Anda di halaman 1dari 22

Bab 5 Peraturan Perundang-undangan

Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan


Penataan Ruang

55..33

M
MAAKKNNAA PPEENNGGGGUUNNAAAANN TTAANNAAHH M MEENNUURRUUTT UUUU
NNOOM
MOORR 55 TTAAHHUUNN 11996600 :: KKAAIITTAANNNNYYAA DDEENNGGAANN
PPEERRKKEEM
MBBAANNGGAANN PPEENNAATTAAAANN RRUUAANNGG
Oleh Tubagus Haedar Ali

Pemberlakuan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yaitu


Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang “Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria” pada tanggal 24 September 1960 merupakan
tonggak strategis di bidang pertanahan.

UUPA mengakhiri peraturan perundangan pertanahan kolonial


yang diskriminatif dan merugikan bangsa Indonesia. Peraturan
kolonial menetapkan ihwal pertanahan untuk pribumi diatur hukum
adat, sedangkan untuk orang asing diatur hukum Barat. UUPA
memberlakukan unifikasi hukum pertanahan nasional yang tidak
membedakan hak atas tanah dari warganegara berdasarkan adat
yang berbeda satu dengan lainnya. Namun hak adat masih diakui
UUPA sepanjang masih ada dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional.

Di era Orde Baru, pembangunan ekonomi, pembangunan fisik


dan penggalakan investasi terutama dana luar negeri, sangat
mengemuka dan menjadi prioritas berbagai kebijakan dan
implementasinya, termasuk di bidang pertanahan. Hal ini secara tidak
disadari telah mengurangi bahkan mengabaikan sektor lainnya.
Dalam beberapa hal, di bidang pertanahan tampaknya tidak sesuai
dengan UUPA yang pada era reformasi ini dilakukan deregulasi dan
penataan kembali dengan mengembalikan ke jalur UUPA.

Tanah sebagai kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia,


sudah dipahami sejak dulu kala. Namun pertanahan sebagai sebuah
profesi bahkan sekarang menjadi sangat strategis, belum banyak
yang memahaminya. Oleh karena itu, kiranya uraian tentang profesi
pertanahan perlu dikemukakan.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-1


- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

Keterkaitan UUPA dengan perkembangan penataan ruang


sangat penting untuk dipahami karena berkaitan dengan berbagai hal
esensial bagi hajat hidup masyarakat. Peristiwa dan perbuatan
hukum pertanahan terjadi di berbagai tempat dan sembarang waktu
secara acak dan tidak terstruktur, tergantung kondisi setempat dan
dinamika masyarakat. Sulit dIsusun secara runtut berdasarkan waktu
kejadian (time series). Oleh karena itu, keterkaitan antara UUPA
dengan perkembangan penataan ruang lebih ditekankan pada makna
dan logikanya.

PROFESI PERTANAHAN

Pertanahan merupakan profesi yang mencakup politik


pertanahan (land politics), ekonomi pertanahan (land economics),
hukum pertanahan (land laws), pendaftaran tanah (land re-
gistration/land record management).

Politik pertanahan berkaitan dengan kewenangan


perolehan/penguasaan dan pendistribusian tanah serta law
enforcement. Kewenangan ini, antara lain, meliputi ketentuan umur
hak atas tanah, maksimum jumlah dan luas bidang tanah yang
dimiliki perorangan atau badan hukum, pencabutan hak atas tanah
serta ketetapan tanah yang menjadi obyek land reform, yaitu tanah
yang memenuhi syarat dibeli pemerintah yang selanjutnya dijual
kepada petani tanpa tanah dengan pola beli cicil jangka panjang.

Ekonomi pertanahan berkaitan dengan pemanfaatan tanah


yang efisien, yaitu cara pemanfaatan tanah dengan sekecil mungkin
pengorbanannya tetap menghasilkan sebesar mungkin manfaat
dengan memperhatikan kelestarian dan mempertahankan bahkan
meningkatkan kualitas tanah. Pemanfaatan, antara lain, meliputi
pertanian dan non pertanian sesuai daya dukung tanah, tidak
merusak lingkungan, mendukung dan tidak menghambat program
lainnnya serta memberi hasil maksimal.

Hukum pertanahan berkaitan dengan pemberian landasan


hukum bagi politik pertanahan dan kepastian hukum tentang
kepemilikan hak atas tanah perorangan atau badan hukum
berdasarkan bukti yang merupakan alas hak bagi kepastian hukum.
Jadi, dapat ditetapkan surat keputusan hak atas tanah bersangkutan,
setelah melalui proses pengkajian dokumen kepemilikan tanah,
pencocokkan bukti lapangan serta kepastian tidak ada sanggahan

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-2


- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

pihak lain.

Gambar 3

Sumber : “Indonesia, Untaian Manikam di Khatulistiwa”, 1992

Pendaftaran tanah meliputi pendaftaran hak atas tanah,


pengukuran dan pemetaan kadastral yang produk akhirnya berupa
sertipikat hak atas tanah. Sertifikat hak atas tanah adalah bukti
terkuat kepemilikan hak atas tanah sepanjang tidak ada bukti lain
yang bertentangan yang lebih kuat. Pengukuran dan pemetaan
kadastral adalah pengukuran dan pemetaan yang berkekuatan
hukum sehingga harus dilakukan orang yang mempunyai otoritas.
Semua proses dan kerja kertas (paper work) terkait, mulai dari
permohonan hak atas tanah sampai terbit sertifikat hak atas tanah
serta pengarsipannya, dikelola (record management) melalui
prosedur tertentu yang ditetapkan peraturan perundangan.

Menyadari hal ini, tampaknya manajemen sumber daya


manusia bagi pelayanan per-tanahan merupakan pekerjaan yang

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-3


- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

tidak mudah. Demikian pula halnya pengembangan organisasi


pertanahan di pusat dan di daerah, perlu kecermatan, kehati-hatian
dan kearifan.

Penataan ruang terkait dengan pertanahan terutama dalam


penatagunaan tanah yang merupakan bagian dari ekonomi
pertanahan. Penatagunaan tanah merupakan subsistem penataan
ruang (Undang-undang Penataan Ruang, 1992). Namun politik
pertanahan, ekonomi pertanahan minus penatagunaan tanah, hukum
pertanahan, pendaftaran hak atas tanah dan pengukuran dan
pemetaan kadastral, bukan subsistem dari penataan ruang.

KEBIJAKAN M AKRO PERTANAHAN

UUPA memberikan arahan berupa “Sembilan Kebijakan


Makro” yang penting bagi pemenuhan kebutuhan penduduk atas
tanah dalam kehidupan modern yang mengarahkan pada tertib
hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan
tanah serta tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup.

Landasan kebijakan makro pertanahan menjelaskan falsafah


dan hakekat wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
dan Bangsa Indonesia, hubungan antarkeduanya serta kaitan
dengan konstitusi NKRI (Undang-Undang Dasar 1945); kewenangan
negara untuk menguasai (tidak selalu berarti memiliki dan lebih
berkonotasi kewenangan mengatur peruntukan dan hubungan
hukum), pemanfaatan sumber daya alam yang ditujukan bagi
kemakmuran rakyat. Arahan UUPA meliputi:
1. Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari
seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa
Indonesia.
2. Seluruh bumi (selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh
bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air), air (termasuk
baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia) dan
ruang angkasa (ruang di atas bumi dan air), termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi,
air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan ke-
kayaan nasional. Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi,
air serta ruang angkasa tersebut adalah hubungan yang bersifat
abadi.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-4


- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

3. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33(3) UUD 1945, bumi air dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara,
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
4. Hak menguasai dari Negara tersebut memberi wewenang
kepada Negara untuk :
 mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa tersebut;
 menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
 menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum
yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
5. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara
tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran
rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan
dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka,
berdaulat, adil dan makmur.

Sembilan kebijakan makro pertanahan dikelompokkan dari


Pasal 1 sampai 19 UUPA, menampilkan citra bahwa UUPA di
samping bernuansa kerakyatan –berpihak kepada golongan ekonomi
lemah, juga mampu memberi pelayanan pertanahan yang dibutuhkan
dalam kehidupan modern.

Kebijakan Makro 1: Keberadaan Hukum Adat


Hukum agraria adalah hukum adat. Dalam arti, wilayah
Indonesia ini milik bangsa Indonesia. Inilah prinsip hukum adat yang
diangkat kedudukannya menjadi dasar hukum agraria. Dalam praktek
kepemilikan atas tanah secara alamiah telah terjadi perubahan dari
kepemilikan bersama atas satu atau beberapa hamparan tanah adat
menjadi kepemilikan hak secara individual. Oleh karena itu, secara
selektif hak ulayat atau hak atas tanah berdasarkan hukum adat tetap
diakui keberadaannya sepanjang memenuhi persyaratan yang
ditetapkan peraturan perundangan. Peraturan pelaksanaan
mengenai hak ulayat ini masih belum lengkap dan masih perlu
disempurnakan. Arahan UUPA sebagai berikut:

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-5


- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

 Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dengan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila serta dengan peraturan-peraturan
yang tercantum dalam UUPA ini dan dengan peraturan
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
 Pelaksanaan Hak-Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-
peraturan lain yang lebih tinggi.

Kebijakan Makro 2: Hak Atas Tanah


Kebijakan hak atas tanah bagi perorangan warga negara dan
keluarganya serta badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum
dan berdomisili di wilayah Republik Indonesia, adalah memberikan
sesuatu hak atas tanah yang penuh, dan memberikan kesempatan
yang sama untuk memanfaatkan tanah yang merupakan haknya
dengan cara yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Arahan UUPA sebagai berikut:
 Atas dasar hak menguasai dari Negara ditentukan adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi (yang disebut tanah),
dan hak-hak atas air dan ruang angkasa, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan
hukum.
 Hak-hak atas tanah memberi wewenang untuk mempergunakan
tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air
serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan
tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan
peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi;
 Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan
yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa;
 Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-6


- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu


hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik
bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Kebijakan Makro 3: Kewajiban Pemilik Hak Atas Tanah


Pemilik hak atas tanah baik perorangan maupun badan
hukum, selain mempunyai hak, juga berkewajiban memanfaatkan
tanah yang menjadi haknya secara layak. UUPA mengarahkan,
setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas
tanah (pertanian) pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara
pemerasan, yang pelaksanaannya dan pengecualiannya akan diatur
dalam peraturan perundangan.
Kebijakan Makro 4: Hak Atas Tanah Berfungsi Sosial
Meski pemilik hak atas tanah dapat memanfaatkan tanah yang
menjadi haknya, namun pemanfaatannya harus sesuai dengan
kondisi lingkungan, tetap memperhatikan kepentingan golongan
ekonomi lemah. Kepemilikan dapat dikalahkan oleh kepentingan
umum, serta penguasaan dan pemilikan tanah yang melampaui
batas dilarang dan tidak boleh digunakan untuk memeras kehidupan
orang lain. Arahan UUPA sebagai berikut:
 Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial;
 Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan;
 Hubungan hukum antara orang termasuk badan hukum, dengan
bumi, air dan ruang angkasa serta wewenang-wewenang yang
bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur dan dicegah
penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang
melampaui batas;
 Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum
golongan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan
terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah.

Kebijakan Makro 5: Anti Monopoli


UUPA mengamanatkan kepada pemerintah untuk
melaksanakan kebijakan anti monopoli di bidang pertanahan dan
mengatur pemanfaatan tanah, guna meningkatkan produktifitas,
mencegah usaha swasta di bidang agraria yang bersifat monopoli,

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-7


- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

bahkan bila pemerintah melakukan monopoli usaha bidang agraria


harus berdasarkan undang-undang yang dibuat khusus. Amanat
UUPA:
 Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan
agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi
dan kemakmuran rakyat serta menjamin bagi setiap
warganegara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan
martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
 Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan
agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang
bersifat monopoli swasta.
 Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat
monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
 Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan
sosial termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha di
lapangan agraria.

Kebijakan Makro 6: Pemanfaatan dan Pembangunan


Sumberdaya Alam Berkelanjutan
Lebih dari 30 tahun sebelum Deklarasi Rio --deklarasi
kesepakatan internasional tentang kewajiban melestarikan
sumberdaya alam dan lingkungan, UUPA telah mengarahkan agar
dalam pemanfaatan tanah/sumberdaya alam harus memperhatikan
kelestariannya. Oleh karena itu, eksploitasi kekayaan alam harus
diatur Negara, dalam pemanfaatan tanah oleh yang berhak sedapat
mungkin meningkatkan mutu/kesuburannya. Arahannya:
 Atas dasar hak menguasai dari Negara diatur
pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam
bumi, air dan ruang angkasa;
 Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya
serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap
orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai
hubungan hukum dengan tanah itu, dengan
memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.

Kebijakan Makro 7: Desentralisasi Pelaksanaan Hak


Menguasai Oleh Negara
Dalam sistem pemerintahan tidak semua hal dapat

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-8


- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

dilaksanakan pemerintah secara terpusat. Untuk hal-hal tertentu,


azas desentralisasi perlu diterapkan. Dalam hal pertanahan berbagai
kewenangan telah diserahkan kepada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota seperti izin lokasi dan penerbitan sertifikat hak atas
tanah. UUPA mengarahkan: hak menguasai dari Negara di atas,
pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra
dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-
ketentuan Peraturan Pemerintah.
Kebijakan Makro 8: Penatagunaan Tanah.
Meski penatagunaan tanah bertujuan memperoleh manfaat
sebesar-besarnya dari penggunaan tanah (prinsip ekonomi), namun
UUPA mengarahkan bahwa dalam pemanfaatan tersebut harus
memperhatikan kelestarian dan pemuliaan kualitas tanah serta
memperhatikan dan memenuhi kepentingan non-ekonomis yang
diperlukan untuk kehidupan bermasyarakat. Arahan UUPA:
1. Peraturan Pemerintah Daerah tersebut berlaku setelah
mendapat pengesahan, mengenai Daerah membuat suatu
rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan
penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya :
 untuk keperluan Negara;
 untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci
lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
 untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial,
kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
 untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian,
peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu;
 untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi
dan pertambangan.
2. Berdasarkan rencana umum tersebut dan mengingat peraturan-
peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur
persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang
angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah ma-
sing-masing.
3. Peraturan Pemerintah Daerah tersebut berlaku setelah
mendapat pengesahan, mengenai dari Presiden, dari Gubernur

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-9


- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

dan Bupati/Walikota yang bersangkutan.

Kebijakan Makro 9: Kemitraan Pemerintah dan Swasta.


Kebutuhan masyarakat untuk hidup dan berusaha terus
meningkat, sedangkan sumber daya manusia dan lainnya yang
dikuasai dan diatur pemerintah sangat terbatas. Di lain pihak, sektor
swasta menjadi makin bertambah kuat. UUPA mengarahkan
penyelenggaraan kemitraan antara pemerintah dengan swasta
sebagai berikut:
• Segala usaha bersama dalam lapangan agraria
didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka
kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau
bentuk-bentuk gotong-royong lainnya.
• Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain
menyelenggarakan usaha-usaha dalam lapangan
agraria.

Inti kebijakan makro tersebut adalah agar manajemen


pertanahan dilaksanakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Singkatnya, tanah untuk rakyat. Masuknya investasi asing harus
didukung, untuk itu perlu berbagai kiat dan perlu diciptakan berbagai
terobosan. Namun diupayakan agar kelak tidak menyulitkan upaya
memenuhi kebutuhan tanah untuk hidup dan berusaha bagi
masyarakat.

UU Penataan Ruang (1992) sejalan dan relevan dengan


kebijakan makro pertanahan (UUPA), mengingat keduanya
mempunyai prinsip sama, antara lain:
• Penataan ruang diselenggarakan di semua tingkat administrasi
pemerintahan, yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,
propinsi dan kabupaten/kota dalam bentuk peraturan perundang-
undangan (prinsip disentralisasi);
• Dalam setiap rencana tata ruang ditetapkan kawasan lindung
dan kawasan budidaya, pusat-pusat permukiman di perkotaan
dan perdesaan, sistem jaringan transportasi dan sistem
prasarana lainnya; sektor-sektor dan yang memanfaatkan kawa-
san budidaya, program dan kawasan prioritas (prinsip
pemenuhan kebutuhan masyarakat dan pembangunan wilayah);

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-10


- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

• Ayat 1 dan 2 Pasal 26 Undang-undang Penataan Ruang


melindungi hak milik ke-perdataan atas tanah milik perorangan
atau badan hukum yang dirugikan karena diberlakukannya
rencana tata ruang (prinsip perlindungan atas hak warganegara);
• Hak/kepentingan individu dikalahkan oleh dan dikorbankan bagi
kepentingan umum, dengan penggantian yang layak bagi
pengorbanan individu yang bersangkutan (prinsip
mengutamakan kepentingan umum tanpa merugikan individu).

Dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah, sektor


pertanahan merupakan salah satu masukan. Bila Rencana Tata
Ruang Wilayah telah disahkan berupa peraturan perundangan, maka
merupakan salah satu masukan bagi penyusunan Rencana Tata
Guna Tanah di wilayah bersangkutan. Hal ini berlaku di semua
tingkatan administrasi pemerintahan (nasional, propinsi dan
kabupaten/kota).

KETERKAITAN PERTANAHAN DENGAN PENATAAN RUANG

Untuk pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan UUPA, telah


diberlakukan berbagai peraturan perundangan di bidang pertanahan
dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan
menteri, instruksi menteri dan peraturan lebih rendah lagi yang dibuat
instansi pemerintah bidang pertanahan maupun instansi pemerintah
lainnya.

Menurut Keputusan MPR, tingkatan kewenangan peraturan


perundangan mulai dari yang tertinggi sampai terendah adalah:
• Konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945)
• Keputusan MPR
• Undang-undang
• Peraturan Pemerintah
• Keputusan Presiden
• Instruksi Presiden
• Peraturan Daerah Propinsi
• Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-11


- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

Keputusan menteri dan instruksi menteri tidak termasuk. Namun


keputusan dan instruksi menteri tetap berlaku sepanjang belum
dinyatakan tidak berlaku dan/atau diganti yang baru.

Manusia sebagai individu maupun anggota masyarakat


membutuhkan tanah untuk hidup dan berusaha. Demikian pula
berbagai badan hukum yang mempunyai kegiatan di berbagai sektor,
juga membutuhkan tanah untuk mencapai visi dan missinya. Oleh
karena itu, kegiatan pertanahan berkaitan dan saling mempengaruhi
dengan banyak kegiatan sektor lainnya, di tingkat makro maupun
mikro. Terlebih keterkaitan pertanahan dengan penataan ruang,
karena telah ditetapkan UU, bahwa penatagunaan tanah merupakan
subsistem penataan ruang.

Status Hukum Bidang Tanah

Ketidakjelasan status hukum sebidang tanah menghambat


bahkan menggagalkan penyelenggaraan penataan ruang, bila dalam
perencanaan tata ruang ketidakjelasan tersebut tidak diantisipasi.
Menurut UUPA pasal 21, hanya ada tiga status hukum atas sebidang
tanah, yaitu tanah bersertifikat, tanah adat dan tanah negara.

Tanah bersertifikat dan terdaftar di Kantor Pertanahan adalah


tanah yang hak atas tanahnya dimiliki dengan sesuatu hak oleh
perorangan atau badan hukum. Tanah adat adalah tanah yang
dimiliki bersama oleh masyarakat adat dan belum menjadi milik
perorangan. Tanah negara adalah tanah yang tidak diklaim sebagai
miliknya oleh pihak mana pun. Tanah pemerintah adalah tanah yang
dimiliki dengan sesuatu hak oleh instansi pemerintah, dan oleh
karena itu bukan tanah negara. Dalam hal tanah yang hak keper-
dataan telah dimiliki perorangan atau badan hukum (tanah girik atau
tanah bekas milik adat) tetapi belum bersertipikat, kepemilikannya
belum mempunyai kekuatan hukum terkuat.

UUPA pasal 23 mengamanatkan, sebidang tanah harus


didaftar dan mendapat sertifikat hak atas tanah bagi yang telah
didaftar. Sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan Kantor Pertanahan
merupakan bukti kepemilikan atas tanah dengan sesuatu hak yang
dilindungi Undang-undang. Menurut perkiraan, dari 75 juta bidang
tanah pada 2018, sekarang ini kira-kira 30% telah bersertipikat.
Kendala yang memperlambat penerbitan sertifikat, antara lain:

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-12


- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

• tidak semua pemilik tanah berkeinginan mensertifikatkan


tanahnya karena berbagai alasan;
• bukti alas hak atas tanah tidak lengkap, tidak jelas bahkan tidak
ada;
• status tanah tidak jelas bahkan dalam keadaan
dipersengketakan;
• biaya yang harus dipikul pemohon relatif mahal, karena
pemerintah tidak (cukup) menyediakan dana untuk itu;
• sumber daya manusia, peralatan, perlengkapan serta fasilitas
sebagian besar kantor pertanahan masih terbatas.

Tanah adat adalah tanah yang dimiliki masyarakat adat


sepanjang masyarakat adat nyata masih ada dan mempraktekkan
tata cara hidupnya sesuai aturan adatnya. Tanah yang dimaksud
jelas batasnya. Ada aturan pertanahan menurut adat dan masih
dipraktekkan masyarakat adat bersangkutan. Kendala pendaftaran
tanah adat adalah sukarnya pembuktian secara hukum ketiga butir
syarat tersebut di atas.

Tanah negara belum khusus didaftar oleh kator pertanahan


karena alasan teknis yaitu sumberdana dan sumberdaya untuk itu
tidak tersedia. Status tanah tersebut baru ditangani bila akan
diberikan hak kepemilikannya kepada yang mengajukan permohonan
dan memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan peraturan
perundangan.

Tanah Untuk Rakyat

Salah satu idealisme politik universal pada beberapa dekade


terakhir ini adalah keberpihakan kepada rakyat, keberfihakan kepada
golongan bawah yang berlaku di hampir semua bidang kehidupan.
Misalnya shelter for all di bidang perumahan (Startegic Shelter for
2000), Urban and Rural Linkage di bidang penataan ruang (Habitat II,
Istanbul, 1996) dan “tanah untuk rakyat” di bidang pertanahan
(UUPA).

Keberpihakan itu dapat dipahami –terutama untuk negara


berkembang, mengingat golongan masyarakat bawah merupakan
mayoritas dan dalam banyak hal “tidak mampu menolong diri sendiri”.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-13


- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

Oleh karenanya, perlu dibantu guna mewujudkan kehidupan bangsa


yang cerdas, berbudi luhur dan sejahtera (UU Penataan Ruang,
1992).

Dalam kaitan itu, menindaklanjuti pemberlakuan UUPA,


diselenggarakan landreform (redistribusi tanah). Penyelenggara
program –institusi pertanahan, diberi kewenangan politis dan hukum
serta didukung dana untuk menetapkan tanah sebagai obyek
landreform, menetapkan harga tanah dan melakukan
pembelian/pembebasan dari pemilik semula, menjual tanah tersebut
kepada para petani tanpa tanah dengan pola cicilan jangka panjang
dan harga murah.

Tanah semacam itu tidak boleh dijual dalam jangka lama (20
tahun lebih), sehingga terjadi benturan peraturan perundangan
pertanahan dan penataan ruang bila dalam kurun waktu tersebut
tanah ini kepemilikannya dialihkan dan/atau fungsinya diubah
menjadi non-pertanian sesuai rencana tata ruang.

Untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan perkembangan


wilayah di luar pulau Jawa/ Bali, dan mengurangi kepadatan
penduduk di Pulau Jawa/Bali, diselenggarakan program transmigrasi
(pemindahan keluarga tani dari Jawa/Bali ke pulau lain). Seluruh
pembiayaan program disediakan pemerintah. Khusus pembiayaan
untuk pengadaan dan pensertifikatan tanah disediakan pemerintah
melalui instansi pertanahan.

Keberhasilan transmigrasi bergantung pada koordinasi


antarinstansi terkait, integrasi dan keakuratan perencanaan berbagai
komponennya, serta sinkronisasi kegiatan sesuai rencana masing-
masing instansi terkait. Semua itu mestilah tercermin dari pen-
dapatan transmigran yang lebih besar dari pengeluaran produksi dan
biaya hidupnya, juga tercemin dalam perkembangan kawasan
permukiman transmigrasi yang sehat, aman, serasi serta seimbang.
Pada kenyataannya, hanya sebahagian saja dari program ini
berhasil.

Untuk memberi kepastian hukum hak atas tanah bagi


golongan ekonomi lemah, diselenggarakan program sertifikasi hak
atas tanah berikut ini:
• Proyek Nasional Agraria (Prona), Prona Daerah dan Prona

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-14


- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

Swadaya. Dalam proyek ini, tanah yang dominasinya dimiliki


masyarakat golongan ekonomi lemah disertifikatkan oleh proyek,
selesai dalam waktu setahun dengan biaya murah yang
disediakan pemerintah pusat (Prona), Pemerintah Daerah
(Proda), serta masyarakat pemilik (Prona Swadaya);
• Proyek administrasi pertanahan dengan dana pinjaman Bank
Dunia dan hibah pemerintah Australia. Salah satu programnya
adalah pensertifikatan tanah sistematis untuk 1,8 juta bidang
tanah selama 5 tahun dengan biaya murah dan selesai dalam
setahun bagi setiap lokasi proyek;
• Perubahan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik bagi bidang
tanah untuk rumah tinggal dengan biaya murah, bahkan tanpa
uang pemasukan bagi bidang tanah yang luasnya 200 meter
persegi atau kurang.

Kontribusi pada Investasi

Dalam penataan ruang ditetapkan sektor unggulan yang


dikembangkan di kawasan budidaya di wilayah bersangkutan. Hal ini
sejalan dengan amanat UUPA pasal 25 untuk menyediakan tanah
bagi keperluan masyarakat di berbagai sektor perorangan maupun
badan hukum, untuk non-investasi maupun investasi, terutama untuk
memicu dan memacu pertumbuhan ekonomi dan wilayah.

Untuk menggalakkan investasi dalam kurun waktu 1993-1996,


pemerintah telah memberikan persetujuan dan menerbitkan berbagai
perizinan bagi 8.939 investasi seluas 5.557.568 hektar (621 hektar
per Izin Lokasi), yang diharapkan menumbuhkan perekonomian
wilyah dan memberi manfaat bagi masyarakat.

Izin Lokasi yang diterbitkan untuk perumahan seluas 152.108


hektar, menyediakan 7,6 juta unit rumah bagi 34 juta jiwa. Izin Lokasi
untuk sektor lainnya seluas 5,4 juta hektar. Bagi kawasan industri
telah diterbitkan Izin Lokasi 2.348 kawasan seluas 88.780,81 hektar
(37,81 hektar per Izin Lokasi), yang memberi pekerjaan bagi 6,6 juta
karyawan sehingga diperkirakan 25 juta jiwa secara langsung
memperoleh sumber penghidupan dari kawasan tersebut.
Sayangnya, manfaat yang diharapkan tidak sepenuhnya dapat
dicapai karena market research kurang akurat, business operation
yang kurang piawai dan krisis moneter yang melanda dengan segala
implikasinya.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-15


- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

Di Taiwan, dengan memperhitungkan aspek lingkungan,


sosial, ekonomi, pendanaan dan pemasaran, kawasan industri yang
optimal kira-kira sekitar 150 hektar per lokasi. Di Singapura, luas
kawasan industri hanya 9.500 hektar. Para investor terkait di kedua
negara tersebut menuai manfaat menakjubkan.

Dari uraian di atas, ada tiga hal pokok yang perlu


diperhatikan, yaitu:
• Mengusahakan agar pemilik tanah sukarela menyerahkan
tanahnya untuk investasi melalui prosedur yang adil, dengan
harga yang ditetapkan secara musyawarah untuk mufakat;
• Mengambil langkah dan upaya agar investasi efektif, dengan
memberi kesempatan kepada investor profesional bukan kepada
spekulan;
• Menetapkan mekanisme yang mengaitkan investasi profesional
dengan penyediaan lapangan kerja yang berkualitas dan
penghasilan layak.

Pembatasan Pemilikan/Penguasaan Tanah

Tanah digunakan untuk pertanian dan non-pertanian, dimiliki


perorangan (warga negara Indonesia atau orang asing) atau badan
hukum. Badan hukum umumnya membutuhkan tanah relatif luas
untuk pertanian maupun non-pertnanian. Usaha yang dilaksanakan
perorangan umumnya warga negara Indonesia, membutuhkan tanah
yang relatif sempit (pasal 7, Ketentuan tentang Luas Pemilikan
Tanah).

Penguasaan lahan/tanah yang luas dan tidak dimanfaatkan


dengan baik, merugikan dan tidak adil serta menghambat penataan
ruang. Merugikan, karena efisiensi pemanfaatan rendah, hilangnya
kesempatan pihak lain yang mampu memanfaatkan dengan baik dan
memberi sumbangan pada pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat. Tidak adil, karena lahan/tanah yang menjadi hajat hidup
orang banyak tidak dimiliki/dikuasai merata.

Untuk menghindari rendahnya pemanfaatan tanah, telah


diterbitkan berbagai peraturan pembatasan luas tanah yang
diusahakan badan hukum. Di bidang pertanian telah diatur dalam
mekanisme pemberian Hak Guna Usaha, di bidang non-pertanian

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-16


- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

ditetapkan berdasarkan kemampuan bisnis investor bersangkutan


(jumlah dana bagi pengadaan tanah, lama proses pem-
belian/pembebasan tanah selama 24 bulan sesuai umur ijin lokasi,
kemampuan membangun dan menjual produknya –prinsip you get
what you need). Bagi usaha perorangan telah diatur dalam Undang-
undang Nomor 56 Prp. 1960.

Realisasinya, lahan/tanah skala besar yang telah diberikan ijin


lokasinya kepada para investor, kurang dimanfaatkan dengan baik.
Pemanfaatan ijin lokasi mencapai 16% di bidang perkebunan, 10% di
bidang industri, 9% di bidang perumahan dan 8% di bidang jasa. Hal
ini mendorong pemerintah menata kembali penguasaan lahan/tanah
skala besar dengan tujuan meningkatkan pemanfaatan lahan/tanah
lebih efisien, lebih merata dan berkeadilan. Penataan tersebut
menetapkan tiga hal pokok tentang lahan/tanah sekala besar yang
meliputi kriteria, batas maksimum luas dan prosedur/tata cara.

Kriteria lahan/tanah skala besar ditetapkan berdasarkan


luasan optimum pengusahaan dikaitkan dengan pengolahan/tanah
hasil usaha untuk masing-masing komoditas. Batas luas maksimum
penguasaan lahan/tanah skala besar yang boleh dikuasai satu
perusahaan atau sekelompok perusahaan yang saham mayoritasnya
dikuasai seseorang, ditetapkan dengan mempertimbangkan
keuntungan finansial bagi investor dan pemerataan kesempatan
penguasaan lahan/tanah untuk usaha investasi nasional dan
propinsi.

Tujuan pengaturan kembali tata cara/prosedur adalah agar


lahan/tanah dimanfaatkan efisien, merata dan adil. Juga memberi
kesempatan dan kepastian berusaha, berdasarkan kinerja investor di
lahan/tanah yang sudah dikuasainya, tenggang waktu penyesuaian
yang diperlukan investor dan pemerintah dalam mengantisipasi
perubahan ekonomi dan sosial, peningkatan peran serta pengusaha
kecil, menengah dan koperasi dalam usaha yang memerlukan lahan/
tanah, serta pertimbangan perbedaan antardaerah.

Sebidang tanah yang ditelantarkan, dapat ditetapkan menjadi


tanah negara dengan diberi ganti rugi setelah melalui pengkajian dan
peringatan dalam waktu tiga tahun. Selain itu, berdasarkan undang-
undang, Presiden RI berwenang mecabut hak atas tanah yang
dimiliki perorangan atau badan hukum (pasal 18).

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-17


- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

Akibat deregulasi di bidang pertanahan di atas, dapat


diperkirakan menimbulkan masalah bagi pembangunan pusat
pemukiman dan sektor unggulan di kawasan budidaya dalam pe-
nataan ruang, bila luas kawasan yang akan digunakan lebih besar
dari luas tanah maksimum yang boleh dikuasai badan hukum yang
ditetapkan peraturan perundangan.

Sengketa Pertanahan

Sengketa pertanahan menghambat efektifitas bahkan


menggagalkan penataan ruang, karena tanah dalam sengketa –
terlebih bila berstatus sita jaminan, praktis tidak dapat digunakan
untuk tujuan apa pun. Sengketa pertanahan merupakan cermin tertib
hukum pertanahan. Tertib hukum bukan saja diberlakukan bagi
masyarakat, badan hukum dan aparat yang harus taat pada
peraturan, tetapi peraturan perundangan harus mencerminkan rasa
keadilan.

Sengketa pertanahan terjadi pada satu dari tiga tahapan.


Pertama, pada tahap sebidang tanah belum bersertipikat. Kedua,
pada tahap sebidang tanah dalam proses sertifikasi pertama kali.
Ketiga, pada tahap tanah sudah bersertifikat. Pelaku sengketa ada
dua kelompok, yaitu sengketa antara perorangan dan/atau badan
hukum yang tidak melibatkan instansi pertanahan, dan sengketa
yang melibatkan instansi pertanahan.

Sumber sengketa pertanahan adalah ketidakjelasan


kepemilikan (hak keperdataan) atas sebidang tanah, ketidakjelasan
lokasi, ukuran dan batas bidang tanah, dan/atau ketidakjelasan
perjanjian dan transaksi bisnis pertanahan antarpihak terkait. Pada
berbagai kasus sengketa atau unjuk rasa pertanahan, ternyata
bersumber pada tidak dipenuhinya kebijakan jual-beli.

Peranserta Masyarakat

Pembangunan tidak akan berhasil tanpa peran serta


masyarakat. Dalam hal pertanahan, masyarakat membantu
terwujudnya panca tertib pertanahan yang pada gilirannya membantu
efektifitas dan efisiensi penataan ruang. Panca tertib pertanahan
meliputi tertib hukum per-tanahan, tertib administrasi pertanahan,
tertib penggunaan tanah, serta tertib pemeliharaan tanah dan
lingkungan hidup.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-18


- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

UUPA pasal 12 mengamanatkan agar masyarakat dilibatkan


langsung maupun tidak langsung. Dalam pemanfaatan tanah
misalnya, pemilik tanah wajib memanfaatkannya sesuai izin dan hak
yang dimiliki serta berupaya memelihara bahkan meningkatkan
kualitasnya. Selain itu, peraturan perundangan memerintahkan
kepada pemilik tanah agar menelantarkan tanahnya serta
menjaganya agar tidak digunakan pihak lain tanpa izin. Sengketa
pertanahan yang memakan waktu, tenaga dan biaya, tidak perlu
terjadi dan dapat dihindari bila pemilik tanah memiliki bukti alas hak
kepemilikan tanah yang lengkap dan dibenarkan hukum, batas
bidang tanahnya diakui dan disetujui para pemilik bidang tanah yang
berbatasan.

Berbagai bentuk peran serta masyarakat di bidang


pertanahan yang telah melembaga antara lain:
• Kelompok Masyarakat Tertib Pertanahan (Pokmasdartibnah);
• Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT);
• Surveyor Berlisensi;
• Perusahaan Konsultan Pemetaan.

Kerjasama Antar Instansi Pemerintah

Dalam perencanaan tata ruang suau propinsi, pernah didapati


sebidang tanah telah ditetapkan penggunaannya oleh sembilan
instansi pusat dengan jenis penggunaan berbeda-beda. Hal ini
menunjukkan, perencanaan tata ruang merupakan alat untuk
mengintegrasikan program sektoral, sekaligus alat koordinasi
antarinstansi pemerintah.

Meski dalam adiminstrasi pemerintahan negara (public


administration) semua tugas dibagi di antara berbagai instansi
pemerintahan tingkat pusat maupun daerah. Namun setiap instansi
dalam melaksanakan tugas perlu koordinasi dan kerja sama dengan
instansi lainnya di seluruh tingkatan pemerintahan. Hal ini berlaku
dalam melaksanakan tugas dan wewenang serta tanggung jawab di
bidang pertanahan. Kerjasama dan/atau koordinasi telah
dilaksanakan antara Badan Pertanahan Nasional dengan pemerintah
daerah maupun dengan:
• Badan Kerjasama Tata Ruang Nasional dalam perencanaan tata

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-19


- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

ruang wilayah;
• Departemen Kehutanan dalam pelepasan kawasan hutan untuk
keperluan pembangunan investasi;
• Departemen Nakertrans dalam perolehan dan sertifikasi tanah
transmigrasi;
• Departemen Kimpraswil dalam hal penyediaan tanah bagi
pembangunan prasarana wilayah dan kawasan perumahan dan
permukiman;
• Departemen Perindustrian dan Perdagangan dalam kawasan
dan zona industri;
• Departemen Pertanian dalam kawasan perkebunan dan
pertnanian pangan;
• Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya dalam kawasan
wisata;
• Departemen Kelautan dalam pendaftaran hak atas kawasan dan
ekploitasi sumber daya kelautan serta pengukuran dan
pemetaan kadaster kelautan.

PENUTUP

Pemberlakuan UUPA pada tanggal 24 September 1960


merupakan tonggak strategis pertanahan. UUPA mengahiri praturan
perundangan kolonial yang merugikan Bangsa Indonesia. Sejarah
membuktikan, UUPA memberi manfaat pelayanan pertanahan
(dengan segala kelebihan dan kekurangannya) yang telah dinikmati
masyarakat.

Instansi pertanahan sering berubah bentuk, mulai dari eselon


satu departemen (kementerian), lembaga pemerintah non-
departemen/non-kementerian sampai departemen (kementerian).
Kiranya, sudah saatnya pertanahan tidak semata dilihat dari aspek
politis, tetapi juga dari aspek teknis profesional untuk menghindari
kebijakan yang tidak operasional dan meningkatkan kualitas
pelayanan pertanahan. Tampaknya, tonggak pertanahan berikutnya
adalah rekomendasi kedudukan dan struktur organisasi instansi
pertanahan yang lebih mantap dalam tatanan administrasi negara
sebagai hasil kajian politis dan teknis profesional yang memperhati-
kan dinamika dan keragaman masyarakat.
Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-20
- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

UUPA bersifat ideal, ditandai semangat humanis, populis,


pelestari sumber daya alam serta tidak “keunggalan jaman”. Cakupan
UUPA sedemikian luas, mulai dari bumi, air dan angkasa hingga
sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Namun sumber
daya (hardware, software dan brainware) yang dibutuhkan belum
sepenuhnya tersedia, diperparah sikap masyarakat yang
memandang tanah sebagai komoditi dan dijadikan obyek spekulasi.
Semua itu mengakibatkan pelayanan pertanahan belum sepenuhnya
dapat ditangani. Pada gilirannya, timbul kesan UUPA sudah tidak
sesuai lagi.

Keterkaitan UUPA dengan perkembangan penataan ruang,


antara lain:
• Cakupan UUPA meliputi bumi, air dan angkasa beserta sumbera
daya alam yang terkadung di dalamnya bersifat keruangan
(space) sebagaimana cakupan fisik penataan ruang;
• UUPA merupakan undang-undang yang mengandung nilai-nilai
universil, humanis dan populis yang juga merupakan batasan
dan persyaratan penataan ruang;
• Berbagai prinsip yang merupakan acuan pertanahan dalam
UUPA, antara lain desentralisasi, melindungi hak perorangan
dan badan hukum, penyedian tanah bagi masyarakat dan
lainnya, juga merupakan prinsip yang dianut penataan ruang;
• Dalam tingkat operasional berdasarkan UUPA, antara lain dalam
hal status hukum bidang tanah, tanah untuk rakyat, kontribusi
pada investasi, pembatasan pemilikan/penguasaan tanah,
sengketa pertanahan, peran serta masyarakat serta kerja sama
antarinstansi pemerintah, mempengaruhi keberhasilan penataan
ruang.

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-21


- Tubagus Haedar Ali -
Bab 5 Peraturan Perundang-undangan
Makna Penggunaan Tanah menurut UU No.5/1960 : Kaitannya dengan Perkembangan
Penataan Ruang

DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar


Pokok-Pokok Agraria;
2. Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan
Ruang;

Sejarah Penataan Ruang Indonesia V.3-22


- Tubagus Haedar Ali -

Anda mungkin juga menyukai