Anda di halaman 1dari 31

1. A.

KONSEP DASAR PENYAKIT

1. DEFINISI

• · Trauma adalah cedera atau rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional (
Dorland, 2002 : 2111 )
• · Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan
tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001 : 2476 )

Gambar 1 : Anatomi abdomen

1. 2. ETIOLOGI / FAKTOR PENYEBAB

Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu :

a) Trauma tumpul

Suatu pukulan langsung, misalkan terbentur stir ataupun bagian pintu mobil yang
melesak ke dalam karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma kompresi ataupun crush
injury terhadap organ viscera. Hal ini dapat merusak organ padat maupun organ
berongga, dan bisa mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang distensi (misalnya
uterus ibu hamil), dan mengakibatkan perdarahan maupun peritornitis. Trauma tarikan
(shearing injury) terhadap organ viscera sebenarnya adalah crush injury yang terjadi bila
suatu alat pengaman (misalnya seat belt jenis lap belt ataupun komponen pengaman
bahu) tidak digunakan dengan benar. Pasien yang cedera pada suatu tabrakan motor bisa
mengalami trauma decelerasi dimana terjadi pergerakan yang tidak sama antara suatu
bagian yang terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti rupture lien ataupun ruptur hepar
(organ yang bergerak) dibagian ligamentnya (organ yang terfiksir). Pemakaian air-bag
tidak mencegah orang mengalami trauma abdomen. Pada pasien-pasien yang mengalami
laparotomi karena trauma tumpul, organ yang paling sering kena adalah lien (40-55%),
hepar (35-45%), dan usus (5-10%). Sebagai tambahan, 15% nya mengalami hematoma
retroperitoneal.

b) Trauma tajam

Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan kerusakan
jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan
menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan
adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen
yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%),
usus halus (30%), diafragma (20%), dan colon (15%). Luka tembak menyebabkan
kerusakan yang lebih besar, yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan peluru, dan berapa
besar energy kinetiknya maupun kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang,
maupun efek pecahan tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%),
colon (40%), hepar (30%) dan pembuluh darah abdominal (25%).
(American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 145)

1. 3. TANDA DAN GEJALA

- Laserasi, memar,ekimosis

- Hipotensi

- Tidak adanya bising usus

- Hemoperitoneum

- Mual dan muntah

- Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah, biasanya pd


arteri karotis),

- Nyeri

- Pendarahan

- Penurunan kesadaran

- Sesak

- Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan
limfa.Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.

- Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal

- Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada perdarahan
retroperitoneal .

- Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada fraktur
pelvis

- Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri atas ketika
dilakukan perkusi pada hematoma limfe

(Scheets, 2002 : 277-278)

1. 4. PATOFISIOLOGI DAN POHON MASALAH

Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalu
lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya
trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor – faktor fisik dari kekuatan tersebut
dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan
obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena
terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi
jaringan. Hal ini juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga
penting. Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh.
Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya.
Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada
benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut..
Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat
melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam
beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut
dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme :

1. Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan
dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar
dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
2. Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae
atau struktur tulang dinding thoraks.
3. Terjadi gaya akselerasi-deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya
robek pada organ dan pedikel vaskuler.

1. 5. KLASIFIKASI

Berdasarkan mekanismenya, yaitu :

a) Trauma tumpul

- Biasanya disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor.

- Faktor lainnya seperti jatuh dan trauma secara mendadak

- Hasil dari crush injury dan trauma deselerasi mengenai organ padat (karena
perdarahan) atau usus (karena perforasi dan peritonitis)

- Limfe dan hati adalah organ yang paling sering dilibatkan

Gambar 2: Trauma Tumpul

b) Trauma tajam

- Biasanya disebabkan karena tusukan, tikaman atau tembakan senapan.

- Mungkin dihubungkan dengan dada, diafragma dan cedera pada system


retroperitoneal.

- Hati dan usus kecil adalah organ yang paling tersering mengalami kerusakan.
- Luka tusukan mungkin akan menenbus dinding peritoneum dan seringkali merusak
secara konservatif, bagaimanapun luka akibat tembakan senapan selalu membutuhkan
pembedahan dan penyelidikan lebih awal untuk mengendalikan cedera intraperitoneal.

(Catherino, 2003 : 251)

Gambar 3 : Trauma Tajam Akibat Tusukan

Gambar 4: Trauma Tajam Akibat Tembakan Senapan

1. 6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG

• Ø Pemeriksaan Diagnostik

a) Trauma Tumpul

1. 1. Diagnostik Peritoneal Lavage

DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang bermakna merubah
rencana untuk pasien berikutnya ,dan dianggap 98 % sensitive untuk perdarahan
intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan oleh team bedah untuk pasien dengan trauma
tumpul multiple dengan hemodinamik yang abnormal, terutama bila dijumpai :

1. Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol, kecanduan obat-obatan.


2. Perubahan sensasi trauma spinal
3. Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis
4. Pemeriksaan diagnostik tidak jelas
5. Diperkirakan aka nada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu yang agak
lama, pembiusan untuk cedera extraabdominal, pemeriksaan X-Ray yang lama
misalnya Angiografi
6. Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan trauma usus

DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal nilai dijumpai hal
seperti di atas dan disini tidak memiliiki fasilitas USG ataupun CT Scan. Salah satu
kontraindikasi untuk DPL adalah adanya indikasi yang jelas untuk laparatomi.
Kontraindikasi relative antara lain adanya operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity,
shirrosis yang lanjut, dan adanya koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai tekhnik terbuka
atau tertutup (Seldinger ) di infraumbilikal oleh dokter yang terlatih. Pada pasien dengan
fraktur pelvis atau ibu hamil, lebih baik dilakukan supraumbilikal untuk mencegah kita
mengenai hematoma pelvisnya ataupun membahayakan uterus yang membesar. Adanya
aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat sayuran ataupun empedu yang keluar,
melalui tube DPL pada pasien dengan henodinamik yang abnormal menunjukkan indikasi
kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada darah segar (>10 cc) ataupun cairan feses
,dilakukan lavase dengan 1000cc Ringer Laktat (pada anak-anak 10cc/kg). Sesudah
cairan tercampur dengan cara menekan maupun melakukan rogg-oll, cairan ditampung
kembali dan diperiksa di laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal ,serat maupun
empedu. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 149-150)

Test (+) pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada
aspirasi awal, eritrosit > 100.000 mm3, leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+)
untuk bakteri, bakteri atau serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma tajam bila 10 ml
atau lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal,sel darah merah 5000/mm3 atau
lebih. (Scheets, 2002 : 279-280)

1. 2. FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)

Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG untuk mendeteksi adanya
hemoperitoneum. Dengan adanya peralatan khusus di tangan mereka yang
berpengalaman, ultrasound memliki sensifitas, specifitas dan ketajaman untuk meneteksi
adanya cairan intraabdominal yang sebanding dengan DPL dan CT abdomen Ultrasound
memberikan cara yang tepat, noninvansive, akurat dan murah untuk mendeteksi
hemoperitorium, dan dapat diulang kapanpun. Ultrasound dapat digunakan sebagai alat
diagnostik bedside dikamar resusitasi, yang secara bersamaan dengan pelaksanaan
beberapa prosedur diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama
dengan indikasi DPL. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 150)

3. Computed Tomography (CT)

Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan


dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk mendiagnosa trauma retroperineal maupun
pelvis yang sulit di diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL. (American
College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151)

b) Trauma Tajam

1. Cedera thorax bagian bawah

Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada diafragma dan struktur
abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun thorax foto berulang,
thoracoskopi, laparoskopi maupun pemeriksaan CT scan.

1. Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan dengan DPL pada luka
tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang relatif asimtomatik (kecuali rasa nyeri
akibat tusukan), opsi pemeriksaan diagnostik yang tidak invasive adalah
pemeriksaan diagnostik serial dalam 24 jam, DPL maupun laroskopi diagnostik.
2. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double atau triple
contrast pada cedera flank maupun punggung

Untuk pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain pemeriksaan fisik serial,
CT dengan double atau triple contrast, maupun DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic
serial untuk pasien yang mula-mula asimptomatik kemudian menjadi simtomatik, kita
peroleh ketajaman terutama dalam mendeteksi cedera retroperinel maupun intraperineal
untuk luka dibelakang linea axillaries anterior. (American College of Surgeon
Committee of Trauma, 2004 : 151)

• Pemeriksaan Radiologi

1. 1. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul

Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP dan pelvis AP
dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga
posisi (telentang, setengah tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat adanya
udara bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar lumen diretroperitoneum, yang
kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya
bayangan psoas menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal

1. 2. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam

Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak memerlukan pemeriksaan
X-Ray pada pasien luka tusuk diatas umbilicus atau dicurigai dengan cedera
thoracoabdominal dengan hemodinamik yang abnormal, rontgen foto thorax tegak
bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumothorax, ataupun untuk
dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya
normal, pemasangan klip pada luka masuk maupun keluar dari suatu luka tembak dapat
memperlihatkan jalannya peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen foto
abdomen tidur.

1. 3. Pemeriksaan dengan kontras yang khusus


2. Urethrografi

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus dilakukan urethrografi sebelum


pemasangan kateter urine bila kita curigai adanya ruptur urethra. Pemeriksaan
urethrografi digunakan dengan memakai kateter no.# 8-F dengan balon dipompa 1,5-2cc
di fossa naviculare. Dimasukkan 15-20 cc kontras yang diencerkan. Dilakukan
pengambilan foto dengan projeksi oblik dengan sedikit tarikan pada pelvis.

1. Sistografi

Rupture buli-buli intra- ataupun ekstraperitoneal terbaik ditentukan dengan pemeriksaan


sistografi ataupun CT-Scan sistografi. Dipasang kateter urethra dan kemudian dipasang
300 cc kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm diatas pasien dan dibiarkan
kontras mengalir ke dalam bulu-bulu atau sampai (1) aliran terhenti (2) pasien secara
spontan mengedan, atau (3) pasien merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan foto
post-voiding. Cara lain adalah dengan pemeriksaan CT Scan (CT cystogram) yang
terutama bermanfaat untuk mendapatkan informasi tambahan tentang ginjal maupun
tulang pelvisnya. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 148)
1. CT Scan/IVP

Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan hematuria dan hemodinamik
stabil yang dicurigai mengalami sistem urinaria bisa diperiksa dengan CT Scan dengan
kontras dan bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada fasilitas CT
Scan, alternatifnya adalah pemeriksaan Ivp.

Disini dipakai dosis 200mg J/kg bb kontras ginjal. Dilakukan injeksi bolus 100 cc larutan
Jodine 60% (standard 1,5 cc/kg, kalau dipakai 30% 3,0 cc/kg) dengan 2 buah spuit 50 cc
yang disuntikkan dalam 30-60 detik. 20 menit sesudah injeksi bila akan memperoleh
visualisasi calyx pada X-Ray. Bilamana satu sisi non-visualisasi, kemungkinan adalah
agenesis ginjal, thrombosis maupun tertarik putusnya a.renalis, ataupun parenchyma yang
mengalami kerusakan massif. Nonvisualisasi keduanya memerlukan pemeriksaan
lanjutan dengan CT Scan + kontras, ataupun arteriografi renal atau eksplorasi ginjal; yang
mana yang diambil tergantung fasilitas yang dimiliki.

1. Gastrointestinal

Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya retroperitoneal (duodenum, colon


ascendens, colon descendens) tidak akan menyebabkan peritonitis dan bisa tidak
terdeteksi dengan DPL. Bilamana ada kecurigaan, pemeriksaan dengan CT Scan dengan
kontras ataupun pemeriksaan RO-foto untuk upper GI Track ataupun GI tract bagian
bawah dengan kontras harus dilakukan.

(American College of Surgeon Committee of Trauma,2004:149)

• Pemeriksaan Laboratorium
o Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
o Penurunan hematokrit/hemoglobin
o Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT,
o Koagulasi : PT,PTT
o MRI
o Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatik
o CT Scan
o Radiograf dada mengindikasikan peningkatan diafragma,kemungkinan
pneumothorax atau fraktur tulang rusuk VIII-X.
o Scan limfa
o Ultrasonogram
o Peningkatan serum atau amylase urine
o Peningkatan glucose serum
o Peningkatan lipase serum
o DPL (+) untuk amylase
o Penigkatan WBC
o Peningkatan amylase serum
o Elektrolit serum
o AGD
(ENA,2000:49-55)

1. 7. KOMPLIKASI

• Trombosis Vena
• Emboli Pulmonar
• Stress Ulserasi dan perdarahan
• Pneumonia
• Tekanan ulserasi
• Atelektasis
• Sepsis

(Paul, direvisi tanggal 28 Juli 2008)

• Pankreas: Pankreatitis, Pseudocyta formasi, fistula pancreas-duodenal, dan


perdarahan.
• Limfa: perubahan status mental, takikardia, hipotensi, akral dingin, diaphoresis,
dan syok.
• Usus: obstruksi usus, peritonitis, sepsis, nekrotik usus, dan syok.
• Ginjal: Gagal ginjal akut (GGA)

(Catherino, 2003 : 251-253)

1. 8. PENATALAKSANAAN KEGAWATDARURATAN DAN TERAPI


PENGOBATAN

- Pasien yang tidak stabil atau pasien dengan tanda-tanda jelas yang menunjukkan
trauma intra-abdominal (pemeriksaan peritoneal, injuri diafragma, abdominal free air,
evisceration) harus segera dilakukan pembedahan

- Trauma tumpul harus diobservasi dan dimanajemen secara non-operative berdasarkan


status klinik dan derajat luka yang terlihat di CT

- Pemberian obat analgetik sesuai indikasi

- Pemberian O2 sesuai indikasi

- Lakukan intubasi untuk pemasangan ETT jika diperlukan

- Trauma penetrasi :

ü Dilakukan tindakan pembedahan di bawah indikasi tersebut di atas

ü Kebanyakan GSW membutuhkan pembedahan tergantung kedalaman penetrasi dan


keterlibatan intraperitoneal
ü Luka tikaman dapat dieksplorasi secara lokal di ED (di bawah kondisi steril) untuk
menunjukkan gangguan peritoneal ; jika peritoneum utuh, pasien dapat dijahit dan
dikeluarkan

ü Luka tikaman dengan injuri intraperitoneal membutuhkan pembedahan

ü Bagian luar tubuh penopang harus dibersihkan atau dihilangkan dengan pembedahan

(Catherino, 2003 : 251)

1. B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. 1. PENGKAJIAN

1) Data subyektif

1. Riwayat penyakit sekarang :

a) Nyeri di RUQ ,hipokondria atau region epigastrik ( cedera pada hati)

b) Nyeri pada kuadran kiri atas (LUQ ), tanda Kehr (nyeri pada kuadran kiri atas yang
menjalar ke bahu kiri) pada cedera limfa

c) Nyeri pada area epigastrik atau bagian belakang, mungkin asimptomatik kecuali
terdapat peritonitis, tanda mungkin tidak ditemukan sampai 12 jam setelah cedera pada
cedera pancreas

d) Nyeri pada abdomen ,mual dan muntah pada cedera usus

e) Mekanisme cedera trauma tumpul atau tajam

1. Riwayat medis :

- Kecenderungan terjadi pendarahan

- Alergi

- Penyakit liver / hepatomegali pada cedera hati

2) Data objektif

Data Primer

A : Airway : Tidak ada obstruksi jalan nafas

B : Breathing (pernapasan) : Ada dispneu, penggunaan otot bantu napas dan napas
cuping hidung.
C : Circulation (sirkulasi) : Hipotensi, perdarahan , adanya tanda “Bruit” (bunyi
abnormal pd auskultasi pembuluh darah, biasanya pd arteri karotis), tanda Cullen, tanda
Grey-Turner, tanda Coopernail, tanda balance.,takikardi,diaforesis

D : Disability (ketidakmampuan ) : Nyeri, penurunan kesadaran, tanda Kehr

Data sekunder

E : Exposure : Terdapat jejas ( trauma tumpul atu trauma tajam) pada daerah abdomen
tergantung dari tempat trauma

F : Five intervension / vital sign : Tanda vital : hipotensi, takikardi, pasang


monitor jantung, pulse oksimetri, catat hasil lab abnormal

Hasil lab :

• Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
• Penurunan hematokrit/hemoglobin
• Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT,
• Koagulasi : PT,PTT
• MRI
• Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatik
• CT Scan
• Radiograf dada mengindikasikan peningkatan diafragma,kemungkinan
pneumothorax atau fraktur tulang rusuk VIII-X.
• Scan limfa
• Ultrasonogram
• Peningkatan serum atau amylase urine
• Peningkatan glucose serum
• Peningkatan lipase serum
• DPL (+) untuk amylase
• Penigkatan WBC
• Peningkatan amylase serum
• Elektrolit serum
• AGD

G : Give comfort (PQRST) :

a) Nyeri di RUQ ,hipokondria atau region epigastrik( cedera pada hati),

b) Nyeri pada kuadran kiri atas (LUQ ) ,Tanda Kehr (nyeri pada kuadran kiri atas yang
menjalar ke bahu kiri) pada cedera limfa

c) Nyeri pada area epigastrik atau bagian belakang, mungkin asimptomatik kecuali
terdapat peritonitis,tanda mungkin tidak ditemukan sampai 12 jam setelah cedera pada
cedera pancreas
d) Nyeri pada abdomen

Nyeri yang dirasakan sifatnya akut dan terjadi secara mendadak bisa diakibatkan oleh
trauma tumpul atau trauma tajam.

H : Head to toe :

Inspeksi :

- Adanya ekimosis

- Adanya hematom

Auskultasi :

- Menurun/tidak adanya suara bising usus

Palpasi :

- Pembengkakan pada abdomen

- Adanya spasme pada abdomen

- Adanya masa pada abdomen

- Nyeri tekan

Perkusi :

- Suara dullness

I : Inspeksi posterior surface : Dikaji jika ada yang mengalami cedera pada bagian
punggung (spinal)

1. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. PK Perdarahan
2. PK: Syok Hipovolemik
3. Nyeri akut b/d agen cedera fisik( Trauma tumpul / tajam) ditandai dengan
keluhan nyeri, diaphoresis, dispnea, takikardia
4. Cemas b/d prosedur pembedahan ditandai dengan pasien gelisah, takut, gugup,
gemetar, wajah tegang
5. Pola napas tidak efektif b/d hiperventilasi ditandai dengan sesak, dispnea,
penggunaan otot bantu napas, napas cupung hidung
6. Kerusakan integritas kulit b/d trauma tajam/tumpul ditandai dengan adanya
hematoma, ekimosis, luka terbuka, jejas pada daerah abdomen
7. Risiko infeksi b/d invasi bakteri

1. RENCANA KEPERAWATAN /EMERGENCY INTERVENSION

Dx 1 : PK Perdarahan

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2 x 4 jam diharapkan perdarahan


dapat dihentikan/teratasi

Kriteria hasil :

• Tanda-tanda perdarahan (-)


• TTV normal ( Nadi = 60-100 x/menit ; TD = 110-140/70-90 mmHg ; Suhu = 36,
5 – 37, 50 C ; dan RR = 16-24 x/menit)
• CRT < 2 detik
• Akral hangat

Intervensi :

Mandiri :

1) Pantau TTV

Mengidentifikasi kondisi pasien.

2) Pantau tanda-tanda perdarahan.

Mengidentifikasi adanya perdarahan, membantu dalam pemberian intervensi yang tepat.

3) Pantau tanda-tanda perubahan sirkulasi ke jaringan perifer (CRT dan sianosis).

Mengetahui keadekuatan aliran darah.

Kolaborasi :

1) Pantau hasil laboratorium (trombosit).

Trombosit sebagai indicator pembekuan darah.

2) Kolaborasi pemberian cairan IV (cairan kristaloid NS/RL) sesuai indikasi.

Membantu pemenuhan cairan dalam tubuh.

3) Berikan obat antikoagulan, ex : LMWH ( Low Molecul With Heparin).

Mencegah perdarahan lebih lanjut.


4) Berikan transfusi darah.

Membantu memenuhi kebutuhan darah dalam tubuh.

5) Lakukan tindakan pembedahan jika diperlukan sesuai indikasi

Membantu untuk menghentikan perdarahan dengan menutup area luka

Dx 2 : Nyeri akut b/d agen cedera fisik ( Trauma tumpul / tajam) ditandai dengan
keluhan nyeri, diaporesis, dispnea, takikardia

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 10 menit diharapkan nyeri


yang dialami pasien terkontrol

Kriteria hasil :

• Pasien melaporkan nyeri berkurang


• Pasien tampak rileks
• TTV dalam batas normal (TD 140-90/90-60 mmHg, nadi 60-100 x/menit, RR :
16-24 x/menit, suhu 36, 5 – 37, 50 C)
• Pasien dapat menggunakan teknik non-analgetik untuk menangani nyeri.

Intervensi :

Mandiri :

1. Kaji nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,


qualitas, intensitas nyeri dan faktor presipitasi.

Mempengaruhi pilihan/ pengawasan keefektifan intervensi.

1. Evaluasi peningkatan iritabilitas, tegangan otot, gelisah, perubahan tanda-tanda


vital.

Petunjuk non-verbal dari nyeri atau ketidaknyaman memerlukan intervensi.

1. Berikan tindakan kenyamanan, misalnya perubahan posisi, masase.

Tindakan alternative untuk mengontrol nyeri

1. Ajarkan menggunakan teknik non-analgetik (relaksasi progresif, latihan napas


dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan terapeutik, akupresure)

Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol dan dapat meningkatkan


kekuatan otot; dapat meningkatkan harga diri dan kemampuan koping.
1. Berikan lingkungan yang nyaman

Menurunkan stimulus nyeri.

Kolaborasi :

1. Berikan obat sesuai indikasi : relaksan otot, misalnya : dantren; analgesik

Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme/nyeri otot.

Dx 3 : Cemas b/d prosedur pembedahan ditandai dengan pasien gelisah, takut,


gugup, gemetar, wajah tegang

Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2 x 10 menit diharapkan cemas


pasien berkurang

Kriteria hasil :

• Gelisah pasien berkurang


• Mengatakan takut dan gugup berkurang
• Tidak nampak gemetar

Intervensi :

Mandiri :

1. Indetifikasi tingkat kecemasan dan persepsi klien seperti takut dan cemas serta
rasa kekhawatirannya.
2. Kaji tingkat pengetahuan klien terhadap musibah yang dihadapi dan pengobatan
pembedahan yang akan dilakukan.
3. Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya.
4. Berikan perhatian dan menjawab semua pertanyaan klien untuk membantu
mengungkapkan perasaannya.
5. Observasi tanda – tanda kecemasan baik verbal dan non verbal.
6. Berikan penjelasan setiap tindakan persiapan pembedahan sesuai dengan
prosedur.
7. Berikan dorongan moral dan sentuhan therapeutic.
8. Berikan penjelasan dengan menggunakan bahasa yang sederhana tentang
pengobatan pembedahan dan tujuan tindakan tersebut kepada klien beserta
keluarga.

Dx 4 : Pola napas tidak efektif b/d hiperventilasi ditandai dengan sesak, dispnea,
penggunaan otot bantu napas, napas cuping hidung

Tujuan : Setelah dilakukan askep selama 1 x 10 menit diharapkan pola nafas pasien
kembali efektif
Kriteria hasil :

• Pasien melaporkan sesak berkurang


• Dispnea (-)
• Penggunaan otot bantu pernapasan (-)
• Napas cuping hidung (-)

Intervensi :

Mandiri :

1. Pantau adanya sesak atau dispnea

Untuk mengetahui keadaan breathing pasien

1. Monitor usaha pernapasan, pengembangan dada, keteraturan pernapasan, napas


cuping dan penggunaan otot bantu pernapasan

Untuk mengetahui derajat gangguan yang terjadi, dan menentukan intervensi yang tepat

1. Berikan posisi semifowler jika tidak ada kontraindikasi

Untuk meningkatkan ekspansi dinding dada

1. Ajarkan klien napas dalam

Untuk meningkatkan kenyamanan

Kolaborasi

1. Berikan O2 sesuai indikasi

Untuk memenuhi kebutuhan O2

1. Bantu intubasi jika pernapasan semakin memburuk dan siapkan pemasangan


ventilator sesuai indikasi

Untuk membantu pernapasan adekuat

4. EVALUASI

Dx 1 : Perdarahan dapat dihentikan/teratasi

Dx 2 : Nyeri pasien terkontrol

Dx 3 : Cemas pasien berkurang


Dx 4 : Pola napas pasien kembali efektif

DAFTAR PUSTAKA

Dorland,2002,Kamus Saku Kedokteran .Jakarta :EGC

Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. EGC : Jakarta

American College of Surgeon Committee of Trauma,2004.Advanced Trauma Life


Support Seventh Edition.Indonesia: Ikabi

(Scheets,Lynda J.2002.Panduan Belajar Keperawatan Emergency.Jakarta: EGC

(ENA (Emergency Nurse Association )2000.Emergency Nursing Core Curiculum ,


5th,USA:W.B.Saunders Company

Catherino ,Jeffrey M.2003.Emergency Medicine Handbook.USA: Lipipincott Williams

Marilynn E, Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. EGC : Jakarta

Nanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda Definisi dan Klasifikasi 2005
-2006. Editor : Budi Sentosa. Jakarta : Prima Medika
ASKEP TRAUMA ABDOMEN
2.1.1 Pengertian
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologi akibat gangguan
emosional yang hebat (Brooker, 2001). Trauma adalah penyebab kematian utama pada
anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah
menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja
atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen,
dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja
(Smeltzer, 2001). Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ
abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan
metabolisme, kelainan monologi dan gangguan faal berbagai organ.

2.1.2 Etiologi dan Klasifikasi


1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh : pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman
(set-belt) ( FKUI, 1995 ).

2.1.3 Patofisiologi
Tusukan/tembakan : pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk
pengaman (set-belt).
Trauma Abdomen :
a. Trauma tumpul abdomen
Kehilangan darah, memar/jejas pada dinding perut, kerusakan organ-organ, nyeri, iritasi
cairan usus.
b. Trauma tembus abdomen
Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan
pembekuan darah, kontaminasi bakteri, kematian sel.

Trauma tumpul abdomen dan tembus abdomen menyebabkan :


• Kerusakan integritas kulit
• Syok dan pendarahan
• Kerusakan pertukaran gas
• Resiko tinggi terhadap infeksi
• Nyeri akut

2.1.4 Tanda dan Gejala


1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium):
Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan
pembekuan darah, kontaminasi bakteri, kematian sel.
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium):
Kehilangan darah, memar/jejas pada dinding perut, kerusakan organ-organ, nyeri tekan,
nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut, iritasi cairan usus
(FKUI,1995).
2.1.5 Komplikasi
Segera : hemoragi, syok, dan cedera
Lambat : infeksi (Smeltzer, 2001)

2.1.6 Pemeriksaan Diagnotik


Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ;
kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya darah
menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.
Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.
Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.
IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran kencing.
Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan
adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang disertai dengan
trauma kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum fungsi no 18 atau 20
yang ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah
dibawah pusat dengan menggosokkan buli-buli terlebih dahulu.

2.1.7 Penatalaksanaan
Pemasangan NGT untuk pengosongan isi lambung dan mencegah aspirasi.
Kateter dipasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai urin yang keluar
(pendarahan).
Pembedahan / laparatomi ( untuk trauma tembus dan trauma tumpul jika terjadi
rangsangan peritoneal : syok; bising usus tidak terdengar ; prolaps visera melalui luka
tusuk ; darah dalam lambung, buli-buli, rektum ; udara bebas intraperitoneal ; lavase
peritoneal positif ; cairan bebas dalam rongga perut ) (FKUI, 1995).

2.2 Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh.
Pengkajian pasien trauma abdomen (Smeltzer, 2001) adalah meliputi :
1. Trauma tembus abdomen
Dapat riwayat mekanisme cedera ; kekuatan tusukan / tembakan ; kekuatan tumpul
(pukulan).
Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya : cedera tusuk, memar, dan tempat
keluarnya peluru.
Auskultasi ada/tidaknya bising usus dan catat data dasar sehinggga perubahan dapat
dideteksi. Adanya bising usus adalah tanda awal keterlibatan intraperitonel ; jika ada
tanda iritasi peritonium, biasanya dilakukan laparatomi (insisi pembedahan kedalam
rongga abdomen).
Kaji pasien untuk progesi distensi abdomen, gerakan melindungi, nyeri tekan, kekakuan
otot atau nyeri lepas, penurunan bising usus, hipotensi dan syok.
Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera intra-abdomen, observasi cedera yang
berkaitan.
Catat semua tanda fisik selama pemeriksan pasien.
2. Trauma tumpul abdomen
Dapat riwayat detil jika mungkin (sering tidak bisa didapatkan, tidak akurat, atau salah)
dapatkan semua data yang mungkin tentang hal-hal sebagai berikut :
Metode cedera, waktu awitan gejala, lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas (sopir
sering menderia ruptur limpa atau hati). Sabuk keselamatan digunakan/tidak, tipe restrain
yang digunakan, waktu makan atau minum terakhir, kecenderungan perdarahan, penyakit
dan medikasi terbaru, riwayat immunisasi, dengan perhatian pada tetanus, alergi, lakukan
pemeriksaan cepat pada seluruh tubuh pasien untuk mendeteksi masalah yang
mengancam kehidupan. (Keperawatan Mediakl Bedah : Brunner dan Suddarth, hal. 2476
– 2477).

2.2.2 Penatalaksanaan
1. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan sirkulasi) sesuai
indikasi.
2. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakan dapat menyebabkan
fragmentasi bekuan pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi masif.
a) Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem saraf.
b) Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.
c) Gunting baju dari luka.
d) Hitung jumlah luka
e) Tentukan lokasi luka masuk dan keluar
3. Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera abdomen,
khususnya hati dan limpa mengalami trauma.
4. Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan dilakukan.
a) Berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan bendengan luka dada.
b) Pasang kateter IV diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan memperbaiki
dinamika sirkulasi.
c) Perhatikan kejadian syok setelah respon awal terjadi terhadap transfusi ; ini sering
merupakan tanda adanya perdarahan internal.
d) Dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi tempat perdarahan.
5. Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu mendeteksi luka
lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan mencegah
komplikasi paru karena aspirasi.
6. Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin basah untuk
mencegah kekeringan visera
a) Fleksikan lutut pasien ; posisi ini mencegah protusi lanjut
b) Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik dan muntah.
7. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan
pantau haluaran urine.
8. Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda vital, haluaran urine, pembacaan
tekanan vena sentral pasien (bila diindikasikan), nilai hematokrit, dan status neurologik.
9. Siapkan untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat ketidakpastian
mengenai perdarahan intraperitonium.
10. Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi peritonium pada kasus
luka tusuk.
a) Jahitan dilakukan disekeliling luka.
b) Kateter kecil dimasukkan ke dalam luka.
c) Agens kontras dimasukkan melalui kateter ; sinar x menunjukkan apakah penetrasi
peritonium telah dilakukan.
11. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
12. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. Trauma dapat
menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari
lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi
nosokomial).
13. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan darah,
adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.

2.2.3 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun
potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994).
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) adalah :
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk.
2. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma / diskontinuitas jaringan.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidak nyamanan, terapi
pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan / tahanan.

2.2.4 Intervensi dan Implementasi


Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan
untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono,
1994).
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan trauma
abdomen (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan
secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
Kriteria hasil : - Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a) Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/: Mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan
tindakan yang tepat.
b) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka
R/: Mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c) Pantau peningkatan suhu tubuh
R/: Suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses
peradangan.
d) Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan
steril, gunakan plester kertas.
R/: Tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya
infeksi.
e) Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/: Agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit
normal lannya.
f) Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/: Balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/tidaknya
luka, agar tidak terjadi infeksi.
g) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi
R/: Antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang
berisiko terjadi infeksi.

2. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan


sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : Infeksi tidak terjadi / terkontrol
Kriteria hasil : - Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus
- Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.

Intervensi dan Implementasi :


a) Pantau tanda-tanda vital
R/: Mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutamabila suhu tubuh meningkat.
b) Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/: Mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c) Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, darinase luka, dll.
R/: Untuk mengurangi resiko infeksi nosokomial.
d) Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan
leukosit
R/: Penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat
terjadinya proses infeksi.
e) Kolaborasi untuk pemberian antibiotik
R/: Antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.

3. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat
akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti
kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan sampai berat dengan
akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam
bulan.
Tujuan : Nyeri dapat berkurang atau hilang
Kriteria hasil : - Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang
Intervensi dan Implementasi :
a) Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga.
R/: Hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b) Kaji tingkat intensitas dan frekwensi.
R/: Tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c) Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/: Memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri
d) Observasi tanda-tanda vital
R/: Untuk mengetahui perkembangan klien
e) Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/: Merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok
stimulasi nyeri.

4. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaan seorang individu yang tidak cukup
mempunyai energi fisiologi atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan
atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas
Kriteria hasil : - Perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dana nggota gerak lainnya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencana periode istirahat yang cukup
R/: Mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan
untuk aktivitas seperlunya secara optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap
R/: Tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan
menghemat tenagab namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/: Mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien
R/: Menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari
latihan.

5. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakan


fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitasoptimal
Kriteria hasil : - Penampilan yang seimbang
- Melakukan pergerakan dan perpindahan
- Mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat bantu
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
a) Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/: Mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi
b) Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas
R/: Mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidak
mampuan ataukah ketidak mauan
c) Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu
R/ : Menilai batasan kemampuan aktivitas optimal
d) Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif
R/: Mempertahankan / meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot
e) Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi
R/: Sebagai suatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan /
meningkatkan mobilitas pasien.

2.2.5 Evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau
intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan trauma abdomen adalah :
1. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
2. Infeksi tidak terjadi / terkontrol
3. Nyeri dapat berkurang atau hilang
4. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas
5. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
ASKEP TRAUMA ABDOMEN

>> Selasa, 08 Juli 2008

TRAUMA ABDOMEN

A. PENGERTIAN
Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional (Dorland,
2002).
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan
emosional yang hebat (Brooker, 2001).
Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44
tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma
tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus
serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa
tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat
kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 1995).

B. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI


1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh : pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman
(set-belt) (FKUI, 1995).

C. PATOFISIOLOGI
Tusukan/tembakan ; pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk
pengaman (set-belt)-Trauma abdomen- :
1. Trauma tumpul abdomen
Kehilangan darah.∅
Memar/jejas pada dinding perut.∅
Kerusakan organ-organ.∅
Nyeri∅
Iritasi cairan usus∅
2.Trauma tembus abdomen
Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ∅
Respon stres simpatis∅
Perdarahan dan pembekuan darah∅
Kontaminasi bakteri∅
Kematian sel∅
1 & 2 menyebabkan :
• Kerusakan integritas kulit
• Syok dan perdarahan
• Kerusakan pertukaran gas
• Risiko tinggi terhadap infeksi
• Nyeri akut (FKUI, 1995).

D. TANDA DAN GEJALA


1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium) :
Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ∅
Respon stres simpatis∅
Perdarahan dan pembekuan darah∅
Kontaminasi bakteri∅
Kematian sel∅
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
Kehilangan darah.∅
Memar/jejas pada dinding perut.∅
Kerusakan organ-organ.∅
Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut.∅
Iritasi cairan usus∅ (FKUI, 1995).

E. KOMPLIKASI
Segera : hemoragi, syok, dan cedera.Φ
Lambat : infeksi (Smeltzer, 2001).Φ

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
∃ Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ;
kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya darah
menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.
Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.∃
Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.∃
IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran kencing.∃
∃ Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan
adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang disertai dengan
trauma kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum pungsi no 18 atau 20
yang ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah
dibawah pusat dengan menggosokkan buli-buli terlebih dahulu.
Lavase peritoneal : pungsi∃ dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan memasukkan
cairan garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan kedalam rongga peritonium
(FKUI, 1995).

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kedaruratan ; ABCDE.#
Pemasangan NGT untuk pengosongan isi lambung dan mencegah aspirasi.#
Kateter dipasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai urin yang keluar
(perdarahan).#
# Pembedahan/laparatomi (untuk trauma tembus dan trauma tumpul jika terjadi
rangsangan peritoneal : syok ; bising usus tidak terdengar ; prolaps visera melalui luka
tusuk ; darah dalam lambung, buli-buli, rektum ; udara bebas intraperitoneal ; lavase
peritoneal positif ; cairan bebas dalam rongga perut) (FKUI, 1995).

MANAJEMEN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh
(Boedihartono, 1994).
Pengkajian pasien trauma abdomen (Smeltzer, 2001) adalah meliputi :
1. Trauma Tembus abdomen
Dapatkan riwayat mekanisme cedera ; kekuatan tusukan/tembakan ; kekuatan tumpul
(pukulan).≅
Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya : cedera tusuk, memar, dan tempat
keluarnya peluru.≅
≅ Auskultasi ada/tidaknya bising usus dan catat data dasar sehingga perubahan dapat
dideteksi. Adanya bising usus adalah tanda awal keterlibatan intraperitoneal ; jika ada
tanda iritasi peritonium, biasanya dilakukan laparatomi (insisi pembedahan kedalam
rongga abdomen).
Kaji pasien untuk progresi distensi abdomen, gerakkan≅ melindungi, nyeri tekan,
kekakuan otot atau nyeri lepas, penurunan bising usus, hipotensi dan syok.
Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera intra-abdomen, observasi cedera yang
berkaitan.≅
Catat semua tanda fisik selama pemeriksaan pasien.≅

2. Trauma tumpul abdomen


≅ Dapatkan riwayat detil jika mungkin (sering tidak bisa didapatkan, tidak akurat, atau
salah). dapatkan semua data yang mungkin tentang hal-hal sebagai berikut :
• Metode cedera.
• Waktu awitan gejala.
• Lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas (sopir sering menderita ruptur limpa atau
hati). Sabuk keselamatan digunakan/tidak, tipe restrain yang digunakan.
• Waktu makan atau minum terakhir.
• Kecenderungan perdarahan.
• Penyakit danmedikasi terbaru.
• Riwayat immunisasi, dengan perhatian pada tetanus.
• Alergi.
Lakukan pemeriksaan cepat pada seluruh tubuh pasienuntuk mendeteksi masalah yang
mengancam kehidupan.≅

PENATALAKSANAAN KEDARURATAN
1. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan, sirkulasi) sesuai
indikasi.
2. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakkan dapat menyebabkan
fragmentasi bekuan pada pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi masif.
a) Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem saraf.
b) Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.
c) Gunting baju dari luka.
d) Hitung jumlah luka.
e) Tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
3. Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera abdomen,
khususnya hati dan limpa mengalami trauma.
4. Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan dilakukan.
a) Berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan bendungan luka dada.
b) Pasang kateter IV diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan memperbaiki
dinamika sirkulasi.
c) Perhatikan kejadian syoksetelah respons awal terjadi terhadap transfusi ; ini sering
merupakan tanda adanya perdarrahan internal.
d) Dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi tempat perdarahan.
5. Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu mendeteksi luka
lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan mencegah
komplikasi paru karena aspirasi.
6. Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin basah untuk
mencegah nkekeringan visera.
a) Fleksikan lutut pasien ; posisi ini mencegah protusi lanjut.
b) Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik dan muntah.
7. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan
pantau haluaran urine.
8. Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda vital, haluaran urine, pembacaan
tekanan vena sentral pasien (bila diindikasikan), nilai hematokrit, dan status neurologik.
9. Siapkan untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat ketidakpastian
mengenai perdarahan intraperitonium.
10. Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi peritonium pada kasus
luka tusuk.
a) Jahitan dilakukan disekeliling luka.
b) Kateter kecil dimasukkan ke dalam luka.
c) Agens kontras dimasukkan melalui kateter ; sinar x menunjukkan apakah penetrasi
peritonium telah dilakukan.
11. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
12. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. trauma dapat menyebabkan
infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari lingkungan pada
waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi nosokomial).
13. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan darah,
adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.

PENATALAKSANAAN DIRUANG PERAWATAN LANJUTAN


B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun
potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994).
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) adalah :
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk.
2. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma/diskontinuitas jaringan.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, terapi
pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.

C. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI


Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan
untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono,
1994).
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan trauma
abdomen (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan
secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan
tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan
steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya
infeksi.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit
normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya
luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang
berisiko terjadi infeksi.

2. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan


sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan
leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat
terjadinya proses infeksi.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.

3. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat
akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti
kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai berat
dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari
enam bulan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : - Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri
d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok
stimulasi nyeri.

4. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup
mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan
atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil : - perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan
untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan
menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.

5. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan


fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil : - penampilan yang seimbang..
- melakukan pergerakkan dan perpindahan.
- mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
b. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena
ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
c. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
d. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
e. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.

D. EVALUASI
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau
intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan trauma abdomen adalah :
1. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
2. Infeksi tidak terjadi / terkontrol.
3. Nyeri dapat berkurang atau hilang.
4. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
5. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.

DAFTAR PUSTAKA
Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit, Jakarta.
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. EGC : Jakarta.
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta
Nasrul Effendi, 1995, Pengantar Proses Keperawatan, EGC, Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8
Vol.3. EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai