Berkembang Dalam Sejarah
Berkembang Dalam Sejarah
Jika kita melihat secara kritis kultur Batak termasuk dalihan na tolu sebenarnya bukan sesuatu yang statis atau beku
tetapi juga mengalami pergeseran dan perkembangan dalam sejarah. Sebagai contoh penghormatan terhadap hula-hula
justru semakin kuat dengan datangnya kekristenan. Mengapa? Sebab sulit kita membayangkan bahwa nenek moyang
kita dapat memberi penghormatan yang sama tingginya kepada tiap hula-hula jika dia memiliki istri lebih dari satu. Lebih
sulit lagi membayangkan nenek-moyang kita dapat menghormati hula-hula dari selir (rading) atau istri yang diperolehnya
secara paksa dari peperangan atau bekas hambanya. Namun dengan masuknya kekristenan yang membuat pernikahan
orang Batak menjadi monogami dan permanen (abadi) maka dampaknya penghormatan terhadap hula-hula juga semakin
kuat. Semakin baik pernikahan maka penghormatan kepada hula-hula juga semakin baik.
Contoh lain menunjukkan pergeseran dalihan na tolu: Pada jaman dahulu tidak semua even pertemuan Batak dihadiri
oleh tulang atau hula-hula (kecuali pesta besar). Hal ini dapat dimaklumi karena hula-hula atau tulang tinggal di kampung
yang lain yang jauh (kecuali bagi sonduk hela, orang yang menetap di kampung hula-hulanya). Namun keadaan ini
berubah dengan migrasi orang Batak ke luar Tapanuli. Kampung dan kota di luar Tapanuli bersifat majemuk (multi marga,
multi suku). Banyak orang kini tinggal sekampung atau bahkan bertetangga dengan hula-hula atau tulang-nya. Apakah
dampaknya? Interaksi antara hula-hula dan boru semakin intensif. Jika ada acara di rumah banyak orang jadi sungkan
jika tidak mengundang tulang atau hula-hula yang kebetulan menjadi tetangga atau tinggal sekota dengannya.
Pada jaman dahulu ketika nenek moyang kita masih menetap di Tanah Batak kampung identik dengan marga. Artinya
“dongan sahuta” hampir identik dengan “dongan tubu”. Namun dengan migrasi orang Batak ke Sumatera Timur dan kota-
kota lain keadaan berubah. Dongan sahuta tidak lagi otomatis dongan tubu (kawan semarga). Dampak perubahan
demografi ini peranan dongan sahuta (parsahutaon) yang terdiri dari multi marga ini semakin besar di kota-kota. Jonok
dongan partubu jumonok dongan parhundul.
Jika kita perhatikan kampung-kampung tradisional di Tapanuli dihuni oleh orang-orang yang semarga. Dongan tubu
karena itu adalah teman untuk mengerjakan banyak hal dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu kita harus
memperlakukan dongan tubu secara hati-hati (manat). Kehati-hatian pada dasarnya adalah bentuk lain dari sikap hormat.
Nasihat ini relevan sebab justru kehati-hatian sering kali hilang karena merasa terlalu dekat atau akrab. Hau na jonok do
na masiososan. Selanjutnya Elek marboru merupakan nasihat bahwa boru harus senantiasa dielek atau dianju (dibujuk).
Boru adalah penopang dan penyokong. Sebab itu mereka senantiasa diperlakukan dengan ramah-tamah dan lemah-
lembut agar mereka tidak sakit hati dan kemudian membiarkan hula-hula-nya. Namun sebaliknya: Bagi orang Batak pra-
Kristen hula-hula memang dipandang sebagai mata ni ari bisnar, sumber berkat dan kesejahteraan, sebab itu harus
disembah (somba marhula-hula).
Lantas bagaimana dengan kita orang Kristen? Prinsip-prinsip dalihan na tolu ini dapat terus kita pertahankan sebagai
kontsruksi budaya yang positif. Namun makna somba marhula-hula harus kita beri warna baru. Sebab bahasa Batak tidak
membedakan istilah hormat dan sembah. Sementara sebagai orang Kristen kita mengakui bahwa Tuhanlah sumber
berkat satu-satunya. Hula-hula atau mertua hanyalah salah satu (baca: bukan satu-satunya) saluran atau distributor
berkat yang dipakai Tuhan.
Selanjutnya sebagai orang Kristen dan moderen, kita juga harus memperkaya prinsip dalihan na tolu ini dengan
semangat egalitarian (kesetaraan). Pada dasarnya tiap-tiap orang, tanpa kecuali, harus kita hormati. Tiap-tiap orang
(apapun suku, ras, profesi, pendidikan, jenis kelamin, agama dan tingkat ekonominya) pantas mendapat hormat. Kita
wajib menghormati hula-hula, melindungi boru dan memperlakukan hati-hati dongan tubu kita tanpa memandang latar
belakang ekonominya, pendidikan, pangkat atau jabatannya.
Inti atau substansi kultur dalihan na tolu adalah sirkulasi dan distribusi peran dan jabatan. Dalam kultur Batak setiap
orang tidak mungkin terus-menerus dihormati sebagai hula-hula. Hari ini menjadi boru, esok menjadi dongan tubu, lusa
menjadi hula-hula. Hari ini duduk dilayani besok melayani. Tidak ada orang yang mutlak selama-lamanya (dondon pate)
dihormati. Tidak ada juga orang yang selama-lamanya berada di bawah melayani!
Masyarakat Batak sangat sadar akan arti ruang atau tempat dan even. Peran dan kedudukan seseorang sangat dinamis
sebab tergantung ruang dan even (ulaon). Sirkulasi peran dan jabatan ini merupakan kontribusi masyarakat Batak bagi
gereja dan masyarakat. Bahwa semua orang harus bergantian melayani dan dilayani, menghormati dan dihormati. Tidak
ada yang terus-menerus boleh menjadi kepala atau pemimpin.
Ini sangat relevan dengan dunia modernitas. Kepemimpinan moderen tergantung kepada even dan ruang dan waktu.
Tidak ada orang yang boleh mengklaim menjadi pemimpin di setiap even, di semua ruang dan sepanjang waktu. Ini juga
relevan dengan iman Kristen yang memandang semua manusia setara di hadapan Tuhan (Gal 3:28) dan harus
diperlakukan dengan hormat dan kasih (Roma 12:10, II Pet 1:7, Yoh 13:14, 34)
Namun prinsip dalihan na tolu tetap harus dimurnikan senantiasa dengan KASIH AGAPE atau kasih tanpa mengharapkan
balasan yang diajarkan Yesus. Yesus memang tidak pernah melarang kita membalas yang baik (seluruh ayat Alkitab
hanya melarang membalas yang jahat), namun Dia menghendaki agar kita belajar juga mengasihi dan memberi tanpa
mengharapkan balasan (pamrih).
Tuhan Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan sebagai citra Allah (Kej 1:27). Laki-laki dan perempuan sama
dan setara di hadapanNya (Gal 3:28). Kekristenan mengajarkan bahwa perempuan bukanlah manusia kelas dua atau
bagian laki-laki. Perempuan juga bukan properti milik laki-laki yang dapat dijadikan objek transaksi atau perjanjian jual-
beli. Sebab itu komunitas Kristen-Batak juga harus menempatkan dalihan na tolu dalam konteks kesetaraan (hadosan)
dan keadilan (hatigoran) laki-laki dan perempuan.
Pada jaman dahulu hula-hula dianggap sebagai pemberi perempuan. Namun di jaman modern perempuan yang bebas
dan otonom karena itu tidak boleh dijadikan objek apalagi “diserah-terimakan”. Perempuan adalah subjek atau pribadi.
Pernikahan karena itu kini dianggap perjanjian dua pihak yang setara. Akibatnya secara tak langsung makna hula-hula
pun bergeser bukan lagi sebagai “marga pemberi perempuan” namun “marga asal perempuan”.
Sinamot atau tuhor (uang mahar pernikahan( karena itu bukanlah keuntungan yang diperoleh dari transaksi perempuan
tetapi harus diartikan sebagai biaya (cost) yang diperlukan untuk menciptakan sukacita bersama.
Gereja HKBP memiliki anggota yang mayoritas Batak (minimal sampai saat ini). Anggota HKBP karena itu juga dalam
hidupnya menghayati dalihan na tolu. Salah satu prinsip dalihan na tolu adalah melarang pernikahan yang semarga.
Gereja HKBP menerima prinsip melarang pernikahan semarga ini agar tidak terjadi chaos atau kekacauan di masyarakat.
Sebagaimana dikatakan Rasul Paulus agar semuanya berlangsung secara teratur (I Kor 14:40) dan rapih tersusun (Ef
4:16)
Dahulu yang disebut adat Batak adalah segala sesuatu konsep, nilai, ide, hasil karya dan kegiatan orang Batak
(menanam padi, membangun rumah, membuka kampung baru, berperang, mengikat perjanjian antar marga dll). Dalam
perkembangan terakhir makna adat telah mengalami proses depolitisasi dan domestikasi. Kini adat Batak direduksi
atau diminimalisasi menjadi sekedar ritus domestik (rumah tangga): ritus pernikahan, kelahiran dan kematian.
Apa akibatnya? Peranan dalihan na tolu menjadi sangat dominan atau menonjol walaupun pada prakteknya
kurang berpengaruh kepada kehidupan ekonomi dan politik komunitas Kristen-Batak itu sendiri. Sebab itu
tantangan bagi kita sekarang adalah mencari dan menemukan hakikat atau esensi adat Batak itu sendiri agar tidak larut
dan hanyut dalam ritus atau seremoni konsumtif belaka.
Kelompok laki-laki dari satu garis keturunan disebut Dongan Sabutuha dan kelompok perempuan dari garis keturunan
yang sama (kawin dengan laki-laki dari marga lain-exogam) disebut boru. Bagi kelompok boru sebagai pihak penerima
istri, seluruh keluarga marga istrinya adalah hulahula, sehingga mardongan sabutuha adalah kinship relation sedangkan
marhulahula serta marboru adalah affinity relation (BH Harahap, 1987:106).
Dalam affinity relations atau hubungan affinal antara kelompok hulahula dan kelompok boru secara timbal balik itulah
sebenarnya merupakan tatanan inti kekerabatan adat batak yaitu Dalihan Natolu. Tata tertib atau tatakarama saling
hubungan di antar keduanya juga diatur dengan elek marboru bagi kelompok boru terhadap hulahula-nya.
Secara tradisional masyarakat Batak menghubungkan sikap somba marhulahula dengan pandangan yang menganggap:
1. hulahula mata ni ari binsar, bagaikan matahari terbit yang menyinari dan memberi kehangatan bagi alam raya.
2. Hulahula do Debata na niida, bagaikan Tuhan yang terlihat di dunia ini.
Dalam hubungan affinal itu, hulahula dianggap sebagai pemberi doa restu bagi boru-nya, yaitu doa yang dialamatkan
kepada Allah di surga, memohon agar Tuhan (Debata) mencurahkan anugerah dan berkat yang berkelimpahan,
memberikan kehidupan yang tenteram dan sejahtera kepada seluruh keluarga boru-nya. Hal itu tergambar dengan jelas
dalam ungkapan pantun yang berbunyi,
“Obuk dojambulan na nidandan bahen samara; tangiang ni hulahula marsundut-sundut soada mara”
Dasar kekerabatan inilah yang menampakkan dengan jelas hingga sekarang dalam hidup orang batak dimanapun
mereka berada—Pergaulan hidup sehari-hari menunjukkan secara nyata bahwa kelompok boru selalu bersikap hormat
terhadap hulahula. Dan sebaliknya, kelompok hulahula selalu bersikap persuasif terhadap boru-nya. Dengan pengertian
lain, saling hubungan di antara mereka selalu berlangsung dalam sikap saling menghormati dan saling menghargai. Dan
sikap-sikap terhormat dalam tingkat sopan-santun yang tinggi itu nyata melalui sapaan-sapaan yang penuh
penghormatan dalam tutur kata yang baik.
“Apa marganya (boru apa ito)?”. Pertanyaan itu menjadi pembicaraan penting bagi setiap orang batak ketika bertemu
sesamanya. Ini semua mau menyatakan dengan jelas bahwa orang batak memiliki inters dan habit bersaudara atau
membangun semangat kekluargaan. Mungkin ini bias dikatakan cukup subjektif. Namun inilah yang kerap kita jumpai dan
alami serta lakukan sebagai orang yang lahir dan besar dalam budaya batak.
Singkatnya apa yang diatur dalam DNT diwujudnyatakan dalam hubungan kekerabatan yang lebih konkrit dalam tutur
panggilan. Itulah yang nampak tergambar dari system kekerabatan (partuturan) suku batak.
Berikut saya mencoba paparkan ragam hubungan kekerabatan yang tampak dalam panggilan kepada pihak lain menurut
adat dan kebiasaan batak (partuturan):
Amang tua/bapa tua : abang dari bapak, suaminya kakak (untuk adik perempuan
kepada suami kakaknya)
inang tua : isteri dari abangnya bapak, kakak dari ibu
amanguda : adik dari bapak, suami dari adiknya (perempuan) ibu
inanguda : isteri adiknya bapak
inang baju : tante, adiknya (perempuan) mamak
amang boru : suami dari saudarinya bapak
namboru : saudarinya bapak
Pariban