Anda di halaman 1dari 6

Upacara Kematian

Kebanyakan aliran-aliran agama Yang. tidak mengakui adanya surga dan


neraka, walapun mereka percaya akan adanya pembalasan di alam akherat
itu. Di alam akherat itu ada tempat hukuman dan ada tempat kebahagiaan,
tempat hukuman itu bukan api pembakar tetapi semacam penjara yang
didalamnya itu ada pelbagai mecam siksaan, tempat kebahagiaan itu ialah
ketentraman hidup di akhirat, tidak terganggu serta cukup.

Antara dunia dan akherat itu, terletak sebuah lautan luas membentang, di
ujung lautan itu terletak sebuah pulau, bertanah emas, berpasir permata,
disitulah terletak istana raja akherat Yang Lao. Orang Cina menamakannya
Tiong Gwan Tie Kuan.

Penjaga akherat itu berupa manusia berkepala binatang bersenjatakan


tombak bergerigi, bersula banyak dsb. Jika ada seorang penjahat mati, lalu ia
sampai keakhirat, ia akan diadukan ruh-ruh orang baik-baik kepada penjaga
akherat atau ia dipukuli beramai-ramai oleh keluarga orang yang pernah
disakitinya di dunia. Penjaga akhiratpun mengusirnya dengan kejam atau
memasukkannya kedalam penjara siksaan. Sebagian ruh terpaksa lari kembali
ke dunia, ruh penjahat itu akan masuk kembali ke dalam badannya tetapi
jasad itu telah rusak, jadilah ia ruh gelandangan yang mencari makan di
tempat penyembelihan babi dengan menjilat-jilati darah yang tumpah atau ia
makan sari-sari makanan/sayuran yang terbuang. Ia sangat gembira jika ada
seseorang sudi memanggilnya dalam upacara cai lankung atau cai lantse, jika
ia senang bertempat dalam badan baru itu, ia enggan untuk pulang.

Manusia yang baik-baik akan senang hidup di akherat itu, karena ia dibekali
keluarganya di dunia, sehingga ia di akherat itu hidup berkecukupan, dapat
membeli tanah, mendirikan rumah kembali, mempunyai kendaraan pribadi,
atau jika seorang petani, ia dapat bertani kembali dan berhasil menjadi petani
kaya. Ada kalanya ia menerima pula kiriman keluarganya di dunia.

maka yang bernasib malang, seorang bujang atau gadis, jika ia mati, tatkala
sampai di akherat itu, penjaga gerbang akherat bertanya. "Manakah
pasanganmu?". Gadis dan bujang itu tak dapat menjawab, ia segera kembali
ke dunia, tetapi jasadnya sudah rusak, seekor belalang molek menyediakan
dirinya untuk ditumpangi ruh gadis atau bujang itu, belalang molekpun
terbang kerumah orang tua si gadis atau bujang itu, ia menjerit tetapi yang
mendengar hanya bunyi belalang itu.

Mati menurut ajaran Yang ialah jika ruh yang masih mempunyai selapis
bungkus lagi ialah badan halus, merasa tidak puas berbadan kasar yang rusak,
seperti karena: celaka, dibunuh, bunuh diri, penyakit, karena tua dsb, ruh
yang berbadan halus itipun keluarlah dan jasadpun membusuk.
Jasad manusia:
a. Jasad kasar, makanannyapun makanan kasar.
b. Jasad halus, makanannyapun halus.
c. Ruh
1
A. D. El Marzdedeq,
Parasit Aqidah, Selintas Perkembangan dan Sisa-sisa Agama Kultur, p.39-46
Tetapi jika hanya jasad halus yang keluar, orang itu hanya mimpi, jika jasad
halus itu keluar dari tubuh, berbentuk serupa shio orang itu, ada berupa
kambing, harimau, naga, dsb. Jika kebetulan seorang melihat binatang jadi-
jadian itu lalu dibunuhnyalah, orang itu akan mati.

Sehari kematian

Bantal bekas tidur si mati dilemparkan ke atas atap, pada orang kaya,
langsung mulutnya diberi mutiara agar pandai menjawab di akhirat. Mayat
dimandikan, air bekas memandikannya dijadikan air pencuci muka oleh
keluarga terdekat, penangkal bayangannya. Lepas dimandikan, mayat
didandani pakaian bekas kawin lengkap. Tirai-tirai di ruangan, pakaian
keluarga berganti putih-putih, digantungkannya lilin putih, hio atau
kemenyan di ruangan dalam. Putih adalah lambang Yin, karena kematian
kembali ke bumi.

Disajikannya makanan untuk ruhnya yang dianggap masih ada sekitar


ruangan
itu dan sajian untuk ruh penjemput, adakalanya disajikannya makanan untuk
tali ari-ari dan santan yang dianggap saudaranya itu. Santan dan taliari-ari
menjelma makhluk halus yang mirip dengan si mati. Maka dipanggilnya
wanita kelenteng untuk meratapinya dan mempermainkan api dengan tarian
pengusir hantu-hantu jahat, ketika itu juga seorang pendeta melemparkan
buah semangka di jalan.

Mayat yang didandani lengkap dengan perhiasan itu dimassukkann ke dalam


peti, pada dasar peti itu dilapisi daun teh dan obat pengawet mayat. Mayat
ditidurkan telantang berkasur kecil, berbantal putih dan berbantal guling
sepasang kiri-kanan, di belakang kakinya tersedia bekal hidup di akherat.

Wanita peratap meratapinya dengan tangis buatan, ditabuhnya tabuhan-


tabuhan logam diiringi tari dan nyanyian duka, keluarga dekat si mati
langsung meletakkan patung-patung kecil pada kaki mayat sebagai pengganti
kepala manusia. Pada suku Dayak, terdapat kebiasaan mengayau untuk
galang lungun, pada kebiasaan Cina purbapun sama juga.

Peti mati ditutup setelah semua keluarga menyaksikannya, diberinya perekat


dan dipaku dengan paku-paku besar.

Peti mati ditaruh di tengah ruangan dan dijaga siang malam, maka agar
penjaga tiada mengantuk, diadakan judi berseling, makan kuaci semalam
suntuk. Penjaga mayat itu harus duduk dekat kepala mayat, karena jika
datang kucing langit lalu melangkahi mayat, mayat itu akan bangkit kembali
dan iapun akan memeluk siapapun yang duduk dekat kakinya itu. (disebut
"mayat gila").

Dalam dongeng Cina: "Tersebutlah seorang penjaga mayat mengantuk di kaki


mayat iru, tiba-tiba masuklah kucing langit melalui lubang kunci jendela dan
langsung dilangkahinya mayat itu, mayatpun segera bangkit, ia mengerang,
2
A. D. El Marzdedeq,
Parasit Aqidah, Selintas Perkembangan dan Sisa-sisa Agama Kultur, p.39-46
diangkatnya tutup peti yang berat itu sekuat tenaganya, ia turun langsung
hendak memeluk si penjaga, tetepi iapun segera lari dan akhirnya ia
berlindung pada sebatang pohon, mayatpun mengejar dan memeluk pohon
itu, langusung ia mati kembali, sehingga untuk melepaskannya, pohon itu
digergagi."

Tiga hari kematian

Diadakan pula pesta kematian, ruh masih ada di sekitar peti dan makan sari
makanan yang tersedia. Pada suku Tsen purba di arah tenggara negeri Cina,
pada masa itu diadakan pembantaian kerbau dengan menebas leher kerbau
dari depan, ketika kerbau tengah dilarikan, ada kalanya sampai berpuluh
ekor. Kini masih berbekas pada suku Toraja.

Tujuh hari kematian

Peti tetap ada ditengah ruangan, sajian besar disediakan untuk mengantar
keberangkatan ruh meninjau tempat tinggal yang baru diakhit, hanya belum
diperkenankan menetap; ketika ia meninjau itu, lilin di rumah dipadamkan,
agar ia dapat melihatnya di akherat karena cahaya lilin, (sesei liu/rie liau) ada
dengan ditiup ada dengan dikipas semuanya berjampik.

Rumah-rumahan, perahu-perahuan, kereta kecil mulai di bakar lalu disusul


dengan pembakaran uang-uangan sebagai pengganti uasn asli, semula uang
asli itu sebagian besar dimasukkan kedalam peti dan sebagian dibakar, tetapi
setelah terjadi pembongkaran kuburan digantilah dengan uang-uangan.

Mengarak peti ke kuburan atau ke dalam gua penyimpanan mayat, ada pada
hari ketujuh, kesembilan atau kelimam belas.

Ketika peti itu diangkat, saudara muda dan anak-anaknya harus segera masuk
ke bawah peti itu. Mayat diarak dengan iringan keluarga mayat berpakaian
serba putih, bagi keluarga mayat, berpakaian serba putih itu selama seribu
hari, kini termasuk pita hitam pada lengan baju.

Peti ditaburi bunga-bunga atau bunga itu dirangkai indah disimpan di atas
tutup peti, keluarga dekat memayungi peti itu dengan payung upacara, di
belakang iring-iringan peti itu, alat-alat kesenian dan di muka peti berjalan
tukang melempar sebarkan kertas perintis jalan dan membakar mercon.
Ketika peti itu mulai ditanam, merconpun disulut, keluarga lempar melempar
tanah. Diatas kubur dibangunlah rumah kubur, ditanamnya juga anjuang
untuk penjaga ruh dari gangguan ruh jahat. Adakalanya peti itu tidak ditaman
tetapi disimpan dalam gua mayat.

Pada makam raja-raja dan kaum bangsawan ditemukan perhiasan-perhiasan


yang mahal terbuat dari emas, intan, mutiara dan batu jedi, keramik-keramik
istimewa, patung-patung dsb. Makam Kaisar Shih Huang Ti seluas enam
setengah kilo meter persegi (6,5 km2)dan dilengkapi enam ribu tentara
patung setinggi manusia.

3
A. D. El Marzdedeq,
Parasit Aqidah, Selintas Perkembangan dan Sisa-sisa Agama Kultur, p.39-46
Sembilan hari kematian

Biasanya jika peti mayat tidak dikubur pada hari ke sembilan, sembilan hari
kematian hanya berupa pesta kecil dengan manyajikan kue, buah-buahan, dan
ayam panggang.

Lima belas hari kematian

Ada pula sebagian keluarga yang merayakannya dengan menyalakan lima


batang hio dan menyajikan ayam pangang, buah-buahan dan air teh. Sebagian
keluarga, bersiap mengantarkan peti mayat ke kuburan atau ke tempat
penyimpanan mayat.

Empat puluh hari kematian

Menurut kepercayaan ajaran Yang: Ruh yang beraga halus itu pergi sementara
ke akhirat, jika ia orang baik-baik, penduduk akheratpun datang
menjemputnya, ditiupnya serunai, genderang, disajikannya buah-buahan dan
dipersilakannya melihat-lihat akan keadaan rumah, toko, kebun yang belum
selesai, setelah itu ruh kembali kebumi dan ia mendapat tantangan dan
godaan, tetapi karena ia diantar pengawal Yang akherat, segala godaan itu
dapat diatasinya. Di rumah ia makan-makan segala sari makanan dan
minuman yang disediakan untuknya, dalam pesta empat puluh hari
kamatian.

Konon pengawal akherat pulang kembali, ruh sehari semalam itu tinggal
dalam ruang tempat penyimpanan peti, keesikan harinya ruh pulang ke
akhirat, ia pun mendapat godaan dalam perjalanan pulang ke akherat di
lautan antara dunia dan akherat itu, ketika dilewatinya bulan, si Bangkok
yang nakal mengulurkan tali kailnya untuk mengail perahu yang
ditumpanginya, ruh memberi kue-kue pada tikus sehingga tikuspun
memutuskan tali kail itu, setiap tali kail diulurkannya.

Seratus hari kematian

Konon rus sudah mempunyai rumah sendiri dan sudah bekerja kembali
seperti pekerjaan yang dikerjakannya di dunia. Pada seratus hari kematiannya
itu, ruh kembali ke bumi untuk memberi kabar bahwa ia telah menjadi
penduduk akherat, keluarganya didunia menyambutnya dengan pesta saratus
hari kematian. Ruh berterima kasih pada keluarganya di dunia, karena telah
bersusah payah mendirikan rumah untuknya di akherat, telah mengirimkan
hamba sahaya, memberi modal dsb.

Sawaktu-waktu ruh kembali ke dunia untuk melihat-lihat keluarganya di


dunia, apakah mereka yang ditinggalkan itu berbuat baik atau berbuat jahat.
Pada masa itu kuku mayat menjelma menjadi kunang-kunang.

4
A. D. El Marzdedeq,
Parasit Aqidah, Selintas Perkembangan dan Sisa-sisa Agama Kultur, p.39-46
Setahun kematian

Memperingati setahun kematian dengan acara sembahyang, menyajikan


makanan dan minuman untuk ruh mendiang, setelah ruh mendiang dipanggil
untuk hadir, diundangnya pula tetangga untuk makan-minum. Ditulisnya
nama mendiang di papap arwah.

Tiga tahun kematian

Tiga tahun kematian atau seribu hari kematian, termasuk pesta besar,
diadakan di rumah dan kuburan. Keluarga sembahyang bersama-sama,
menyajikan makanan dan minuman yang mewah membakar kertas
sembahyang dan sebagian pakaian mendiang, lalu sebagian pula diberikan
pada orang lain/bukan keluarga.

Abu hio sejak upacara sembahyang sehari kematian sampai seribu harinya itu
dibiarkan pada tempat pembakaran hio dan dianggap abu pusaka. Diatas
meja sembahyang disimpan gambar mendiang. Setiap tahun, hari
kematiannya tetap diperingati.

Selepas upacara seribu hari kematian. Keluarga yang ditinggalkan melepas


pakaian berkabung "putih-putih" dan kembali berpakaian sehari-hari.

Han Sit Ciat dan Cing Beng

Di Cina, tiga hari menjelang Cing Beng, dirayakan upacara memperingati


menteri KAi Cu Cui dari negeri Cin yang mati terbakar bersama ibunya dalam
hutan.

Tersebutlah Kai Cu Cui seoran gmenteri yan gsetia kepada RAja Cin, tetapi
raja Cin seolah mengacuhkannya. Maka Kai Cu Cui bersembunyi bersama
ibunya dalam hutan, Raja Cin membakar hutan itu agar Kai Cu Cui keluar,
tetap ia rela terbakar bersama ibunya itu. Raja Cin menyesal, lalu
diadakannya upacara sembahyang bagi Kai Cu Cui dan ibunya itu. Selama tiga
hari, bulan kedua atau ketiga, api dapur dimatikan dan makan makanan
dingin.

Agar raja Cin selalu ingat kepada jasa-jasanya, Raja Cin membuat alas kaki
dari kayu yang diambilnya dari hutan itu dinamakan bakiak, lalu dipakainya
seharo-hari.

Cing Bing dirayakan pada bulan kedua atau ketiga (Sa Gwi), pada umumnya
bulan ketiga. Pesta diadakan di kuburan, Cing Bing merupakan pesta arwah,
dilakukannya sembahyang bersama, disajikannya makanan-minuman untuk
arwah orang tua dan nenek moyang. Di Cina, pada saat itu permualaan musim
semi.

5
A. D. El Marzdedeq,
Parasit Aqidah, Selintas Perkembangan dan Sisa-sisa Agama Kultur, p.39-46
Cio Ko - Sembahyang Rebutan

pada 15 Cit Gwi, diadakan sembahnyang untuk arwah dan peringatan


kelahiran Tiong Tie Kuan, raja akherat, di kelenteng, genderang pemanggil
arwah dibunyikan, disajikannya pelbagai jenis makanan dan minuman.
Konon arwah yang tersiksa di akhirat, selama setengah bulan dibebaskan dan
mereka turun ke bumi pada hari ke-15 Cit Gwi kembali ke tenpat siksaannya
itu. Lepas ucapara sembahyang, semua makanan dan minuman dibagikan
sehingga menjadi rebitan orang miskin.

Pada masa Hindu dan Buddha

Di Cina, Korea an Jepang, bagi pemeluk agama Buddha, upacara kematian


dan pesta arwah disesuaikan dengan agama Buddha.

Di Asia Tenggara, upacara kamatian disesuaikan dengan agama Hindu dan


Buddha, seribu hari kematian dibaurkan dalam upacara Syraddha, pelepas
ruh dari ikatan dunia.

Pada masa Islam

Setalah Islam berkembang ke Asia Tenggara dan sekitarnya, upacara


kematian dan pesta arwah tetap dilakuakan tetapi disadur diwarnai dengan
warna Islam, isi bacaannya digantikan tahlil, salawat dan surat-surat pendek
dan Qur'an, pahala bacaannya itu dihadiahkan kepada arwah, ditutup makan
minum sebagian dibekalkan untuk para Lebai.

Di Jawa, bulan Sya'ban dinamakan bulan Rewah (Arwah), pada lima belas
Rewah, diadakan sedekah arwah, menyajikan makan-minum bagi arwah,
konon pada bulan Rewah, arwah yang tersiksa dalam neraka, dilepaskan
selama lima belas hari dan mereka turun ke bumi, pada lima belas Rewah,
mereka kembali lagi ke neraka.

Sesunggunnya dalam Islam, Tidak ada upacara kematian 1-3-7-9-15-40-100-


1000 hari, tidak ada khaol, peringatan hari kematian, tidak ada sidkah arwah,
upacara ini sisa dari agama Yang.

6
A. D. El Marzdedeq,
Parasit Aqidah, Selintas Perkembangan dan Sisa-sisa Agama Kultur, p.39-46

Anda mungkin juga menyukai