Anda di halaman 1dari 3

Catatan Awal Tahun 2010

WALHI Sulawesi Utara

Selamat Jalan Bumi Nyiur Melambai……..


Selamat Datang Bumi Nyiur Melantai........

Jika dipenghujung 2009 rakyat Sulawesi Utara (Sulut) masih familiar dengan slogan
Sulut ”Bumi Nyiur Melambai” maka di tahun 2010 ini ”dipastikan” akan berubah
menjadi ”Bumi Nyiur Melantai”.

Rimbunnya pohon-pohon kelapa akan hilang seketika jika pemerintah Sulut tidak
merubah kebijakan-nya untuk menghentikan investasi di bidang pertambangan dan
pesisir dan kelautan. Pohon nyiur melambai akan berjatuhan (melantai) jika eksploitasi
pertambangan sudah dimulai, pohon nyiur melambai segera melantai jika hak
pengelolaan pesisir pantai sudah diberikan. Bumi Nyiur Melambai hanya tinggal nama
dan saat itu pula fakta bahwa Sulut sebagai penghasil kopra terbesar akan lenyap
seketika.

PT. Meares Soputan Mining (MSM) dan PT. Tambang Tondano Nusajaya (TTN) sudah
di depan mata, meski sepanjang tahun 2009 sering terjadi polemik antara eksekutif
dengan legislatif, antara eksekutif dan tokoh-tokoh rakyat sulut, antara eksekutif
dengan Perguruan Tinggi, antara eksekutif dengan LSM-LSM lokal Sulut. Namun itu
tidak bisa merubah pendirian pemerintah Sulut yang katanya di desak oleh kebijakan
dari pusat sampai akhirnya pemerintah Sulut memberikan 9 syarat kesepakatan.

Meski berpolemik, tetapi polemik itu hanya bermain pada tataran bagi hasil
(keuntungan) yang tidak adil, kesejahteraan dan kemanan warga sekitar lokasi harus
terjamin dan bahkan harus di ”asuransikan”. Tidak ada yang berani mengatakan bahwa
perusahaan itu ”harus” ditolak tanpa syarat dan tanpa negosiasi kecuali Walhi Sulut.

Banyak ekosistem yang akan terancam dan hancur jika pertambangan beroperasi,
misalnya Cagar Alam Tangkoko, Hutan Lindung Duasudara dan Hutan Lindung Wiau
di kaki Gunung Klabat. Kalau pemerintah Sulut mau melihat ini secara ”arif” dan
”bijaksana”, kawasan-kawasan penyangga ini adalah sumber-sumber kehidupan bagi
rakyat Sulut yang bisa menghidupkan rakyat saat ini hingga generasi-generasi
mendatang, tidak seperti pertambangan yang hanya mementingkan keuntungan semata
dan setelah 5 tahun akan meninggalkan kesengsaraan rakyat sepanjang masa.

Mangkatnya PT. Newmont Minahasa Raya (NMR), bukan berarti sumber daya alam
telah habis. Justru pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara kembali memberikan
peluang kepada coorporasi-coorporasi asing khususnya dari negeri China untuk melirik
potensi sumber daya alam yang masih tersimpan, bahkan sudah sampai pada tahap
survey lapangan.
Demikian halnya PT. Avocet di Bolmong, hal ini juga sudah mulai menimbulkan
keresahan terhadap warga sekitar pertambangan. Keresahan soal berkurangnya debit
air beberapa sungai mulai melanda masyarakat, bahkan harus mempengaruhi hasil
produksi pertanian rakyat di Bolmong dan Bolmong Timur. Bukan cuma itu, keresahan
atau intimidasi dalam bentuk lain juga dirasakan oleh warga, yaitu kendaraan-
kendaraan perusahaan seakan menjadi pemilik satu-satunya jalan raya lintasan
Modayag-Nuangan setiap harinya. Kendaraan-kendaraan perusahaan sepertinya tidak
menginginkan jalan raya tersebut dilalui oleh kendaraan lain sehingga seenaknya
melintas dengan kecepatan tinggi dan menguasai badan jalan seluruhnya.

Maraknya pembalakan liar, baik yang dimotori oleh aparat penegkah hukum, pejabat
legislator dan pengusaha nakal semakin menambah kerusakan sumber daya hutan di
Sulut. Diturunkannya 38 personil polhut di hutan bolsel untuk melakukan operasi
patroli secara rutin tidak membuat pemilik-pemilik mesin pemotong (chainsaw)
menjadi jera. Justru pemilik mesin tersebut semakin bertambah jumlahnya hingga
ratusan pemilik yang illegal (tanpa ijin).

Turunnya permukaan air Danau Tondano sebanyak 213 cm juga dipengaruhi karena
semakin berkurangnya ekosistem hutan yang berfungsi sebagai tabungan air bagi danau
tersebut selain karena kemarau berkepanjangan di wilayah Sulut. Ekosistem hutan di
gunung Klabat-pun harus mengalami kerusakan akibat illegal logging sebanyak 40%,
dan diperkirakan 2 tahun kedepan hutan Gunung Klabat akan habis karena
beroperasinya PT. MSM dan PT. TTN sehingga Kab. Minut akan menjadi kabupaten
yang tidak lagi memiliki hutan.

Secara keseluruhan dari total hutan yang dimiliki oleh Sulut seluas 787 ribu hektar, 60%
diantaranya dalam kondisi rusak karena kegiatan pertambangan, illegal logging,
perkebunan dan kebakaran hutan. Boltim meski aman dari kebakaran hutan pada tahun
2009 tetapi hutan yang tersisa sekitar 69,7 ribu hektar, 40% diantaranya masuk dalam
areal konsesi pertambangan PT. Avocet.

Pohon kelapa di wilayah pesisir tidak kalah banyaknya dengan yang berada di daratan.
Wilayah pesisir di Sulut juga ikut terancam, pasalnya UU 27/2007 tentang PWPP
semakin dilirik oleh investor-investor khususnya yang dari lokal Sulut. Kabupaten
Kepulauan Sangihe selama tahun 2009 telah memberikan respon kepada 60 ijin untuk
mengelola pertambangan pasir besi di sepanjang pesisir pantai yang memiliki
kandungan pasir besi serta menyetujui sebanyak 22 HP3 untuk mengelola wilayah
pesisr Sangihe.

Kebijakan tersebut dapat dipastikan akan mengancam mata pencaharaian dan sumber-
sumber kehidupan ribuan nelayan di kepulauan Sangihe. Warga Desa Paret di Bolmong
Timur juga harus menerima abrasi air laut yang masuk hingga ke kebun dan
pemukiman warga akibat dari pertambangan pasir besi yang dilakukan PT. Meitha
Perkasa Utama (MPU) yang menurut beberapa kalangan legislatif Boltim bahwa Amdal
yang diperoleh melalui cara yang tidak benar atau tidak sesuai dengan ketentuan aturan
yang berlaku. Pertambangan pasir besi ini masih terus beroperasi meski masyarakat
telah berulang-kali melalukan protes keras terhadap pemerintah Boltim, namun hingga
saat ini belum membuahkan hasil karena perusahaan ini di back-up oleh Bupati Bolaang
Mongondow.

Kota Manado juga tidak luput dari kekejaman kapitalis neolib, reklamasi pantai untuk
pembangunan pusat-pusat perekonomian harus memaksa nelayan tradisional untuk
mencari pekerjaan baru. Setelah sukses menjadi menjadi tuan rumah penyelenggara
WOC CTI SUMMIT dan SAIL BUNAKEN, pemerintah harus menyisakan duka bagi
nelayan-nelayan Malalayang.

Nelayan harus dihadapkan dengan pencemaran karena banyak sampah dan tumpahan
minyak sehingga sulit untuk memperoleh hasil tangkapan. Belum lagi karena terumbu
karang semakin berkurang akibat reklamasi dan akibat ribuan penyelam melakuakan
penyelaman hingga memecahkan rekor dunia.

Upaya nelayan untuk menyampaikan protes juga telah dilakukan, tetapi tidak ada
respon yang berarti dari pihak legislator justru hanya sebatas berwacana di media
massa. Malahan legislator sibuk memperjuangkan agar bagaimana taman nasional
bunaken di kelola oleh pemerintah kota manado karena Dewan Pengelola Taman
Nasional Bunaken (DPTNB) tidak transparan dalam melakukan pengelolaan
(khususnya keuangan) sehingga bermunculan indikasi soal penggelapan dana hasil
pengelolaan taman nasional.

Semua pihak harusnya sudah dapat membayangkan bencana ekologi yang nanti akan
terjadi dan semua pihak juga harus mengetahui bahwa kawasan-kawasan ekologi
genting di Sulut juga semakin terancam keberadaannya. Meski dipenghujung tahun
2009, Gubernur Sulut akhirnya menyerah atas kekuatan modal yang berusaha
menggunakan segala cara untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam di Sulut,
tetapi Walhi Sulut tidak akan surut untuk membuat rakyat menjadi sadar bahwa
sumber-sumber kehidupan mereka harus dipertahankan dan rakyat harus berdaulat
atas sumber-sumber kehidupannya. Meski Gubernur Sulut telah memilih untuk
memberikan ijin atas pertambangan ketimbang memaksimalkan sektor pariwisata,
perikanan, pertanian dan perkebunan tetapi Walhi Sulut tetap mempertahankan agar
sumber daya alam harus dikelola oleh rakyat.

Eksekutif Daerah WALHI Sulut

Edo Rakhman
Direktur

Anda mungkin juga menyukai