Anda di halaman 1dari 10

ASPEK FORENSIK ASFIKSIA1

Dirwan Suryo Soularto2

 TIU :
– Memahami berbagai aspek forensik asfiksia dan pemeriksaan umum maupun
khusus korban asfiksia
 TIK :
– Menyebutkan pengertian asfiksia
– Menyebutkan macam sebab asfiksia
– Menjelaskan gejala asfiksia
– Menjelaskan tanda-tanda asfiksia pada pemeriksan mayat
– Menjelaskan sebab, mekanisme dan cara kematian pada kasus asfiksia
– Menjelaskan pemeriksaan khusus korban asfiksia

PENDAHULUAN
Asfiksia merupakan istilah yang sering digunakan untuk menyatakan berhentinya
respirasi yang efektif (cessation of effective respiration) atau ketiadaan kembang kempis
(absence of pulsation). Asfiksia adalah kumpulan dari pelbagai keadaan dimana terjadi gangguan
dalam pertukaran udara pernafasan yang normal, mengakibatkan oskigen darah berkurang
(hipoksia) disertai peningkatan kadar karbondioksida (hiperkapnea).
Hipoksia sendiri adalah suatu keadaan di mana tubuh sangat kekurangan oksigen
sehingga sel gagal melakukan metabolisme secara efektif. Dahulu keadaan ini disebut anoksia,
yang ternyata setelah dipelajari pemakaian istilah anoksia ini tidak tepat. Berdasarkan
penyebabnya hipoksia dibagi menjadi 4 kelompok, yakni :
1. Hipoksia hipoksik (dahulu = anoksia anoksik) :
Adalah keadaan hipoksia yang disebabkan karena kurangnya oksigen yang masuk paru-paru
sehingga oksigen tidak dapat mencapai darah dan gagal untuk masuk dalam sirkulasi darah.
Kegagalan ini bisa disebabkan adanya sumbatan / obstruksi di saluran pernapasan, baik oleh
sebab alamiah (misalnya penyakit yang disertai dengan penyumbatan saluran pernafasan
seperti laringitis difteri, status asmatikus, karsinoma bronchonenik, dan sebagainya) atau oleh
trauma/kekerasan yang bersifat mekanik, seperti tercekik, penggantungan, tenggelam dan
sebagainya.
2. Hipoksia anemik (anoksia anemik)
Adalah keadaan hipoksia yang disebabkan karena darah (hemoglobin) tidak dapat mengikat
atau membawa oksigen yang cukup untuk metabolisme seluler, seperti pada keracunan
karbon monoksida, karena afinitas CO terhadap hemoglobin jauh lebih tinggi dibandingkan
afinitas oksigen dengan hemaoglobin (Ingat teori pertukaran / difusi O2 dan CO2 serta kurva
disosiasi)
3. Hipoksia stagnan (anoksia stagnan)
Adalah keadaan hipoksia yang disebabkan karena darah (hemoglobin) tidak mampu
membawa oksigen ke jaringan oleh karena kegagalan sirkulasi, seperti pada heart failure
atau embolisme, baik emboli udara vena maupun emboli lemak.
4. Hipoksia histotokik (anoksia histotoksik)
Keadaan hipoksia yang disebabkan karena jaringan yang tidak mampu menyerap oksigen,
salah satu contohnya pada keracunan sianida. Sinida dalam tubuh akan menginaktifkan
beberapa enzim oksidatif seluruh jaringan secara radikal, terutama sitokrom oksidase dengan
mengikat bagian ferric heme group dari oksigen yang dibawa darah. Dengan demikian,
proses oksidasi-reduksi dalam sel tidak dapat berlangsung dan oksihemoglobin tidak dapat
1
Makalah kuliah dalam Blok 16.Kardiovaskuler FK UMY
2
Bagian Forensik dan Medikolegal FK UMY.

1
berdisosiasi melepaskan oksigen ke sel jaringan sehingga timbul hipoksia jaringan. Hal ini
merupakan keadaaan paradoksal, karena korban meninggal keracunan sianida mengalami
hipoksia meskipun dalam darahnya kaya akan oksigen.

Ketiga jenis hipoksia yang terakhir (yakni hipoksia anemik, stagnan dan histotoksik)
disebabkan penyakit atau keracunan, sedangkan hipoksia yang pertama (yakni hipoksia hipoksik)
disebabkan kurangnya oksigen atau obstruksi pada jalan nafas baik karena penyakit maupun
sebab kekerasan (yang bersifat mekanik). Asfiksia mekanik (mechanical asphixia) adalah jenis
yang paling sering dijumpai dalam kasus tindak pidana yang menyangkut nyawa manusia.
Dalam kedokteran forensik istilah asfiksia, sering disebut dengan mati lemas.

JENIS ASFIKSIA MEKANIK


Terdapat beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia mekanik,
yakni :
1. Penutupan saluran pernafasan bagian atas :
a. Suffocation
Peristiwa suffokasi dapat terjadi jika oksigen yang ada di udara lokal kurang memadai,
seperti misalnya di dalam satu ruang kecil tanpa ventilasi cukup berdesak-desakan
dengan banyak orang, pertambangan yang mengalami keruntuhan, ataupun terjebak di
dalam ruang yang tertutup rapat. Kematian dalat terjadi dalam beberapa jam, tergantung
dari luasnya ruangan serta kebutuhan oksigen bagi orang yang berada di dalamnya. Sebab
kematian pada peristiwa sufokasi, biasanya merupakan kombinasi dari hipoksia,
keracunan CO2, hawa panas dan kemungkinan juga cedera yang terjadi, misalnya pada
saat peristiwa kebakaran gedung.
b. Smothering
Smothering (pembekapan) adalah bentuk safiksia yang disebabkan oleh penutupan
lubang hidung dan mulut. Penutupan dpat dilakukan dengan mengguankan tangan atau
suatu benda yang lunak, misalnya bantal atau selimut yang dilipat.
Peristiwa pembekapan dapat terjadi karena pembunuhan, kecelakaan atau bunuh diri.
Kecelakaan dapat terjadi ketika anak-anak bermain dengan memasukkan kepala ke dalam
kantong plastik dan mengikatnya di leher, meskipun cara ini juga dapat digunakan oleh
orang dewasa untuk melakan pembunuhan atau bunuh diri.
c. Gangging & choking
Keduanya merupakan jenis asfiksia yang disebabkan blokade jalan nafas oleh benda
asing yang datangnya dari luar ataupun dari dalam tubuh, misalnya seperti inhalasi
mutahan (aspirasi), tersedak makanan, tumor, jatuhnya lidah ke belakang ketika dalam
keadaan tidak sadar, bekuan darah atau lepasnya gigi palsu. Gejalanya sangat khas, yakni
dimulai dengan batuk-batuk yang terjadi secara tiba-tiba, kemudian disusul sianosis dan
akhirnya meninggal.
Peristiwa ini dapat karena bunuh diri (meskipun sulit untuk memasukkan benda asing ke
dalam mulutnya sendiri, karena akan ada reflek batuk atau muntah), pembunuhan
(umumnya korban adalah bayi, orang dengan fisik lemah atau tak berdaya) dan
kecelakaan (misalnya tersedak makanan hingga menyumbat saluran nafas).
Mekanisme kematian yang mungkin terjadi adalah asfiksia atau refleks vagal akibat
rangsangan pada reseptor nervus vagus di arkus faring yang menimbulkan inhibisi kerja
jantung dengan akibat cardiac arrest dan kematian.
Pada gangging, sumbatan terdapat dalam orofaring, sedangkan pada choking sumbatan
terdapat lebih dalam, yakni pada laringofaring.

2. Penekanan dinding saluran pernafasan

2
a. Stranggulation
Penjeratan, adalah penekanan benda asing yang permukaannya relatif sempit dan
panjang, dapat berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen, dan sebagainya, melingkari atau
mengikat leher yang makin lama makin kuat di mana kekauatan jeratan berasal dari
tarikan keua ujungnya, sehingga secara berturutan pembuluh darah balik, arteri
superfisial dan saluran nafas tertutup. Biasanya arteri vertebralis tetap paten, hal ini
disebabkan karena kekuatan atau beban yang menekan pada penjeratan biasanya tidak
besar. Mekanisme matinya bisa karena tertutupnya jalan nafas hingga terjadi asfikisa,
atau tertutupnya vena hingga anoksia otak, atau refleks vagal atau karena tertutupnya
arteri karotis sehingga otak kekurangan darah.
Penjeratan biasanya merupakan peristiwa pembunuhan, meskipun dapat karena bunuh
diri maupun kecelakaan (misalnya selendang yang dililitkan di leher tertarik roda saat
mengendari motor).
b. Manual strangulation/throttling
Pencekikkan adalah penekanan leher dengan tangan yang menyebabkan dinding saluran
nafas bagian atas tertekan dan terjadi penyempitan saluran nafas, sehingga udara
pernafasan tidak dapat lewat. Mekanisme matinya adalah karena asfiksia ataupun refleks
vagal yang terjadi akibat rangsang pada reseptor nervus vagus pada corpus caroticus di
percabangan arteri karotis interna dan eksterna.
Cekikkan merupakan jenis strangulasi yang hampir selalu disebabkan oleh pembunuhan.
Dapat disebabkan kecelakaan, misal pada saat latihan bela diri atau pembuatan film,
meskipun sangat jarang dan tidak mungkin digunakan untuk bunuh diri, sebab cekikkan
akan lepas begitu orang yang melakukan bunuh diri itu muali kehilangan kesadaran.
c. Hanging
Penggantungan / peristiwa gantung adalah peristiwa di mana seluruh atau sebagian dari
berat tubuh seseorang ditahan di bagian lehernya oleh sesuatu benda dengan permukaan
yang relatif sempit dan panjang (biasanya tali) sehingga daerah tersebut mengalami
tekanan. Kasus ini hampir sama dengan penjeratan, bedanya adalah asal tenaga yang
dibutuhkan untuk memperkecil jeratan. Pada penjeratan, tenaga datang dari luar,
sedangkan pada penggantungan, tenaga bersal dari berat badan korban sendiri, meskipun
tidak perlu seluruh berat badan digunakan.
Pada penggantungan tidak harus seluruh tubuh berada di atas lantai, sebab dengan
tekanan berkekuatan 10 pon pada leher sudah cukup menghentikan aliran darah di daerah
itu. Sehingga tindakan gantung diri dapat saja dilakukan dengan sebagian tubuh tetap
berada/menempel lantai.
Peristiwa penggantungan tidak identik dengan bunuh diri, karena bisa saja karena
pembunuhan maupun kecelakaan.
Mekanisme kematian pada peristiwa penggantungan bisa karena asfiksia, gangguan
sirkulasi darah ke otak (akibat terhambatnya aliran arteri-arteri leher), refleks vagal
ataupun karena kerusakan medulla spinalis akibat dislokasi/fraktur vertebra cervicalisd
(bisa pada sendi atlantoaxial).
3. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)
Terjadi akibat penekanan dari luar pada dinding dada yang menyebabkan dada terfiksasi,
kadang hingga perut, hingga menimbulkan gangguan gerak pernafasan, misalnya saat dada
atau seluruh badan tertimbun pasir, tanah, runtuhan tembok, tergencet saat saling berdesakan,
ataupun tergencet stir mobil. Akibatnya gerakan pernafasan tidak mungkin terjadi sehingga
tubuh mengalami asfiksia. Istilah lain untuk asfiksia jenis ini adalah crush asphyxia.
4. Saluran pernafasan terisi air (tenggelam/drowning)
Kematian karena tenggelam biasanya didefinisikan sebagai kematian akibat mati lemas
disebabkan masuknya cairan ke dalam saluran pernafasan. Istilah tenggelam sebenarnya
harus pula mencakup proses yang terjadi akibat terbenamnya korban dalam air yang
menyebabkan kehilangan kesadaran dan mengancam jiwa, meskipun pada peristiwa

3
tenggelam tidak seluruh tubuh harus masuk dalam air. Asalkan lubang hidung dan mulut
berada di bawah permukaan air, maka hal itu sudah cukup memenuhi kriteria peristiwa
tenggelam. Berdasarkan pengertian tersebut, maka peristiwa tenggelam tidak hanya terjadi di
laut atau sungai tetapi juga dapat terjadi di dalam watafel atau ember berisi air.

GEJALA DAN PATOFISIOLOGI ASFIKSIA


Pada orang yang mengalami asfiksia, akan timbul gejala yang dapat dibedakan dalam
empat stadium, yakni :
1. Dispnue
 Penurunan kadar oksigen sel darah dan penimbunan CO 2 dalam plasma akan merangsang
pusat pernafasan di medulla oblongata, sehingga amplitudo pernafasan dan frekuensi
pernafasan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi dan mulai tampak tanda
sianosis, terutama paada muka dan tangan..
 Durasi 4 menit.
2. Konvulsi
 Akibat kadar CO2 yang naik, maka timbul rangsang terhadap susunan saraf pusat
sehingga terjadi konvulsi, semula klonik, tetapi kemudian menjadi kejang tonik dan
akhirnya timbul kejang epistotonik (seperti kejang pada tetanus). Pupil dilatasi,
bradikardi dan tekanan darah menurun oleh karena paralise pada pusat syaraf yang
letaknya lebih tinggi.
 Durasi 2 menit,
3. Apnue
 Pusat pernafasan mengalami depresi yang berlebihan, dengan gejala nafas sangat lemah
atau berhenti, kesadaran menurun, dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran
feses, urin dan sperma
 Durasi 1 menit.
4. Stadium akhir
 Paralise total pusat pernafasan, jantung masih berdenyut beberapa saat postapneu.
 Pernafasan berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernafasan kecil pada leher.

Massa dari saat asfiksia timbul hingga terjadi kematian sangat bervariasi, tergantung dari
tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-
tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.

4
Darah mjd encer fibrinolisis Asfiksia Relaksasi Urin, feces, cairan
sfingter sperma keluar

Tak sadar Kerusakan


Dilatasi
kapiler Tekanan oksigen & dinding kapiler &
darah turun lapisan
di antara sel endotel
Tenaga otot
berkurang
Stasis
kapiler sianosis Permeabilitas kapiler
meningkat

Bendungan Darah berwarna


kapiler ungu
Tardie Spot &
edema
Lebam mayat
Kongesti Tekkanan intrakapiler ungu
visceral meningkat

Ruptur pembuluh kapiler


Patofisiologi Asfiksia

Asfikisa

Oksigenasi di paru
berkurang tekanan oksigen menurun

Aliran darah arteri


Dilatasi kapiler
Pulmoner berkurang

Aliran balik darah vena


Ke jantung berkurang Stasis kapiler

Stasis darah pada


Pelebaran kapiler
organ tubuh

TANDA ASFIKSIA Lingkaran Setan pada Asfiksia


5
Pada jenazah yang meninggal akibat asfiksia akan dapat dijumpai tanda-tanda umum
sebagai berikut :
1. Sianosis
Kurangnya oksigen menyebabkan darah lebih encer dan lebih gelap. Warna kulit dan mukosa
terlihat lebih gelap. Tanda ini juga terdapat umum pada banyak kematian.
Warna lebam mayat merah kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam lebih
luas akibat kadar CO2 yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar
membeku dan mudah mengalir.
Pada kasus keracunan sianida dan CO, lebam jenazah berwarna merah terang meskipun
tidak selalu demikian, sebab masing-masing mempunyai kadar oskihemoglobin dan CO-Hb
yang tinggi.

Ptechiae

Sianosis

2. Kongesti vena
Kongesti yang terjadi di paru-paru pada kematian karena asfiksia bukan merupakan tanda
yang khas. Kongesti yang khas asfiksia bila kongesti sistemik pada kulit dan organ selain
paru-paru, termasuk dilatasi jantung kanan. Sebagai akibat dari kongesti vena, akan terlihat
adanya bintik-bintik perdarahan (petechial haemorrages) atau disebut tardieu’s spot. Bintik
perdarahan terjadi karena timbulnya peningkatan permeabilitas kapiler dan juga karena
rusak/pecahnya dinding endotel kapiler akibat hipoksia. Bintik perdarahan ini lebih mudah
terjadi pada jaringan longgar, seperti misalnya jaringan bawah kelopak mata, atau organ
dengan membran trasnparan (pleura, perikardium). Pada asfiksia hebat, bintik perdarahan
dapat terlihat pada faring dan laring.
3. Edema
Disebkan karena kerusakan pada pembuluh kapiler sehingga permeabilitas meningkat,
hingga menyebabkan edema terutama pada paru-paru.

Adapun tanda-tanda lain yang lebih spesifik pada berbagai asfiksia mekanik dapat
dikaitkan dengan penyebab atau peristiwa atau cara kematiannya, yakni antara lain:
 Pembekapan :
 Bila pembekapan dengan menggunakan benda lunak, maka pada pemeriksaan luar
mungkin tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan.
 Kekerasan yang mungkin terdapat adalah luka lecet jenis tekan atau geser, goresan kuku
dan luka memar pada ujung hidung, bibir, pipi dan dagu yang mungkin terjadi akibat
korban melawan.
 Luka memar atau lecet pada bagian/permukaan dalam bibir, adalah akibat bibir yang
terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah.

 Gagging dan Chocking :


 Dalam rongga mulut ditemukan sumbatan benda asing.

 Penjeratan

6
 Jejas jerat biasanya mendatar, melingkari leher dan umumnya terdapat lebih rendah
daripada jejas jerat pada gantung. Jejas jerat biasanya terletak setinggi atau di bawah
rawan gondok.
 Bila jerat kasar seperti tali dan tekanan kuat, maka dapat meninggalkan luka lecet yang
tampak jelas berupa kulit yang mencekung berwarna coklat yang dengan perabaan teraba
kaku seperti kertas perkamen.
 Pada peristiwa pembunuhan sering ditemukan adanya lecet-lecet atau memar di sekitar
jejas jerat, biasanya terjadi karena korban berusaha membuka jeratan.
 Pada pemeriksaan dalam leher di sekitar jeratan, bisa tampak resapan darah pada otot dan
jaringan ikat, fraktur dari tulang rawan reutama rawan gondok, dan kongesti jaringan
ikat, kelenjar limnfe dan pangkal lidah.
 Sering ditemukan adanya buih halus kemerahan pada jalan nafas

 Pencekikan
 Pada pemeriksaan luar, tampak pembendungan pada kepala dan muka karena tertekannya
pembuluh vena dan arteries superficial, sedangkan arteri vertebrallis tidak terganggu.
 Tanda kekerasan pada leher ditemukan dengan distribusi berbeda-beda, tergantung cara
mencekik. Luka lecet / memar di daerah leher berupa luka lecet kecil, dangkal berbentuk
bulan sabit akibat penekanan kuku jari
 Resapan darah di bagian dalam leher, terutama di belakang kerongkongan, dasar lidah
dan kelenjar thyroid
 Fraktur tulang rawan thyroid, crycoid dan hyoid
 Buih halus lubang mulut dan hidung

 Penggantungan :
 Jejas jerat berupa lekukan melingkari leher, baik penuh atau sebagian dan disekitarnya
terlihat bendungan. Arah jejas jerat mengarah ke atas menuju simpul dan membentuk
sudut atau jika jejas diteruskan (pada jejas yang tidak melingkar secara penuh) akan
membentuk sudut semu.
 Warna jejas coklat kemerahan (karena lecet akibat tali yang kasar), perabaan seperti
kertas perkamen. Jeratan akan semakin tidak jelas jejasnya, apabila penggantungan
menggunakan alat yang lunak dan atau mempunyai ukuran lebar makin besar. Hal serupa
terjadi pula pada penjeratan. Alat tersebut misalnya kain jarik, sprei atau sarung yang
digulung.
 Resapan darah pada jaringan bawah kulit dan otot. Tanda ini merupakan salah satu tanda
intravital, yakni adanya proses reaksi inflamasi / ekstravasasi sel-sel darah pada jaringan
yang menunjukkan bahwa trauma / jeratan terjadi sebelum korban meninggal. Hal serupa
pada prinsipnya terjadi pada semua jenis trauma pada semua jaringan.
 Fraktur os hyoid (biasanya pada cornu majus) dan cartilage crycoid
 Lebam mayat dapat ditemukan pada bagian tubuh bawah, anggota bagian distal serta alat
genital distal apabila sesudah mati tetap dalam keadaan tergantung cukup lama hingga
lebam mayat menetap.
 Lidah akan terlihat menjulur bila posisi tali di bawah kartilago thyroid dan berwarna
lebih gelap akibat proses pengeringan. Sebaliknya, apabila lilitan tali di atas kartilago
thyroid, lidah tidak akan menjulur.

7
Jejas Jerat

TENGGELAM
Karena mekanisme kematian pada kasus tenggelam bukan murni disebabkan oleh asfiksia,
maka ada sementara ahli yang tidak memasukkan tenggelam ke dalam kelompok asfiksia
mekanik.
Dikenal beberapa terminologi yang terkait kasus tenggelam, antara lain :
1. Wet drowning.
Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernafasan setelah korban tenggelam.
Kematian terjadi setelah korban menghirup air. Jumlah air yang dapat mematikan, jika
dihirup paru-paru adalah sebanyak 2 liter untuk orang dewasa dan 30-40 ml untuk bayi.
2. Dry drowning.
Pada keadaan ini, cairan tidak masuk ke dalam saluran pernafasan, akibat spasme laring dan
kematian terjadi sebelum menghirup air.
3. Secondary drowning
Terjadi gejala bebertapa hari setelah korban tenggelam dan diangkat dari dalam air dan
korban meninggal akibat komplikasi.
4. Immersion syndrome
Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air dingin akibat refleks vagal yang
menyebabkan cardiac arrest. Keadaan tersebut hanya dapat dijelaskan oleh karena terjadinya
fibrilasi ventrikel dan dapat dibuktikan bahwa pada orang yang masuk ke air dingin atau
tersiram air yang dingin, dapat mengalami ventricular ectopic beat. Alkohol dan makan
terlalu banyak merupakan faktor pencetus.

Patofisiologi Akibat Tenggelam


 Dalam air tawar
Pada keadaan ini terjadi absorbsi/aspirasi cairan masif hingga terjadi hemodilusi oleh karena
konsentrasi elektrolit dalam air tawar lebih rendah daripada konsentrasi dalam darah. Air
akan masuk ke dalam aliran darah sekitar alveoli dan mengakibatkan pecahnya sel darah
merah (hemolisis).
Akibat pengenceran darah yang terjadi, tubuh mencoba mengatasi keadaan dengan
melepaskan ion kalium dari serabut otot jantung hingga kadar ion kalium dan plasma
meningkat, terjadi perubahan keseimbangan ion K+ dan Ca++ dalam serabuit otot jantung
dapat mendorong terjadinya febrilasi ventrikel dan penurunan tekanan darah, yang kemudian
menyebabkan timbulnya kematian akibat anoksia otak. Kematian dapat terjadi dalam waktu
5 menit.
 Dalam air asin
Konsentrasi elektrolit cairan asin lebih tinggi daripada dalam darah, sehingga air akan ditarik
dari sirkulasi pulmonal ke dalam jaringan interstitial paru yang akan menimbulkan edema
pulmoner, hemokonsentrasi, hipovolemi dan kenaikan kadar magnesium dalam darah.
Hemokonsentrasi akan mengakibatkan sirkulasi menjadi lambat dan menyebabkan terjadinya
payah jantung. Kematian terjadi kira-kira dalam waktu 8-9 menit setelah tenggelam.

8
Adapun mekanisme kematian pada orang tenggelam dapat berupa :
1. Asfiksia akibat spasme laring
2. Asfiksia karena gagging dan choking
3. Refleks vagal
4. Fibrilasi ventrikel (dalam air tawar)
5. Edema pulmoner (dalam air asin)

Pemeriksaan Luar Korban Tenggelam:


 Pakaian / mayat basah, kadang bercampur pasir, lumur dan benda-benda asing lain yang
terdapat dalam air.
 Cutis anserina pada kulit permukaan anterior tubuh, terutama pada ekstremitas akibat
kontraksi otot errector pilli yang dapat terjadi karena rangsang dinginnya air (sebagai
gambaran seperti saat seseorang berdiri bulu kuduknya / “merinding”)
 Kulit telapak tangan dan kaki, kadang menyerupai washer woman hand/skin, yakni berwarna
keputihan dan berkeriput yang disebabkan imbibisi cairan ke dalam kulit dan biasanya
membutuhkan waktu lama (sebagai gambaran sepert tangan / kulitnya orang setelah
mencuci)
 Cadaveric spasm, merupakan tanda intravital yang terjadi pada waktu korban berusaha
menyelamatkan diri dengan memegang apa saja benda-benda disekitarnya, seperti rumput
atau benda lain dalam air. (sebagai gambaran : tangan korban menggenggam erat hingga sulit
dibuka dan biasanya terdapat benda air, misalnya rumput/lumut dalam genggamannya).
 Buih halus dari mulut dan hidung berbentuk seperti jamur (mushroom-like mass) yang
terbentuk akibat edema pulmo akut, berwarna putih dan persisten (tetap diproduksi terus,
meskipun korban sudah meninggal). Buih semakin banyak jika dada ditekan.
 Luka memar/lecet/robek bisa ditemukan pada beberapa bagian tubuh, akibat benturan dengan
benda-benda keras dalam air (misalnya batu sungai atau karang laut) pada saat tenggelam

Pemeriksaan Dalam Korban Tenggelam:


 Pada saluran nafas (trakhea & bronkhus) terdapat buih.
 Emphysema aquosum, yakni keadaan paru-paru membesar dan pucat seperti paru-paru
penderita asma tetapi lebih berat dan basah, di banyak bagian terlihat gambaran seperti
marmer, bila permukaannya ditekan meninggalkan lekukan dan bila diiris terlihat buih berair.
 Bercak hemolisis pada dinding aorta. Bercak “paltauf” yaitu bercak perdarahan yang besar
(diameter 3-5 cm), terjadi karena robeknya partisi inter alveolar dan sering terlihatn di bawah
pleura.
 Pemeriksaan berat jenis dan kadar elektrolit pada darah yang berasal dari bilik jantung kiri
dan kanan. Bila tenggelam di air tawar, berat jenis dan kadar elektrolit dalam darah jantung
kiri lebih rendah dari jantung kanan, sedangkan pada tenggelam di air asin terjadi sebaliknya
 Lambung dan esofagus terisi air beserta pasir dan benda air lain.
 Benda air (diatom) di jaringan paru, darah, ginjal, tulang.

9
REFERENSI

1. Idries, Abdul Mun’im, 1997, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Binarupa Aksara, Jakarta,
Hal 170-190.
2. Knight, B., 1996, Forensic Pathology, 2 nd Edition, Oxford University Press Inc, New York,
Page 345-360.
3. Simpson, K., 1979, Forensic Medicine, Eighth Edition, The English Language Book Society
an Edward Arnold (Publishers) Ltd, Page 91-112
4. Budiyanto, A., dkk, 1997, Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran Forensik, FK UI,
Hal 55-70.
5. Dahlan S., 2000, Ilmu Kedokteran Forensik, Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum,
Badan Penerbit Undip, Hal 107-124

10

Anda mungkin juga menyukai