Pendahuluan
Memahami soal kekuasaan, ingatan yang paling mudah dalam pikiran kita adalah adagium
dari Lord Acton yang menyatakan bahwa absolutely power tends to corrupt but absolute
power corrupts absolutely. Pernyataan tersebut kiranya masih sangat relevan untuk
membaca soal kekuasaan dalam situasi sekarang. Sejarah telah memberikan pelajaran
kepada manusia bahwa kekuasaan negara yang tidak diatur dan dibatasi akan cenderung
menjadi otoriter dan bahkan totaliter. Kekuasaan akan dibangun dan digunakan untuk
mengabdi pada kepentingan penguasa, dan dalam perkembangannya cenderung untuk
serakah dan mengasai segala-galanya.
Kesadaran manusia telah sampai pada keinginan untuk membatasi kekuasaan agar tidak
disalahgunakan. Hal demikian dapat dilihat dari perkembangan konsep negara. Konsep
kontrak sosial (social contract ) berkembang menjadi konsep negara penjaga malam
(nachtwacherstaat ) yang kemudian berkembang lagi menjadi negara kesejahteraan
(welfarestate ). Dalam perkembangan berikutnya hukum dipercaya sebagai instrumen
untuk membatasi kekuasaan negara, yang oleh karena itu muncul konsep negara hukum
(nomocracy ).
Perkembangan lebih lanjut dari konsep negara hukum adalah konsep negara (hukum)
konstitusi. Konsep terakhir ini lebih memberikan jaminan akan adanya pemisahan
kekuasaan yang dituangkan dalam bentuk konstitusi tertulis. Tulisan ini mencoba untuk
mengungkapkan benang merah antara konsep konstitusionalisme, pemisahan kekuasaan
(separation of powers ) dan checks and balances system serta bagaimana ketiga konsep
tersebut diimplementasikan dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.
B. Tinjauan Konseptual
Terdapat kesesuaian yang erat antara demokrasi dan konstitusio-nalisme, yaitu adanya
kewenangan yang limitatif dari cabang-cabang kekua-saan negara, yang akan memberikan
tempat penting bagi tumbuhnya interaksi sosial dan pengambilan keputusan bagi individu
dan kelompok secara bebas. Oleh karenanya, sistem konstitusi yang demikian akan
memberikan ruang yang sangat luas bagi berkembangnya semangat yang lebih besar bagi
gerakan pro-ekologi. Indonesia sebagai negara demokrasi, memiliki mandat konstitusi
(constitutional mandate ) untuk melindungi dan meningkatkan fungsi ekologi-nya.
Bahkan hal tersebut sudah sepantasnya dijadikan komitmen dan konse-kuensi pokok bagi
negara yang menganut gagasan negara kesejahteraan (welfare state ). Akan tetapi,
seberapa jauh keberhasilan gerakan tersebut dan seberapa besar efektifitas penyelesaian
masalah lingkungan akan sangat tergantung dari pengaturan norma dan karakteristik
institusionalnya. Konsti-tusi hijau adalah hukum dasar suatu negara yang memuat (secara
relatif) komitmen terhadap perlindungan dan kelestarian ekologi sebagai bagian dari
upaya mewujudkan gagasan negara kesejahteraan.
2. Konsep Konstitusionalisme
Pernyataan klasik yang paling tepat untuk menggambarkan secara sederhana tentang
kekuasaan adalah adagium dari Lord Acton yang menyatakan bahwa absolutely power
tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely. Dalam kenyataan sejarah,
adagium tersebut telah dibuktikan bahwa kekuasaan Negara yang tidak diatur dan
dibatasi akan cenderung dan mengarah pada otoriterisme atau bahkan totaliterisme.
Membatasi kekuasaan negara agar tidak disalahgunakan dapat terlihat dari
perkembangan konsep negara. Konsep social contract berkembang menjadi konsep
negara penjaga malam (nachtwacherstaat ) yang kemudian berkembang lagi menjadi
konsep negara kesejahteraan (welfaresate ). Untuk mendapatkan kepastian, maka
keinginan membatasi kekuasaan negara perlu diwujudkan dalam bentuk hukum, yang
daripadanya telah melahirkan konsep negara hukum. Perkembangan lebih lanjut dari
konsep negara hukum adalah konsep negara (hukum) konstitusi. Konsep terakhir
inilah yang lebih memberikan jaminan akan adanya pemisahan kekuasaan yang
dituangkan dalam bentuk konstitusi tertulis
”…a constitution is a document which contains the rules for the operation of an
arganization “.[1] C. F. Strong, menyatakan bahwa A constitutions is a collections
of principles according to wich the power of the government the rights of
governed and the relations between the two are adjusted .[2]
Dari beberapa pendapat diatas, satu hal yang dapat ditarik benang merahnya adalah
bahwa secara sederhana yang menjadi objek dalam konstitusi adalah pembatasan
terhadap tindakan pemerintah, hal ini dituju-kan untuk memberikan jaminan terhadap
hak-hak warga negara dan menjabarkan bagaimana kedaulatan itu dijalankan.
C. F. Strong mengibaratkan konstitusi sebagai tubuh manusia dan negara serta badan
politik sebagai organ dari tubuh. Organ tubuh akan bekerja secara harmonis apabila
tubuh dalam keadaan sehat dan sebalik-nya. Negara ataupun badan-badan politik akan
bekerja sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam konstitusi.[6] Berdasarkan
pengertian dan peranan konstitusi dalam negara tersebut maka yang dimaksud dengan
konsep konstitusionalisme adalah konsep mengenai supremasi konstitusi. Adnan
Buyung Nasution menyatakan bahwa konstitusi merupakan aturan main tertinggi
dalam negara yang wajib dipatuhi baik oleh pemegang kekuasaan dalam negara
maupun oleh setiap warga negara.[7]
1. Konsep Konstitusionalisme
Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan konsep konstitusionalisme, maka
perlu terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan konstitusi. Konstitusi
secara harfiah berarti pemben-tukan. Kata konstitusi sendiri berasal dari bahasa
Perancis yaitu constituir yang bermakna membentuk. Dalam bahasa latin, istilah
konstitusi merupakan gabungan dua kata yaitu cume dan statuere. Bentuk tunggalnya
contitutio yang berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamaknya
constitusiones yang berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan.
Berdasarkan pengertian dan peranan konstitusi dalam negara tersebut maka yang
dimaksud dengan konsep konstitusionalisme adalah konsep mengenai supremasi
konstitusi. Adnan Buyung Nasution dalam bukunya yang berjudul Negara Hukum
Konstitusionalisme, menyatakan bahwa konstitusi merupakan aturan main tertinggi
dalam negara yang wajib dipatuhi baik oleh pemegang kekuasaan dalam negara
maupun oleh setiap warga negara.(Adnan Buyung Nasution, 1995:111)
(6) Pemerintah yang dibatasi oleh hak-hak individu (limited government subject to
a bill of individual rights );
(8) Kontrol sipil atas militer (civilian control of the military ); and
(9) Kekuasaan negara yang dibatasi oleh konstitusi (no state power, or very
limited and strictly circumscribed state power, to suspend the operation of some
parts of, or the entire, constitution ).
Kesembilan elemen dari konstitusi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yang
berkaitan dengan fungsi konstitusi sebagai berikut:
Konstitusi menjadi landasan yang sangat penting dan mendasar bagi penyelenggaraan
negara yang menganut seistem politik demokrasi, atau negara modern saat ini.
Konstitusi menjadi hukum dasar dan tertinggi (the supreme law of the land ), yang
melandasi setiap bentuk hukum atau perundang-undangan lainnya. Konstitusi juga
dipahami sebagai konsep yang berkembang, artinya tidak dapat dilihat sebagai
dokumen yang mati atau statis, tetapi hidup, tumbuh dan berkembang sebagaimana
prinsip dasar penyelenggaraan negara yang selalu hidup mengikuti perkembangan dan
dinamika masyarakat dan jamannya (the living constitution ). Dalam perspektif
kedudukannya, konstitusi adalah kesepakatan umum (general consensus ) atau
persetujuan bersama (common agreement ) dari seluruh rakyat mengenai hal-hal dasar
yang terkait dengan prinsip dasar kehidupan dan penyelenggaraan negara, serta
struktur organisasi suatu negara.[14]
Premis yang ada dibalik pemisahan kekuasaan adalah kekuasaan akan membahayakan
bagi warga negara bila kekuasaan yang besar tersebut dimiliki oleh orang perorangan
maupun kelompok. Pemisahan kekuasaan adalah suatu metode memindahkan kekuasaan
ke dalam kelompok-kelompok, dengan demikian akan menjadi lebih sulit untuk
disalahgunakan.
Menurut Jimly Asshiddiqie (2000:2), konsep pemisahan kekuasaan secara akademis dapat
dibedakan antara pengertian sempit dan pengertian luas. Dalam pengertian luas, konsep
pemisahan kekuasaan (separation of power ) mencakup pengertian pembagian kekuasaan
yang biasa disebut dengan istilah division power (distribution of power). Pemisahan
kekuasaan merupa-kan konsep hubungan yang bersifat horizontal, sedangkan konsep
pembagian kekuasaan bersifat vertikal. Secara horizontal, kekuasaan negara dapat dibagi
ke dalam beberapa cabang kekuasaan yang dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga
negara tertentu, yaitu legislatif, eksekutif, dan judikatif. Sedangkan dalam konsep
pembagian kekuasaan (distribution of power atau division of power ) kekuasaan negara
dibagikan secara vertikal dalam hubungan “atas-bawah”.
Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang mengadaptasi sistem pemisahan
kekuasaan. Kekuasaan dibedakan atas tiga kelompok kekua-saan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Ketiga cabang kekuasaan tersebut dibedakan berdasarkan kekuasaan yang
mereka miliki. Kekuasaan legislatif memiliki kemampuan untuk menetapkan hukum.
Kekuasaan eksekutif memiliki kemampuan untuk melihat penegakan hukum. Kekuasaan
Judikatif memiliki kemampuan untuk membuat keputusan serta menjatuhkan sanksi.
Secara historis konsep pemisahan kekuasaan ini mengacu kepada Masa Yunani Kuno.
Konsep tersebut diperbaiki oleh para pembentuk negara dan perbaikan tersebut
mempengaruhi pembentukan tiga cabang kekuasaan dalam konstitusi. Aristotetes lebih
cenderung kepada bentuk pemerintahan campuran yang terdiri atas monarki, aristokrasi,
dan demokrasi. Dalam pandangan Aristoteles jika hanya mengacu pada satu konsep saja
maka tidak tercapai suatu kondisi yang ideal, tetapi campuran dari hal-hal yang terbaik
dari ketiga konsep tersebut akan lebih mendekati ideal. Tahun 1656 James Harrington
memperbaharui ketiga konsep tersebut dan mengajukan suatu sistem yang berdasarkan
pemisahan kekuasaan. John Locke, ditahun 1690, memisahkan kekuasaan-kekuasaan
negara ke dalam eksekutif dan legislatif. Montesqieu, di tahun 1748, memiliki semangat
hukum untuk mengembang-kan pemikiran Locke, dengan menambahkan unsur judikatif.
Pembentuk konstitusi Amerika Serikat mengambil keseluruhan ide Montesqieu dan
mengkonversi teori-teori tersebut ke dalam aplikasi yang praktis