Anda di halaman 1dari 10

7 Langkah Menulis Fiksi

Written by Pemimpin Umum


Wednesday, 24 June 2009 04:28 -

Prolog

Good writing is purposeful; it says something and says it correctly.


Good writing has voice and energy.
Good writing is thoughtful and thought provoking.
Good writing communicates an important message clearly to intended audience.
Good writing expresses the writer self honestly and evokes a personal response in the reader.

(Christopher C. Burnham)

Free writing fiksi atau menulis bebas fiksi mensyaratkan pembebasan kreativitas dengan
menggali ke dalam diri kita sendiri (pengalaman, ide, nostalgia dll) hingga menghasilkan
mission statement di atas seperti yang dituliskan C. Burnham. Intinya, dengan menjadi diri kita
sendiri maka pintu kreativitas akan terbuka lebar sehingga terbentuk energi alamiah
kepenulisan yang mengantarkan kita pada ciri-ciri tulisan yang baik. Hukum besi semesta
berkata bahwa sesuatu yang lahir dari hati akan sampai ke hati dan sebuah ketulusan akan
melumerkan kekerasan hati.

Di bawah ini langkah-langkah awal untuk menghasilkan sebuah tulisan fiksi yang baik.

Langkah 1. Menetapkan Niat: Mengapa Kita Menulis?

“Lebih banyak pelaku bisnis yang gagal daripada seniman yang gagal.” (John Gardner dalam
On Becoming A Novelist)

Segala sesuatu diawali dengan niat. Apapun perbuatan kita tentu ada niat atau motivasi yang
melandasi. Termasuk ketika kita menulis. Inilah software dalam diri kita yang harus ditata
terlebih dahulu sebelum berkutat dengan segala detil teknis penulisan seperti ide, plot atau
ending. Untuk apakah kita menulis? Uang? Ideologi? Terapi penyembuhan diri (trauma
healing)? Dalam konteks trauma healing, kita dapat merujuk pada Paulo Coelho yang dalam
novel The Al Chemist menyarankan agar kita menuliskan segala kesedihan atau perasaan yang
mengganggu dalam selembar kertas dan melarungkannya ke sungai. Niscaya kesedihan atau
kekuatiran akan sirna.

Habiburrahman Syaerozy, contohnya. Dengan sebuah niatan memperbaiki akhlak bangsa


melalui tulisan, aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) cabang Kairo ini tergugah untuk
menghasilkan karya sastra yang menghibur dan mencerahkan. Alhasil, meluncurlah dari
guratan tangannya Ayat-Ayat Cinta—novel yang laris secara fenomenal dan diangkat ke layar
lebar—maupun Di Atas Sajadah Cinta, yang kemudian diangkat menjadi sebuah sinetron rating
atas di sebuah TV swasta. Termasuk beberapa buku bernada serupa. Yang paling anyar
adalah dwilogi Ketika Cinta Bertasbih yang diluncurkan pada Milad ke-10 FLP pada 2006 dan
langsung dua kali cetak ulang dalam 1 bulan!

Lalu, salahkah jika kita ingin menulis semata-mata karena uang? Kawan-kawan penulis—yang
banyak saya temui–yang bermotivasi menulis semata-mata karena materi pun umumnya
banyak yang mutung, tidak lagi menulis setelah berbagai penolakan. Jika tidak, mereka

1 / 10
7 Langkah Menulis Fiksi

Written by Pemimpin Umum


Wednesday, 24 June 2009 04:28 -

meracau merutuki nasib atau bahkan menyalahkan orang lain terutama penerbit dan redaksi
media. Mereka sibuk menuding kesana-kemari kecuali kepada dirinya sendiri. Mereka lupa
bahwa–seperti wejangan Eka Budianta, sang penyair seangkatan Rendra–menulis adalah
memberi.

Dalam logika bisnis yang terkadang turut mengikat aktivitas menulis, menjual—termasuk
‘menjual’ tulisan–adalah melayani dan memberi. Keikhlasan melayani atau memberi terhadap
kebutuhan konsumen justru akan menimbulkan market demand dalam bentuk repeat order
(order yang berulang). Kelimpahan materi adalah efek sampingnya. Inilah sisi lain yang kerap
diabaikan para penulis yang bermotivasi menulis semata-mata karena materi.

Jadi, menulislah tanpa beban, ujar Kuntowijoyo—salah satu sastrawan favorit saya—dan hanya
ada tiga cara untuk menjadi penulis, yaitu dengan menulis, menulis dan menulis. Menulislah
seikhlas meludah atau buang hajat. Seorang Habiburrahman Syaerozy juga tak menyangka jika
Ayat-Ayat Cinta—yang royaltinya untuk infaq pesantren–akan laris manis hingga dicetak ulang
berkali-kali dalam waktu singkat. JK Rowling yang hanya seorang guru miskin di Inggris pun tak
pernah bermimpi jika Harry Potter akan mendunia padahal semula ia hanya menuliskan
khayalan masa kecilnya. Dalam bahasa (alm) KH Abdullah Syafi’ie, seorang ulama kharismatik
Betawi era 70an,”Nanem padi rumput ikut; nanem rumput padi luput.” Tujuan yang lebih dari
“sekadar” materi akan menuntun kita pada tujuan sampingan seperti materi dan popularitas.

Kutipan perkataan John Gardner di atas pun sebenarnya tak terhenti di situ saja. Ada kalimat
pamungkas yang menjadi kuncinya, yakni, “Walaupun demikian, dalam sekolah bisnis,
optimismelah yang selalu berjaya.” Ya, optimismelah—selain motivasi–yang juga membedakan
ketangguhan seseorang, termasuk seorang penulis. Bukankah gagal itu biasa dan bangkit dari
kegagalan itu baru luar biasa?

Langkah 2: Beternak Ide

“Uang hanyalah sebuah ide.” (Robert T. Kiyosaki)

Jika uang hanyalah sebuah ide maka memperbanyak ide sebanyak-banyaknya sama saja
dengan mengembangbiakkan uang yang akan didapat. Dalam konteks industri kepenulisan
–yang aroma bisnisnya tak beda jauh dari industri real estate yang ditekuni Kiyosaki yang juga
penulis buku Rich Dad Poor Dad-–ide harus ditangkap bahkan harus diternakkan. Ibarat hewan
ternak, ia harus dirawat, dikembangbiakkan dan tak ayal dijual. Lihat saja fenomena novel
Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburrahman El-Shirazy atau Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang
menuai royalti milyaran rupiah dan menjejak dunia layar lebar. Inilah contoh nyata betapa ide
bagi seorang penulis tak ubahnya hewan ternak yang merupakan aset tak ternilai.

Jika ide adalah hewan liar maka ia harus ditangkap, dijinakkan, didomestikasi. Seperti halnya
orang-orang dulu mendomestikasi kuda atau unta untuk menjadi tunggangan yang bermanfaat
untuk keperluan manusia. Sarana penangkapnya bisa dengan banyak cara. Hemmingway
menangkap ide dengan jalan mengetik apa saja di mesin ketiknya jika mengalami kemampatan
ide. Gola Gong melakukan perjalanan keliling dunia untuk menjaring ide Balada Si Roy dan
Perjalanan di Asia. A.A Navis memilih nongkrong di toilet berjam-jam – hingga konon ia

2 / 10
7 Langkah Menulis Fiksi

Written by Pemimpin Umum


Wednesday, 24 June 2009 04:28 -

terserang wasir—demi mengejar sang ide.

Beberapa penulis lain ada yang menenggelamkan diri dalam tumpukan buku, ngopi di kafe
dengan laptop siaga di ujung jari atau sekedar bermain voli untuk menjinakkan makhluk
bernama ide ini. Intinya: ide harus ditangkap. Karena ide juga ibarat sambaran kilat. Jika tak
cekatan disergap, ia akan meluncur menghunjam bumi dan teredam, tak berdayaguna apa-apa.
Maka tangkaplah ide dengan keberanian Benjamin Franklin – sang penemu arde alias
penangkal petir –menangkap petir dengan layang-layang yang digantungi kunci besi pada
benangnya di tengah hujan deras yang ramai kilat. Sebuah keberanian bernyali dengan
keingintahuan yang besar dan semangat mencoba sesuatu yang baru.

Jurus Pertama: Kandangkan

Kandangkan ide dalam laptop, komputer, USB, disket, mesin ketik, notes, agenda atau diary
atau apapun fasilitas penyimpan data yang kita miliki. Meskipun hanya berupa satu kalimat
yang diperoleh dalam lintasan di benak saat menunggu kereta api yang telat, misalnya,”Kereta
yang ingkar janji”. Jangan remehkan kuantitasnya karena itu adalah embrio yang terlalu mahal
untuk diaborsi.Siapa mengira jika coretan ide JK Rowling di atas tisu bekas akan menjelma
menjadi bayi raksasa bernama Harry Potter yang bertahun-tahun menghipnotis dunia?

Jurus Kedua: Beri makan

Jika bakpao adalah makanan untuk badan, buku dan kontemplasi (zikir, tadabbur, meditasi,
yoga dll) adalah makanan untuk otak dan jiwa. Inilah asupan terbaik untuk hewan ternak
bernama ide. Semakin variatif dan bergizi jenis asupan semakin bongsor dan berbobot ide
tersebut.

“Every man’s work, whether it be literature or music or pictures or architecture or anything else,
is always a portrait of himself.”(Samuel Butler).Dalam konteks tersebut sebuah pepatah
berbahasa Inggris cukup relevan jadi panduan. “Ordinary people talk about people; mediocre
people talk about events and extraordinary people talk about ideas.” Orang-orang kelas bawah
membicarakan orang, orang –orang kelas pertengahan membicarakan peristiwa sementara
orang-orang yang berkaliber luarbiasa membicarakan ide atau gagasan. Jika dunia seorang
penulis hanya melulu sarat dengan bacaan ringan, gosip selebritas dan hal-hal remeh temeh
maka output dan kualitas tulisannya tak jauh dari apa yang dimamahnya tersebut.Ia hanya
menjadi penulis berkategori kelas bawah bukan yang sedang-sedang saja apalagi luar biasa.
Seperti kata orang bijak, jangan penuhi pikiranmu dengan hal-hal kecil karena akan terlalu
sedikit ruang untuk pikiran-pikiran besar.

Jurus Ketiga: Kembangbiakkan

Kawinkan ide baik dengan inseminasi atau kawin silang. Sapi Madura petarung karapan yang
tangguh adalah hasil percampuran benih sapi pilihan. Ide unggulan juga begitu, ia mewarisi
kualitas genetis masukan yang membentuknya. Dalam How To Be A Smart Writer, Afifah Afra –
penulis top FLP dengan sederet novel best seller salah satunya novel sejarah Javasche Orange
dan De Windst – mengenalkan dua cara mengembangbiakkan ide yakni – yang saya istilahkan

3 / 10
7 Langkah Menulis Fiksi

Written by Pemimpin Umum


Wednesday, 24 June 2009 04:28 -

inseminasi dan kawin silang. Inseminasi adalah memasukkan elemen baru terhadap sebuah ide
atau kisah lama. Misalnya, jika dalam dongeng Malin Kundang yang menjadi batu adalah Malin
Kundang, mungkin sangat menarik jika yang menjadi batu adalah ibunya karena dinilai lalai dan
bertanggung jawab terhadap perubahan akhlak si Malin.

Sementara kawin silang adalah memadukan dua unsur cerita yang berbeda. Ambil contoh kisah
Cinderella dan Putri Salju (Snow White). Cinderella yang berbahagia karena sepatunya pas
dengan ukuran sepatu kaca bisa saja kemudian tewas memakan apel beracun. Kemudian ia
hidup kembali setelah dicium sang pangeran. Atau jika ingin lebih komedik, Cinderella hidup
kembali setelah mencium bau sepatu kaca yang disodorkan tujuh kurcaci.

Jurus Keempat: Jual

Juallah ide dalam bentuk menuliskannya. “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya,” demikian pesan
Ali bin Abi Thalib, yang kerap diusung tokoh motivator menulis Hernowo dalam berbagai
bukunya. Jika tidak mampu menuliskannya, ide tersebut dapat dijual ke seorang teman yang
menuliskannya. Soal hitung-hitungan finansial itu bisa jadi kesepakatan. Dalam dunia sinetron
sudah lazim seorang penulis menjual ide dan soal eksekusi penggarapan diserahkan kepada
tim penulis skenario. Si penulis sendiri mungkin hanya sekedar mensupervisi atau menjadi
head writer. Itu sekedar contoh. Namun kita tentu layak dan amat berhak menerima
kehormatan untuk menuliskannya sendiri. Tentu jika kita berani memanen setelah susah-payah
menebar benih dan merawatnya.

Nah, nikmatilah hasil beternak ide. Namun pertanyaan pertama, sudahkah kita punya nyali
untuk beternak ide?

Langkah 3: Berbukalah Dengan Tiga Kata

Menulis adalah makanan jiwa. Ia merupakan bentuk ekspresi diri, yang menurut Abraham
Maslow, merupakan bentuk keparipurnaan psikologi seorang individu. Jika Anda ingin sekali
mencurahkan isi hati, mendamba sangat untuk menuangkan isi otak namun tangan kaku atau
— dalam istilah Taufik Ismail– lumpuh menulis, hmm, barangkali secara tak sadar Anda sedang
“berpuasa”. Otak Anda sedang rehat, menunggu waktu berbuka. Jiwa Anda menggelegak
namun tangan kelu beku di depan keyboard komputer atau pena terkulai loyo di atas kertas.
Jadi, marilah berbuka!

“Kak, gimana caranya?” seorang anggota baru FLP bertanya demikian.

Yang tidak bertanya atau malu bertanya, lebih banyak menerawang ke langit atau menekuri
bumi. Sebuah pemandangan umum yang saya temui dalam berbagai pelatihan menulis mulai
dari anak-anak buruh pelabuhan Tanjung Priok, siswa SMA di sebuah kawasan elit,
karyawan-karyawan sebuah departemen bahkan hingga anggota baru sebuah komunitas
kepenulisan (baca: Forum Lingkar Pena). Mereka lupa bahwa ide harus dikejar, bukan dinanti
seperti pasifnya menanti kereta Jabotabek yang kerap telat. Mereka abai bahwa seorang Sean
Connery– dalam cast-nya sebagai seorang penulis dalam film Finding Forrester — mendidik
keras tentornya agar “menuliskan apa yang terlintas, bukan memikirkan apa yang hendak

4 / 10
7 Langkah Menulis Fiksi

Written by Pemimpin Umum


Wednesday, 24 June 2009 04:28 -

ditulis”. Namun, jika konsep itu kelewat mewah, maka seperti berbuka puasa, awalilah dengan
yang ringan. Jika berbuka disunnahkan dengan kurma, maka berbukalah dari puasa menulis
dengan tiga kata.

“Caranya?” Mata-mata bingung itu menatapku tajam. Mungkin mereka kira saya bercanda.

Apapun bentuk tulisan Anda, persetankan apapun kata kritikus nantinya, “dobrak” kebekuan es
dalam benak dengan menuliskan “tiga kata”. Apapun kata yang terlintas di benak Anda.
Contoh: Apa yang Anda pikirkan saat membaca tulisan ini? Sebut saja: bingung, penasaran
dan tak tahu. Yup! Anda sukses mencicipi “kurma”. Apakah Anda biarkan kurma itu sekedar
menempel di bibir? Jangan puas hanya dengan merasakan teksturnya. Santap saja, Kawan!

Buatlah kalimat dari ketiga kata temuan tersebut. Tak peduli dari manapun kata itu Anda pungut
(apakah dari kelebatan rok mini cewek kantoran di depan Anda, dari headline sebuah koran
atau dari kelebatan iseng), tuliskan saja. Misalnya, terciptalah, “Aku bingung dan penasaran
untuk menulis apa yang aku tak tahu untuk menulisnya.” Itu satu contoh. Terus, dan teruslah
menulis. sengawur apapun. Hingga, singkat cerita, terciptalah sebuah paragraf pendek berikut:

“Aku bingung dan penasaran untuk menulis apa yang aku tak tahu untuk menulisnya. Tapi aku
tahu harus menulis apa. Karena aku penulis serba bisa. Biarpun judulnya “Kecanggihan
Teknologi IT” tapi aku tahu aku pasti bisa menulisnya. Apapun itu…”

Langkah 4: Menentukan Judul

Sahabat, buatlah judul yang membuat penasaran, eye-catching. Awali tulisan kita dengan
ledakan (bang), mengutip Ismail Marahimin dalam Menulis Secara Populer. Ada prinsip
kuno—dengan majas ironi—dalam jurnalisme: Good news is bad news, but bad news is good
news. Contoh klasiknya adalah berita yang luar biasa bukanlah anjing menggigit orang tapi
orang yang menggigit anjing. Barangkali terkesan ngawur. Namun dalam konteks menarik
perhatian pembaca, pendekatan tersebut bisa kita pakai. Misalnya dalam pemilihan judul.
Seperti manusia, penampilan luar adalah hal penting. Dalam konteks ini, maaf, kata mutiara
don’t judge the book by its cover menjadi kurang relevan.

Surat kabar nasional sejenis Poskota atau Rakyat Merdeka biasa memampang judul yang
provokatif seperti: “JANDA DIPERKOSA, RAIB 300 JUTA”. Meskipun kadang informasi tersebut
hanya dibahas sekilas. Tapi intinya tonjolkan kelebihan dan tutupi kekurangan dalam tulisan
kita. Ini sah-sah saja dalam dunia penulisan yang bisa dibilang sudah menjelma menjadi
sebuah industri, yang karib dengan pranata pemasaran (marketing) yang canggih.

Perlu diingat juga prinsip marketing yang kerap dikutip Zig Ziglar—salesman mobil terlaris
dalam sejarah–bahwa “orang membeli karena didorong emosi”. Coba pelajari emosi dasar apa
sih yang memancing naluri pembaca untuk membaca? Judul yang memancing naluri seksual
(itulah alasan UU Pornografi perlu disokong), SARA atau kebutuhan perut tentu lebih
mengundang perhatian ketimbang seputar pemikiran ilmiah atau berat (kecuali pembaca kita
adalah ilmuwan, lain soalnya).

5 / 10
7 Langkah Menulis Fiksi

Written by Pemimpin Umum


Wednesday, 24 June 2009 04:28 -

Sesuai Teori Hierarki Maslow bahwa kebutuhan akan hal-hal tersebut adalah basic needs yang
merupakan dasar piramida dalam survival hierarchy, sementara kebutuhan akan prestasi atau
ekspresi diri adalah bagian puncak piramida yang hanya akan dicapai bila perut sudah kenyang
atau kebutuhan lain akan keamanan terpenuhi. Lebih jauh judul juga perlu disesuaikan apakah
kita akan mengembangkannya menjadi bentuk tulisan non-fiksi atau fiksi. Dalam hal ini wajib
hukumnya pertimbangan yang matang dan amatan pasar yang cermat.
Langkah 5: Bermain Dialog dan Narasi

Di sisi lain, ada adagium penulisan don’t tell it but just show it. Jangan cuma diceritakan tapi
juga tunjukkan. Pelukisan kejadian atau tindakan dalam sebuah tulisan dapat memperlancar
sebuah tulisan untuk dicerna dan diserap saripatinya. Di sinilah dialog berperan. Karena dialog
pun dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan informasi. Josiph Novakovich dalam Berguru
kepada Sastrawan Dunia (Mizan, 2003) mengatakan: “Karena dialog mengungkapkan informasi
tentang perjuangan seseorang, pastikan Anda tidak memberi kami informasi yang sepele dan
tidak relevan. Hindari pendahuluan yang realistis; buatlah ringkasan pendahuluan yang enak
lalu langsung masuk ke dalam dialog….Jangan tunjukkan semua contohnya, sajikan yang
dramatis, saat diperlukan saja, dan sajikan yang lainnya dalam bentuk ringkasan.” (hal.
182-183).

Namun, terlalu banyak dialog, ujar Mohammad Diponegoro dalam Yuk Menulis Cerpen Yuk
(Shalahuddin Press, Yogyakarta, 1991), bisa bikin tulisan terlalu encer. Jadi memainkan
keduanya butuh nilai rasa, seperti memainkan gas atau persneling ketika mengendarai motor
atau mobil. Seperti masakan pula, coba minta keluarga atau sahabat kita untuk ‘mencicipi’
tulisan kita. Apakah sudah ganyeng atau bumbunya sudah pas? Sudahkah mencapai efek yang
kita inginkan?

Langkah 6: Meniupkan Ruh Pada Sebuah Tulisan

Sahabat, mari kita bicara soal dua karya sastra termasyhur di Indonesia saat ini. Yakni novel
Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi.

Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy konon dicetak ulang hingga lebih tiga
puluh kali sejak pertamakali terbit pada 2004. Di layar lebar, filmnya – meski banyak dinilai tak
sesuai dengan isi novelnya — yang digarap Hanung Bramantyo sukses memikat tiga juta orang
untuk datang menonton ke bioskop. Belum terhitung yang membeli DVD bajakannya.
Sementara Laskar Pelangi karya Andrea Hirata juga tak kalah masyhur. Selain best-seller
nasional, dielu-elukan sebagai The Indonesia’s Most Powerful Book di berbagai talkshow
termasuk di layar kaca, Laskar Pelangi juga akan difilmkan dengan arahan Riri Riza. Sebuah
catatan fenomenal mengingat kedua novel itu notabene karya perdana kedua penulis muda
tersebut.

Lebih mengagumkan lagi, Laskar Pelangi ditulis oleh Andrea Hirata yang belum pernah
membuat sepotong cerpenpun. Tak hanya itu, pemuda asli Belitong yang alumnus S-2 Perancis
ini pun melengkapinya dengan tiga novel lain yakni Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah
Karpov—yang secara keseluruhan merupakan Tetralogi Laskar Pelangi. Habiburrahman yang
santri Al Azhar kelahiran Semarang juga membawa gerbong Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2,

6 / 10
7 Langkah Menulis Fiksi

Written by Pemimpin Umum


Wednesday, 24 June 2009 04:28 -

Pudarnya Cinta Cleopatra, Di Bawah Mihrab Cinta dan beberapa karya best-seller lainnya yang
juga bernafaskan religi romantis.

Terlepas dari segala kontroversi yang ada, dengan arif, layak kita bertanya mengapa kedua
novel karya dua penulis usia 30-an tersebut mampu mengharubiru jagad sastra sekaligus
merambah ranah populer publik negeri ini?

Sekian banyak orang bersaksi bahwa Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi mengubah hidup
mereka lebih tenang, lebih baik. Seperti halnya karya-karya besar yang membawa perubahan
di dunia, sebut saja novel Uncle Tom’s Cabin buah karya Harriet Beecher Stowe (1852) yang
menginspirasi semangat perubahan terhadap perlakuan rasis kaum kulit putih terhadap kulit
hitam atau berwarna di Amerika Serikat, novel-novel tersebut mengandung ruh tulisan yang
kuat yang mampu menyentuh hati dan menggerakkan pembacanya. Sesuatu yang datang dari
hati niscaya sampai ke hati.

Ruh, jiwa atau soul sebuah tulisan adalah hasil internalisasi visi, emosi, dedikasi, pengalaman,
logika, wawasan, elan vital (semangat) kontemplasi dan keterampilan teknis seorang penulis.
Porsi keterampilan teknis di sini barangkali hanya sekian persen. Karena unsur-unsur lain yang
lebih condong mengetuk perasaan atau kalbu justru bisa jadi lebih dominan. Di samping juga ia
memenuhi syarat-syarat ketertarikan pembaca dengan sebuah tulisan: novelty (kebaruan,
misalnya tema yang baru dan berbeda dari mainstream), similarity (kemiripan dengan
keseharian hidup mayoritas pembaca) dan visionary (memiliki pandangan jauh ke depan).

Ruh sebuah tulisan adalah virus yang menular. Ia seperti energi –dalam hukum Kekekalan
Energi Newton—yang tak dapat musnah namun berubah bentuk. Energi dari sebuah tulisan
karena pancaran energi cita-cita atau semangat sang penulis yang terejawantahkan melalui
kata sampailah ke pembaca dalam bentuk inspirasi. Terciptalah keajaiban-keajaiban. Histeria
gadis-gadis berjilbab untuk berfoto bersama Kang Abik –panggilan populer Habiburrahman dan
berbagai testimoni tentang peningkatan iman para pembaca Muslim, atau tobat totalnya
seorang pecandu narkoba setelah membaca karya Andrea Hirata. Merekalah yang hati-hatinya
telah tersentuh, tercerahkan.

Hati nurani, demikian nama lengkap hati, menurut Nurcholish Madjid, berasal dari kata bahasa
Arab, “nur” yang artinya “cahaya”. Hati adalah tempat cahaya bersemayam, yang menerangi
kegelapan logika. Sementara ilmu adalah cahaya, yang sejatinya berjodoh di hati. Jika
keduanya bercumbu itulah perkawinan kimiawi yang serasi.

Maka punyailah visi ketika menulis, alirkan emosi dan semangat sejadi-jadinya, dan
berjibakulah ketika melahirkan sebuah tulisan. Seperti jihad seorang ibu saat melahirkan
anaknya. Karena kita adalah ibu dari ‘anak-anak’ tulisan kita. Bahkan kita adalah ‘tuhan’ atas
segala tulisan kita. Ingatlah, Tuhan tak pernah lelah mencipta semesta. Itulah energi Ilahiah
atau profetik yang semestinya jadi sumur inspirasi sejati agar kita punya stamina dan nafas
panjang dalam karir kepenulisan.

Karena apapun caranya, menulis tak beda dengan berolahraga. Ia butuh energi. Jika energi
pendorong lemah alhasil yang lahir hanyalah tulisan yang alakadarnya, loyo, dan tidak punya

7 / 10
7 Langkah Menulis Fiksi

Written by Pemimpin Umum


Wednesday, 24 June 2009 04:28 -

ruh atau soul. Jika ia manusia, tulisan semacam itu hanyalah mayat, yang tak bernyawa. Atau
bahkan bangkai. Percayalah, seperti kata Dale Carnegie, no one kick the dead dog. Tidak ada
yang peduli dengan bangkai. Sederet karya di atas dipuji sekaligus—ada yang–dicaci-maki
karena mereka hidup, bernyawa.

Langkah 7: Menjadi Epigon: Salahkah?

“Yang paling penting bagi setiap pengarang ialah jiwanya sendiri...”

(John Cowper Powys)

Yang namanya ekor letaknya selalu di belakang. Ia membuntuti sesuatu yang berada di
depannya. Dalam kepenulisan, orang yang meniru-niru gaya tulisan seorang penulis lazim
disebut epigon. Sebagaimana ekor yang takkan pernah mendahului kepala, seorang epigon
tidak akan pernah berhasil mengungguli penulis yang ditirunya. Lantas salahkah menjadi
epigon? Salahkah bila kita meniru gaya bertutur JK Rowling atau gaya kontemplatif Goenawan
Mohammad?

Prinsip belajar yang paling primitif adalah mengamati dan meniru. Bayi manusia belajar
berbicara dengan mengamati dan menirukan suara-suara di sekitarnya terlepas dari apapun
penafsiran manusia dewasa akan hasil peniruan sang bayi. Demikian juga dalam kepenulisan.
Prinsip copy the master adalah kelaziman—sebagian buku panduan menulis bahkan
menyebutnya “kewajiban”—dalam tahap awal pembelajaran menulis. Sebagian penulis besar
Indonesia yang dicatat Pamusuk Eneste dalam serial buku Proses Kreatif—dari A.A Navis
sampai Arswendo Atmowiloto—bahkan menerjemahkan prinsip tersebut dengan menyalin atau
mengetik ulang tulisan-tulisan penulis idola mereka untuk kemudian dibaca dan dibedah isi
perutnya.

Bagi seorang penulis, menjadi epigon adalah seperti menjadi seorang bayi. Sebagai “bayi”,
meniru atau mengimitasi adalah perlu. Tak perlu malu menuruti George Orwell, seorang penulis
Inggris yang bernama asli Eric Arthur Blair dan populer dengan novel 1984 dan Animal Farm,
yang menyarankan agar kata-kata dalam tulisan kita hendaknya pendek-pendek dan lugas agar
pembaca terang dengan maksudnya. Karena, lanjutnya, musuh besar bahasa yang jernih
adalah ketidaktulusan. Ketika ada jurang antara maksud sesungguhnya dan apa yang
diungkapkannya, secara naluriah orang berpaling pada kata-kata panjang dan ungkapan yang
lemah, bagaikan cumi-cumi menyemburkan tintanya. Intinya, kalimat-kalimat panjang
sebenarnya menandakan sang penulis tidak terbuka dalam menyampaikan maksudnya. Juga
tak perlu sungkan membeo wejangan Ernest Hemmingway—yang piawai dengan diksi yang
sederhana namun kuat dan dialog-dialog yang tajam seperti dalam beberapa karyanya yakni
For Whom The Bells Toll dan The Oldman dan The Sea—bahwa cara terbaik untuk mengetahui
apa sesungguhnya perasaan kita adalah dengan menuliskan perasaan tersebut.

Namun hidup manusia tak sekadar dan tak layak terhenti pada masa bayi atau kanak-kanak.
Kisah manusia yang selamanya kanak-kanak hanya ada dalam dongeng Peter Pan dengan peri
Tinker Bell-nya. “Bayi” butuh menjadi dewasa. Ia butuh menjadi diri sendiri. Para penulis atau
pengarang besar meraksasa karena mereka kreatif membebaskan diri dari meniru gaya para

8 / 10
7 Langkah Menulis Fiksi

Written by Pemimpin Umum


Wednesday, 24 June 2009 04:28 -

penulis terdahulu yang dikagumi. Karena, ujar Mochtar Lubis, imitasi bagaimanapun juga
baiknya akan tetap tinggal imitasi. Dan gaya pengarang tergantung sebagian besar dari watak
pengarang itu sendiri. Ia haruslah menumbuhkan gaya mengarang sendiri, yang sesuai dengan
watak, emosi dan dengan pertimbangan serta apresiasi bahasanya sendiri. Atau dalam bahasa
John Cowper Powys, “Yang penting bagi setiap pengarang ialah jiwanya sendiri; apa yang
dimilikinya dalam kepalanya, dalam alat-alat panca inderanya, dalam watak dan pribadinya,
dalam darah dan temperamennya.” Alhasil, tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah
yang merupakan salah satu roman dalam Tetralogi Pulau Buru, sesederhana apapun cerita
yang dibuat, ia mewakili pribadi individu atau bahkan bangsanya.

Jadi, salahkah menjadi epigon?

Maybe yes, maybe no.

Ya, menjadi epigon adalah salah apabila kita melakukan kesalahan sebagaimana salahnya bayi
yang menolak menjadi dewasa. Ia selamanya kerdil dalam bayang-bayang orang-orang besar.
Seperti kata Mochtar Lubis, lagi-lagi dalam Sastra dan Tekniknya, bahwa orang hanya menulis
apabila ada sesuatu dalam jiwanya yang mendesak-desak, memaksanya mengambil alat tulis
dan menulis. Jika orang mengarang karena ikut-ikutan atau sekadar meniru karena ingin
terkenal atau masyhur maka orang yang demikian pastilah dari semula tidak akan berhasil
menjadi pengarang. Sang epigon primitif ini tak akan pernah mengungguli para pengarang
aslinya.

Tidak, menjadi epigon tidak salah apabila kita memperlakukan masa peniruan yang entah
sekian tahun lamanya itu sekadar sebagai masa pendadaran, masa awal pembelajaran yang
tentu saja waktunya pun tidak mungkin selamanya. Anggap saja fase menjadi epigon itu
sekadar fase ketika kita mulai menaiki bahu-bahu raksasa agar kita dapat melihat dunia dengan
sudut pandang yang lebih luas. Hingga akhirnya tibalah saatnya tumbuh sayap-sayap
keberanian kita untuk melompat dan terbang lebih tinggi. Dan bebaslah kita, seperti bebasnya
ekor cecak yang masih sanggup bergerak-gerak sendiri ketika terputus dari tubuh inangnya.
Jika kita berani mandiri seperti—sebuah contoh yang sangat minimalis–ekor cecak maka kita
adalah para epigon kreatif yang berhak punya sayap-sayap keberanian sebagaimana
berhaknya bayi tumbuh gigi sebagai tanda berjalannya proses kedewasaan yang lumrah.

Sayap-sayap keberanian itu sendiri tak mungkin tumbuh tanpa–dalam formula untuk menjadi
pengarang atau penulis yang baik menurut William Faulkner—99% disiplin dan 99% kerja.
“Jangan sibuk berusaha menjadi lebih baik dari para pengarang yang lebih dahulu tapi cobalah
menjadi lebih baik dari dirimu sendiri,” pesan sang sastrawan peraih Nobel Sastra dari Perancis
ini.

Epilog

Sahabat, demikianlah ketujuh langkah awal free writing fiksi. Ini hanyalah rangkuman bebas
dan bukan sebuah dogma yang wajib diimani. Karena tak ada salah dan benar dalam teori
kreatif sastra. Namun tak ada salahnya belajar dari perasan ilmu pengetahuan, pengalaman
dan penelitian orang lain bukan? Karena kita semua,tak kenal penulis yunior atau senior,

9 / 10
7 Langkah Menulis Fiksi

Written by Pemimpin Umum


Wednesday, 24 June 2009 04:28 -

sejatinya adalah pembelajar. Maka bebaskan diri untuk terus belajar dan nikmati proses jatuh
bangun dalam kepenulisan dengan berbekalkan dua kata: Tetap Semangat!

Semoga bermanfaat.

Situs penulisan yang direkomendasikan

www.rumahdunia.net, situs resmi milik komunitas Rumah Dunia asuhan Gola Gong

www.penulislepas.com, situs kepenulisan milik komunitas Penulislepas.com

www.rayakultura.net, situs kepenulisan asuhan Naning Pranoto, seorang pengarang senior

Buku kepenulisan yang direkomendasikan

How To be A Smart Writer karya Afifah Afra

Menulis Itu Gampang  karya Arswendo Atmowiloto

Yuk, Menulis Cerpen Yuk karya Muhammad Diponegoro

Teknik Mengarang karya Mochtar Lubis

Sastra dan Tekniknya karya Mochtar Lubis

Proses Kreatif karya Pamusuk Erneste

Berguru Kepada Sastrawan Dunia karya Josiph Novakovich

Menulis Secara Populer karya Ismail Marahimin

10 / 10

Anda mungkin juga menyukai