Anda di halaman 1dari 2

Nama :Palar Siahaan

NPM :0806352372

Sumber :Stephen Hoadley & Jurgen Ruland, Asian Security Reassessed, (ISEAS Publication, 2006),
hlm. 128-167

Regional Security Institutions:

ASEAN, ARF, SCO, dan KEDO dalam keterkaitannya dengan ” Global Hegemony”

ASEAN, ARF, SCO, dan KEDO merupakan empat contoh institusi keamanan regional yang
ada di Asia. Masing-masing intitusi keamanan ini memiliki nilai, tujuan, dan bahkan kelemahannya
masing-masing. ASEAN yang identik dengan wajah Asia Tenggara dan kental akan nilai-nilai Non-
interference dan sovereign equality tidak mampu mengatasi permasalahan internal antar-anggota
ASEAN. Di sisi lain, ARF yang beranggotakan beberapa negara anggota Dewan Keamanan PBB dan
negara-negara kuat seperti Amerika Serikat (AS) justru seakan-akan disetir oleh negara hegemon.
Sementara itu, SCO yang juga ditujukan untuk menjaga keamanan regional dan beranggotakan dua
negara besar yakni Cina dan Rusia justru harus dibayang-bayangi oleh persaingan kedua negara besar
ini. Adapun KEDO, institusi keamanan regional yang menganut nilai-nilai sovereignty, independence,
territorial integrity, dan non-interference, juga harus menghadapi fakta adanya campur tangan negara
hegemon AS. Dari keempat contoh institusi keamanan regional Asia ini dapat kita lihat bahwa ada
hubungan antara regional security institution dan global hegemony.

Baik ASEAN, ARF, SCO, maupun KEDO memiliki cerita yang berbeda satu sama lain.
ASEAN dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1967 dan ditujukan untuk mencapai stabilitas politik dan
keamanan regional bagi negara-negara Asia Tenggara. ARF yang dibentuk tahun 1994 dan yang
penggerak utamanya adalah ASEAN merupakan satu-satunya forum di level pemerintahan yang diisi
oleh seluruh negara-negara kuat di kawasan Asia-Pasifik dan regional lain seperti AS, Cina, Jepang,
Rusia, dan Uni Eropa. SCO yang awalnya dikenal dengan sebagai “the Shanghai Five” dan didirikan
tanggal 26 April 1996 menekankan kerja sama antar-negara Asia Tengah dan tujuan utamanya ialah
memerangi terorisme, separatism, dan ekstrimisme. Sedangkan KEDO yang didirikan pada tanggal 15
Maret 1995 oleh AS, Korea Selatan, dan Jepang bertujuan untuk menyelesaikan isu penggunaan
energy dan senjata nuklir di Korea Utara. Akan tetapi, jika ditelaah lebih dalam lagi, ada beberapa
kesamaan di antara keempat intstitusi keaman regional ini. Pertama, baik ASEAN, ARF, maupun
SCO menganut prinsip dasar yang umumnya sama yakni sovereignty dan non-interference. Kedua,
perkembangan dari setiap institusi keamana regional ini sangat lambat dan terbatas. Hal ini mungkin
dilatarbelakangi oleh kurangnya pengalaman institusi, khususnya mengenai penyusunan struktur
dalam tubuh institusi. Ketiga, seluruh institusi telah melakukan upaya kerja sama keamanan secara
multilateral. ASEAN yang awalnya hanya sebagai wadah kerja sama bilateral bagi negara-negara
anggotanya telah melakukan kerja sama dalam bidang keamanan yang melibatkan peran serta semua
anggota dan berfokus pada collective diplomacy and exchange. ARF juga terus meningkatkan kerja
sama dalam bidang preventive diplomacy. Sedangkan SCO meningkatkan kerja sama keamanan
multilateral termasuk mengenai pelatihan anti-terorisme. Sementara KEDO terus meningkatkan kerja
sama untuk mencapai tujuan seperti apa yang telah disepakati dalam awal pembentukan organisasi itu
sendiri. Dari sekian kesamaan yang ada, yang paling jelas terlihat ialah dalam hal penggunaan dana
(financial resources) dan adanya peran aktif dan kontribusi setiap negara anggota dalam masing-
masing institusi untuk mewujudkan tujuan bersama.

Sementara itu—sekali lagi—ada perbedaan yang mencolok di antara institusi-institusi ini,


yakni adanya peran major power yang bermain dalam tubuh institusi seperti pada SCO dan KEDO.
Cina memainkan perannya sebagai pemimpin dalam SCO, sementara dalam tubuh KEDO, AS sangat
mendominasi di antara negara-negara lain. Keberadaan ‘major power’ ini kemudian kerap
menimbulkan permasalahan tersendiri dalam kerja sama regional tersebut. Suatu organisasi
keamanan regional terkadang tidak berjalan dengan baik dengan adanya peran major power. Memang,
perkembangan yang dialami suatu institusi dengan keberadaan negara seperti AS akan tercapai cukup
cepat. Namun, keadaan ini kemungkinan justru menjadi “boomerang” bagi institusi itu sendiri dan
tujuan utama pun gagal tercapai seperti yang terjadi dalam tubuh KEDO, AS justru mengejar
kepentingan individunya. Masalah lain juga kemungkinan muncul sebagai pemicu ketegangan dalam
tubuh institusi. SCO misalnnya, dua dari negara-negara anggotanya ialah ‘major power’, yakni Cina
dan Rusia. Inegritas dan perkembangan institusi memang tercapai, akan tetapi timbul persaingan
antara kedua negara, baik Rusia maupun Cina sama-sama memiliki kepentingan energy di Asia
Tengah.

Apabila dikaji lebih jauh lagi, saya lebih yakin kepada langkah yang diambil oleh ASEAN.
Memang, tidak ada peran negara besar di dalamnya, dan kredibilitas dan perkembangan organisasi di
kancah internasional menjadi taruhannya. Tanpa campur tangan ‘major power’, suatu organisasi tidak
akan mendapat nilai lebih di mata internasional dan perkembangannya pun biasa saja. Namun, fakta
yang terjadi adalah ASEAN sebagai organisasi tanpa ‘major power’ tumbuh besar dan dipandang di
kancah internasional. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa organisasi seperti ASEAN
akan memerlukan peran ‘major power’. Seperti yang terjadi sekarang ini, ASEAN semakin dekat
dengan AS terkait perkembangan Cina yang sangat pesat yang sekaligus disinyalir sebagai ancaman
bagi ASEAN1,2, terkait status Cina yang dipertimbangkan sebagai salah satu hegemoni dunia.

1
Alan Collins, The Security Dilemmas of Sutheast Asia, (London: MacMillan Press, 200), chapter 5
2
Vinod K. Aggarwal, Asia’s New Institutional Architecture: Evolving Structures for Managing Trade,
Financial, and Security Relations, (California: Spring, 2008), hal. 207-209

Anda mungkin juga menyukai