Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Salah satu yang menarik dari bangsa Indonesia adalah Pulau Bali. Pulau dengan sebutan
sejuta dewa atau pulau Dewata ini mampu mendatangkan devisa yang tidak sedikit untuk
negara ini. Pulau yang jadi kebanggaan masyarakat kita khususnya dan masyarakat dunia
umumnya. Dengan berjuta keindahan pantai, kebudayaan dan berbagai macam peninggalan-
peninggalan sejarah lainnya mampu membuat Bali tersohor kesegala lapisan penduduk
dunia.
Keragaman etnik disini pun tidak menjadi masalah yang berarti meskipun hampir 80%
penduduknya beragama Hindu. Dalam penelitian kali ini kami mendapatkan tugas di dua
tempat yakni Museum Arca di Desa Pejeng dan Desa Adat Panglipuran. Kedua tempat
tersebut memang teramat sangat menarik wisatawan selain pantai-pantainya.
Museum Arca adalah lokasi penelitian pertama,dimana ditempat tersebut disimpan
berbagai macam peninggalan zaman pra sejarah. Sedangkan di Desa Adat Panglipuran kita
akan diperkenalkan akan kuatnya hubungan dengan leluhur dan cara-cara yang masih
dipertahankan sampai saat ini tanpa termakan zaman.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana Gambaran Umum Museum Arca dan Desa adat Panglipuran ?
2. Bagaimana sejarah Museum Arca dan Desa adat Panglipuran ?
3. Bagaimana cara pelestarian peninggalan yang berupa artefak dan kebudayaan yang ada di
Pejeng dan Panglipuran ?
4. Bagaimana kehidupan masyarakat kedua desa meliputi adat istiadat, ekonomi dan
kehidupan sosial.
5. Bagaimana sikap pemerintah daerah ?

1
1.3 Tujuan Penulisan
Sementara itu, tujuan penulisan hasil dari penelitian adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan tentang Gambaran Umum tentang Museum Arca dan Desa adat Panglipuran
2. Menjelaskan tentang sejarah Museum Arca dan Desa adat Panglipuran .
3. Menjelaskan tentang cara pelestarian peninggalan yang berupa artefak dan kebudayaan
yang ada di Pejeng dan Panglipuran.
4. Menjelaskan kehidupan masyarakat kedua desa meliputi adat istiadat, ekonomi dan
kehidupan sosial.
5. Menjelaskan tentang Sikap pemerintah daerah.

1.4 Metode Penulisan Makalah


Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah dengan menggunakan
metode deskriptif analitis, yaitu dengan memberikan gambaran secara umum mengenai
Museum Arca dan Desa adat Panglipuran yang kami susun dari berbagai literatul yang
relevan dan dari internet.

1.5 Pembatasan Masalah


Makalah ini hanya membahas mengenai Gambaran Umum tentang Museum Arca dan
Desa adat Panglipuran, sejarah kedua tempat tersebut dan cara pelestariannya sertasikap yang
ditunjukkan oleh pemerintah daerah kabupaten Bangli.

1.6 Sistematika Penulisan


Adapun sistematika penulisan dalam pembuatan tugas ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dijelaskan berupa latar belakang kami dalam pembahasan
mengenai Bali yang ditujukan pada Museum Arca dan Desa adat Panglipuran. Setelah itu di
jelaskan pula mengenai rumusan masalah makalah kami yang merupakan pokok bahasan
kami.
BAB II PEMBAHASAN

2
Bab ini merupakan bab isi yang di dalamnya akan membahas mengenai gambaran umum
tentang Museum Arca dan Desa adat Panglipuran, sejarah kedua tempat tersebut dan cara
pelestariannya serta sikap yang ditunjukkan oleh pemerintah daerah kabupaten Bangli.

BAB III PENUTUP


Bab penutup adalah bab terakhir dalam pembahasan yang berisi kesimpulan akhir
dari pembahasan kami mengenai Museum Arca dan Desa adat Panglipuran

DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka berisi tentang daftar literatur yang memuat mengenai sumber-
sumber yang kami peroleh tentang Museum Arca dan Desa adat Panglipuran ini baik study
literatur maupun informasi yang diperoleh melalui internet.

3
BAB II

PEMBAHASAN

I. Desa Panglipuran
a. Gambaran Umum

Desa adat Penglipuran berlokasi pada kabupaten Bangli yang berjarak 45 km


dari kota Denpasar, Desa adat yang juga menjadi objek wisata ini sangat mudah
dilalui. Karena letaknya yang berada di Jalan Utama Kintamani – Bangli. Desa
Penglipuran ini juga tampak begitu asri, keasrian ini dapat kita rasakan begitu
memasuki kawasan Desa. Luas desa adat Panglipuran kurang lebih 112 ha, dengan
batas wilayah desa adat Kubu di sebelah timur, di sebelah selatan desa adat gunaksa,
dan di sebelah barat Tukad, sedangkan di sebelah utara desa adat kayang. Pada areal
Catus pata yang merupakan area batas memasuki Desa Adat Penglipuran, disana
terdapat Balai Desa, fasilitas masyarakat dan ruang terbuka untuk pertamanan yang
merupakan areal selamat datang.
Penglipuran mangandung makna “pangelingan putra” yang berarti terjadi
hubungan yang sangat erat antara tugas dan tanggung jawab masyarakat dalam
menjalankan dharma agama. Panglipuran juga berarti “panglipur” pengingat atau
ingat kepada leluhur.
Desa ini merupakan salah satu kawasan pedesaan di Bali yang memiliki
tatanan yang teratur dari struktur desa tradisional, perpaduan tatanan tradisional
dengan banyak ruang terbuka pertamanan yang asri membuat desa ini membuat kita
merasakan nuansa Bali pada dahulu kala. Penataan fisik dan struktur desa tersebut
tidak lepas dari budaya yang dipegang teguh oleh masyarakat Adat Penglipuran dan
budaya masyarakatnya juga sudah berlaku turun temurun.
Keunggulan dari desa adat penglipuran ini dibandingkan dengan desa-desa
lainnya di Bali adalah, Bagian depan rumah serupa dan seragam dari ujung utama
desa sampai bagian hilir desa. Desa tersusun sedemikian rapinya yang mana daerah
utamanya terletak lebih tinggi dan semakin menurun sampai kedaerah hilir. Selain
bentuk depan yang sama, adanya juga keseragaman bentuk dari bahan untuk

4
membuat rumah tersebut. Seperti bahan tanah untuk tembok dan untuk bagian atap
terbuat dari penyengker dan bambu untuk bangunan diseluruh desa.

b. Sejarah Desa Adat Panglipuran


Masyarakat desa adat penglipuran percaya bahwa leluhur mereka berasal dari
Desa Bayung Gede, Kintamani. Sebelumnya desa Panglipuran bernama Kubu
Bayung. Pada jaman dahulu raja bali memerintahkan pada warga-warga di Bayung
Gede untuk mengerjakan proyek di Kubu Bayung, tapi akhirnya para warga tersebut
memutuskan untuk menetap di desa Kubu Bayung. Dilihat dari segi tradisi, desa adat
ini menggunakan sistem pemerintahan hulu apad. Pemerintahan desa adatnya terdiri
dari prajuru hulu apad dan prajuru adat. Prajuruhulu apad terdiri dari jero kubayan,
jero kubahu,  jero singgukan,  jero cacar,  jero balung dan jero pati.
Prajuru hulu apad otomatis dijabat oleh mereka yang paling senior dilihat dari
usia perkawinan tetapi yang belum ngelad.Ngelad atau pensiun terjadi bila semua
anak sudah kawin atau salah seorang cucunya telah kawin. Mereka yang baru kawin
duduk pada posisi yang paling bawah dalam tangga keanggotaan desa adat.
Menyusuri jalan utama desa kearah selatan anda akan menjumpai sebuah tugu
pahlawan yang tertata dengan rapi. Tugu  ini dibangun untuk memperingati serta
mengenang jasa kepahlawanan Anak Agung Gede Anom Mudita atau yang lebih
dikenal dengan nama kapten Mudita.Anak Agung Gde Anom Mudita,  gugur
melawan penjajah Belanda pada tanggal 20 November 1947. Taman Pahlawan ini
dibangun oleh masyarakat desa adat penglipuran sebagai wujud bakti dan hormat
mereka kepada sang pejuang.Bersama segenap rakyat Bangli,  Kapten Mudita
berjuang tanpa pamrih demi martabat dan harga diri bangsa sampai titik darah
penghabisan.
Menurut I Wayan Supat (42), Kepala Desa Adat Panglipuran, keseragaman
angkul ini tak terlepas dari pembagian zona desa. Setidaknya terdapat 3 pembagian
zona; zona hulu, zona pawongan atau zona pemukiman, dan zona kelod atau teben.
Ketiga zona ini letaknya membujur dari arah utara ke selatan dengan poros
tengah berupa jalan desa yang disebut rurung gede. Jalan desa ini juga memisahkan

5
bagian zona pawongan menjadi dua, bagian barat yang disebut Kauh dan di sebelah
timur yang disebut Kangin.
Jika diibaratkan sebagai tubuh manusia, zona hulu adalah bagian kepala, zona
pawongan adalah bagian tubuh, dan zona kelod adalah bagian kaki. Di bagian zona
hulu, terdapat bangunan suci atau disebut parahyangan. Di sini terdapat pura yang
bernama Pura Penataran, tempat bersembahyang warga desa.
Selain pergeseran fungsi, material pembentuknya juga diganti. Sebagai
contoh, bangunan dapur yang dulunya menggunakan anyaman bambu kini ada yang
diganti dengan batu bata.
Sedangkan zona kelod adalah zona yang terdapat tempat pemakaman. Jika ada warga
yang meninggal, jenazah akan dimakamkan di sans. Warga Desa Penglipuran tidak
mengenal ritual pembakamn jenazah sehingga jenazah harus dimakamkan.
Hingga sekarang, tatanan pola hunian seperti ini tetap masih dipertahankan
sehingga sangat menarik untuk dikunjungi. Maka tak heran jika desa yang mayoritas
penduduknya adalah petani ini mendapatkan penghargaan Kalpataru dan ditetapkan
sebagai desa wisata oleh pemerintah daerah pada tahun 1995.
c. Sistem Adat
Di desa Panglipuran terdapat dua sistem dalam pemerintahan yaitu menurut
sistem pemerintah atau sistem formal yaitu terdiri dari RT dan RW, dan sistem yang
otonom atau Desa adat. Kedudukan desa adat maupun desa formal berdiri sendiri-
sendiri dan setara. Karena otonom, desa adat mempunyai aturan-aturan tersendiri
menurut adat istiadat di daerah panglipuran dengan catatan aturan tersebut tidak
bertentangan dengan pancasila dan Undang-undang pemerintah.
Undang-undang atau aturan yang ada di desa panglipuran disebut dengan
awig-awig. Awig-awig tersebut merupakan implementasi dari landasan operasional
masyarakat panglipuran yaitu Tri Hita Karana.
Tri Hita Karana tersebut yaitu sebagai berikut :
1. Parahiangan, adalah hubungan manusia dan tuhan. Meliputi penentuan hari suci,
tempat suci dan lain-lain.
2. Pawongan, adalah hubungan manusia dan manusia. Meliputi hubungan masyarakat
panglipuran dengan masyarakat desa lain, maupun hubungan dengan orang yang beda

6
agama. Dalam pawongan bentuk-bentuknya meliputi sistem perkawinan, organisasi,
perwarisan dan lain-lain.
3. Hubungan manusia dan ligkungan, masyarakat desa panglipuran diajarkan untuk
mencintai alam lingkungannya dan selalu merawatnya, tidak heran kalau desa
panglipuran terlihat begitu asri. Dan memang pada umumnya masyarakat di Bali
sangat cinta terhadap alam, mereka menganggap manusia adalah makhluk yang
paling mulia dibandingkan hewan dan tumbuhan, sehingga manusia bertugas menjaga
alam semesta ini.
Filsafat hubungan yang selaras antara alam dan manusia dan kearifan manusia
mendayagunakan alam sehingga terbentuk ruang kehidupan terlihat jelas di
panglipuran dan daerah lain di Bali. Nilai estetika yang ditimbulkan dari hubungan
dari hubungan yang selaras dan serasi sudah menyatu dalam proses alami yang terjadi
dari waktu ke waktu. Oleh karena itu visualisasi estetika pada kawasan ini bukan
merupakan barang langka yang sulit dicari, melainkan sudah menyatu dalam tata
lingkungannya.
d. Tata Ruang
Tata ruang desa panglipuran dikenal dengan Tri Mandala yang terdiri dari tiga
bagian yaitu :
1. Utara
Orang Panglipuran biasa menyebutnya sebagai Utama Mandala , yang bisa
diartikan sebagai tempat suci. Ditempat inilah orang-orang Panglipuran
melakukan kegiatan sembahyang kepada Sang Hyng Widi yang mereka
percaya sebagai Tuhan mereka.
2. Madya Mandala
Biasanya adalah berupa pemukiman penduduk yang berbanjar sepanjang jalan
utama desa. Barisan itu berjejer menghadap kearah barat dan timur. Saat ini
jumlah rumah yang ada disana ada sebanyak 70 buah.
Tata ruang pemukimannya sendiri adalah sebelah utara atau timur adalah pura
keluarga yang telah diaben. Sedangkan Madya Mandala adalah rumah
keluarga. Di tiap rumah pun terdapat tata ruang yag telah diatur oleh adat.
Tata ruang nya adalah sebelah utara dijadikan sebagai tempat tidur, tengah

7
digunakan sebagi tempat keluarga sedangkan sebelah timur dijadikan sebagai
tempat pembuangan atau MCK.
Dan bagian nista dari pekarangan biasanya berupa jemuran, garasi dan tempat
penyimpanan kayu.
3. Nista Mandala
Nista mandala ini adalah tempat yang paling buruk, disana terdapat kuburan
dari masyarakat panglipuran.

e. Perkawinan
Di desa ini ada adat yang berlaku soal perkawinan yakni pelarangan poligami
terhadap para penduduknya. Adat melarang hal tersebut demi menjaga para wanita.
Meskipun ada yang boleh melakukan poligami namun akan mendapat sanksi. Sanksi
biasanya si poligami akan ditempatkan pada tempat yang bernama nista mandala. Dan
dilarang melakukan perjalanan dari selatan ke utara karena wilayah utara bagi orang
panglipuran adalah wilayah yang paling suci.
Masyarakat Panglipuran juga pantang untuk menikahi tetangga disebelah
kanan dan sebelah kiri juga sebelah depan dari rumahnya. Karena tetangga-
tetangganya tersebut sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. Sebagai contoh bapak
I Wayan Supat selaku seorang kepala adat di Panglipuran dulu beliau dalam melamar
istrinya justru dibantu oleh para tetangganya bukan oleh keluarganya sendiri.
Bagi warga yang ingin menikah dengan orang di luar Panglipuran bisa saja.
Dengan ketentuan bila mempelai laki-laki dari Panglipuran maka mempelai
perempuan yang dari daerah lain harus masuk menjadi bagian dari adat Panglipuran.
Yang menarik adalah jika mempelai perempuan dari desa panglipuran dan laki-
lakinya dari adat yang lain, maka bisa saja laki-laki tersebut masuk ke dalam adat
Panglipuran dan hidup di desa Panglipuran tetapi dengan konsekuensi laki-laki
tersebut dianggap wanita oleh warga lainnya. Maksudnya tugas-tugas adat yang dia
laksanakan adalah tugas untuk para wanita bukan tugas para lelaki.
f. Bentuk Bangunan dan Topografi
Topografi desa tersusun sedimikian rupa dimana pada daerah utama desa
kedudukannya lebih tinggi demikian seterusnya menurun sampai daerah hilir.

8
Pada daerah desa terdapat Pura penataran dan Pura Puseh yang merupakan daerah
utama desaa yang unik dan spesifik karena disepanjang jalan koridor desa hanya
degunakan untuk pejalan kaki, yang kanan kirinya dilengkapi dengan atribut-
atribut struktur desa; seperti tembok penyengker, angkul-angkul dan telajakan
yang seragam.
Keseragaman dari wajah desa tersebut disamping karena adanya
keseragaman bentuk juga dari keseragaman bahan yaitu bahan tanajh untuk
tembok penyengker dan angkul-angkul (pol-polan) dan atap dari bamboo yang
dibelah untuk seluruh bangunan desa.
Penggunaan bamboo baik untuk atap, dinding maupun lain-lain kebutuhan
merupakan suatu keharusan untuk digunakan karena desa Panglipuran dikelilingi
oleh hutan bamboo dan masih merupakan territorial desa Panglipuran.
g. Upacara Kematian (Ngaben)
Seperti daerah lain yang ada di Bali, di Panglipuran masyarakatnya mengadakan
upacara yang biasa disebut ngaben. Dimana ngaben ini adalah suatu upacara
kematian dalam rangka mengembalikan arwah orang yang meninggal yang
awalnya menurut kepercayaan orang Bali arwah tersebut masih tersesat kemudian
dikembalikan ke pura kediaman si arwah. Yang membedakan daerah ini hanyalah
pada ritualnya saja. Dimana apabila orang bali lain ngaben dilakukan dengan cara
membakar mayat, di Panglipuran mayat di kubur.
Menurut analisa kelompok kami hal tersebut dilakukan oleh masyarakat
Panglipuran sebagai tanda hormat dan juga sebagai cara untuk mengurangi
kemungkinan-kemungkinan buruk mengingat daerah Panglipuran yang berada
didaerah pegunungan yang jauh dari laut, seperti yang kita tahu bahwa abu
jenasah yang telah dibakar harus dilarung atau dibuang ke laut sedangkan bagi
orang Bali menyimpan abu jenasah adalah suatu pantangan, jadi solusi terbaik
adalah dimakamkan.
h. Stratifikasi Sosial
Di Panglipuran hanya ada satu tingkatan kasta yaitu Kasta Sudra, jadi di
Panglipuran kedudukan antar warganya setara. Hanya saja ada seseorang yang
diangkat untuk memimpin mereka yaitu ketua adat. Pada saat ini ketua adat yang

9
masih menjabat adalah I Wayan Supat. Pemilihan ketua adat tersebut dilakukan
lima tahun sekali.
i. Kesenian
Di Desa Panglipuran Panglipuran terdapat tari-tarian yaitu tari Baris. Tari
Baris sebagai salah satu bentuk seni tradisional yang berakar kuat pada kehidupan
masyarakatnya dan hidup secara mentradisi atau turun temurun, dimana
keberadaan Tari Baris Sakral di Desa Adat Penglipuran adalah merupakan tarian
yang langka, dan berfungsi sebagai tari penyelenggara upacara dewa yadnya.
Adapun iringan gambelan yang mengiringi pada saat pementasan semua jenis Tari
Baris Sakral tersebut adalah seperangkat gambelan Gong Gede yang didukung
oleh Sekaa Gong Gede Desa Adat Penglipuran. Unsur bentuk ini meliputi juga:
keanggotaan sekaa Baris sakral ini di atur di dalam awig-awig Desa Adat
Penglipuran. Kemudian nama-nama penari ketiga jenis Baris sakral ini juga telah
ditetapkan, yakni Baris Jojor 12 orang, Baris Presi 12 orang, dan Baris Bedil 20
orang.
j. Mata Pencaharian
Mata pencaharian para penduduk desa Panglipuran adalah sebagai petani.
Dimana sawah menjadi tumpuan harapan mereka disamping kerajinan tangan
yang mereka jual kepada para wisatawan yang berkunjung ke desa mereka.
Penduduk desa ini dilimpahi hujan yang lebat tiap tahunnya sehingga
memudahkan penduduknya dalam bercocok tanam dan masalah irigasi.

h. Organisasi
Masyarakat Desa Panglipuran yang berumur tiga belas tahun diwajibkan
untuk masuk organisasi yang dinamakan Sege Taruna. Dan mereka harus masuk
organisasi ini sampai mereka menikah.

10
II. Museum Arca Desa Pejeng
a. Gambaran umum
Museum ini terletak di daerah Bedulu,Blahbatu,Gianyar. Berdiri diatas
tanah seluas 5165 m2, dengan pembagian halaman mengikuti pola adat daerah Bali
yakni pola bangunan pura yang terdiri dari tiga bagian. Bagian awal yang disebut
juga bagian luar, bagian kedua adalah halaman tengah, sedangkan bangunan
terakhir biasa disebut bangunan dalam.
Museum ini mempunyai berbagai macam koleksi baik dari zaman
prasejarah maupun zaman sejarah. Bangunan sejarah ini resmi dibuka untuk
umum pada tahun 1974.

Koleksi di Museum arca setidaknya menggambarkan sedikit tentang


sejarah Bali kuno dan menggambarkan kehidupan masyarakat Bali pada masa
lalu. Selain Museum ini, Jika kita menjelajah Desa Pejeng lebih dalam lagi, maka
kita akan lebih banyak menemukan berbagai situs-situs bersejarah, seperti pura
Pengukur-ukuran dan Goa Garba atau Candi Tebing Kerobokan. Kedua situs ini
terletak tepat di tepian sungai Pakerisan.

b. Sejarah Museum Arca


Museum arca adalah museum yang merupakan dari balai pelestarian
peninggalan purbakala wilayah kerja provinsi Bali, NTB dan NTT (BP3 Bali) .
didirikan oleh gagasan Prof. Dr. R. P. Soejono dan DRS. Sukarto K. Atmojo.
Museum ini secara resmi dibuk oleh dirjen kebudayaan departeman Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tanggal 14 desember 1974. Gedung ini
dibangun karena para arkeolog percaya bahwa Bedulu adalah pusat dari kerajaan
Bali kuno itu didasarkan kepada penemuan-penemuan berupa gerabah, manik-
manik.
c. Koleksi Museum
Koleksi Gedung Arca terdiri dari dua kelompok berupa BCB dari masa
prasejarah dan sejarah. Koleksi masa prasejarah berasal dari jaman batu sampai

11
jaman perunggu, dan masa sejarah berasal dari abad VIII M sampai abad XV M.
koleksi-koleksi tersebut dipamerkan di halaman dalam dan di depan Padmasana.
1. Koleksi di Halaman Tengah
Gedung A, dipamerkan koleksi dari jaman prasejarah berupa
alat-alat batu seperti kapak genggam, kapak perimbas, kapak
lonjong, alat-alat dari batu kecil berbentuk mata panah yang disebut
mikrolith. Semua alat tersebut pada masanya dipergunakan untuk
berburu dan mengumpulkan bahan makanan. Selain itu terdapat
koleksi benda-benda asesoris berbahan perunggu seperti gelang,
cincin, tajak, dan benda lainnya yang berfungsi sebagai bekal
kubur. Sisa-sisa dari kebudayaan paling awal diketahui dengan
penelitian-penelitian yang dilakukan sejak tahun 1960 dengan
ditemukan di desa Sambiran (Buleleng Timur), dan ditepi timur dan
tenggara Danau Batur (Kintamani) alat-alat batu yang digolongkan
kapak genggam, kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat
batu yang dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan di
museum Gedung Arca di Bedahulu Gianyar. Kehidupan penduduk
pada masa ini adalah sederhana sekali, sepenuhnya tergantung pada
alam lingkungannya. Mereka hidup mengembara dari satu tempat
ketempat lainnya. Daerah-daerah yang dipilihnya ialah daerah yang
mengandung persediaan makanan dan air yang cukup untuk
menjamin kelangsungan hidupnya. Hidup berburu dilakukan oleh
kelompok kecil dan hasilnya dibagi bersama. Tugas berburu
dilakukan oleh kaum laki-laki, karena pekerjaan ini memerlukan
tenaga yang cukup besar untuk menghadapi segala bahaya yang
mungkin terjadi. Perempuan hanya bertugas untuk menyelesaikan
pekerjaan yang ringan misalnya mengumpulkan makanan dari alam
sekitarnya. Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti apakah
manusia pada masa itu telah mengenal bahasa sebagai alat bertutur
satu sama lainnya. Walaupun bukti-bukti yang terdapat di Bali
kurang lengkap, tetapi bukti-bukti yang ditemukan di daerah

12
Pacitan dapatlah kiranya dijadikan pedoman. Para ahli
memperkirakan bahwa alat-alat batu dari Pacitan yang sezaman dan
mempunyai banyak persamaan dengan alat-alat batu dari Sembiran,
dihasilkan oleh jenis manusia. Pithecanthropus erectus atau
keturunannya. Kalau demikian mungkin juga alat-alat baru dari
Sambiran dihasilkan oleh manusia jenis Pithecanthropus atau
keturunannya.
Gedung B, dipamerkan BCB hasil ekskavasi situs Gilimanuk
pada tahun 1961, 1962, 1963. Koleksi digedung ini berupa gerabah
yang terdiri dari tempayan, periuk. Sedangkan koleksi lain di
gedung ini antara lain fosil, tengkorak kera dan masih banyak yang
lainnya. Semua hasil temuan itu adalah zaman prasejarah, tepatnya
pada zaman berburu dan meramu tingkat lanjut. Pada masa ini
corak hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih berpengaruh.
Hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat dialam
sekitar dilanjutkan terbukti dari bentuk alatnya yang dibuat dari
batu, tulang dan kulit kerang. Bukti-bukti mengenai kehidupan
manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961
di Gua Selonding, Pecatu (Badung). Goa ini terletak di Pegunungan
gamping di semenanjung Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang
lebih besar ialah goa Karang Boma, tetapi goa ini tidak memberikan
suatu bukti tentang kehidupan yang pernah berlangsung
disana.Dalam penggalian goa Selonding ditemukan alat-alat terdiri
dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah alat-alat dari
tulang. Diantara alat-alat tulang terdapat beberapa lencipan muduk
yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya
diruncingkan. Selain di Bali Alat-alat semacam ini ditemukan pula
di goa-goa Sulawesi Selatan pada tingkat perkembangan
kebudayaan Toala dan terkenal pula di Australia Timur. Di luar Bali
ditemukan lukisan dinding-dinding goa , yang menggambarkan
kehidupan sosial ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada waktu

13
itu. Lukisan-lukisan di dinding goa atau di dinding-dinding karang
itu antara lain yang berupa cap-cap tangan, babi rusa, burung,
manusia, perahu, lambang matahari, lukisan mata dan sebagainya.
Beberapa lukisan lainnya ternyata lebih berkembang pada tradisi
yang lebih kemudian dan artinya menjadi lebih terang juga
diantaranya adalah lukisan kadal seperti yang terdapat di pulau
Seram dan Irian Jaya, mungkin mengandung arti kekuatan magis
yang dianggap sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau kepala
suku.
Gedung J, tempat yang digunakan untuk memamerkan hasil-
hasil kebudayaan bangsa cina yang berupa keramik yang
diperkirakan oleh para ahli dibuat pada abad X-XXIII yakni pada
masa Dinasti Ming, Sung Dan Ching, semua itu dapat dilihat dan
diperkirakan bedasarkan bahan dan ciri-cirinya. Dari bukti tersebut
menunjukan bahwa kerajaan Bali Kuno telah melakukan hubungan
dagang dengan kerajaan lain bahkan dari Cina. Diyakini
kebudayaan lain dari luar masuk ke Bali melalui jalur ini termasuk
masuknya agama Hindu.
Gedung K,adalah koleksi pada masa sejarah. Dimana dapat
dilihat peninggalan agama Budha yang berupa Stupika. Stupika
adalah tanah liat yang memuat mantra-mantra agama Budha.
Tulisan yang terdapat dimaterai stupika tersebut sama dengan
tulisan yang ada diambang pintu candi Kalasan yang kita ketahui
adalah merupakan candi agama Budha yang berangka tahun 778M.
koleksi lainnya adalah berupa lampu, arca, prasasti, mata uang dan
alat-alat upacara yng diperkirakan berasal dari abad XIV-XV M.
2. Koleksi di Halaman Dalam
Pada gedung C, D, E, F, G, H, dan I, didalamnya dipamerkan
sarkofagus dan tempayan yng merupakan koleksi unggulan di
museum ini. Sarkofagus adalah peti batu yang digunakan sebagai
tempat atau wadah kubur pada masa prasejaarah. Biasanya orang

14
yang dikuburkan didalamnya adalah mereka yang termasuk
kedalam orang yang memiliki status sosial yang tinggi dalam
masyrakatnya semisal kepala suku. Umur sarkofagus yang ada di
museum Arca diperkirakan berumur antara 2.000 sampai 2.500
tahun. Diduga sarkofagus ini berasal dari zaman perundagian.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui
bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah
berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun
cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti
mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau
yang keras.Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan
tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi
pantai Gilimanuk (Jembrana). Benda-benda temuan ditempat ini
ternyata cukup menarik perhatian diantaranya terdapat hampir 100
buah kerangka manusia dewasa dan anak-anak, dalam keadaan
lengkap dan tidak lengkap.
3. Balai Peelindung L (di depan Padmasana)
Awal mula didirikan dan pada saat diresmikan Gedung L
dijadikan tempat pameran beberapa arca diantaranya Arca
Dwarapala, Lingga, Arca Garuda dan Fragmen Arca, koleksi-
koleksi ini ditemukan sekitar tahun 1950-an.
4. Balai Patok
Koleksi yang dipamerkan berasal dari masa sejarah yang berupa
replika. Diantara yang dipamerkan adalah Arca Bhatari Mandul,
Arca Nandi, Stupika Candi Pegulingan, Prasasti Cansi Tebing
Gunung Kawi yang berasal dari abad XI M, Prasati Sawo Gunung
(Pur penngukur-ukuran), replica Candra Sengkala (Pura penataran
Blusung) serta beberapa arca yang berasal dari abad XIII M.
Selain museum di Desa Pejeng masih terdapat peninggalan lain yang tidak
bisa dibawa ke museum diantaranya;

15
 Goa Garba, terdapat ceruk yang dipahatkan beberapa huruf dan di
atas ceruk lainnya terdapat pula tulisan (sra) akan tetapi arti
tulisan-tulisan itu tidak jelas. Di dalam ceruk yang pertama ada
beberapa pahatan, misalnya sebuah papan batu yang berukiran
gambar cerek. Di dalam Pura Pengukur-Ukuran terdapat beberapa
batu berukiran dan sebuah batu ambangan pintu yang bertuliskan
tahun 1116 Saka sama dengan angka tahun masehi 1194. Dalam
tulisan itu disebutkan nama Dharmaanyar yang mungkin adalah
nama Pura itu sendiri dahulunya.
 Gua Gajah, terdapat bukti-bukti yang menyatakan adanya agama
hindu dan budha yang hidup berdampingan. Seperti adanya patung
budha yang berdampingan dengan dewa Siwa.
d. Sistem Sosial
a. Adat istiadat
Masyarakat daerah Pejeng seperti masyrakat daerah bali lainnya
yang memegang teguh akan aturan-aturan yang telah dibuat oleh
leluhurnya dan dilaksanakan secara turun temurun dari tiap generasi
yang ada sampai saat ini.
Penduduk daerah Pejeng lebih dari 50% adalah pemeluk agama
Hindu.
b. Ekonomi
Penduduk sekitar museum kebanyakan bermata pencaharian
sebagai para petani dan pedagang. Hal itu didapat dari kesimpulan
kelompok kami begitu melihat halaman depan yang terpisahkan
oleh jalan utama menuju ke Tampak Siring. Sdedangkan untuk
pedagang pun alasannya hampir sama yaitu area jalan yang ada
adalah jalan utama yang kemungkinan beristirahat sebelum ataupun
sesudah dari Tampak Siring.
c. Kehidupan Sosial
Masyarakatnya masih memegang teguh adat istiadat yang ada serta
masyarakatnya pun mengutamakan sistem gotong royong yang

16
merupakan ciri utama dari bangsa kita yang selalu diajarkan oleh
nenek moyang dan agama mereka.

e. Peran Pemerintah Daerah


Pemeritah daerah sangat membantu terutama dalam memperkenalkan
museum ini kepada pihak luar. Namun adakalanya pemerintah tidak ikut serta
dalam masalah perawatan ataupun pengadaan material yang akan dipamerkan
kepada khalayak umum.

17
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari kegiatan KKL dan penelitian ke dua tempat yakni museum arca dan desa adat
panglipuran dapat kelompok kami simpulkan bahwa masyarakat Bali dari zaman prasejarah
sampai sekarang masih dengan kuat memegang adat yang diwariskan secara turun-temurun.
Mereka sangat menjunjung tinggi peraturan, adat istiadat yang berlaku ditempat tinggal mereka.
Di Bali juga ada lembaga yang otonom yang disebut desa adat. Keberadaan Desa adat ini diatur
dalam PERDA no 6 tahun 1986 dan SEKDA no 3 tahun 2001. Desa adat ini mempunyai
peraturan-peraturan sendiri yang berbeda dengan aturan yang ditetapkan pemerintah tetepi
peraturan Desa Adat tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah (Pancasial dan Undang-
undang Dasar).
Bali adalah pulau dengan sejuta keindahan akan keindahan pantai dan keberagaman
budaya yang tak pernah membedakan satu dengan yang lain.
Semua unsur kehidupan di Bali saling menjalin keakraban semua itu dapat kita lihat di
desa adat Panglipuran. Dimana masyarakat desa menyambut dengan ramah para wisatawan baik
domestic maupun luar. Sedangkan di museum kehidupan zaman dahulu dapat terlihat dengan
jelas bagaimana keberagaman agama dapat berbaur menjadi satu. Walaupun banyak wisatawan
yang masuk ke bali dengan kebudayan yang berbeda-beda, tetapi kebudayaan bali tetap tidak
terpengaruh dengan hal tersebut. Adat istiadat bali tetap murni dari nenek moyang mereka
contohnya di desa Panglipuran.
Adat istiadat Bali juga sangat menghargai dan mencintai alam sekitarnya, ini tidak lepas
dari filosopi mereka yaitu Tri Hita Karana. Dimana disana manusia adalah mahluk yang paling
bertanggung jawab terhadap kelestarian dan keseimbangan alam. Semua yang dilakukan oleh
manusia terhadap alam akan menentukan nasib mereka kelak.
Hal yang menarik yang ditemukan di Museum arca adalah dengan ditemukannya patung
siwa yang berdampingan dengan patung budha. Diyakini pada masa pemerintahan hidup dua
agama secara berdampingan. Yaitu agama Hindu dan Budha tetapi dikarenakan Hindu lebih
cocok dengan masyarakat Bali Raja memutuskan untuk memilih agama Hindu.

18
DAFTAR PUSTAKA

http://www.gianyartourism.com/default.asp
http://www.justinbali.com/id/archives/1265
http://id.wikipedia.org/wiki/Pembicaraan:Sejarah_Bali
http://www.iloveblue.com/
blog.baliwww.com
http://properti.kompas.com/
http://navigasi.net/index.php
http://museumku.wordpress.com/
http://www.balitv.tv/btv2/index.php/component/flexbanner/?task=click&bannerid=1

19
LAMPIRAN GAMBAR
a. Panglipuran

Pertemuan dengan kepala adat I wayan Supat

Wilayah Utama Mandala

20
Wilayah nista mandala di pemukiman

Bentuk Rumah, selalu beratapkan kayu kayu

Pura Salah Satu Keluarga (Utama Mandala Pemukiman)

21
Pemandangan dari utara (utama mandala) ke selatan (nista mandala)

Tempat masyarakat panglipuran mengadakan musyawarah

22
2. Desa Pejeng (Museum Arca)
A. Gedung A

Kapak genggam

Kapak genggam

23
Perhiasan untuk orang mati yang ditemukan di Sarkofagus

24
B. gedung B

Gerabah gilimanuk

Gerabah dari cina diperkirakan dari abad XVIII M


C. Gedung L

Gentha perunggu dengan motif his astamuka, ini merupakan alat upacara keagamaan dari abad
XV M

25
Sarkofagus-Sarkofagus

26

Anda mungkin juga menyukai