonesia konsep “cooperative security” sangat tepat sehubungan
politik bebas aktif yang dianut oleh Indonesia dan berkaitan pula dengan
salah satu tujuan nasional yakni “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Kadang-kadang hal ini bersifat ironis, mengingat di sekitar kita terdapat
semacam “collective defence” yaitu FPDA (The Five Power Defence
Arrangements) antara Australia, New Zealand, The United Kingdom, Malaysia
dan Singapura (sejak 1971) pasca konfrontasi Indonsia –Malaysia ( 1963-
1966), sekalipun bentuknya sebagia forum konsultasi. Seorang penulis
mnyebutknnya sebagai “unobtrusive alliance” (aliansi rendah hati).
Indonesia sepenuhnya tidak mengkhawatirkan hal ini, karena
perdamaian dan keamanan internasional dilindungi oleh norma, nilai dan
standard badan-badan internnasional seperti PBB dengan UN Charternya
serta berfungsinya Dewan Keamanan PBB, di samping kesepakatan-
kesepakatan baik multilateral, bilateral maupun regional.
Bahkan ada berita positif (Ban Ki-Moon : “the historic agreement in the a
new age of accountability, replacing the old era of impunity”) yang datang dari
Kampala, Uganda (14 Juni 2010), di mana ICC Review Conference (The
Assembly of State Parties of Rome Statute of ICC) setelah 2 minggu
melakukan perdebatan telah mendefinisikan dengan baik salah satu
yurisdiksi materi yang tertera di dalam Statuta Roma 1998 tentang apa yang
dinamakan “the crime of aggression” (di samping yang sudah baku seperti

2
genosida, kejahatan terhadap kemanusian dan kejahatan perang) yang dapat
diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court).
Karena alasan prosedural, perjuangan bertahun-tahun tersebut akan mulai
berlaku tahun 2017. Definisi agresi yang disepakati adalah :
“the planning, preparation, initiation or execution, by a person in a
position effectively to exercise control over or to direct the political or
military action of a State, of an act of aggression which, by its character,
gravity and scale, constitutes a manifest violation of the Charter of the
United Nations”.

Dalam kerangka ini blockade pelabuhan dan pantai dari suatu Negara
oleh angkatan bersenjata Negara lain, termasuk suatu invasi atau serangan
oleh tentara suatu Negara ke dalam wilayah Negara lain, merupakan
perbuatan agresi di bawah statute tersebut.
Namun demikian pilihan untuk memperkuat sistem pertahanan nasional
yang didukung oleh substasi, struktur dan kultur yang solid serta keberadaan
alutista yang didukung oleh industri strategis yang kuat merupakan pilihan
yang tidak dapat dihindarkan untuk memperkuat posisi tawar Indonesia serta
menimbulkan efek deterrent.
Ada yang berpendapat bahwa lingkungan ASEAN yang penuh konflik
memang sulit untuk menerapkan spirit “security community” tersebut. Tetapi
yang jelas hampir tidak ada konflik bersenjata/perang antar negara ASEAN.
Dalam hal ini proses konsultasi dan dialog melalui diplomasi selalu didorong
oleh perasaan kepentingan dan nilai bersama (contoh antara Thailand dan
Kamboja, Indonesia dan Malaysia).
Di kalangan ASEAN dikenal istilah “the ASEAN Way” yang norma-
normanya menekankan betapa pentingnya kedaulatan dan otonomi atas
dasar prinsip “non-interference” di dalam masalah dalam negerinya masing-
masing dan segala keputusan diperoleh melalui konsensus. Secara luas hal
ini dirumuskan dalam Chapter I (Purposes and Principles Asean Charter).
Asean Security Community tersebut kemudian menjadi semakin kuat
dengan adanya ASEAN Charter yang diharapkan dapat memberikan andil
terhadap baik di kawasan ASEAN maupun Asia Timur.

3
Dalam perkembangannya baik ASEAN maupun ASEAN + 3 (ASEAN +
China, Jepang dan Korsel) yang semula lebih menekankan pada kerjasama
ekonomi dan keuangan, beberapa tahun terakhir sangat aktif berbicara
tentang keamanan komprehensif, termasuk apa yang dinamakan kerjasama
di bidang issue-issue keamanan non- tradisional seperti terorisme global, dan
keamanan maritim, termasuk issue-issue sosial seperti kemiskinan dan
kesetaraan gender.
Yang menarik adalah terjadinya East Asian Summit (EAS) pada tgl. 14
Desember 2005 di Kuala Lumpur yang dihadiri negara-negara ASEAN, ,
China, India, Jepang, Korea Selatan, , Australia dan New Zealand, sedang
Russia mengirimkan peninjau. Hal ini bersaing dengan East Asian
Community (EAC) yang hanya terdiri atas ASEAN 10 + 3 yang banyak
didominasi China, bersifat tertutup dan eksklusif, sedangkan EAS bersifat
inklusif dan telah merobah arsitektur keamanan Asia. Hal ini melengkapi ARF
(Asean Regional Forum) yang mempromosikan perdamaian dan keamanan di
Asia Pasifik melalui dialog dan kerjasama dan APEC (Asia Pacific Economi
Cooperation) yang juga membahas tentang issue-issue keamanan non-
tradisional seperti counter terrorisme dan penyakit menular serta keamanan
maritim , energi dan lingkungan dan lebih luas dimana AS juga berperanan di
dalamnya. AS mempertimbangkannya keduanya sebagai instrumen
diplomatik terhadap sistem aliansi militer bilateral, khususnya dengan
Jepang.

Keamanan Komprehensif
Istilah “comphrehensive security” yang juga muncul dalam Bali Concord
II (2003), semakin populer (burning issue) seiring dengan berakhirnya Perang
Dingin sekitar tahun 1988, yang berseberangan dengan harapan masyarakat
dunia yang mengharapkan dengan penuh optimisme munculnya perdamaian
abadi, baik internal maupun antar negara, berkurangnya kekerasan dan
tegaknya ketertiban dunia di bawah kendali PBB.
Namun yang terjadi pada tahun 1990-an justru menimbulkan
pertanyaan, karena yang muncul adalah kekerasan yang dilakukan oleh “non-
state actors” seperti perang saudara, pelanggaran HAM berat seperti
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, konflik berdasar identitas,

4
pemanasan bumi (global warming) yang menyebabkan perubahan iklim
(climate change) yang membahayakan umat manusia akibat ulah manusia
(man made), terorisme yang dipicu oleh frustasi akibat perasaan-perasaan
kasenjangan sosial ekonomi, ketidakadilan, “xenophobia”, ketidakamanan
akibat globalisasi yang dirasakan sebagai “corporate globalism” yang
menimbulkan “global injustice” (kaji pula peristiwa krisis ekonomi global
sebagai dampak krisis di Amerika Serikat sebagai center of gravity),
separasi politik, tuntutan solidaritas agama yang sempit, yang dimanipulasi
oleh kaum ekstremis, fanatik, fundamentalis dan kelompok radikalis. (Muladi,
2006).
Dalam perkembangannya istilah “comphrehensive security” pada
dasarnya merupakan “re-organized security concept” yang “goes beyond
(but does not exclude) the military to embrace the political, economic and
sociocultural dimensions”. (Alagappa, 1998). Oleh Council for Security
Cooperation in the Asia Pacific (CSCAP) “comphrehensive security”
didefinisikan sebagai “the pursuit of sustainable security in all fields (personal,
political. economic, social, cultural, military, environmental) in both the
domestic and external spheres, essentially through cooperative means”.
(CSCAP, 1995).
Secara tradisional, keamanan telah didefinisikan dalam kerangka geo-
politik, yang mencakup pelbagai aspek seperti “deterrence, power balancing
and military strategy” yang cenderung melekat pada “nation’s security”,
hubungan antar negara dan kekuatan militer. Hal ini selama beberapa waktu
merefleksikan “intellectual myopia” atau “intellectal straitjacket”. (Tan and
Boutin, 2001)
Konsep keamanan komprehensif tersebut mempromosikan apa yang
dinamakan “human security” untuk menggantikan kerangka pemikiran yang
berorientasi pada “state-centrism”, yang sama sekali meninggalkan ruang
lingkup pengertian keamanan simetrik, untuk merefleksikan ketidakamanan
yang biasa dihadapi oleh manusia baik individual, kelompok atau masyarakat
yang bersifat kronis dan kompleks dalam kaitannya dengan kondisi kehidupan
sehari-hari seperti persoalan makanan, tempat berteduh, lapangan kerja,
kesehatan, keamanan umum, dan HAM, jauh dari kaitannya dengan
hubungan dengan negara lain dan kekuatan militer.

5
Doktrin Jepang tentang “human security” dilandasi oleh premis bahwa
keamanan nasional tidak hanya berkaitan dengan keamanan yang bersifat
militer (military security) untuk mempertahankan suatu bangsa dari ancaman
dari luar, tetapi juga “human security” untuk mempertahankan bangsa dari
ancaman dari dalam , karena stabilitas nasional tergantung pada kondisi
dimana manusia individual mempunyai dan merasakan “food security;
employment security; social security (education, health and old age pension);
energy security;informatiobn security (acces to transport and communication).
(Rana, 2008 , p.3).
Canada mensikapi pemikiran tentang keamanan komprehensif lebih
luas lagi dan mencakup “individual human rights as an integral part of
international law and diplomacy”. Dengan demikian terkait di sini “rights and
duties” dari negara-negara untuk mengikuti Preamble Piagam PBB (UN
Charter) yang menyatakan bahwa “ We the peoples of the UN------------------“.
Jadi bukan “states atau governments” yang ditekankan untuk menjaga
perdamaian dan harmoni internasional. Gangguan terhadap kualitas
kehidupan akan menyebabkan “human insecurity” dan ujung-ujungnya akan
mengancam perdamaian dunia, sebab dalam kerangka globalisasi yang
menumbuhkan “international society”, aktor-aktor non-negara (non-state
actors) memainkan peranan penting di dalam perdamaian dan kemajuan
dunia.
UN Development Programme (Report 1994) menggambarkan bahwa
“human security” mencakup “safety from chronic threats such as hunger,
disease, and repression, as well as protection from sudden and harmful
disruptions in the pattern of daily life”. Semua dalam kerangka “freedom from
want and freedom from fear” bagi semua orang yang mencakup tujuh area
yaitu : keamanan ekonomi, makanan, kesehatan, lingkungan hidup, personal,
masyarakat dan keamanan politik.
Konsep keamanan komprehensif sangat valid di Era pasca perang
dingin 1990-an , karena di era globalisasi saat ini tidak ada sesuatu negara
yang secara sendirian mampu mengendalikan, mengkoordinasikan
kepentingan nasionalnya melalui diplomasi tradisional, yang mengandalkan
penggunaan kekuatan untuk ditaati, karena dalam hal ini yang terlibat politik

6
internasional tidak hanya negara tetapi juga aktor-aktor non-negara .
Ditambah lagi bahaya yang ditimbulkan oleh “the failed states” (Failed states
can no longer perform basic functions such as education, security, or
governance, usually due to fractious violence or extreme poverty. –Global
Policy Forum, 2008), yang sangat rentan, lemah, dan berada dalam konflik
atau krisis yang pemerintahan pusatnya sangat lemah atau tidak effektif,
tidak dapat mengawasi dan mengendalikan wilayahnya serta sangat
membahayakan keamanan regional dan global.
Selanjutnya muncul istilah “Roque States” (Noam Chomsky, 2000) yang
menggambarkan suatu Negara yang memerintah atas dasar kekerasan (the
Rule of Force), tidak taat dan tidak merasan terikat kepada norma-norma
hukum internasional (UN Charter, pelbagai konvensi internasional, putusan
International Court of Justice), sering pula disebut sebagai “outlaw nation”
atau “criminal state” yang membahayakan negara tetangga dan dunia
internasional.
Untuk itu muncullah pelbagai pemikiran untuk mengembangkan
kerjasama keamanan regional atau internasional seperti “ASEAN Security
Community” di bawah ASEAN Charter (ART.1.8. “ To respond effectively, in
accordance with the principle of comphrehensive security, to all forms of
threat, transnational crimes,and transboundary challenges”), kemudian
Lombok Treaty (2007) antara Indonesia dan Australia (2007). Hal ini
merupakan ‘legal basis’ pengakuan atas integritas teritorial masing-masing,
yang mengatur kerjasama sebagai berikut :
a. Defence cooperation;
b. Law enforcement cooperation (in preventing and combating
transnational crimes, in particular related to : people smuggling and
trafficking in persons; money laundering; financing terrorism;
corruption; illegal fishing; cyber crimes, illicit trafficking in narcotics
drugs and psychotropic substances and its precursors; illicit
trafficking in arms, ammunition, explosives and other dangerous
materials and the illegal production thereof; and other types of crime
if deemed necessary by both parties);).
c. Counter-terrorism cooperation;
d. Intelligence cooperation;

7
e. Maritime security;
f. Aviation safety and security;
g. Proliferation of weapon of mass destruction;
h. Emergency cooperation;
i. Community understanding and people to people cooperation.
SAARC (1985) (South Asian Association for Regional Cooperation)
terdiri atas : India, Pakistan, Sri Lanka, Maldives, Bhutan, Pakistan,
Bangladesh, Nepal, Afganistan. Akan menusul Korea Selatan, Iran, Myanmar,
Russia.
Catatan :
Baru-baru ini di Indonesia melalui Perpres No. 46/2010, tgl. 16 Juli 2010
telah dibentuk Badan Nasional Penggulangan Terorisme (BNPT), mengingat
terorisme merupakan bahaya latent, untuk menggantikan Desk Anti Terorism
di lingkungan Menko Polhukam.
Hal-hal yang ditekankan dalam kerjasama keamanan adalah :
1) Penghormatan terhadap kedaulatan, kemerdekaan dan integritas
teritorial;
2) Tanggungjawab kolektif untuk memperkokoh perdamaian, keamanan
dan kesejahteraan;
3) Penolakan agresi;
4) prinsip non-interference dalam masalah internal;
5) mengembangkan konsultasi;
6) penolakan kekerasan;
7) pengembangan terhadap kebenaran dan rekonsiliasi;
8) penolakan blokade ekonomi dan boikot serta ancaman penggunaan
kekuatan;
9) batas nasional yang tak boleh diganggu gugat;
10) penghormatan terhadap HAM , perbedaan kultur, bahsa dan agama
serta warisan peradaban;
11) ketentuan tentang “human security” untuk semua;
12) penyelesaian perselisihan secara damai;
13) saling membantu dalam mengatasi bencana alam;
14) perhatian atas keluhan atas rasa takut atau khawatir;
15) terbuka, komprehensif dan berorientsi ke depan;

8
16) menghargaiPiagam PBB, hukum internasional; good governance,
demokrasi dan konstitusi;
17) menghargai pluralisme budaya, sosial dan agama dan
keanekaragaman;
18) perlakuan khusus terhadap negara-negara yang belum berkembang;
19) pengembangan “people to people contact”;

Di samping itu kerjasama pertahanan dan atau keamanan juga


dilakukan dengan pelbagai negara seperti dengan India, Korea Selatan,
China, Amerika Serikat dll. al. untuk memajukan industry strategis dan latihan
bersama serta pendidikan.
Dengan Korea Selatan kerjasama sangat maju dalm bentuk “Joint
Defence Logistics and Industrial Committee” yang telah membangun kapal
“landing plattform dock” bersama PT PAL, overhaul kapal selam, pembuatan
panser kanon dan rencana membangun Korean Fighter (KF-X).
Istilah keamanan komprehensif ini dalam perkembangannya dikaitkan
dengan “non-traditional security” (NTS) atau “non-military security threat”
atau “non-conventional security threat” atau “asymetric security threat”.
Digunakannya istilah “security” dalam hal ini dimaksudkan agar masalahnya
memperoleh perhatian sungguh-sungguh dari negara-negara di dunia, karena
potensi viktimisasi yang ditimbulkannya terhadap umat manusia sangat besar.
Kita tidak dapat menutup mata bahwa pada 50 tahun terakhir dalam
kerangka proses globalisasi, pertumbuhan dinamis masyarakat dunia luar
biasa, yang diwarnai oleh pelbagai inovasi di segala bidang. Namun demikian
kita juga tidak buta terhadap kenyataan, bahwa terutama sejak krisis ekonomi
di Asia orang juga disadarkan oleh keterbukaan dan interdependensi serta
sifat transnasional dari hal-hal yang bersifat mencederai tidak hanya negara,
tetapi juga “human security”. Contoh terakhir adalah krisis ekonomi global
yang melanda dunia, akibat perilaku korporasi multi nasional di Amerika
Serikat yang berperilaku jauh dari etika bisnis.
Kejadian terakhir di Indonesia yang menjurus terrorisme yang diarahkan
untuk mencederai symbol-simbol Negara oleh kelompok radikalis dapat
dikatakan merupakan sinergi (hybrid) antra ancaman yang simetrik dan
asimetrik.

9
Kita sadar bahwa masalah keamanan selalu didominasi oleh
keprihatinan tradisional seperti kedaulatan, kemerdekaan politik dan militer
serta pertahanan sampai dengan keamanan regional.
Meskipun demikian kenyataan yang terjadi adalah munculnya
tantangan-tantangan baru seperti ancaman kesehatan (penyakit infeksi
menular seperti SARS, flu burung dll), pengangguran, kemiskinan, krisis
ekonomi, bencana alam (tsunami) , degradasi lingkungan hidup, migrasi
manusia yang tidak tertib, kompetisi untuk memperoleh sumberdaya alam,
kejahatan transnasional terorganisasi, perdagangan illegal narkoba,
terorisme dan saling ketergantungan ekonomi, yang sangat berbahaya baik
bagi negara maupun umat manusia.
Hal ini sama sekali telah merobah pandangan manusia, bahwa ancaman
bahaya keamanan tidak hanya bersumber pada hal-hal yang bersentuhan
dengan terminologi geopolitik, yang meliputi “deterrence, power balancing
and military strategy” yang berkaitan dengan pertahanan dari serangan
militer dari luar saja, yang sebelumnya merupakan fokus eksklusif dari
kebijakan keamanan. Dengan demikian pengertian keamanan dalam arti
sempit (narrow definition of security) mulai dipertanyakan dan seharusnya
juga mencakup ancaman keamanan yang non- militer.
Human security konsep menyadarkan kita bahwa apa yang dinamakan
“people centered view of security” sangat penting untuk diperhatikan dalam
rangka terciptanya stabilitas baik secara nasional, regional maupun global.
Suatu konsorsium baru yaitu Consortium on Non-Traditional Security Studies
in Asia mendefinisikan NTS sebagai “challenges to the survival and well-
being of peoples and states that arise primarily out of non military sources,
such as climate change, resource scarcity, infectous deseases (SARS,
pandemi avian flu), natural disasters, irregular migration, famine, people
smuggling, drug trafficking and transnational crime”. Krisis finansial 1997-
1998, bencana asap, terorisme, TOC, bancana alam (tsunami) termasuk di
dalam ruang lingkup NTS.
Bahaya terhadap keamanan non-tradisional pada dasarnya cenderung
bersifat transnasional, yang penanggulangannya harus didasarkan atas
kerjasama antar negara dan bahaya ini mencakup 3 (tiga) kategori :

10
Bahaya alam (nature threat) seperti bahaya penyakit infeksi menular
misalnya virus HIV/AIDS, SARS, H5NI, bencana alam, “climate change/global
warming” karena ulah umat manusia yang meningkatkan emisi gas rumah
kaca secara tidak terkendali, dalam proses industrialisasi (karbondioksida)
dan deforestisasi;
Bahaya terhadap ekonomi dan pembangunan (economic and
development threat) seperti dampak negatif globalisasi (the worldwide
phenomenon of technological, economic, political, and cultural exchanges,
brought about by modern communication, transportation and legal
infrastructure as well as the political choise to consciously open cross border
links in international trade and finance) yang cenderung menguntungkan
nmegara-negara maju dengan mengesampingkan solidaritas sosial,
demokrasi, egalitarianisme, ham ; urbanisasi; peledakan penduduk;
kemiskinan; penganggguran; krisis ekonomi; degradasi lingkungan; krisis
energi; dan
Bahaya sosial dan politik (social and political threat) yang mencakup
konflik etnik, agama dan budaya, terorisme, kultur militerisme, kejahatan
terorganisasi, bahaya narkoba, ketidaksetaraan gender, perompakan di laut,
“illegal fishing, illegal logging dan illgal mining”, penyelundupan; ekstrimisme,
migran gelap, perdagangan manusia (termasuk perdagangan organ tubuh),
gerakan separatis, radikalisme dan sebagainya. (Feng, 2007).
Khusus tentang “global warming and climate change”, masalahnya
sangat aktual, sebab pelbagai bencana alam yang ditimbulkannya seperti
meningkatnya gelombang panas, peningkatan curah hujan yang
menimbulkan banjir, peningkatan badai tropis, cuaca buruk, pengurangan
salju dan gletzer, munculnya penyakit-penyakit endemi, kenaikan air laut,
peningkatan suhu di permukaan bumi dan sebagainya, disamping faktor
alam juga karena ulah manusia yang tidak terkendali di bidang industri,
kendaraan bermotor, deforestasi, , pertanian, manufaktur, dll, yang
mengakibatkan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir
(CO, CH4, N2 dll). Dengan demikian sangat dibutuhkan kerjasama antar
negara baik antar negara maju (emission trading, joint implementation)
maupun antara nergara maju dengan negara berkembang (clean

11
development mechanism) untuk melakukan langkah-langkah mitigasi
(memperlambat) maupun adaptasi (menyesuaikan diri) terhadap perobahan
iklim (climate change) tersebut (Muladi, 2008).
Dalam beberapa hal bahaya terhadap keamanan non-tradisional
menimbulkan kondisai “overlap” di mana “soft security” berinteraksi dan
bersinergi dengan “hard security” yang menimbulkan dilemma terhadap
keterlibatan militer dalam suasana demokrasi, mengingat hal ini cenderung
bisa mencederai kedaulatan negara dan bahaya terhadap masyarakat
sekaligus. Contohnya adalah terorisme, perompakan di laut dan
ekastremisme serta keberadaan kelompok bersenjata transnasional. Terkait
di sini apa yang dinamakan dalam kehidupan militer sebagai “military
operation other than war”.(vide UU No. 34 Tahun 2004 Pasal 7 ayat 2 butir b).
Kofi A. Annan pada laporannya semasa menjabat Sekretaris Jenderal
PBB mengidentifikasi adanya 6 kelompok ancaman atau bahaya bersama
(six clusters of threats) yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di dunia yaitu
ancaman sosial ekonomi berupa kemiskinan, penyakit menular dan degradasi
lingkungan; konflik antar negara, konflik internal negara termasuk perang
saudara, genosida dan kekejaman berskala besar lainnya; senjata nuklir,
radiologi, kimia dan biologi; terorisme dan kejahatan lintas negara
terorganisasi (TOC). (Annan, 2005).
Dari sini nampak bahwa bahaya bersama terhadap keamanan manusia
di masa depan akan bersifat dua dimensi, yaitu bahaya keamanan yang
tradisional (konflik antar negara) yang masih ada seperti konflik China-
Taiwan, Korea Utara-Korea Selatan, India-Pakistan dll. dan bahaya
keamanan non -tradisional di atas.
Sehubungan dengan ini “South African White Paper on Defence”
mendefinisikan keamanan (security) sebagai :
“an all-encompassing condition in which individual citizens live in
freedom, peace and safety; participate fully in the process of
governance; enjoy the protection of fundamental rights; have access to
resources and the basic neccecities of life; and inhabit an environmental
which is not detrimental to their health and well-being” (Len le Roux,
1999).

Selanjutnya dikatakan bahwa di tingkat nasional tujuan kebijakan


keamanan (security policy) mencakup konsolidasi demokrasi, pencapaian

12
keadilan sosial, pembangunan ekonomi, dan suatu lingkungan hidup yang
aman; pengurangan signifikan tingkat kejahatan, kekerasan, instabilitas
politik. Stabilitas dan pembangunan saling memperkuat satu sama lain
(mutually reinforcing) dan berkaitan satu sama lain (inextricbly linked). Di
tingkat internasional tujuan kebijakan keamanan mencakup usaha untuk
mempertahankan kedaulatan, integritas teritorial dan kemerdekaan politik,
dan promosi keamanan regional.
Dengan demikian dapat difahami bahwa di dalam kerjasama keamanan
(security cooperation) antara Indonesia dan Australia (Lombok Treaty, 2008)
yang baru-baru ini disetujui oleh kedua negara, mencakup tidak hanya
“defence cooperation” yang bersentuhan dengan angkatan bersenjata (armed
forces) kedua negara , tetapi juga mencakup “law enforcement cooperation”
dalam rangka penanggulangan kejahatan transnasional (people smuggling
and trafficking in persons, money laundering, financing of terrorism,
corruption, illegal fishing, cyber crimes, illicit trafficking in narcotics drugs and
psychotropic substances and its precusors, illicit trafficking in arms,
ammunition, explosives and other dangerous materials and the illegal
production thereof; and other types of crime if deemed necessary by both
Parties) dan “counter-terrorism cooperation” dan lain-lain. Dalam hal ini
keamanan harus ditafsirkan sebagaqi “comphrehensive security” , yang
mencakup pula “non military security”.
Dalam hal ini sebagai referensi dapat dikemukakan pula kebijakan
keamanan komprehensif Canada yang mencakup elemen militer dan non-
militer (national soft power) yang dirumuskan sebagai “The Five D’s of
Security”yang mencakup :
 Development – Measures to create the kind of economic, social, and
environmental conditions that are conducive to sustainable peace
and stability;
 Democracy – Measures to promote good governance that emphasize
political inclusiveness and participatrion, as well as respect for
human rights;
 Disarmament – Measures to prevent excessive and destabilizing
accumulations of arms and to prohibit weapons of mass destruction;

13
 Diplomacy – Engagement in multilateral efforts toward the prevention
of armed conflict, the peaceful management of political conflict, the
development of a rules-based international order, and the promotion
of development, democracy and disarmament;
 Defence – The capacity to resort to the use of force in extraordinary
circumstancew in support of the full range of peace and security
efforts; (Regehr, 2005)

Pendekatan Dikotomis
a. Referent : Keamanan Tradisional (KT) melindungi batas-batas negara,
rakyat, lembaga dan nilai-nilai yang berkaitan dengan negara;
Keamanan Non-Tradisional (KNT) melindungi kesejahteraan umat
manusia ;
b. Ruang Lingkup (Scope) : KT berusaha mempertahankan integritas
dan wilayah negara dari serangan agresi eksternal (deter or defeat);
KNT juga berusaha memperluas ruang lingkup untuk melindungi dari
ancaman yang lebih luas jangkauannya termasuk lingkungan, polusi,
penyakit menular dan deprevasi atau kerugian ekonomi;
c.Aktor : KT menampakkan adanya peran negara dan pemerintah
sebagai aktor tunggal dalam pengambilan keputusan untuk menjamin
daya survival; KNT melibatkan tidak hanya pemerintah dan negara,
tetapi tetapi juga partisipasi dari aktor lain yaitu organisasi regional,
internasional dan NGO termasuk komunitas lokal;
d. Sarana (means) : KT menyandarkan diri kepada pembangunan
kekuatan nasional atau militer yang berakibat perlombaan senjata dan
aliansi militer; KNT tidak hanya melindungi, tetapi juga
memberdayakan masyarakat sebagai sarana keamanan.

14
Kecenderungan Global (Global Trends) 2015
Suatu dialog tentang masa depan yang dilakukan oleh National
Intelligence Council (NIC) , suatu lembaga studi strategis di lingkungan US
Intelligence Community menggambarkan beberapa kecenderungan menonjol,
yang pada dasarnya mengandung “drivers” bagi munculnya bahaya non-
tradisional yang antara lain adalah sebagai berikut :
 Peledakan penduduk terutama di negara-negara berkembang akibat
meningkatnya harapan hidup karena kemajuan teknologi kesehatan
dan menurunnya angka kematian bayi serta tidak effektifnya keluarga
berencana akan meningkatkan arus urbanisasi serta mengalirnya
imigran gelap lintas negara ke negara-negara maju, yang memicu
instabilitas dan ketegangan sosial dan politik;
 Permintaan terhadap kebutuhan air dan energi semakin meningkat,
khususnya di negara-negara industri, yang cenderung menimbulkan
ketegangan politik internasional;
 Perkembangan IPTEK yang maju pesat di bidang-bidang IT,
bioteknologi, dan nanoteknologi, yang dapat memicu pula terjadinya
perkembangan pesat terhadap senjata-senjata pemusnah masal
(WMD), termasuk kemungkinan pemanfaatannya oleh para teroris dan
penjahat transnasional terorganisasi (weapon proliferators,
narcotictrafickers) serta negara-negara yang tidak stabil (fail state,
rogue states) yang dapat membahayakan keamanan dunia; Dalam hal
ini ada istilah “cyber-warfare” dalam bentuk perang informasi yang
bersifat offensivwe dengan target sistem komputer yang potensial
sangat berbahaya mulai dari telekomunikasi, keamanan dan
perbankan atau sering disebut “digital Pearl Harbor”;
 Issue pencemaran lingkungan dan degradasi lingkungan akan tetap
menjadi fokus negara-negara di dunia untuk mengatasinya melalui
mitigasi dan adaptasi, disertai usaha untuk mengembangkan
alternative –energy ;
 Perkembangan ekonomi global terjadi dan dipicu oleh arus cepat dan
tidak terbatas atas informasi, ide, nilai-nilai kultural,modal, barang dan
jasa, serta manusia. Hal ini di samping menguntungkan negara-negara

15
maju, juga akan menimbulkan permasalahan besar di lingkungan
regional, negara-negara, kelompok yang merasa ketinggalan (tidak
mampu, tidak effektif) , dengan akibat stagnasi ekonomi, instabilitas
politik, dan keterasingan budaya. Hal ini akan menggerakkan
ekstrimisme politik, ethnik, ,ideologi dan agama, yang tidak jarang
disertai dengan kekerasan yang menimbulkan konflik baik di dalam
negeri maupun di luar negeri;
 Di dalam “national dan international governance” peranan negara
akan tetap dominan, tetapi sulit mengawasi dan mengendalikan arus
informasi, teknologi, penyakit menular, migran, senjata, dan transaksi
finansial, baik yang sah maupun tidak sah serta lintas batas negara.
Dalam hal ini peranan “non-state actors” sangat besar, baik berupa
“for-profit sector” seperti MNC; “non-profit sector or organizations” di
bidang-bidang kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial serta
proyek kemanusiaan lainnya, melalui pelayanan informasi, dan
keahlian, advokasi kebijakan serta bergerak melalui organisasi
internasional; maupun dalam bentuk “traditional communal groups”,
baik keagamaan mupun ethnik yang bergerak di bidang HAM,
lingkungan hidup, sosial dan sebagainya.
 Negara-negara adikuasa, khususnya AS akan menghadapi 3 (tiga)
jenis ancaman :
(1) “asymmetric threats” di mana negara-negara dan aktor-aktor
non-negara yang bermusuhan akan menghindari konflik
langsung secara militer, tetapi mengembangkan strategi, taktik,
dan persenjataan modern, untuk memperkecil kekuatan AS dan
mengeksploitasi kelemahannya;(the fourth generation of war);
(2) Penggunaan senjata-senjata pemusnah masal (WMD) termasuk
senjata nuklir (peluru kendali) oleh Russia, China, Korut, Iran,
yang dapat menyerang AS dan secara potensial terjadi
penyebarluasan secara inkonvensional WMD (nuklir, biologi,
kimia) baik oleh negara-negara atau aktor non-negara;

16
(3) Ancaman militer regional dimana beberapa negara memelihara
kekuatan militer besar dengan menggabungkan konsep-konsep
dan teknologi Perang Dingin dan Pasca Perang Dingin;
 AS akan tetap merupakan pemegang hegemoni kekuatan utama
dalam masyarakat dunia baik di bidang ekonomi, teknologi, militer dan
diplomasi, sehingga akan mendapat menfaat besar dari proses
globalisasi yang sangat intensif. (NIC, 2000).

Pergeseran Hakekat Lingkungan Keamanan Abad 21


Selama kurang lebih 15 tahun terakhir masyarakat di dunia menjadi
saksi terjadinya 3 hal yang berkaitan satu sama lain, yaitu : berakhirnya
Perang Dingin; keruntuhan Marxisme-Leninisme sebagai suatu ideologi
revolusioner di dunia; dan bangkitnya suatu lingkungan keamanan dunia
yang baru. Lingkungan strategis telah mengalami suatu transformasi dari
apa yang oleh John Lewis Gaddis dikatakan sebagai the “Long Peace’of the
20 century Cold War” ke arah suatu situasi yang oleh US Pentagon
digambarkan sebagai a “Long War’ against the diffuse of an Islamist
insurgency”.(Evans, 2007).
Selama Perang Dingin (Long Peace) abad 20 terjadi banyak perang
regional mulai dari Korea terus ke Vienam dan selanjutnya Afganistan, tetapi
stabilitas struktural tidak pernah goyah sebab tidak terjadi perang utama
antara dua kekuatan besar. Digambarkan bahwa persiapan perang memang
terjadi antara Pakta Pertahanan NATO dan Pakta Warsawa, yang
digambarkan sebagai suatu “symphony orchestra” yang megah dengan
tahapan (lembaran musik) yang bisa diperkirakan dan dimengerti dengan
baik oleh masing-masing musisi. Saat ini dalam suasana “Long War “ abad
21 persiapan konflik bersenjata menyerupai musik jazz (jazz playing), dengan
segala improvisasinya dan akan sulit diramalkan bentuk musik yang akan
terdengar.
Kejadian 11 September 2001 merupakan gejala mengerikan tentang
terjadinya perobahan mendalam di dunia . Teknologi telah menyebarkan
kekuatan jauh dari pemerintah dan memperkuat individu dan kelompok untuk
berperanan dalam politik dunia termasuk menimbulkan kerusakan secara
besar-besaran untuk melawan pemerintah.

17
Privatisasi telah meningkat dan terorisme merupakan privatisasi
perang (terrorism is the privatization of war). Kejadian 11 September berasal
dari globalisasi dari kekerasan informal sebagai kategori baru dari
“asymmetric warfare” yang diprakarsai oleh “non-state actors”.
Di dalam perkembangan “the Long War” terjadi apa yang oleh Blok
Barat disebut sebagai bentuk baru dari penyebaran senjata pemusnah
masal, penapis turbulensi global , dan penyebaran rasa takut terorisme (novel
setting of diffusion and diversification of weapons of mass destruction,
percolating global turbulence, and widespread fear of terrorism). Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa karakter atau hakekat perang telah berobah.
Namun harus dicatat bahwa berkembangnya bahaya asimetrik yang
bersifat dan berdimensi “new multi-centric environment” tidak dengan
sendirinya akan menghapuskan bahaya tradisional yang bersifat simetrik
(state-centric world order).. Yang terjadi adalah “the two worlds of world
politics”, dimana interaksi dunia yang berkarakter simetrik atau “state centric”
dan dunia asimetrik berupa “multicentric world” semakin meningkat dan
menciptakan bentuk konflik bersenjata yang berubah-ubah dan sulit
diprediksi sebelumnya.
Apa yang menjadikan lingkungan strategis abad 21 begitu bergolak
bukanlah faktor perobahan itu sendiri, tetapi karena kompresi atau tekanan
dan saling keterkaitan dari perobahan yang cepat antara dunia “the state-
centric” dan “multi-centric” akibat penggunaan jaringan elektronik.
Dalam hal ini dua cabang sistem keamanan global yang telah
berkembang mengandung 3 (tiga) kecenderungan: (a) pergeseran pemikiran
yang berorientasi pada teritorialitas kearah keterhubungan (connectedness)
dan pengurangan frekuensi perang antar negara; (b) kekaburan perbedaan
antara negara dan masyarakat serta kebijakan luar negeri dan domestik
sehingga menciptakaan suatu kebutuhan nasional tentang kebijakan
keamanan; dan (c) penggabungan dari bentuk –bentuk konflik bersenjata
yang konvensional dan tidak konvensional. Dalam hal ini dikatakan bahwa
“the most powerful weapon in the world, the ability to manage every aspect of
a conflict from one operation centre”.

18
Dalam hal ini Jenkins menggambarkan perbedaan antara musuh dunia
Barat di Era Perang Dingin dan yang berkembang di abad 21 sebagai
berikut:
“The enemies of yesterday were static, predictable, homogenous, rigid,
hierarchical, and resistant to change. The enemies of today are dynamic,
unpredictable, diverse, fluid, networked, and constantly evolving” (Evans,
2007).

Logika dari timbulnya perang asimetrik pada dasarnya berkaitan dengan


ketidakseimbangan kekuatan dan teknologi perang antara negara yang
beselisih (mis. Palestina menghadapi Israel; Al Qaeda melawan AS).sehingga
menerapkan taktik yang tidak konvensional. Yang lemah mengklaim punya
hak untuk menggunakan taktik tidak konvensional, yang terdiri atas serangan
terhadap penduduk sipil, karena merupakan jalan satu-satunya untuk
mengimbangi kekuatan musuh. Mereka mengklaim dirinya sebagai pihak
yang tidak beruntung menghadapi perang yang tidak imbang.
Dengan demikian nampak adanya dua dimensi bahaya terhadap baik
negara maupun manusia di masa depan pasca Perang Dingin. Di samping
tetap adanya ketegangan antar negara seperti antara India dan Pakistan yang
sama-sama memiliki senjata nuklir, munculnya kekuatan baru seperti China,
kecurigaan AS dan Barat terhadap negara-negara yang dianggap sebagai
“roque States” (Korea Utara, Iran), intervensi antar negara dalam masalah-
masa;llah konflik antar nagara (di Afrika), maka muncul “new threat patterns”
seperti : kejahatan transnasional terorganisasi, perdagangan senjata-senjata
ringan (small arms) , perompakan dl laut bebas, terrorisme yang melengkapi
dirinya dengan senjata-senjata pemusnah massal, “information warfare”,
ancaman terhadap kedutaan-kedutaan besar, kapal, pesawat udara dan
asset-asset lepas pantai, migrasi illegal, dan degradasi lingkungan.

Generasi Perang ke-4 dan ke-5


Terkait dengan apa yang telah dikemukakan di atas, perlu dikaji apa
yang dinamakan Generasi Keempat Perang (Fourth Generation of War
-4GW) sebagai berikut:
Generasi I perang modern terjadi antara 1648-1860. Perang ini
merupakan perang dalam barisan dan lajur, di mana perang dilakukan secara

19
formal dan medan perang yang tertib dan rapi serta linier. Hal ini dikaitkan
dengan kultur militer yang penuh keteraturan. Hal-hal yang membedakan
antara orang sipil dan militer seperti pakaian seragam, pemberian hormat,
dan pangkat, pada dasarnya merupakan produk Generasi I ini dan
dimaksudkan untuk menegakkan budaya ketertiban. Generasi I ini
didominasi oleh “massed manpower” seperti yang terjadi dalam perang
Napoleon;
Generasi II perang dikembangkan oleh Tentara Perancis, selama
Perang Dunia I, dengan mengedepankan daya tembak atau “mass firepower”
yang sebagian besar memanfaatkan tembakan meriam tidak langsung.
Doktrin yang dikembangkan adalah “ The artillery conquers, the cavalry as
the attacker and the infantry occupies”. Daya tembak yang terkendali secara
terpusat dan hati-hati disinkronisasikan dengan menggunakan rencana yang
khusus dan terperinci dan teratur bagi infantri, tank dan artilery di mana
komander sangat memegang peranan.
Generasi III perang yang sebenarnya juga merupakan produk PD I
dikembangkan oleh Tentara Jerman dalam PD II yang dikenal secara luas
sebagai “Blitzkrieg” atau perang dengan maneuver, didasarkan atas daya
tembak dan menghabiskan tenaga lawan (attrition), tetapi mengutamakan
kecepatan, daya dadak, dan kekuatan mental serta fisik. Sebagai pengganti
doktrin “close with and destroy” motto yang lain yang dikembangkan adalah
“bypass and collapse”. Generasi ketiga ini bersifat “non-linier”. Ketertiban
menentukan hasil yang akan dicapai, tetapi tidak menentukan cara. Inisiatif
lebih penting daripada ketaatan.
Selanjutnya desentralisasi dan inisiatif yang berasal dari generasi ketiga
diambil alih oleh Generasi IV perang. Yang sangat menonjol dalam Generasi
IV ini adalah perobahan radikal terhadap norma yang dihasilkan oleh
perjanjian Westphalia 1648 bahwa negara adalah yang memonopoli perang,
karena di seluruh dunia militer negara dalam generasi ini bertempur dengan
“non-state opponents”, seperti al Qaeda dan organisasi-organisasi teroris lain.
Dalam generasi ini sebenarnya yang terjadi adalah berulangnya budaya
perang di masa lalu di mana yang terlibat konflik bukanlah negara, tetapi
keluarga, suku, penganut agama, kota, dunia usaha yang menggunakan
segala cara. Generasi keempat ini mengembangkan apa yang dinamakan

20
“insurgency”, bersifat asimetrik yang mendayagunakan segala jaringan yang
tersedia -politik, ekonomi, sosial, militer- untuk meyakinkan pengambil
keputusan musuh bahwa tujuan strategis mereka tidak dapat dicapai atau
sangat mahal. (Lind, 2007).
Karakter lain adalah bersifat transnasional, tidak mengenal “battlefield”
yang pasti, tidak membedakan sipil dan militer, tidak mengenal masa perang
dan damai, tidak mengenal “front-line”, dan bergerak melalui kelompok-
kelompok kecil. Contohnya adalah terorisme.
“As the world moves further away from the 20th century concept of the
Cold War, it becomes increasingly clear that the very nature of warfare
itself has changed. The Old Style conflicts were about overpowering
the enemy and winning ground. The new wars are about ideas, belief
systems and ideologies. The battle is no longer about winning territory, it
is about winning minds”.

Akhir-akhir ini mulai muncul wacana tentang Generasi V Perang (Fifth


Generation of Warfare) yang disebut sebagai “Information
Operations/Warfare” melalui mass media, internet (cyber warrior) yang dapat
menimbulkan kerusakan luar biasa di segala bidang (ekonomi, pertahanan,
transportasi, politik dll). (Patriot Post, 2007)
Dalam menghadapi Generasi IV dan Generasi V perang ini, khususnya
yang dikendalikan oleh “non-state actor” dan “rogue state” (states considered
threatening to the world’s peace, such as being ruled by authoritarian
regimes that severely restrict human rights, sponsor terrorism, and seek to
proliferate weapons of mass destruction) Amerika Serikat menerapkan
“nontrinity war” (war fought not by an army on behalf of a people nor directed
by some form of government for one or both sides in the war) yakni dengan
menerapkan “anticipatory strike”. Bahkan saat ini bersama sekutu-sekutunya
AS menerapkan “Proliferation Security Initiatives”(PSI) yang memungkinkan
negara-negara pendukung PSI mencegat kapal-kapal asing dan kapal-kapal
lainnya yang berlayar di laut bebas dan di perairan nasional jika dicurigai
membawa senjata pemusnah massal (WMD) dan atau bahan-bahannya
untuk mencegah penyebarannya, khususnya dari atau ke negara-negara
yang dicurigai mengembangkan senjata nuklir atau WMD lainnya.

21
Doktrin Ketahanan Nasional dan Kekuatan Nasional.
Doktrin Ketahanan Nasional (National Resilience) mulai disadari bangsa
Indonesia setelah secara relatif dapat melewati krisis keamanan tradisional
pasca kemerdekaan yang banyak menyentuh masalah-masalah pertahanan
(defence) sebagai faktor dominan, sehingga Bung Karno memunculkan
keberadaan Lembaga Pertahanan Nasional pada tahun 1965. Kemudian
Doktrin Ketahanan Nasional di Era Presiden Suharto bersifat khas (unique
and different)), - yang melihat kehidupan nasional sebagai sistem sosial dan
sistem alamiah yang utuh - khususnya apabila disandingkan dengan Doktrin
Kekuatan Nasional (National Power) yang diadopsi oleh negara-negara adi
kuasa.
Doktrin Ketahanan Nasional erat sekali kaitannya dengan Tujuan
Nasional yang terpateri dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; untuk
memajukan kesejahteraan umum , mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial “. Doktrin Ketahanan Nasional,
sekalipun tidak pernah menafikan elemen “outward looking” sebagai
lingkungan strategis yang harus diperhitungkan, namun cenderung bersifat
defensif dan mementingkan pendekatan “inward looking” . Tannas
mengandung kemampuan untuk segera bangkit dari krisis (engineering
resilience), kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan
positif (ecological resilience) dan kemampuan untuk memprediksi apa yang
akan terjadi di depan (anticipatory resilience).
Sebaliknya Doktrin Kekuatan Nasional (National Power), cenderung
bersifat ofensif dan militeristik. Dalm hal ini fokus terhadap “power” diarahkan
sebagai sarana (means), kekuatan (strength) dan kemampuan (capacity)
yang menyediakan “the ability to influence the behavior of other actors in
accordance with ones own objectives”.
Hal ini diadopsi dalam arena internasional, baik sebagai tujuan sesaat,
maupun sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir. Doktrin ini cenderung
offensive, milteristik, berwawasan keluar dan bersifat kontekstual, serta
hanya dapat dievaluasi dalam kerangka seluruh determinan dalam kaitannya

22
dengan pelaku-pelaku lain dan situasi dimana kekuatan harus diterapkan
(Jablonsky, 2006).
Namun demikian tidak berarti bahwa antara keduanya tidak terdapat
persamaan (similarities) . Dalam hal ini persamaan antara keduanya yang
bisa diidentifikasi adalah adanya kesadaran adanya hubungan
multidimensional antar elemen atau determinan, baik natural maupun sosial;
adanya kaitan determinan satu sama lain dan bersifat dinamis, karena sifat
determinan tersebut tidak bersifat kemampuan abstrak, tetapi hanya dapat
dinilai dalam hubungan dengan negara lain. Dalam hal ini Doktrin Kekuatan
Nasional memfokuskan diri pada keunggulan kompetitif, sedangkan Doktrin
Ketahanan Nasional memfokuskan diri pada evaluasi tentang keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif.
Persamaan logis yang muncul adalah bahwa baik tannas maupun
kekuatan nasional sama-sama menghindari kesalahan akibat terjebak hanya
dalam fokus pada satu determinan semata-mata (Morgenthau ; “the fallacy of
single factor”).
Persamaan yang lain adalah karakter “situasional”, karena beberapa
elemen atau determinan atau kombinasi antar elemen tidak dapat diterapkan
dalam situasi-situasi khusus sehubungan dengan kompleksitas dari
lingkungan strategis.
Dalam hal ini bagi Doktrin Ketahanan Nasional mungkin bahaya yang
datang bersifat baru, terlalu cepat atau terlalu besar untuk dihadapi, dan bagi
Doktrin Kekuatan Nasional penerapan kekuatan selalu didasarkan atas
analisis biaya dan hasil (cost and benefit analysis).

23
Penutup
Pemahaman tentang kerjasama keamanan dan keamanan
komprehensif di atas sangat diperlukan untuk menyadari adanya bahaya
ancaman kamanan yang multidimensional di dunia termasuk menghadapi
NTS yang bersifat transnasional, yang tidak mungkin dihadapi sendiri oleh
suatu negara, di mana konflik dan ancaman akan dikelola secara kolektif
melalui kerjasama internasional atau regional, baik multilateral maupun
bilateral.
Contoh ASEAN Security Community, yang telah dimantabkan melalui
ASEAN Charter yang mencakup “conflict prevention, conflict resolution and
post-conflict building” dan Defence Cooperation Agreement antara Indonesia-
Australia (Lombok Treaty). Hal ini bukan semacam pakta militer (military
alliances and collective security) menghadapi musuh khusus, tetapi
merupakan “cooperative security”, yang merupakan “multilateral effort to
achieve security among all the participants through non-military means,
without attributing either friend or enemy status to the relation involved”.
(Katsumata, 2007).
Dalam kerjasama keamanan tersebut masing-masing negara harus
menghormat kebijakan pertahanan nasional (the policy of national defence)
masing-masing dengan sikap dan cara :
 Mentaati pelbagai perjanjian internasional;
 Menghormati integritas dan kedaulatan negara lain;
 Menghormati asas-asas perdamaian, stabilitas dan keamanan
internasional serta aktif berpartisipasi secara internasional untuk
pencapaiannya;
 Mengusahakan penyelesaian secara damai segala perbedaan dan
mengutamakan pencegahan terhadap gangguan keamanan nasional
melalui saluran diplomatik, politik dan militer;
 Menentang penyebarluasan penggunaan senjata-senjata pemusnah
massal (nuklir, kimia, biologi) .
Perobahan nama Lembaga Pertahanan Nasional menjadi Lembaga
Ketahanan Nasional merupakan langkah yang tepat bagi LEMHANNAS,
karena sekaligus menyadarkan kepada kita tentang realitas “two worlds of

24
world politics” di atas, dimana bahaya atau ancaman tradisional terhadap
negara yang bersifat militeristik saat ini bersinergi dengan jaringan
desentralisasi ancaman yang berasal dari aktor-aktor non –negara yang
mendayagunakan segenap senjata (ideologi politik, ekonomi, sosial budaya ).
Di samping itu pendekatan komprehensif-integral terhadap Ketahanan
Nasional (National Resilience) yang mengandung determinan Asta Gatra
yang merupakan gabungan antara determinan natural dan sosial, juga
meningkatkan kewaspadaan kita terhadap “Non-Traditional Security Threat”
(NTS) baik yang bersifat “soft threat” maupun “hard threat”.
Dalam hal ini harus diyakini bahwa hubungan antar determinan Asta
Gatra tersebut bersifat “multidimensional interrelationship; dinamic dan
situational”. Morgenthau telah memperingatkan agar dalam mengelola
pelbagai determinan sebagai kekuatan nasional, kita tidak terjabak pada apa
yang dinamakan “the Fallacy of the Single Factor”. Fallacy yang lain adalah
“the failure to distinguish between potential and actual power”. Alumni
Lemhannas dan keluarga besar Lemhannas diharapkan dapat menjadi
kelompok yang memelopori terwujudnya “Comphrehensive Security
Community” sebagai tanggungjawab bersama.
Persoalan tentang kewenangan dan pembagian kewenangan antar
lembaga yang menangani masalah pertahanan atau keamanan dalam arti
sempit, dan kerjasama antar lembaga yang menangani keamanan
komprehensif, sangat tergantung pada Konstitusi dan hukum positif yang
berlaku di suatu negara dalam rangka Sistem Keamanan Nasional, dengan
menjauhi egoisme sektoral. Dalam hal ini pembentukan semacam Dewan
Keamanan Nasional sangat diharapkan.
Selain itu harus tetap disadari bahwa atas dasar perjanjian internasional
pada dasarnya keamanan nasional merupakan sub-sistem keamanan
regional dan semuanya merupakan sub-sistem perdamaian dan keamanan
internasional (international peace and security system).
Sebagai contoh dalam hal ini dapat dikemukakan bahwa dalam ASEAN
Charter sudah digunakan istilah “regional resilience”. Indonesia saat ini
sangat dipercaya komitmennya terhadap perdamaian dan keamanan regional
dan internasional, karena Indonesia dianggap sebagai negara demokrasi
ketiga terbesar di dunia, disertai parlemen yang aktif dan masyarakat madani

25
yang berkembang secara positif dalam masyarakat yang sangat pluralistik.
Belum lagi dengan kondisi ekonomi yang relatif stabil, sekalipun menghadapi
krisis finansial global. Pertumbuhan ekonomi masih terjadi dan strandar
kehidupan meningkat.\
Sering dikatakan bahwa untuk dapat melakukan kerjasama keamanan
diperlukan “level of playing field” yang sama seperti “promotion of democracy,
human rights and obligations, transparency and good governance and
strengfthening democratic institutions”.

Jakarta, 17 September 2010.

26
Daftar Pustaka

Alagappa, Muthiah, Asian Security Practices {Material and Ideational


Influences), Stanford University Press, 1988.

Annan, Kofi A., In Larger Freedom :Towards Development, Security and


Human Rights for All, UN, 2005.

Agreement Between The Republic of Indonesia and Australia on the


Framework for Security Cooperation, Lombok, 13 Desember 2007.

CSCAP, Memorandum No. 3: The Concept of Comphrehensive and


Cooperative Security, Kuala Lumpur, ISIS, 1995.

Desker, Barry, New Security Dimensions in the Asia Pacific, tha Indonesian
Quarterly. Vol. 36. No. 3-4, 2008 p.355-368.

Emmers, Ralf, Anthony, Melly Caballero, Acharya, Amitav, Studying Non-


Traditional Security in Asia, Trend and Issues, Marshall Cavendish
Academic, Singapore, 2006.

Evans, From the Long Peace to the Long War : Armed Conflict and Military
Education and Training in the 21 st Century, Australian Defence
College, Occasional Series No. 1, 2007.

Feng,Han, NTS Challenges and Policy Responses in North East Asia, in


Inaugural Meeting of the Consortium of NTS Studies in Asia,
Singapore, 2007.

Hernandez, Carolina, The Asean Charter and the Building of an ASEAN


Security Community, The Indonesia Quarterly Vol. 36 No. 3-4, 2008,
p.296-311.

Hsiung, James C., Comphrehensive Security,: Challenge for Pacific Asia,


New York University, 2008.

Jablonsky, David, National Power, US War College Guide to National Security


Policy and Strategy, 2 nd Edition, June 2006.

Katsumata, Hiro, Asean Security Community Background Paper for the


Informal Meeting of ASEAN Defence and Security Think Tanks,
Singapore, 2007.

Len le Roux, Defining defence requirements : Force Design Considerations


for the South African National Defence Force, ,African Security Review
Vol. 8 No. 5, 1999.

27
Lind, William S, Understanding Fourth Generation War,
http://www.lewrockwell.com/lind/lind3b.html, 2007..

Muladi, International Terrorism, Paper Presented in IDSS Seminar,


Singapore, 2006.

Muladi, “Global Warming” dan a”Climate Change” Sebagai Masalah


Nasional dan Internasional, Jakarta, 10 Maret 2008.

NIC, Global Trends 2015, A Dialog About the Future With NGO Expert,
December 2000.

Patriot Post. Us, http://patriotpost.us/papers/05-10 paper asp., 2007

Rana, Madhukar, SJB, Comphrehensiver Security for South Asia,


Conceptualization Toward a Regional Strategy, Sge Publication, New
Delhi, 2008.

Regehr, Ernie, Project Ploughshares, Canadian Defence Policy Within a


Comphrehensive Security Strategy, March 21, 2005.

Sukma, Rizal, The Future of Asean, Towards a Security Community, New


York, 3 June 2003.

Tan, Andrew T.H. and Boutin Kenneth J.D., Non Traditional Security Issues in
Southeast Asia, IDSS, Singapore, 2001.

28

Anda mungkin juga menyukai