Oleh: Karl Korinek (Ketua Mahkamah Konstitusi Austria)
Konstitusi dan Arti Pentingnya
Konstitusi merupakan pondasi dari ko-eksistensi masyarakat manusia
dalam sebuah negara demokratis. Konstitusi menetapkan aturan-aturan tentang pemilu dan bagaimana pengorganisasian sebuah negara; yaitu, konstitusi tidak hanya mengatur tentang tanggung jawab berbagai lembaga negara, pengangkatan dan penataan organisasinya, serta bagaimana komitmen lembaga-lembaga itu terhadap hukum, namun konstitusi juga mengatur bagaimana kerjasama dan mekanisme kontrol di antara lembaga-lembaga negara a quo. Inilah yang menjadi pondasi dari demokrasi di bawah prinsip rule of law.
Selain itu, konstitusi juga berisi aturan-aturan terpenting mengenai
kedudukan individu di dalam negara dan masyarakat. Konstitusi menciptakan hak bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam politik sekaligus menjamin kesetaraan dan hak-hak dasar warga negara.
Lembaga-lembaga negara harus bertindak sesuai dengan konstitusi dan
peraturan perundang-undangan. Keterikatan pada perundang-undangan ini memiliki arti penting yang khusus, karena hukum merupakan dasar sekaligus elemen sentral dari keseluruhan tindakan negara. Konstitusi juga membatasi ruang lingkup kebebasan/independensi legislator/pembuat undang-undang. Para legislator tersebut hanya boleh bertindak sejauh kewenangan yang diberikan oleh konstitusi, dan mereka juga harus bekerja dalam koridor yang ditentukan oleh aturan-aturan organisasnya dan hak-hak dasar yang diberikan kepadanya. Tanggungjawab utama Mahkamah Konstitusi (verfassungsgerichtshof) adalah untuk mengontrol atau mengawasi komitmen para legislator dan lembaga-lembaga negara lainnya terhadap konstitusi. Peran Mahkamah Konstitusi adalah untuk memberikan kekuatan yang efektif bagi konstisusi tersebut. Umumnya, masyarakat masih belum memahami bagaimana Mahkamah Konstitusi bekerja, apa saja yang menjadi kewenangan atau yurisdiksi Mahkamah Konstitusi dan bagaimana ia bertindak, menata organisasinya, serta siapa-siapa orang yang berada di balik putusan- putusan Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu, Saya menyambut gembira adanya gagasan untuk
menjelaskan secara transparan fungsi kontrol yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, yang dilakukan melalui booklet ini, sehingga dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang praktik constitutional review di Austria. Pemahaman tentang hal tersebut merupakan prasyarat bagi diterimanya putusan-putusan Mahkamah Konstitusi oleh masyarakat di Austria. Diterimanya keputusan-keputusan negara oleh masyarakat merupakan sebuah keharusan demi berfungsinya demokrasi di bawah prinsip rule of law.
Tanggungjawab pokok Mahkamah Konstitusi adalah untuk melindungi
minoritas-minoritas politik, kemerdekaan-kemerdekaan dasar dan HAM warga negara.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara tertinggi di Austria
yang berwenang melakukan uji konstitusionalitas terhadap undang- undang. Dalam hal ini, pakar-pakar diperbolehkan memberikan komentar mereka tentang apakah suatu peraturan perundang-undangan yang dianggap kontroversial itu bertentangan dengan hukum atau tidak, atau apakah suatu undang-undang yang diperselisihkan itu konstitusional atau tidak. Sekalipun demikian, hanya putusan Mahkamah Konstitusi lah yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Melalui putusan-putusannya, para hakim konstitusi mewujudkan kepastian hukum bagi para legislator baik di tingkat federal maupun negara bagian, bagi admnistrasi pemerintahan, dan bagi setiap individu warga negara. Inilah yang menjadi tanggungjawab inti Mahkamah Konstitusi. Dengan cara inilah warga negara Austria dapat meyakini fakta bahwa setiap peraturan perundang- undangan yang tidak konstitusional pasti akan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi juga merupakan salah satu lembaga politik tertinggi
di Austria. Kadangkala, hakim-hakim Mahkamah harus membuat keputusan-keputusan yang memiliki konsekuensi politik sangat luas. Misalnya, ketika pemerintah bermaksud untuk memasukkan suatu usulan/inisiatif ke dalam suatu undang-undang, partai-partai pendukung pemerintah di parlemen/mejelis nasional (Nationalrat) akan memberikan persetujuannya terhadap rancangan undang-undang tersebut, dan selanjutnya undang-undang itu pun mulai berlaku. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi dapat diminta untuk melakukan pengujian apakah undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Sebagai sebuah pengadilan, Mahkamah Konstitusi tidak dapat bertindak atas inisiatifnya sendiri, namun Mahkamah Konstitusi wajib membuat putusan jika memang diminta berdasarkan adanya suatu permohonan yang dapat dibenarkan oleh undang-undang. Dengan demikian, pihak- pihak yang menentang suatu undang-undang memiliki kesempatan yang luas untuk menggugat undang-undang yang dianggapnya inkonstitusional tersebut. Pengujian terhadap suatu undang-undang juga dimungkinkan apabila Mahkamah Konstitusi, pada saat memeriksa suatu perkara tertentu, ternyata menemukan keraguan terhadap validitas konstitusional undang-undang tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final. Amar putusan Mahkamah merupakan kalimat-kalimat yang bersifat final. Ia harus diterima dan dipatuhi. Namun, untuk memastikan bahwa isi putusan Mahkamah benar- benar dapat diterima, maka Mahkamah harus memberikan penalaran dan argumentasi yang transparan serta komprehensif sehingga Mahkamah sampai pada suatu putusan.
Hal-Hal Apa Saja Yang Diputus Mahkamah: Kewenangan Mahkamah
Kewenangan Mahkamah Konstitusi di atur dalam Konstitusi Federal. Pada
prinsipnya, Mahkamah Konstitusi tidak dapat bertindak atas inisiatifnya sendiri. Ia harus mendasarkan tindakannya pada adanya permohonan yang diajukan kepada Mahkamah. Sekalipun para hakim konstitusi berpendapat bahwa suatu undang-undang itu bermasalah dalam hal konstitusionalitasnya, namun mereka tidak dapat bertindak apa pun hingga ada seseorang atau institusi yang mengajukan permohonan sehingga memungkinkan Mahkamah untuk melakukan interevensi. Ketika suatu suatu permohonan (Antrag) atau komplain (Beschwerde) diajukan kepada Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah berkewajiban untuk memberikan putusannya, bahkan sekalipun isu yang diajukan sudah tidak lagi relevan karena undang-undang terkait telah direvisi/diubah.
Kewenangan-kewenangan utama Mahkamah Konstitusi terdiri dari:
Kewenangan Administratif Khusus
(Pasal 144 Konstitusi Federal)
Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menguji komplain
masyarakat terhadap keputusan-keputusan (Bescheide) yang dibuat oleh otoritas-otoritas administratif. Dalam melaksanakan kewenangannya ini, Mahkamah harus menguji apakah hak-hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh konstitusi telah dilanggar atau apakah penerapan keputusan- keputusan itu sendiri menyalahi hukum. Permohonan ini dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi hanya jika Pemohon telah melalui tahapan-tahapan banding (appeal) lainnya. Pada prinsipnya, Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan fungsi kontrolnya hanya bersifat retrospeksi (retrospect/ex post). Dalam kasus-kasus tertentu, Mahkamah dapat memberikan putusan “pembatalan sementara” (temporary suspension/aufshiebende Wirkung). Jika permohonan dikabulkan oleh Mahkamah, maka pemberlakuan keputusan yang diperselisihkan akan dihentikan sementara waktu hingga majelis hakim Mahkamah sampai pada putusan akhir. Putusan “pembatalan sementara” ini berpengaruh besar, misalnya, terhadap undang-undang keimigrasian.
Pengujian Norma (Normprufung)
Pasal 139 sampai dengan 140a Konstitusi Federal.
Pengujian norma ini merupakan inti dari seluruh pengujian konstitusional
yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang diberi kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan, pemberlakuan kembali (reenactment) suatu undang-undang, undang-undang itu sendiri, dan perjanjian-perjanjian internasional (treaties) yang dibuat oleh negara- negara bagian. Prosedur dari pengujian peraturan perundang-undangan ini antara lain adalah Mahkamah Konstitusi memberikan putusan tentang perundang-undangan federal maupun negara bagian. Kewenangan dalam Perkara Pemakzulan
Pasal 142 dan 143 Konstitusi Federal
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili perkara-perkara
kelalaian maupun pelanggaran hukum yang dilakukan oleh lembaga- lembaga tertinggi di negara Austria. Kasus-kasus dalam perkara pemakzulan ini misalnya adalah dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh presiden federal maupun oleh para menteri federal dan pejabat-pejabat pemerintah negara bagian.
Kewenangan dalam Perkara-Perkara yang Terkait Dengan Masalah
Finansial Terhadap Pemerintah Federal, Negara Bagian Maupun Suatu Komunitas Tertentu
Pasal 137 Konstitusi Federal
Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan terhadap perkara-perkara
gugatan yang terkait dengan masalah-masalah finansial terhadap pemerintah federal, negara-negara bagian, pemerintah daerah maupun asosiasi-asosiasi pemerintah daerah. Kewenangan ini misalnya mencakup kewenangan untuk menguji permohonan yang diajukan oleh lembaga- lembaga administrasi regional mengenai masalah kesetaraan anggaran (finanzausgleich).
Konflik Kewenangan
Pasal 138, 126a dan 148f Konstitusi Federal.
Dalam situasi sengketa, Mahkamah Konstitusi harus memberikan
klarifikasi apakah suatu permasalahan tertentu itu merupakan kewenangan pemerintah federal ataukah merupakan kewenangan dari salah satu negara bagian. Mahkamah juga berwenang untuk memutus masalah konflik yurisdiksi antar pengadilan atau antara pengadilan dengan otoritas administratif tertentu. Selain itu, Mahkamah juga berwenang untuk memutus sengketa-sengketa mengenai ruang lingkup hak uji yang dimiliki oleh kantor-kantor audit dan kantor ombudsman.
Kewenangan dalam Masalah Sengketa Pemilu
Pasal 141 Konstitusi Federal
Dalam sebuah negara demokrasi harus tersedia mekanisme untuk
melakukan pengujian terhadap legitimasi hasil pemilu. Oleh karena itulah, maka di Austria, keseluruhan pemilu yang dianggap penting, seperti pemilu, referendum, konsultatif referendum maupun inisiatif-inisiatif rakyat dapat diuji di Mahkamah Konstitusi. Setiap pelanggaran hukum (ilegalitas) dalam proses pemilu dapat berakibat pada pembatalan atau pengulangan keseluruhan atau sebagian dari proses pemilu. Namun, ini hanya dimungkinkan jika pelanggaran hukum di maksud berpengaruh terhadap hasil akhir dari pemilu. Mahkamah juga berwenang untuk memutus apakah seseorang harus kehilangan kursi yang telah diperolehnya dalam pemilu atau tidak.
Siapa Saja Yang Dapat Mengajukan Permohonan
Mengenai siapa saja yang dapat mengajukan permohonan ke Mahkamah
Konstitusi telah diatur secara eksplisit. Hal ini dapat dijelaskan dengan mengilustrasikan dua jenis persidangan penting di Mahkamah Konstitusi. Pada umumnya, setiap orang yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar oleh suatu keputusan/perundang-undangan atau oleh penerapan suatu norma yang dianggap bertentangan dengan hukum adalah dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi. Ketika seseorang hendak mengajukan permohonan, maka permohonan itu harus dalam bentuk tertulis dan disampaikan melalui pengacara resmi. Mahkamah Konstitusi, jika dianggap perlu dan dengan kriteria-kriteria tertentu, dapat memberikan bantuan hukum, misalnya dalam bentuk menyediakan pengacara secara gratis. Namun, agar suatu permohonan dapat diterima Mahkamah, pemohon juga harus memenuhi persyaratan- persyaratan lainnya, misalnya: telah terlebih dahulu melalui tahapan- tahapan peradilan banding yang ada (undang-undang yang dipersengketakan sudah tidak bisa lagi dimintakan banding ke otoritas administratif yang lebih tinggi).
Pengorganisasian dan Jumlah Hakim
“Badan” yang membuat keputusan di Mahkamah Konstitusi adalah “Pleno”
(plenary/plenum). Pleno ini terdiri dari ketua, wakil ketua dan dua belas orang hakim anggota. Selain itu, ada pula enam orang “hakim pengganti” (substitute justices), yang siap penggantikan hakim utama/reguler, misalnya dalam hal terjadi konflik kepentingan atau jika hakim-hakim utama/reguler tersebut sakit. Selain itu, dikenal pula istilah “Permanent Reporters” (standinger Referent), yang terdiri dari hakim-hakim yang secara khusus ditunjuk untuk menangani dan memersiapkan suatu perkara atau permohonan sedemikian rupa sehingga siap untuk didiskusikan dalam forum Pleno hingga perkara atau permohonan tersebut diputus. Untuk perkara-perkara yang secara yuridis dinilai lebih mudah dipecahkan, perkara tersebut akan ditangani oleh majelis yang lebih kecil yang disebut “small assembly” (kleine Besetzung).
Secara keseluruhan jumlah pegawai Mahkamah Konstitusi adalah 80
orang. Setiap hakim dibantu oleh dua atau tiga orang staf. Untuk menjamin keseragaman, tersedia staf-staf peneliti yang selalu saling berkoordinasi. Sekretaris Jenderal bertugas menjamin seluruh pekerjaan rutin Mahkamah berjalan dengan baik dan lancar. Biro Manajemen Operasional (Geschaftsstelle) bertugas mencatat/mendaftar seluruh perkara yang masuk dan mengirim salinan putusan Mahkamah. Biro Dokumentasi (Evidenzburo) merupakan pusat pengelolaaan dokumen komprehensif di Mahkamah Konstitusi. Keseluruhan materi/bahan yang dibutuhkan untuk membantu tugas para hakim disediakan di perpustakaan Mahkamah.
Jalan Menuju Ke Putusan
Ketika Mahkamah Konstitusi dilibatkan dalam suatu sengketa atau
perselisihan, berarti bahwa Mahkamah akan dilibatkan dalam penyelesaian sengketa atau perselisihan tersebut. Posisi Mahkamah dalam hal ini adalah sebagai “arbiter”, demikian pula para hakimnya.
Pertama-tama, setiap perkara yang masuk akan dicatat oleh Biro
Manajemen Operasional (Geschaftsstelle). Seringkali, permohonan dikirim oleh Pemohon melalui pos, atau kadangkala disampaikan secara personal oleh pengacara/kuasa hukum pemohon. Untuk alasan keamanan, seluruh dokumen yang masuk akan diperiksa terlebih dahulu sebelum dibuka oleh staf. Selanjutnya, perkara-perkara yang baru masuk tersebut dibubuhi stempel masuk dan didaftar oleh Biro Manajemen Operasional (Geschaftsstelle).
Setiap permohonan yang ditujukan pada para hakim konstitusi tersebut
selanjutnya dikirim ke meja Sekretaris Jenderal yang kemudian akan memasukkan data detail permohonan ke dalam sistem komputer internal Mahkamah. Siapa pemohonnya, apa saja pokok-pokok permohonannya, norma hukum yang dimohonkan untuk diuji, dan sebagainya.
Selanjutnya, Sekretaris Jenderal menyerahkan berkas-berkas
permohonan yang telah disiapkan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi sekaligus memberikan informasi tentang permohonan-permohonan itu. Sekretaris Jenderal juga memberikan masukan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi tentang siapa-siapa “Permanent Reporters” (Panel Hakim) yang akan dipercaya menangani suatu permohonan. Selanjutnya, tugas Ketua Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan nama-nama hakim yang akan menangani perkara/permohonan a quo. Ketua MK memiliki kebebasan dan diskresi penuh untuk menunjuk panel hakim ini. Biasanya, penunjukan dilakukan berdasarkan keahlian atau spesialisasi yang dimiliki para hakim.
Berikutnya, fokus beralih pada isi atau materi permohonan. “Permanent
Reporters” (Panel Hakim) pertama-tama akan memeriksa syarat-syarat formal permohonan, khususnya tentang apakah Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili dan memutus permohonan tersebut, dan apakah permohonan tersebut memenuhi syarat-syarat hukum atau tidak. Pemohon diberi kesempatan untuk memerbaiki permohonannya apabila permohonan yang diajukan dianggap mengandung inkonsistensi prosedural. Setelah itu, “Permanent Reporters” (Panel Hakim) akan memeriksa permohonan lebih lanjut sebelum dibawa ke majelis Pleno untuk didiskusikan. Mahkamah biasanya akan memberikan kesempatan pula kepada pihak Termohon untuk memberikan jawabannya atas permohonan yang diajukan oleh Pemohon.
Jika oleh hakim yang melakukan pemeriksaan pendahuluan ternyata
suatu permohonan dianggap telah siap untuk diputus, maka akan dipersiapkan draft pendapat hukum untuk diserahkan dan didiskusikan bersama dengan hakim-hakim lainnya, berikut semua lampiran yang diperlukan. Dalam pembuatan draft pendapat hukum ini hakim dibantu oleh penitera pengganti (clerk).
Pembahasan suatu permohonan dilakukan berdasarkan pendapat hukum
yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pembahasan ini berlangsung selama masa persidangan. Ke-14 hakim bermusyawarah sebanyak 4 kali dalam setahun. Musyawarah dapat lebih sering dilakukan untuk permohonan-permohonan yang dianggap mendesak/urgen. Musyawarah biasanya dilakukan untuk mendiskusikan draft putusan, memberikan pendapat atas draft yang telah dibuat dan untuk memberikan putusan. Untuk perkara-perkara yang dianggap lebih mudah dipecahkan biasanya ditangani oleh Majelis Kecil (small assembly), yang biasanya terdiri dari 4 orang hakim. Perkara-perkara lain biasanya ditangani oleh majelis hakim lengkap. Musyawarah yang dilakukan oleh 14 majelis hakim biasanya adalah sebagai berikut: para hakim membuat dan mempersiapkan draft putusan beserta alasan-alasan hukum yang mendukung rencana putusan yang diusulkan. Ketua Mahkamah Konstitusi kemudian membuka musyawarah untuk mendiskusikan permohonan yang diajukan Pemohon. Selanjutnya, dilakukan diskusi dan konsultasi tentang berbagai isu hukum yang ada. Lebih jauh lagi, dilakukan diskusi panjang untuk membahas hal- hal tertentu yang ada dalam draft putusan. Banyak hal yang harus diperhatikan di sini, misalnya adalah bahwa amar putusan dan pertimbangan hukumnya harus sesuai dengan putusan-putusan terdahullu serta karya-karya akademis penting yang relevan dengan materi permohonan. Pada akhir diskusi, para hakim memberikan suaranya atas draft putusan yang telah dibuat, dan terhadap usulan-usulan tersebut terbuka peluang untuk mengubah atau merevisi draft yang telah dibuat. Jika draft putusan yang telah dibuat ternyata tidak mendapat dukungan suara mayoritas maka harus dibuat draft putusan yang baru berdasarkan hasil diskusi atau musyawarah yang telah dilakukan. Hakim-hakim lain dapat turut serta mempersiapkan draft putusan yang baru ini. Putusan akhir dihasilkan hanya jika telah diperoleh persetujuan mayoritas atas draft putusan yang telah dibuat. Jika suatu perkara atau permohonan dianggap cukup rumit maka musyawarah dapat diperpanjang beberapa sesi. Apabila pemeriksaan pendahuluan yang telah dilakukan terhadap suatu permohonan dirasa tidak dapat menjawab keseluruhan isu hukum, atau apabila suatu permohonan dianggap memiliki signifikansi hukum dan politik yang khusus, maka Mahkamah Konstitusi dapat melaksanakan public hearing (dengar pendapat publik). Dalam dengar pendapat publik ini, para pihak harus menjawab pertanyaan-pertanyaan lisan yang diajukan oleh Majelis Hakim. Dengar pendapat ini dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi dan dihadiri oleh seluruh majelis hakim. Selama pelaksanaan dengar pendapat ini, hakim-hakim mengenakan toga. Toga dan topinya ini lazimnya hanya digunakan apabila hakim hendak mengucapkan putusan.
Setelah draft putusan diterima/disetujui oleh Pleno, maka perkara
permohonan a quo ditutup. Hakim panel yang telah mendapatkan suara mayoritas kemudian menyusun versi akhir dari draft putusan (Ausfertigungsentwurf) yang telah memasukkan berbagai rumusan yang telah disetujui dalam sidang pleno.
Ketua Mahkamah Konstitusi selanjutnya memeriksa dan mempelajari
secara seksama versi akhir dari draft putusan yang telah dibuat. Jika diperlukan, Ketua masih dapat meminta klarifikasi tentang beberapa hal, dengan persetujuan hakim Panel. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu dan jika dianggap perlu, Ketua dapat melakukan konsultasi lagi dengan hakim Panel. Setelah mendapatkan tandatangan Ketua, yang menyatakan bahwa Ketua menyetujui draft akhir putusan, selanjutnya masih harus dibuat bentuk akhir dari putusan tersebut. Disini, panitera pengganti membaca dan memeriksa kembali naskah putusan sebagai bentuk “quality control” terhadap putusan. Sesudah itu, barulah draft putusan dicetak dan dikirim kepada para pihak melalui Biro Manajemen Operasional Mahkamah Konstitusi. Pemberitahuan juga disampaikan kepada media massa, terutama untuk perkara-perkara yang dianggap sangat penting dan relevan bagi warga negara. Kurang lebih sembilan bulan sejak pemohon yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan memasukkan permohonannya kepada Mahkamah Konstitusi, ia akan menerima putusan atas permohonan yang diajukannya itu.
Hakim-Hakim Mahkamah Konstitusi
Para hakim Mahkamah Konstitusi ditunjuk oleh presiden pemerintah
federal berdasarkan usulan-usulan yang disampaikan oleh pemerintah federal, Dewan Nasional/Parlemen atau Majelis Federal.
Sekalipun penunjukan hakim konstitusi ini merupakan suatu keputusan
politis, namun para hakim konstitusi sepenuhnya independen dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dan tidak terikat pada garis politik mana pun. 14 hakim Mahkamah Konstitusi (termasuk enam orang hakim pengganti) harus memenuhi syarat untuk menduduki jabatannya, misalnya dilihat dari kajian hukum si calon hakim ataupun pengalaman profesional yang relevan dan luas yang dimilikinya. Para calon hakim ini dapat berasal dari berbagai profesi (misalnya, hakim, guru besar, pegawai negeri maupun pengacara). Mereka juga boleh berasal dari berbagai negara bagian dan latar belakang sosial-politik. Hal ini adalah untuk menjamin komposisi Mahkamah yang pluralistik. Pegawai negeri yang masih aktif terlebih dahulu harus mengundurkan diri dari jabatannya dan tidak lagi menerima pendapatan apa pun yang terkait dengan jabatannya. Sedangkan, yang berasal dari profesi lain, seperti hakim, pengacara atau guru besar diperbolehkan tetap melanjutkan profesinya.
Para hakim konstitusi tetap menduduki jabatannya hingga mereka berusia
70 tahun dan tidak dapat diberhentikan dari jabatannya kecuali berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi sendiri. (****)