TIU :
– Memahami berbagai aspek forensik asfiksia dan pemeriksaan umum maupun
khusus korban asfiksia
TIK :
– Menyebutkan pengertian asfiksia
– Menyebutkan macam sebab asfiksia
– Menjelaskan gejala asfiksia
– Menjelaskan tanda-tanda asfiksia pada pemeriksan mayat
– Menjelaskan sebab, mekanisme dan cara kematian pada kasus asfiksia
– Menjelaskan pemeriksaan khusus korban asfiksia
PENDAHULUAN
Asfiksia merupakan istilah yang sering digunakan untuk menyatakan berhentinya
respirasi yang efektif (cessation of effective respiration) atau ketiadaan kembang kempis
(absence of pulsation). Asfiksia adalah kumpulan dari pelbagai keadaan dimana terjadi gangguan
dalam pertukaran udara pernafasan yang normal, mengakibatkan oskigen darah berkurang
(hipoksia) disertai peningkatan kadar karbondioksida (hiperkapnea).
Hipoksia sendiri adalah suatu keadaan di mana tubuh sangat kekurangan oksigen
sehingga sel gagal melakukan metabolisme secara efektif. Dahulu keadaan ini disebut anoksia,
yang ternyata setelah dipelajari pemakaian istilah anoksia ini tidak tepat. Berdasarkan
penyebabnya hipoksia dibagi menjadi 4 kelompok, yakni :
1. Hipoksia hipoksik (dahulu = anoksia anoksik) :
Adalah keadaan hipoksia yang disebabkan karena kurangnya oksigen yang masuk paru-paru
sehingga oksigen tidak dapat mencapai darah dan gagal untuk masuk dalam sirkulasi darah.
Kegagalan ini bisa disebabkan adanya sumbatan / obstruksi di saluran pernapasan, baik oleh
sebab alamiah (misalnya penyakit yang disertai dengan penyumbatan saluran pernafasan
seperti laringitis difteri, status asmatikus, karsinoma bronchonenik, dan sebagainya) atau oleh
trauma/kekerasan yang bersifat mekanik, seperti tercekik, penggantungan, tenggelam dan
sebagainya.
2. Hipoksia anemik (anoksia anemik)
Adalah keadaan hipoksia yang disebabkan karena darah (hemoglobin) tidak dapat mengikat
atau membawa oksigen yang cukup untuk metabolisme seluler, seperti pada keracunan
karbon monoksida, karena afinitas CO terhadap hemoglobin jauh lebih tinggi dibandingkan
afinitas oksigen dengan hemaoglobin (Ingat teori pertukaran / difusi O2 dan CO2 serta kurva
disosiasi)
3. Hipoksia stagnan (anoksia stagnan)
Adalah keadaan hipoksia yang disebabkan karena darah (hemoglobin) tidak mampu
membawa oksigen ke jaringan oleh karena kegagalan sirkulasi, seperti pada heart failure
atau embolisme, baik emboli udara vena maupun emboli lemak.
4. Hipoksia histotokik (anoksia histotoksik)
Keadaan hipoksia yang disebabkan karena jaringan yang tidak mampu menyerap oksigen,
salah satu contohnya pada keracunan sianida. Sinida dalam tubuh akan menginaktifkan
beberapa enzim oksidatif seluruh jaringan secara radikal, terutama sitokrom oksidase dengan
mengikat bagian ferric heme group dari oksigen yang dibawa darah. Dengan demikian,
proses oksidasi-reduksi dalam sel tidak dapat berlangsung dan oksihemoglobin tidak dapat
1
Makalah kuliah dalam Blok 16.Kardiovaskuler FK UMY
2
Bagian Forensik dan Medikolegal FK UMY.
1
berdisosiasi melepaskan oksigen ke sel jaringan sehingga timbul hipoksia jaringan. Hal ini
merupakan keadaaan paradoksal, karena korban meninggal keracunan sianida mengalami
hipoksia meskipun dalam darahnya kaya akan oksigen.
Ketiga jenis hipoksia yang terakhir (yakni hipoksia anemik, stagnan dan histotoksik)
disebabkan penyakit atau keracunan, sedangkan hipoksia yang pertama (yakni hipoksia hipoksik)
disebabkan kurangnya oksigen atau obstruksi pada jalan nafas baik karena penyakit maupun
sebab kekerasan (yang bersifat mekanik). Asfiksia mekanik (mechanical asphixia) adalah jenis
yang paling sering dijumpai dalam kasus tindak pidana yang menyangkut nyawa manusia.
Dalam kedokteran forensik istilah asfiksia, sering disebut dengan mati lemas.
2
a. Stranggulation
Penjeratan, adalah penekanan benda asing yang permukaannya relatif sempit dan
panjang, dapat berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen, dan sebagainya, melingkari atau
mengikat leher yang makin lama makin kuat di mana kekauatan jeratan berasal dari
tarikan keua ujungnya, sehingga secara berturutan pembuluh darah balik, arteri
superfisial dan saluran nafas tertutup. Biasanya arteri vertebralis tetap paten, hal ini
disebabkan karena kekuatan atau beban yang menekan pada penjeratan biasanya tidak
besar. Mekanisme matinya bisa karena tertutupnya jalan nafas hingga terjadi asfikisa,
atau tertutupnya vena hingga anoksia otak, atau refleks vagal atau karena tertutupnya
arteri karotis sehingga otak kekurangan darah.
Penjeratan biasanya merupakan peristiwa pembunuhan, meskipun dapat karena bunuh
diri maupun kecelakaan (misalnya selendang yang dililitkan di leher tertarik roda saat
mengendari motor).
b. Manual strangulation/throttling
Pencekikkan adalah penekanan leher dengan tangan yang menyebabkan dinding saluran
nafas bagian atas tertekan dan terjadi penyempitan saluran nafas, sehingga udara
pernafasan tidak dapat lewat. Mekanisme matinya adalah karena asfiksia ataupun refleks
vagal yang terjadi akibat rangsang pada reseptor nervus vagus pada corpus caroticus di
percabangan arteri karotis interna dan eksterna.
Cekikkan merupakan jenis strangulasi yang hampir selalu disebabkan oleh pembunuhan.
Dapat disebabkan kecelakaan, misal pada saat latihan bela diri atau pembuatan film,
meskipun sangat jarang dan tidak mungkin digunakan untuk bunuh diri, sebab cekikkan
akan lepas begitu orang yang melakukan bunuh diri itu muali kehilangan kesadaran.
c. Hanging
Penggantungan / peristiwa gantung adalah peristiwa di mana seluruh atau sebagian dari
berat tubuh seseorang ditahan di bagian lehernya oleh sesuatu benda dengan permukaan
yang relatif sempit dan panjang (biasanya tali) sehingga daerah tersebut mengalami
tekanan. Kasus ini hampir sama dengan penjeratan, bedanya adalah asal tenaga yang
dibutuhkan untuk memperkecil jeratan. Pada penjeratan, tenaga datang dari luar,
sedangkan pada penggantungan, tenaga bersal dari berat badan korban sendiri, meskipun
tidak perlu seluruh berat badan digunakan.
Pada penggantungan tidak harus seluruh tubuh berada di atas lantai, sebab dengan
tekanan berkekuatan 10 pon pada leher sudah cukup menghentikan aliran darah di daerah
itu. Sehingga tindakan gantung diri dapat saja dilakukan dengan sebagian tubuh tetap
berada/menempel lantai.
Peristiwa penggantungan tidak identik dengan bunuh diri, karena bisa saja karena
pembunuhan maupun kecelakaan.
Mekanisme kematian pada peristiwa penggantungan bisa karena asfiksia, gangguan
sirkulasi darah ke otak (akibat terhambatnya aliran arteri-arteri leher), refleks vagal
ataupun karena kerusakan medulla spinalis akibat dislokasi/fraktur vertebra cervicalisd
(bisa pada sendi atlantoaxial).
3. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)
Terjadi akibat penekanan dari luar pada dinding dada yang menyebabkan dada terfiksasi,
kadang hingga perut, hingga menimbulkan gangguan gerak pernafasan, misalnya saat dada
atau seluruh badan tertimbun pasir, tanah, runtuhan tembok, tergencet saat saling berdesakan,
ataupun tergencet stir mobil. Akibatnya gerakan pernafasan tidak mungkin terjadi sehingga
tubuh mengalami asfiksia. Istilah lain untuk asfiksia jenis ini adalah crush asphyxia.
4. Saluran pernafasan terisi air (tenggelam/drowning)
Kematian karena tenggelam biasanya didefinisikan sebagai kematian akibat mati lemas
disebabkan masuknya cairan ke dalam saluran pernafasan. Istilah tenggelam sebenarnya
harus pula mencakup proses yang terjadi akibat terbenamnya korban dalam air yang
menyebabkan kehilangan kesadaran dan mengancam jiwa, meskipun pada peristiwa
3
tenggelam tidak seluruh tubuh harus masuk dalam air. Asalkan lubang hidung dan mulut
berada di bawah permukaan air, maka hal itu sudah cukup memenuhi kriteria peristiwa
tenggelam. Berdasarkan pengertian tersebut, maka peristiwa tenggelam tidak hanya terjadi di
laut atau sungai tetapi juga dapat terjadi di dalam watafel atau ember berisi air.
Massa dari saat asfiksia timbul hingga terjadi kematian sangat bervariasi, tergantung dari
tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-
tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.
4
Darah mjd encer fibrinolisis Asfiksia Relaksasi Urin, feces, cairan
sfingter sperma keluar
Asfikisa
Oksigenasi di paru
berkurang tekanan oksigen menurun
Ptechiae
Sianosis
2. Kongesti vena
Kongesti yang terjadi di paru-paru pada kematian karena asfiksia bukan merupakan tanda
yang khas. Kongesti yang khas asfiksia bila kongesti sistemik pada kulit dan organ selain
paru-paru, termasuk dilatasi jantung kanan. Sebagai akibat dari kongesti vena, akan terlihat
adanya bintik-bintik perdarahan (petechial haemorrages) atau disebut tardieu’s spot. Bintik
perdarahan terjadi karena timbulnya peningkatan permeabilitas kapiler dan juga karena
rusak/pecahnya dinding endotel kapiler akibat hipoksia. Bintik perdarahan ini lebih mudah
terjadi pada jaringan longgar, seperti misalnya jaringan bawah kelopak mata, atau organ
dengan membran trasnparan (pleura, perikardium). Pada asfiksia hebat, bintik perdarahan
dapat terlihat pada faring dan laring.
3. Edema
Disebkan karena kerusakan pada pembuluh kapiler sehingga permeabilitas meningkat,
hingga menyebabkan edema terutama pada paru-paru.
Adapun tanda-tanda lain yang lebih spesifik pada berbagai asfiksia mekanik dapat
dikaitkan dengan penyebab atau peristiwa atau cara kematiannya, yakni antara lain:
Pembekapan :
Bila pembekapan dengan menggunakan benda lunak, maka pada pemeriksaan luar
mungkin tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan.
Kekerasan yang mungkin terdapat adalah luka lecet jenis tekan atau geser, goresan kuku
dan luka memar pada ujung hidung, bibir, pipi dan dagu yang mungkin terjadi akibat
korban melawan.
Luka memar atau lecet pada bagian/permukaan dalam bibir, adalah akibat bibir yang
terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah.
Penjeratan
6
Jejas jerat biasanya mendatar, melingkari leher dan umumnya terdapat lebih rendah
daripada jejas jerat pada gantung. Jejas jerat biasanya terletak setinggi atau di bawah
rawan gondok.
Bila jerat kasar seperti tali dan tekanan kuat, maka dapat meninggalkan luka lecet yang
tampak jelas berupa kulit yang mencekung berwarna coklat yang dengan perabaan teraba
kaku seperti kertas perkamen.
Pada peristiwa pembunuhan sering ditemukan adanya lecet-lecet atau memar di sekitar
jejas jerat, biasanya terjadi karena korban berusaha membuka jeratan.
Pada pemeriksaan dalam leher di sekitar jeratan, bisa tampak resapan darah pada otot dan
jaringan ikat, fraktur dari tulang rawan reutama rawan gondok, dan kongesti jaringan
ikat, kelenjar limnfe dan pangkal lidah.
Sering ditemukan adanya buih halus kemerahan pada jalan nafas
Pencekikan
Pada pemeriksaan luar, tampak pembendungan pada kepala dan muka karena tertekannya
pembuluh vena dan arteries superficial, sedangkan arteri vertebrallis tidak terganggu.
Tanda kekerasan pada leher ditemukan dengan distribusi berbeda-beda, tergantung cara
mencekik. Luka lecet / memar di daerah leher berupa luka lecet kecil, dangkal berbentuk
bulan sabit akibat penekanan kuku jari
Resapan darah di bagian dalam leher, terutama di belakang kerongkongan, dasar lidah
dan kelenjar thyroid
Fraktur tulang rawan thyroid, crycoid dan hyoid
Buih halus lubang mulut dan hidung
Penggantungan :
Jejas jerat berupa lekukan melingkari leher, baik penuh atau sebagian dan disekitarnya
terlihat bendungan. Arah jejas jerat mengarah ke atas menuju simpul dan membentuk
sudut atau jika jejas diteruskan (pada jejas yang tidak melingkar secara penuh) akan
membentuk sudut semu.
Warna jejas coklat kemerahan (karena lecet akibat tali yang kasar), perabaan seperti
kertas perkamen. Jeratan akan semakin tidak jelas jejasnya, apabila penggantungan
menggunakan alat yang lunak dan atau mempunyai ukuran lebar makin besar. Hal serupa
terjadi pula pada penjeratan. Alat tersebut misalnya kain jarik, sprei atau sarung yang
digulung.
Resapan darah pada jaringan bawah kulit dan otot. Tanda ini merupakan salah satu tanda
intravital, yakni adanya proses reaksi inflamasi / ekstravasasi sel-sel darah pada jaringan
yang menunjukkan bahwa trauma / jeratan terjadi sebelum korban meninggal. Hal serupa
pada prinsipnya terjadi pada semua jenis trauma pada semua jaringan.
Fraktur os hyoid (biasanya pada cornu majus) dan cartilage crycoid
Lebam mayat dapat ditemukan pada bagian tubuh bawah, anggota bagian distal serta alat
genital distal apabila sesudah mati tetap dalam keadaan tergantung cukup lama hingga
lebam mayat menetap.
Lidah akan terlihat menjulur bila posisi tali di bawah kartilago thyroid dan berwarna
lebih gelap akibat proses pengeringan. Sebaliknya, apabila lilitan tali di atas kartilago
thyroid, lidah tidak akan menjulur.
7
Jejas Jerat
TENGGELAM
Karena mekanisme kematian pada kasus tenggelam bukan murni disebabkan oleh asfiksia,
maka ada sementara ahli yang tidak memasukkan tenggelam ke dalam kelompok asfiksia
mekanik.
Dikenal beberapa terminologi yang terkait kasus tenggelam, antara lain :
1. Wet drowning.
Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernafasan setelah korban tenggelam.
Kematian terjadi setelah korban menghirup air. Jumlah air yang dapat mematikan, jika
dihirup paru-paru adalah sebanyak 2 liter untuk orang dewasa dan 30-40 ml untuk bayi.
2. Dry drowning.
Pada keadaan ini, cairan tidak masuk ke dalam saluran pernafasan, akibat spasme laring dan
kematian terjadi sebelum menghirup air.
3. Secondary drowning
Terjadi gejala bebertapa hari setelah korban tenggelam dan diangkat dari dalam air dan
korban meninggal akibat komplikasi.
4. Immersion syndrome
Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air dingin akibat refleks vagal yang
menyebabkan cardiac arrest. Keadaan tersebut hanya dapat dijelaskan oleh karena terjadinya
fibrilasi ventrikel dan dapat dibuktikan bahwa pada orang yang masuk ke air dingin atau
tersiram air yang dingin, dapat mengalami ventricular ectopic beat. Alkohol dan makan
terlalu banyak merupakan faktor pencetus.
8
Adapun mekanisme kematian pada orang tenggelam dapat berupa :
1. Asfiksia akibat spasme laring
2. Asfiksia karena gagging dan choking
3. Refleks vagal
4. Fibrilasi ventrikel (dalam air tawar)
5. Edema pulmoner (dalam air asin)
9
REFERENSI
1. Idries, Abdul Mun’im, 1997, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Binarupa Aksara, Jakarta,
Hal 170-190.
2. Knight, B., 1996, Forensic Pathology, 2 nd Edition, Oxford University Press Inc, New York,
Page 345-360.
3. Simpson, K., 1979, Forensic Medicine, Eighth Edition, The English Language Book Society
an Edward Arnold (Publishers) Ltd, Page 91-112
4. Budiyanto, A., dkk, 1997, Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran Forensik, FK UI,
Hal 55-70.
5. Dahlan S., 2000, Ilmu Kedokteran Forensik, Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum,
Badan Penerbit Undip, Hal 107-124
10