Anda di halaman 1dari 5

Banyak Shalawat-shalawat Yang Tidak

Dicontohkan Rasulullah
Ditulis oleh Admin di/pada 23/04/2009

Sudah bukan rahasia lagi kalau di tengah-tengah kaum muslimin, banyak tersebar berbagai jenis
shalawat yang sama sekali tidak berdasarkan dalil dari sunnah Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam. Shalawat-shalawat itu biasanya dibuat oleh pemimpin tarekat sufi tertentu yang
dianggap baik oleh sebagian umat Islam kemudian disebarkan hingga diamalkan secara turun
temurun. Padahal jika shalawat-shalawat semacam itu diperhatikan secara cermat, akan nampak
berbagai penyimpangan berupa kesyirikan, bid’ah, ghuluw terhadap Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam, dan sebagainya.

A. Shalawat Nariyah

Shalawat jenis ini banyak tersebar dan diamalkan di kalangan kaum muslimin. Bahkan ada yang
menuliskan lafadznya di sebagian dinding masjid. Mereka berkeyakinan, siapa yang
membacanya 4444 kali, hajatnya akan terpenuhi atau akan dihilangkan kesulitan yang
dialaminya. Berikut nash shalawatnya:

ُ‫ض*ى ِب* ِه ْالحَ* َوا ِئ ُج َو ُت َن**ا ُل ِب* ِه الرَّ غَ* ائِب‬َ ‫*ر ُج ِب* ِه ْال ُك**رَ بُ َو ُت ْق‬ ِ *‫اللَّ ُه َّم صَ ِّل صَ الَ ًة َكا ِملَ ًة َوسَ لِّ ْم سَ الَمًا َتا ًّما عَلىَ سَ ِّي ِد َنا مُحَ َّم ٍد الَّذِيْ ُت ْنحَ ُل ِب َه ْال ُع َق* ُد َو َت ْن َف‬
ََ‫َوحُسْ نُ ْال َخ َوا ِتي ِْم َويُسْ َتسْ َقى ْالغَ مَا ُم ِب َوجْ ِه ِه ْال َك ِري ِْم َوعَ لىَ آلِ ِه َوصَ حْ ِب ِه عَ دَ دَ ُك ِّل َمعْ ل ُ ْو ٍم لك‬

“Ya Allah, berikanlah shalawat yang sempurna dan salam yang sempurna kepada Baginda kami
Muhammad yang dengannya terlepas dari ikatan (kesusahan) dan dibebaskan dari kesulitan.
Dan dengannya pula ditunaikan hajat dan diperoleh segala keinginan dan kematian yang baik,
dan memberi siraman (kebahagiaan) kepada orang yang sedih dengan wajahnya yang mulia,
dan kepada keluarganya, para shahabatnya, dengan seluruh ilmu yang engkau miliki.”

Ada beberapa hal yang perlu dijadikan catatan kaitannya dengan shalawat ini:

1- Sesungguhnya aqidah tauhid yang diseru oleh Al Qur’anul Karim dan yang diajarkan kepada
kita dari Rasulullah shallallahu laiahi wasallam, mengharuskan setiap muslim untuk berkeyakinan
bahwa Allah-lah satu-satunya yang melepaskan ikatan (kesusahan), membebaskan dari
kesulitan, yang menunaikan hajat, dan memberikan manusia apa yang mereka minta. Tidak
diperbolehkan bagi seorang muslim berdo’a kepada selain Allah untuk menghilangkan
kesedihannya atau menyembuhkan penyakitnya, walaupun yang diminta itu seorang malaikat
yang dekat ataukah nabi yang diutus. Telah disebutkan dalam berbagai ayat dalam Al Qur’an
yang menjelaskan haramnya meminta pertolongan, berdo’a, dan semacamnya dari berbagai
jenis ibadah kepada selain Allah Azza wajalla. Firman Allah:

ً‫قُ ِل ْادعُوا الَّ ِذ ْينَ َزعَ مْ ُت ْم مِنْ د ُْو ِن ِه َفالَ َيمْ لِ ُك ْونَ َك ْشفَ الضُّرِّ عَ ْن ُك ْم َوالَ َت *ِْ ِْحو ْيال‬

“Katakanlah: ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah.

Maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak
pula memindahkannya.” (Al-Isra: 56)

Para ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan segolongan kaum yang
berdo’a kepada Al Masih ‘Isa, atau malaikat, ataukah sosok-sosok yang shalih dari kalangan jin.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/47-48)
2- Bagaimana mungkin Rasulullah shallallahu alaihi wasallam rela dikatakan bahwa dirinya
mampu melepaskan ikatan (kesulitan), menghilangkan kesusahan, dsb, sedangkan Al Qur’an
menyuruh beliau untuk berkata:

‫الس* ْو ُء إِنْ أَ َن**ا إِالَّ َن* ِذ ْي ٌر َوب َِش* ْي ٌر لِ َق* ْ*و ٍم‬
ُّ َ‫َس*نِي‬ ُ ْ‫ت أَعْ لَ ُم ْالغَ ْيبَ الَ ْس* َت ْك َثر‬
ِ *‫ت مِنَ ْال َخ ْي‬
َّ ‫*ر َو َم**ا م‬ ُ ِ‫قُ ْل الَ أَمْ ل‬
ُ ‫ك لِ َن ْفسِ ي َن ْفعا ً َوالَ ضَ ًّرا إِالَّ مَا َشا َء هللا ُ َولَ ْو ُك ْن‬
ُ
َ‫ي ُْؤ ِمن ْون‬

“Katakanlah: ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak
kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib,
tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa
kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi
orang-orang yang beriman’.” (Al-A’raf: 188)

Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu mengatakan, “Berdasarkan
kehendak Allah dan kehendakmu”. Maka beliau bersabda:

ِ ْ‫أَجَ عَ ْل َتنِي‬
ُ‫هلل ِن ًّدا؟ ُق ْل مَا َشا َء هللا ُ َوحْ دَ ه‬

“Apakah engkau hendak menjadikan bagi Allah sekutu? Ucapkanlah: Berdasarkan kehendak
Allah semata.” (HR. An-Nasai dengan sanad yang hasan)

(Lihat Minhaj Al-Firqatin Najiyah 227-228, Muhammad Jamil Zainu)

B. Shalawat Al-Fatih (Pembuka)

Lafadznya adalah sebagai berikut:

‫ َناصِ ِر ْالحَ ِّق ِب ْالحَ ِّق ْالهَادِي إِلَى صِ رَ اطِ كَ ْال َمسْ َتقِي ِْم َوعَ لىَ آلِ ِه حَ َّق َق* ْ*د ِر ِه َو ِم ْق**دَ ا ُر ُه‬, َ‫اللَّ ُه َّم صَ ِّل عَ لىَ سَ ِّي ِد َنا مُحَ َّم ٍد ْال َفات ِِح لِمَا أَ ْغلَقَ َو ْال َخات ِِم لِمَا سَ َبق‬
‫عَظِ ْي ٌم‬

“Ya Allah berikanlah shalawat kepada Baginda kami Muhammad yang membuka apa yang
tertutup dan yang menutupi apa-apa yang terdahulu, penolong kebenaran dengan kebenaran
yang memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus. Dan kepada keluarganya, sebenar-benar
pengagungan padanya dan kedudukan yang agung.”

Berkata At-Tijani tentang shalawat ini –dan dia pendusta dengan perkataannya-:

“….Kemudian (Nabi shallallahu alaihi wasallam) memerintah aku untuk kembali kepada shalawat
Al-Fatih ini. Maka ketika beliau memerintahkan aku dengan hal tersebut, akupun bertanya
kepadanya tentang keutamaannya. Maka beliau mengabariku pertama kalinya bahwa satu kali
membacanya menyamai membaca Al Qur’an enam kali. Kemudian beliau mengabarkan
kepadaku untuk kedua kalinya bahwa satu kali membacanya menyamai setiap tasbih yang
terdapat di alam ini dari setiap dzikir, dari setiap do’a yang kecil maupun besar, dan dari Al
Qur’an 6.000 kali, karena ini termasuk dzikir.”

Dan ini merupakan kekafiran yang nyata karena mengganggap perkataan manusia lebih afdhal
daripada firman Allah Azza Wajalla. Sungguh merupakan suatu kebodohan apabila seorang yang
berakal apalagi dia seorang muslim berkeyakinan seperti perkataan ahli bid’ah yang sangat
bodoh ini. (Minhaj Al-Firqah An-Najiyah 225 dan Mahabbatur Rasul 285, Abdur Rauf Muhammad
Utsman)

Telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:


‫َخ ْي ُر ُك ْم َمنْ َتعَ لَّ َم ْالقُرْ آنَ َوعَ لَّ َم ُه‬

“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.”

(HR. Bukhari dan Tirmidzi dari Ali bin Abi Thalib. Dan datang dari hadits’Utsman bin ‘Affan
riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Dan juga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

ٌ‫ َو َلكِنْ أَلِفٌ حَ رْ فٌ َوالَ ٌم حَ رْ فٌ َو ِم ْي ٌم حَ رْ ف‬، ٌ‫ { ألم } حَ رْ ف‬: ‫هللا َفلَ ُه ِب ِه حَ سَ َن ٌة َو ْالحَ سَ َن ُة ِبعَ ْش ِر أَمْ َثالِهَا الَ أَقُ ْو ُل‬
ِ ‫ب‬ ِ ‫َمنْ َقرَ أَ حَ رْ ًفا مِنْ ِك َتا‬

“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka baginya satu kebaikan. Dan satu
kebaikan menjadi sepuluh kali semisal (kebaikan) itu. Aku tidak mengatakan: alif lam mim itu
satu huruf, namun alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim itu satu huruf .” (HR.Tirmidzi dan yang
lainnya dari Abdullah bin Mas’ud dan dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullah)

C. Shalawat yang disebutkan salah seorang sufi dari Libanon dalam kitabnya yang
membahas tentang keutamaan shalawat, lafadznya sebagai berikut:

‫اللَّ ُه َّم صَ ِّل عَ لىَ مُحَ َّم ٍد حَ َّتى َتجْ عَ َل ِم ْن ُه ْاألَحَ ِد َّي َة ْال َقي ُّْو ِم َّي َة‬

“Ya Allah berikanlah shalawat kepada Muhammad sehingga engkau menjadikan darinya
keesaan dan qoyyumiyyah (maha berdiri sendiri dan yang mengurusi makhluknya).”

Padahal sifat Al-Ahadiyyah dan Al-Qayyumiyyah, keduanya termasuk sifat-sifat Allah Azza
wajalla. Maka, bagaimana mungkin kedua sifat Allah ini diberikan kepada salah seorang dari
makhluk-Nya padahal Allah Ta’ala berfirman:

‫لَ ْيسَ َكم ِْثلِ ِه َشيْ ٌء َوه َُو ال َّس ِم ْي ُع ْالبَصِ ْي ُر‬

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (Asy-Syura: 11)

D. Shalawat Sa’adah (Kebahagiaan)

Lafadznya sebagai berikut:

ِ ِ‫دَو ِام م ُْلك‬


‫هللا‬ َ ‫هللا صَ الَ ًة دَا ِئم ًَة ِب‬
ِ ‫اللَّ ُه َّم صَ ِّل عَ لىَ سَ ِّي ِد َنا مُحَ َّم ٍد عَ دَدَ مَا فِي عِ ْل ِم‬

“Ya Allah, berikanlah shalawat kepada baginda kami Muhammad sejumlah apa yang ada dalam
ilmu Allah, shalawat yang kekal seperti kekalnya kerajaan Allah.”

Berkata An-Nabhani As-Sufi setelah menukilkannya dari Asy-Syaikh Ahmad Dahlan: ”Bahwa
pahalanya seperti 600.000 kali shalat. Dan siapa yang rutin membacanya setiap hari Jum’at
1.000 kali, maka dia termasuk orang yang berbahagia dunia akhirat.” (Lihat Mahabbatur Rasul
287-288)

Cukuplah keutamaan palsu yang disebutkannya, yang menunjukkan kedustaan dan kebatilan
shalawat ini.

E. Shalawat Al-In’am
Lafadznya sebagai berikut:

‫هللا َوإِ ْفضَ الِ ِه‬ ِ ‫اللَّ ُه َّم صَ ِّل َوسَ لِّ ْم َوب‬
ِ ‫َاركْ عَلىَ سَ ِّي ِد َنا مُحَ َّم ٍد َوعَ لىَ آلِ ِه عَ دَدَ إِ ْنعَ ِام‬

“Ya Allah berikanlah shalawat, salam dan berkah kepada baginda kami Muhammad dan kepada
keluarganya, sejumlah kenikmatan Allah dan keutamaan-Nya.”

Berkata An-Nabhani menukil dari Syaikh Ahmad Ash-Shawi:

“Ini adalah shalawat Al-In’am. Dan ini termasuk pintu-pintu kenikmatan dunia dan akhirat, dan
pahalanya tidak terhitung.” (Mahabbatur Rasul 288)

F. Shalawat Badar

Lafadz shalawat ini sebagai berikut:

shalatullah salamullah ‘ala thoha rosulillah

shalatullah salamullah ‘ala yaasiin habibillah

tawasalnaa bibismillah wa bil hadi rosulillah

wa kulli majahid fillah

bi ahlil badri ya Allah

Shalawat Allah dan salam-Nya semoga tercurah kepada Thaha Rasulullah

Shalawat Allah dan salam-Nya semoga tercurah kepada Yasin Habibillah

Kami bertawassul dengan nama Allah dan dengan pemberi petunjuk, Rasulullah

Dan dengan seluruh orang yang berjihad di jalan Allah, serta dengan ahli Badr, ya Allah

Dalam ucapan shalawat ini terkandung beberapa hal:

1. Penyebutan Nabi dengan habibillah

2. Bertawassul dengan Nabi

3. Bertawassul dengan para mujahidin dan ahli Badr

Point pertama telah diterangkan kesalahannya secara jelas pada rubrik Tafsir.

Pada point kedua, tidak terdapat satu dalilpun yang shahih yang membolehkannya. Allah Idan
Rasul-Nya tidak pernah mensyariatkan. Demikian pula para shahabat (tidak pernah
mengerjakan). Seandainya disyariatkan, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menerangkannya dan para shahabat melakukannya. Adapun hadits: “Bertawassullah kalian
dengan kedudukanku karena sesungguhnya kedudukan ini besar di hadapan Allah”, maka hadits
ini termasuk hadits maudhu’ (palsu) sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah dan Asy-
Syaikh Al-Albani.
Adapun point ketiga, tentunya lebih tidak boleh lagi karena bertawassul dengan Nabi shallallhu
‘alaihi wa sallam saja tidak diperbolehkan. Yang dibolehkan adalah bertawassul dengan nama
Allah di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ ‫هلل األَسْ مآ ُء ْالحُسْ نَ َف ْادع ُْوهُ ِبها‬


ِ ‫َو‬

“Dan hanya milik Allah-lah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asmaul husna itu.” (Al-A’raf: 180)

Demikian pula di antara doa Nabi: “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan segala nama yang
Engkau miliki yang Engkau namai diri-Mu dengannya. Atau Engkau ajarkan kepada salah
seorang hamba-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau simpan di sisi-Mu
dalam ilmu yang ghaib.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan lainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-
Albani dalam Ash-Shahihah no. 199)

Bertawassul dengan nama Allah seperti ini merupakan salah satu dari bentuk tawassul yang
diperbolehkan. Tawassul lain yang juga diperbolehkan adalah dengan amal shalih dan dengan
doa orang shalih yang masih hidup (yakni meminta orang shalih agar mendoakannya). Selain itu
yang tidak berdasarkan dalil, termasuk tawassul terlarang.

Jenis-jenis shalawat di atas banyak dijumpai di kalangan sufiyah. Bahkan dijadikan sebagai
materi yang dilombakan di antara para tarekat sufi. Karena setiap tarekat mengklaim bahwa
mereka memiliki do’a, dzikir, dan shalawat-shalawat yang menurut mereka mempunyai sekian
pahala. Atau mempunyai keutamaan bagi yang membacanya yang akan menjadikan mereka
dengan cepat kepada derajat para wali yang shaleh. Atau menyatakan bahwa termasuk
keutamaan wirid ini karena syaikh tarekatnya telah mengambilnya dari Nabi shallallahu alaihi
wasallam secara langsung dalam keadaan sadar atau mimpi. Di mana, katanya, Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam telah menjanjikan bagi yang membacanya kedekatan dari beliau,
masuk jannah (surga) ,dan yang lainnya dari sekian propaganda yang tidak bernilai sedikitpun
dalam timbangan syariat. Sebab, syariat ini tidaklah diambil dari mimpi-mimpi. Dan karena Rasul
tidak memerintahkan kita dengan perkara-perkara tersebut sewaktu beliau masih hidup.

Jika sekiranya ada kebaikan untuk kita, niscaya beliau telah menganjurkannya kepada kita.
Apalagi apabila model shalawat tersebut sangat bertentangan dengan apa yang beliau bawa,
yakni menyimpang dari agama dan sunnahnya. Dan yang semakin menunjukkan kebatilannya,
dengan adanya wirid-wirid bid’ah ini menyebabkan terhalangnya mayoritas kaum muslimin untuk
mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah yang justru disyari’atkan yang telah Allah
jadikan sebagai jalan mendekatkan diri kepada-Nya dan memperoleh keridhaannya.

Berapa banyak orang yang berpaling dari Al Qur’an dan mentadabburinya disebabkan tenggelam
dan ‘asyik’ dengan wirid bid’ah ini? Dan berapa banyak dari mereka yang sudah tidak peduli lagi
untuk menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena tergiur
dengan pahala ‘instant’ yang berlipat ganda. Berapa banyak yang lebih mengutamakan majelis-
majelis dzikir bid’ah semacam buatan Arifin Ilham daripada halaqah yang di dalamnya
membahas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Laa haula walaa
quwwata illaa billah.

Dikutip dari http://www.asysyariah.com, Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari Al-Bugisi, Judul asli: Shalawat-Shalawat
Bid’ah

Diarsipkan pada: http://qurandansunnah.wordpress.com/

Anda mungkin juga menyukai