Anda di halaman 1dari 12

Liberalisme Dan Tamadun Melayu: Pembacaan dari

Perspektif Kajian Masa Depan


Selasa, 10 Julai 2007 10:19 | Ditulis oleh Prof.Abdullah |    

Prof Madya Abu Hassan Hasbullah, B.A., M.A. (Malaya) Ph.D. (Vienna)

Artikel ini diambil daripada Dialog Wacana Intelektual Dewan Bahasa dan Pustaka, 03
November 2008, dengan izin pengarang.

Fenomena menarik dalam pergaulan dunia Abad 21 dan abad-abad masa depan adalah
pencarian fungsi batas-batas fizik ekoposial (ekonomi, politik, dan sosial) dan budaya sebagai
pengadiluhung tradisi dan peradaban bangsa. Penggunaan jasa saitek (sains dan teknologi)
informasi, komunikasi dan transportasi, serta tekanan-tekanan perubahan kepercayaan sosio-
geografi akibat meledaknya pengaruh kepercayaan liberalisasi melalui globalisasi, yang
mencetuskan hegemonia kreolisasi yang terus meluas mendorong interaksi ekoposial dan
budaya antar bangsa yang semakin tinggi dan semakin bebas. Pada saat yang sama,
nasionalisme sebagai ideologi bangsa mengalami erosi fungsional (Aronowitz, 1973: 67).

Kemandirian tradisi adalah kekuatan utama bangsa berkembang pada saat bangsa-bangsa
besar yang menaja dan mendakwah kepercayaan globalisasi melalui kempen-kempen atas
nama hak asasi manusia, demokrasi dan liberalisasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi
melakukan hegemoni bagi kepentingan ekoposial sebagaimana jenayah kolonialisme pada
masa lalu. Campur tangan, penundukan dan penjajahan ke atas bangsa lain tidak lagi hanya
secara mengandalkan kekuatan militer dan peperangan fizikal dengan bunuh dan membunuh,
perkosa dan memperkosa, takluk dan menakluk, tetapi ke atas nilai-nilai budaya yang lebih
mematikan. Perubahan cara menguruskan kehidupan apabila berkembangnya segala macam
faedah dan mahsul dan lambungan produk-produk media baru yang lebih terbuka, bebas dan
mudah menjadikan kepercayaan terhadap nilai dan sistem, budaya dan warisan turun-temurun
yang dimiliki secara singular telah tidak sesuai pada zaman pluralisme.

Kuasa-kuasa besar yang sememangnya tidak pernah berhenti dalam mencapai agenda
penaklukan ke atas bangsa lain kerana demikian seluruh perbelanjaan baik yang ditatangkan
atas nama hak asasi manusia, demokrasi dan liberalisasi, sains dan teknologi yang digerakkan
dalam misi kemubalighan globalisasi, dan sekarang digandakan melalui isu terorisme
(Windelband, 1980: 160), dan semuanya akan menjadi lebih cepat dan lebih mudah kerja-
kerja dan rencana-rencana hegemoni mereka itu sekiranya kekuatan sesuatu bangsa itu sudah
dilemahkan. Kekuatan sesuatu bangsa itu adalah kekuatan yang ada pada tradisi, kemandirian
dan bersatu padu di atas nih nasionalisme, di atas leluhur peradaban yang menjadikan mereka
sebagai bangsa. Tanpa ideologi yang mampu menyatukan wawasan kebatinan warga,
perpaduan dan keadilan, dan demokrasi sejati dan kekukuhan budaya sebagai suatu kebijakan
menguruskan negara akan melemahkan bangsa dan negara, maksud kertas ini, negara kita
yang dicintai Malaysia. Ini penting dalam bertindak balas atas gejala global secara cerdas,
arif dan manusiawi.

Para pendiri bangsa; dari Sang Sapurba dan Demang Lebar Daun ke Parameswara, Sultan
Mansur Syah dan Tun Perak berserta Hang Tuah, Hang Jebat lima bersaudara, ke Dato
Bahaman, Dato’ Sagor, Tok Janggut, Tok Kenali, ke Dato Onn Jaafar, Tunku Abdul Rahman,
Ibrahim Yaacob, Tun Abdul Razak, ... sudah berhasil membangunkan bangsa (nation
building) namun bagi membangunkan perwatakan bangsa nampaknya memerlukan waktu
yang lebih panjang dengan kesabaran dan konsistensi. Upaya membangunkan perwatakan
bangsa tersebut nampaknya mengalami pasang surut sejalan dengan pergulatan bangsa dalam
menentukan arah perjuangan dan juga arah pembangunan.

Sebagai sebuah negara baru, selepas dijajah dengan kejamnya beratus tahun, dengan segala
macam musibah dan petaka jentaka menyerang yang sebagiannya meranapkan kebijakan dan
kebaikan, kemurnian dan peradaban sedia ada; dan sebahagian lagi mengajar pengalaman dan
membentuk perjuangan, masalah yang ditanggung oleh negara ini adalah yang bersangkut
pada pengurusan politik, terutama tentang persoalan ideologi negara, sesuatu hal yang
mendasar yang akan menentukan wujudnya budaya dan jati diri bangsa masa depan.
Pengurusan ekoposial negara sudah berada di tangan bangsa Malaysia sendiri dan ketika
inilah suatu kemungkinan ‘ya’ dan ‘tidak’ menjadi pertaruhan terutama semangat bagi
membangunkan budaya dan jati diri berasaskan paripurna leluhur, tradisi, adat resam, cara
hidup, kepercayaan, agama, Islam dan tamadun yang sudah mengukuh sejak asal usul bangsa
bermula lagi sama ada semakin menguat atau sebaliknya.

Tetapi apa yang dilihat kepada apa yang sedang terjadi pada hari ini, dalam perjalanan
menguruskan negara itu, di dalam kerja-kerja pembangunannya kelihatan kegelojohan
pembangunan berorientasikan material sehingga menumbuh budaya yang tidak sehaluan,
tidak secita-cita dengan semangat dan tamadun bangsa. Menguatnya proses materialisasi
melalui kerja-kerja urbanisasi dan modernisasi sudah menimbulkan menguatnya proses
dehumanisasi dalam berbagai bidang kehidupan sehingga terasa segala apa yang termilik
dalam peradaban sedia ada dalam bangsa ini sudah tidak terpakai lagi, sudah tidak berguna
lagi. Segala nilai dan aset budaya yang selama ini membentuk dan membina peradaban
bangsa dianggap suatu hal yang kolot, primitif dan mengancam kepentingan pembangunan
ekonomi. Lantas semua dasar, gerakan dan projek pembangunan ekonomi yang
direncanakan, yang digerakkan dengan pantas dan dipaksa untuk berbuat apa sahaja
sementelah mempunyai peluang bagi mengaut keuntungan dan mencipta kekayaan berganda-
ganda rupanya sama sekali tidak diimbangi dengan misi dan gerakan pembangunan
perwatakan bangsa (Chomsky, 1988: 23-81).

Akhirnya ini mengakibatkan berlakunya krisis budaya, yang kemudian berakhir pada
lemahnya ketahanan budaya, dan bangsa terkapai-kapai dalam keliru, berpecah belah akibat
daifnya pengetahuan terhadap sejarah dan tamadun, dan salah sangka terhadap budaya sendiri
sehingga jati diri sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi sudah mati.

Lemahnya ketahanan budaya dan kelirunya ketahuan tentang peradaban nusa tersebut
tercermin antara lain dan lemahnya kemampuan menyikapi dinamika perubahan sebagai
akibat dan segala macam tuntutan zaman yang secara kental diwarnai oleh derasnya serbuan
budaya global (Keniston, 1998: 6-8) melalui pendakwahan liberalisme, globalisme yang
dijenterakan oleh pesatnya saitek media dan komunikasi seperti kemajuan dalam
telekomunikasi dan multimedia. Namun sama sekali tidak sepatutnya dipersalahkan
kemajuan saitek komunikasi dan multimedia in kerana apa yang berlaku atas sesuatu bangsa
itu adalah datang dari cara bagaimana bangsa itu menguruskan budaya dan kehidupan
mereka. Kebudayaan nasional yang diharapkan mampu, sebagai katalisator dalam
mengadopsi nilai-nilai universal yang luhur dan sekali gus sebagai penapis terhadap
masuknya budaya global yang bersifat negatif ternyata sama sekali tidak mampu berfungsi
sebagaimana sepatutnya.

Tanpa adanya sikap adaptif-kritis, maka adopsi budaya negatif, antara lain: sikap konsumtif,
individualis-hedonis, dekaden, akan lebih cepat prosesnya dibandingkan dengan adopsi
budaya positif-produktif (Galtung, 1982: 13-32). Bangsa yang terjarak dan paramarupa
budayanya adalah bangsa yang menyebabkan tamadunnya menjadi padang jarak padang
tekukur. Bangsa yang keliru akhirnya akan menggunakan premis-premis pemikiran yang
tidak difahami untuk diuruskan dengan budiman dan bijaksana, lalu kemarian globalisme
bersama dengan ideologi liberalisme dan demokratisme total ke dalam masyarakat yang
tersangat kepelbagaian bentuk dan kandungan ras, budaya dan agama seperti Malaysia
akhirnya menyebabkan wujudnya masyarakat premonition.

Masyarakat yang kacau, yang keliru, akibat tafsiran-tafsiran semasa tanpa pengetahuan yang
kuat dan abadi terhadap sejarah, budaya dan tamadun; lalu berkembang dalam nilai-nilai
liberalisme yang dibangunkan sendiri sebagaimana dalam akal John Stuart Mill dalam
tulisannya “On Liberty: The sole end for which mankind are warranted, individually or
collectively, in interfering with the liberty of action of any of their number, is self-protection.
That the only purpose for which power can be rightfully exercised over any member of a
civilized community, against his will, is to prevent harm to others. His own good, either
physical or moral, is not a sufficient warrant” (Norberto, 1990: 123-124).

Lemahnya ketahanan budaya, lunturnya kepercayaan terhadap jati diri, krisisnya keyakinan
kepada warisan bangsa, hancurnya kecintaan terhadap sejarah dan peradaban bangsa
ditunjukkan oleh terjadinya krisis identiti, baik di peringkat politik, atau ekonomi mahupun
sosial, sebagai akibat semakin melemahnya dan semakin menghancurnya norma-norma lama
dan belum terkonsolidasinya norma baru yang baik dan murni, yang telah mengakibatkan
terjadinya sikap ambivalensi dan disorientasi tata nilai dan rukun hidup. Disorientasi tata nilai
dan rukun hidup, ditambah dengan tumbuh subumya semangat kebebasan, sudah
menyuburkan tumbuhnya pandangan yang serba boleh (permisif) (Keupp, 1999: 61-78) yang
mengakibatkan menguatnya berbagai macam divergensi dalam berbagai tatanan kehidupan
masyarakat, yang apabila hal tersebut berkembang secara berlebihan dan terlampau, selain
akan menyukarkan upaya membumikan gerak langkah pembangunan, juga cenderung bagi
menyebabkan konflik dalam berbagai tataran kehidupan.

Konflik ini semakin menjadi-jadi apabila pengaruh terhadap kepercayaan-kepercayaan yang


didakwahkan sebagai liberalisme, atau yang digegerkan oleh John Locke sebagai teori-teori
hak semulajadi mula meresap masuk ke segenap sanubari akal fikir dan akal rasa masyarakat,
terutama kesan yang mempengaruh dan mendadah pemikiran dan perbuatan dalam kalangan
para pengurus politik, yang mencaturkan perjalanan negara (Becker, 1982: 238-242).

Akhirnya kepercayaan bagi menerima agenda-agenda dalam liberalisme yang absolut seperti
yang digagaskan oleh Wilhelm von Humboldt dalam bukunya The Limits of State Action
(1792) sebagai cara yang konon boleh merubah dan membaikkan kedudukan rakyat yang
lazimnya (Alblaster, 1984: 353), menyebut alasan untuk, dan, dan ekonomi, menyebabkan
kebutaan melihat hakikat sehingga ada dasar yang sanggup membunuh sama sekali warisan
suci yang dipegang oleh bangsa berzaman-zaman lamanya, seperti bahasa.

Secara umum dapat digariskan bahawa krisis budaya yang terjadi lebih disebabkan oleh
sistem atau struktur yang dikembangkan belum selaras untuk tumbuhnya budaya luhur dan
murni yang mampu mewujudkan kejayaan bangsa dalam era persaingan global. Sistem yang
ada sudah terlanjur korup, yang antara lain disebabkan oleh rosak dan luluhnya kepercayaan
terhadap warisan peradaban dalam dan dan bangsa sendiri, hatta ada yang tanpa aib
memperlekehkannya. Sikap tidak peduli terhadap budaya dan peradaban sebagai nih
pembentukan renstra dan sistem pengukuhan bangsa, seperti ketidakpedulian terhadap
Bahasa Melayu oleh sistem pendidikan di Malaysia waktu ini adalah contoh bagaimana
sebuah peradaban akan lenyap dan binasa.

Kesan langsung dari sistem yang ninabobok sebegini adalah lahirnya masyarakat yang tidak
mempunyai identiti nasional dan identiti budaya yang kuat lalu wujudlah pembawa-pembawa
kebangkitan baru konon bagi menentang ‘ancient regime’ yakni sistem kerajaan dan
ekoposial serta budaya sedia ada melalui gerakan anti merkantilisme, feudalisme,
totalititarinisme dan kolektivisme (Kontrak Sosial) dan ‘berasaskan agama’ atas fahaman
liberalisasi seperti yang pernah dilaungkan oleh Frederic Bastiat, Gustave de Molinari,
Herbert Spencer, dan Auberon iaitu kehidupan yang diuruskan atas keinginan kebebasan
setiap individu, kumpulan dan kerajaan hanyalah sebuah biro perlindungan (Karl Hermann,
1971: 372).

2. KEBUDAYAAN DAN PRAHARA LIBERALISME

Budaya itu keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata
kelakuan, yang harus didapatinya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam
kehidupan masyarakat. Budaya terbentuk dari proses yang berterusan semasa sesuatu
masyarakat itu meneruskan kehidupan, dengan mencipta rukun-rukun, norma-nonna, nilai-
nilai yang kemudiannya menjadi sistem yang mengaturkan kehidupan itu, dan dijadikan
zentrum (Schmidt, 2003: 45-47) atau pusat kepada pembentukan pemikiran, perasaan dan
tindakan, yang diamalkan dari hari ke hari dan oleh segenap orang dan semua lapisan, yang
dapat disebut kemudiannya sebagai kebudayaan. Kebudayaan mengandung seluruh maksud
amalan dan kepercayaan, nilai dan norma, alat dan produk, sistem dan bentuk iaitu dan
urusan fizikal seperti pakaian, makanan dan minuman, rumah, pengangkutan, senjata
keselamatan dan sebagainya kepada sistem ekoposial yang melibatkan segala urusan dan hal
ehwal ekonomi, politik dan sosial, bahasa, seni, pendidikan dan ilmu pengetahuan, serta
agama.

Dengan kata lain kebudayaan ialah segala daya dan aktiviti manusia untuk mengolah dan
merubah alam demi untuk kebaikan dan kesejahteraan manusia sendiri, yang kemudiarmya
membina rukun-rukun hatta hukum-hukum dalam mensistemkan kehidupan manusia itu ke
arah mencapai bentuk kehidupan yang dinamik, progresif dan berkeperibadian, yang
memisahkan warna tamadunnya dengan tamadun yang lain. Kebudayaan adalah sehimpunan
nilai-nilai yang oleh masyarakat pendukungnya dijadikan acuan bagi perilaku bangsanya.
Nilai-nilai itu juga berpengaruh sebagai kerangka dalam membentuk dan membina,
menyusun dan mengatur, dan memastikan pandangan hidup yang kemudian menetapkan
keputusan-keputusan relatif oleh setiap ahli masyarakat bagi menentukan sikapnya terhadap
berbagai-bagai gejala dan peristiwa kehidupan. Nilai-nilai itu pada sendirinya merupakan
acuan dasar perlakuan, perwatakan, pemikiran yang dibentuk melalui kependidikan sejak
awal terutama dalam menyedarkan tentang yang mana perkara yang jahat, yang baik, yang
buruk, yang indah, dan sebagainya dalam seluruh rangkaian perwatakan dan perlakuan
seseorang atau seluruh bangsa itu.

Nilai-nilai yang lahir ini akan membentuk norma-norma (nomos) iaitu kepercayaan yang
sudah dipersetujukan sebagai kandungan rukun dan hukum kehidupan bangsa itu, seperti
adat, amalan tradisi dan warisan, yang secara normatifnya menjadi dasar berkembangnya
peradaban atau tamadun sebagai sebagian dan dinamika budaya itu. Lantaran budaya adalah
pengukur tamadun sesuatu bangsa, maka apa yang berlaku ke atas kebudayaan adalah
penentu kepada nasib sesuatu bangsa itu.

Pasang surut kebudayaan sepanjang tawarikh kemanusiaan nyata sekali ditentukan oleh
sejauh mana kebudayaan itu masih berlanjut sebagai kerangka acuan yang membentuk dan
menterjemahkan perilaku, perwatakan dan peradaban masyarakat itu. Misalnya, kebudayaan
Firaun yang berlaku dalam masyarakat Mesir kuno lumpuh dan hancur seiring dengan
runtuhnya perilaku dan perwatakan masyarakat Mesir. Begitu juga keagungan Turki sebagai
pusat tamadun Islam akhirnya tumbang dan binasa apabila datang dan bangsanya, Kamal
Attaturk yang melancarkan gerakan modernisasi atau ‘westernisasi’ (Akhtar, Ahmad: 1984:
5, 95) yang mengembangkan kepercayaan sekularisme melampau, sekali gus melenyapkan
seluruh kebudayaan agung Islam sebelumnya dan masyarakat Turki menjadi sebagian contoh
kaum yang keliru dan konfius sehingga sekarang. Maka jelas tamadun akan teguh selagi
kebudayaan bangsa itu teguh, dan kebudayaan akan kukuh selagi ia menjadi acuan kepada
bangsa yang mendukungnya (Sen, 2004)

Dalam sejarah kemanusiaan banyak contoh yang menunjukkan, bahawa timbul dan
tenggelamnya kebudayaan sekali gus tamadun bangsa itu sangat dipengaruhi oleh apa yang
terjadi dalam pertemuan dan pertembungan antar budaya, iaitu sejauh mana satu di antara
pihak yang saling bertemu kuat dan lemah dalam memiliki ketahanan budaya (Deleuze, 1992:
56). Sudah tentu peristiwa pertembungan antar(a) budaya ini akan menjadi sebuah sengketa
kebudayaan yang sangat dahsyat dalam kepercayaan globalisasi. Proses globalisasi yang
diakibatkan oleh berbagai prakarsa, yang terjadi dan meletus tanpa kawalan, dalam skala
yang sangat meluas dan melebar, berlaku secara segera mahupun serempak (serentak
simultaneous) akan memerangi sejauh mana sesuatu bangsa itu setia mempertahankan
kebudayaannya, dan sekukuh mana ketahanan budaya yang termilik oleh bangsa itu
(Whitbourn, 2000: 1-6) Lihat!
Dalam ertinya sekuat mana bangsa Melayu akan dapat mempertahankan budaya bangsanya.
Liberalisme akan meledakkan tanpa henti segala macam budaya asing, terutama yang negatif,
yang berusaha menakluki seluruh sistem positif dalam budaya sejati yang sedia ada dalam
peradaban bangsa Melayu. Liberalisme akan menempatkan kebudayaan yang entah dari
mana; yang entah kejadah apa, yang diertikan sebagai suatu gaya hidup yang baru, yang
dianggap superior berbanding dengan gaya hidup tradisi sedia ada kerana nilai
keantarabangsaannya, konon, dan gaya hidup yang baru ini akan menimbulkan kondisi sosial
yang ditandai oleh heteronomi (Althusser, Balibar, 1970: 139-141) iaitu bercampur aduk
dengan segala macam norma tanpa terkesan lagi sehingga menyebabkan terjadinya
keterasingan terhadap kebudayaan sendiri.

Sengketa globalisasi melalui liberalisme ke atas kebudayaan tulen bangsa dan peradaban
sejati bangsa akan teljadi dalam dimensi ruang dan waktu (Althusser, Balibar, 1970: 7).
Ruang makin diperdekat dan waktu makin dipersingkat sehingga seluruh alam ini seolah-olah
tertangkap dalam satu jaringan besar tanpa adanya suatu pusat tunggal. Keadaan ini
menyebabkan munculnya kekeliruan yang maha dahsyat dalam pemikiran dan perasaan
manusia kerana setiap seorang mula tidak dapat membezakan yang mana satu milik mereka
dan yang mana satu bukan. Akhirnya masing¬-masing mula tidak mampu bertahan dan
begitu mudah goyah sama ada ketakutan akan tewas dalam persaingan atau pertempuran
globalisasi.

Desakan bagi mempercayai globalisasi adalah suatu kemungkinan untuk berada dalam
rangkaian pluralsentrisme (Laclau, Mouffe, 1985: 85), yang saling berkuasa dalam
menentukan pengaruh dan hegemoni, menyebabkan banyak bangsa menjadi latah lalu tanpa
berfikir lagi, merencanakan projek-projek masa depan yang ditafsirkan sebagai sebagian
rencana memenangi sengketa globalisasi meski pada hakikatnya sudah membinasakan
dengan cukup dahsyat kekayaan dari khazanah tamadun sendiri. Kesan¬kesan ini sudah
kelihatan dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Malaysia Melayu. Ini belum mengambil
kira akibat daripada kepunahan yang datang daripada politik, dan meninjau bagaimana
susahnya hari ini untuk tamadun Jawi kembali, maka demikianlah azabnya untuk
mengembalikan sebuah tamadun setelah ia hilang dan musnah.

3. BUDAYA DAN BANGSA MELAYU: STUDI MASA DEPAN

Kita sekalian orang Melayu dalam Tanah Melayu ini pun, sesungguhpun kita mengaku dan
orang lain pun masih banyak yang membenarkan lagi negeri Tanah Melayu (dan Alam
Melayu) ini negeri tanah air kita sendiri, tetapi haruslah juga pada akhirnya kelak kita akan
beroleh nasib seperti yang sudah terjadi kepada orang-orang Melayu di negeri Cape Town itu
pula jikalau kita tidak beraga dan berusaha memelihara bahasa kita dan segala apa yang
dicawangkan oleh bahasa itu kepada kita sebagai semangat kebudayaan kita dan pusaka
daripada nenek moyang kita dahulu kala (Za'ba, Qalam: 1954).

Sebaik sahaja kerajaan mengumumkan akan melaksanakan pengajaran dan pembelajaran bagi
subjek sains dan matematik berpengantarkan bahasa Inggeris pada tahun 2002, dan
dimulakan secepat yang boleh, pada semua peringkat, bermula di sekolah rendah dan
menengah, dan arahan ini kemudiannya disambut pula oleh institusi pengajian tinggi maka
semua situasi dan peristiwa demikian itu cukup bagi menggambarkan bahawa akhimya
globalisasi menjadi suatu kepercayaan yang tidak dapat ditentang lagi,dan bermulalah
imperialisme budaya (Fiiredi, 1992: 225-227). Meskipun terdapat bantahan dan tentangan
dari para pencinta bahasa Melayu, dari mereka yang masih mempertaruhkan harapan kepada
budaya sendiri bagi mencipta kemajuan, namun bilamana para pejuang ini muncul
menyatakan pandangan tentang kebimbangan akan musnahnya jati diri dan identiti bangsa
secara jujur ditempelak sebagai cauvinis, atau neonasionalis yang terjauh dari realiti orde
baru dunia, segala-galanya memperjelaskan sengketa globalisasi (Thompson, 1990: 57-72) ke
atas kebudayaan dan tamadun tulen bangsa Melayu mula meninggalkan kesan yang sangat
menyakitkan, apatah sengketa itu datang dari anak bangsa sendiri yang lemas dan terpedaya
oleh ajaran-ajaran persaingan dan perebutan kuasa politik, ekonomi dan sosial dalam
globalisasi. Sebagai contoh, ajaran yang menyebut bahasa Inggeris sebagai bahasa global
yang menentukan segala keputusan dalam sengketa globalisasi itu.

Maknanya untuk berjaya menjadi maju dalam kepercayaan globalisasi adalah menerima apa
sahaja yang paling berpengaruh dan berkuasa di dalamnya seperti anggapan bahasa Inggeris
sebagai bahasa global itu?

“Civilization is a body, and culture is its soul. Civilization is an external manifestation,


whereas culture is internal. Civilization as a development from stone huts to marbled houses
is a mere rearrangement of our life in the material world. Cultural development, on the other
hand, arises from faith in God. Railroads, television, faxes, computers, nuclear weapons, etc.,
may represent civilization, but not culture” (Madan Lal, 1999).

Meneliti atas garis studi budaya dan studi masa depan ke atas sikap melihat dan memahat
kefahaman tentang kebudayaan dan cara-cara membangunkan apresiasi ke atasnya sebagai
ruh peradaban, maka dirasakan usaha-usaha yang kita dan bangsa kita, Melayu ini lakukan,
masih jauh daripada suatu cara berkerja bagi mempertahankan peradaban. Malah seperti yang
disebut tadi, psikologi kita yang terkenal dengan penyakit 'latah' dan 'amuk' sering
menyebabkan tindakan yang kita lakukan dalam semua pekerjaan terutama pembangunan
materi dalam maksud pemajuan ekoposial sering tidak berasaskan suatu pemikiran yang jauh,
dalam dan taat kepada memperkukuhkan jati diri, mengangkat leluhur sebagai tamadun, dan
mengutamakan kebudayaan sendiri, akhirnya liberalisme mengambil ruang ini untuk
berkembang.

Sebaliknya banyak hal yang kita rencanakan adalah didorong oleh kebodohan dan kejahilan
untuk mengetahui tentang kebudayaan agung sendiri sebaliknya begitu celaka untuk memuja
pertunjukan budaya asing, yang kita fahamkan perpaduan dari kemajuan dunia yang tidak
dapat ditolak, malah harus menjadi fanatik yang berbuat apa sahaja agar kita dilihat sebagai
moden dan kontemporari. Walhal kegilaan untuk disebut maju itu sudah mengakibatkan
seluruh nilai, norma dan sistem kehidupan kita bergerak mundur menjadi primitif kembali
kerana kemajuan yang kita katakan itu begitu jauh dari peradaban yang kita miliki. Inilah
masalah. Inilah penyakit. Inilah yang tidak selesai-selesai, pemikiran yang meletakkan
kebudayaan peradaban bangsa sendiri sebagai harta yang kolot dan tidak seharusnya
dijadikan pusaka masa depan. Maka sudah tentu prakarsa dalam mengembalikan fungsi,
kedudukan dan adiluhung kebudayaan dan warisan adalah suatu yang bukan mudah. Menjadi
lebih payah sekiranya ancaman itu datang dari kemuslihatan yang dibina oleh kita sendiri.
Justeru itu setiap ahli masyarakat hendaklah kembali menyatukan diri dengan kepercayaan
bahawa kebudayaan, seni, warisan, kepercayaan milik asal mereka adalah sesuatu yang
menjadi tanggungjawab abadi untuk diagungkan.

a. Bahasa
b. Sejarah
c. Seni dan Sastera
d. Adat, Tradisi, dan Warisan
e. Kekeluargaan dan Kemasyarakatan

Arakian disebutkan LIMA PARIPURNA yang menegakkan adiluhung peradaban Melayu,


dan kertas ini akan membicarakannya secara bersama.

Anekdot ini dipetik daripada Antologi Penulisan Blog, munng-wlen, "Dongeng Sehelai
Kertas" untuk rujukan kertas seminar ini (muring-wien, 2003)

Jun 26, 2003 - Khamis Perdana Menteri dalam ucapan beliau di Persidangan Agung UMNO,
mengajak umat Malaysia supaya berpaling ke Eropah, sepantas itu juga Menteri Pendidikan,
Tan Sri Musa Muhammad mengumumkan penubuhan sekretariat pengajian Eropah yang
akan dibangunkan di Universiti Malaya, di Pusat Pengajian Eropah. Pandangan jujur dan
amok aksi oleh Menpen menggaris bawahi dengan jelas bahawa kesedaran untuk melihat
wilayah Eropah sebagai rakan dalam pembangunan ekoposial telah wujud secara nyata.
Sudah banyak kali di dalam gaharasiber ini dihuraikan tentang bagaimana bangsa Eropah,
dengan mengambil contoh, Austria, Luxembourg, Lichenstein, Switzerland, German, Itali
bahkan bekas Blok Timur seperti Estonia, Czech, Slovakia, Hungary, Romania, dan Bulgaria
sudah berjaya membentuk suatu pembangunan ekoposial yang sangat sukses dan sempurna.
Kestabilan eskoposial mereka bukan sahaja ditandai oleh kecemerlangan prestasi dan potensi
yang ditunjukkan oleh Euro tetapi kecemerlangan yang lebih dalam iaitu bagaimana bangsa
Eropah membangunkan sistem ekoposial mereka berteraskan kepercayaan kepada keluhuran
budaya. Pembentukan fikiran dan perasaan bangsa Eropah dimotori oleh ketaatan, kesetiaan,
dan kecintaan pada leluhur.

Dari sistem kependidikan sehinggalah kepada kepolitikan bangsa Eropah bergerak di atas
landasan kebudayaan tinggi yang lahir lewat ribuan falsafah dari para pemikir bangsa
mereka. Proses kependidikan Eropah yang bertolak dari teras kesenian melalui pengajian ke
atas kesasteraan, falsafah dan estetika sudah menghasilkan suatu bentuk masyarakat yang
menghargai kehidupan saksama, adil, dan jauhari.

Kependidikan ini berjaya membina suatu tamadun ekoposial yang sangat kukuh apabila isu-
isu kepincangan dalam politik, ekonomi dan sosial telah dapat diatasi sepenuhnya dengan
kesedaran yang wujud dalam kalangan bangsa Eropah tentang perlunya suatu bentuk
kehidupan yang harmoni, yang berstruktur, yang berpegang kepada nilai, norma, dan
keperibadian berbudaya tinggi.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan jikalau jenayah dan segala macam ketabiatan baik
daripada aspek sikap mahupun sifat yang buruk sudah dapat diatasi sepenuhnya. Bangsa
Eropah membangun dalam sistem kepolitikan yang jujur dan terbuka, yang tidak dinodai oleh
pengkhianatan untuk berebut kekayaan secara individual tetapi kekukuhan pegangan tentang
perkongsian pemilikan secara liberal dan demokratis. Dalam pendidikan mereka sendiri,
amalan pembelajaran dan pengajaran adalah bertumpu kepada pembentukan nilai dan norma
melalui sistem yang menekankan pengajian pemikiran dan pengajian pembentukan tingkah
laku seperti meletakkan pembelajaran seni sebagai asas dan sains sebagai penggerak.
Pendidikan yang berteraskan seni, yang memberi ruang yang cukup besar kepada idea-idea
tentang keharmonian, kesaksamaan, dan kebudayaan yang tinggi lewat terakam dalam
pelbagai bentuk teks kesasteraan, dari puisi ke novel, dari porselin ke filem, dari arkitektur
bangunan ke arkitektur perbandaran, dari isu psikologikal ke isu antropologikal, dari ilmu
mengenai epistemilogi ke teologi, dari pendedahan terhadap sukan sehingga kepada polilik
menjadikan pelajar yang membentuk masyarakat nanti sedar peri penting seluruh aspek
mengawal dan menentukan kedudukan nilai dan norma tadi pada tahap yang cemerlang dan
kukuh.

Meskipun tidak dinafikan ada gejala liberalisasi yang melampau namun kelampauan itu tidak
pernah sama dengan 'kemelampauan' yang berlaku di Asia. Bangsa Eropah tidak hanya
melihat tentang kepesatan pembangunan materi yang menjanjikan pembinaan bangunan
tinggi pencakar langit, seperti yang dilakukan oleh Kuala Lumpur sebagai bukti pemodenan
dan kemajuannya, sebaliknya mereka tetap teguh memelihara dan pada masa yang sama
memulihara segala macam budaya yang menjadi milik mereka sehingga soal 'membancuh
kopi' dan meletakkan 'alas meja' adalah identiti penting pada perniagaan restoran di Eropah.

Budaya ini juga kemudiannya menghasilkan masyarakat yang berpendidikan tinggi, yang
sedar tentang falsafah kehidupan secara ketat dan dalam, yang meneruskan kecemerlangan
identiti masa silam. Pendidikan yang melihat proses pembinaan manusia adalah bermula
daripada kesedaran membina 'nilai kasih', 'nilai cinta', dan 'nilai leluhur' akhirnya melahirkan
masyarakat yang sentiasa peka dan sensitif kepada kebaikan dan membenci keburukan. Ini
kerana melalui seni, dan semua seni itu, adalah suatu kompleks akal rasa dan akal fikir yang
mencari jalan kepada titik kehidupan yang cantik dan harmoni maka dengan penerapan
kependidikan seni akan bermaksud mengasuh nilai cantik dan harmoni ini buat masyarakat.
Segala unsur adalah sumber yang dapat dimanfaatkan sebagaimana seni itu sendiri
menghargai semua sumber.

Lalu masyarakat Eropah lebih bergerak di atas kerasionalan hidup bukannya di atas
keseronokan di dalam mengusaikan hidup dan menyatakannya melalui lambang-lambang dan
bukannya sikap perasaan dan pikiran. Lihat sahaja di Vienna, segala sistem ekoposial dari
pengurusan pengangkutan awam sehingga kepada pengurusan kemalangan, dari hal yang
berkaitan dengan keselamatan sehingga kepada restoran dan kafe adalah terurus dengan
penuh kestrukturan yang meletakkan kesedaran berpercaya pada budaya pada tahap amat
tinggi.

Pengukuhan nilai budaya PASTI AKAN MELAHIRKAN MASYARAKAT YANG LEBIH


FAHAM TENTANG FUNGSINYA dalam kehidupan ini.

Abad 21, ada1ah abad perang informasi dan seterusnya sebuah abad yang telah menerima
pluralisme sebagai cara menguruskan penghidupan. Tentunya dalam liberalisme dan
plura1isme maka cabaran akan menjadi lebih besar dalam mempertahankan kebudayaan,
warisan dan peradaban memandangkan peristiwa peradaban adalah berlaku dalam bentuk
mempertahankan singularisme, atau kepentingan sesuatu bangsa. Begitulah, pada bangsa
Melayu akan pasti tugas yang paling agung adalah prakarsa dan renstra mempertahankan
nilai, sistem, adat warisan, tradisi dan budaya terutama bahasa yang sekian lama menjadi rub
pada peradaban bangsa Melayu sehingga menempatkan bangsa Melayu sebagai salah satu
bangsa yang paling tinggi pencapaian tamadunnya.

Bagi bersaing dan mampu menguruskan budaya Melayu dalam abad yang semacam ini maka
sudah tentu begitu perlunya semua individu, organisasi, institusi dan masyarakat Melayu
merangka renstra bagi mengukuhkan fungsi dan peranan budaya termasuk seni warisan
Melayu, apatah bahasa, bukan sekadar medium sebaliknya sebagai suatu cara
memperlengkapkan semua aktiviti dan graviti penghidupan seperti pendidikan, pembangunan
ekonomi termasuk politik. Jalannya cukup mudah, untuk membolehkan ukiran Melayu
menjadi agung maka sudah wajarnya mewajibkan semua bangunan yang didirikan di negara
ini harus mempunyai ukiran Melayu, sekira bukan untuk tiangnya, sudah cukup untuk
menjadi sebahagian daripada dinding-dindingnya. Maka begitulah pentingnya kesusasteraan
Melayu seperti dikir barat, makyong, menora, main puteri, syair, pantun, tarian inai dan
sebagainya menjadi sebahagian asas pengetahuan falsafah tamadun Melayu dalam sistem
pendidikan nasional.

4. KESIMPULAN: TAMADUN MENGADILUHUNG REFORMASI DIRI DAN

Kasus terpeleoknya peradaban ditandakan oleh rudumnya nilai, identiti dan kebudayaan.
Peradaban akan menemukan jalan buntu untuk dicapai apabila bangsa yang sepatutnya
mengendalikan hal ehwal yang berkaitan dengan kebudayaan mereka telah menanamkan
sikap prejudis dan membenci kebudayaan sendiri. Arus pertama yang akan menterbalikkan
misi ini adalah penglemahan peranan bahasa, agama dan sistem tradisi.

Bangsa yang hilang pengaruh dari peranan yang dimainkan oleh agama, bahasa dan sistem
tradisi akan mula terbabas dari jalan yang sepatutnya mereka berada lalu dengan mudah nilai
dan identiti asing menyerang dan menjarah lalu bagaikan sekumpulan bandit menyerbu
sebuah desa, bangsa itu akan hancur lebur bertebaran seumpama debu yang dilepaskan dari
cerpong-cerpong kilang. Bangsa ini akan sendiri menjadi hitam gelemat dan tidak lama akan
menemukan kematiannya.

Revolusi ekoposial itu tidaklah terkait dengan gerakan-gerakan liar, ganas dan tidak
bertamadun sebagaimana perbuatan kelas yang tidak berevolusi itu juga, tetapi adalah sebuah
revolusi kebudayaan, pemikiran, dan revolusi ideologi. Yakni bagaimana asa untuk
mengubah tauhid dari aqidah yang pasif dan negatif, yang tidak tidak punya pengaruh pada
kehidupan individu, pada kehidupan masyarakat, dan pada sejarah menuju ke suatu dinamika
baru yang lebih progresif, yang bukan saja mengajak pertukaran paradigma, tetapi perubahan
paradigma, daripada strata yang rosak kepada zentrum yang lebih sarna rata, bermoral dan
beriman. Seperti kata Muhammad Iqbal, "Tauhid adalah kekuatan dinamis di muka bumi
untuk melakukan revolusi."

Prakarsa utama yang perlu ada dalam setiap diri individu, masyarakat, organisasi dan institusi
adalah untuk mempunyai suatu renstra pencerahan membangunkan aktiviti dalam
memperkukuhkan dan memperkasakan budaya dan warisan peradaban secara intelektual dan
profesional. Maksudnya perlu ada suatu bentuk kesungguhan dan sikap peduli yang sangat
tinggi, yang tidak terlalu bergantung pada acara-acara yang dianjurkan secara rasmi,
seba1iknya graviti ikhtiar di peringkat tanggungjawab secara sukare1a. Apapun bentuk
kebudayaan dan seni warisan akan berdepan dengan ancaman tersingkir dari zaman yang
lumrahnya akan berubah dari aspek kepercayaannya, ideologi dan idealisme, maka dalam
kondisi yang sebegini, peranan yang terancang dan sentiasa dimajukan akan dapat
mengurangkan tekanan dan pengaruh asing yang mencuba untuk memusnahkan nilai dan
kebijakan sedia ada. Usaha-usaha hendaklah sentiasa dimajukan, sama ada di peringkat lokal,
nasional mahupun intemasional khususnya dalam mengukuhkan intelktualisme dan
profesionalisme pengurusan dan penggerak aktiviti kebudayaan dan seni warisan ini.
Memang, tugas untuk menjaga peradaban bukan tugas individu, atau sekumpulan orang, atau
sebuah organisasi atau institusi, tetapi tugas semua ahli dalam bangsa itu, namun gravitas
pengukuhan tidak bermula dari atas, sebaliknya dari cara-cara setiap orang yang kemudian
membentuk kumpulan dan sebagainya dalam mempertahankan kebudayaan, seni dan
warisan.

Seandainya semua orang, berperanan, maka sudah tentu nasib tulisan Jawi tidaklah sampai ke
tahap kita perlu mengadakan program pemulihan semula, dengan kempenkempen dan acara-
acara sedangkan peradaban tulisan Jawi itu sudah agung sekian lama, dan menjadi identiti
bangsa Melayu sejak awal peradabannya. Jawi yang hilang secara tiba-tiba adalah akibat
keangkaran kita sendiri, baik di peringkat individu apatah lagi politik untuk menerimanya
sebagai nilai yang mengadikuasakan peradaban Melayu. Maka begitulah satu persatu kita
memerlukan acara-acara kempen semula apabila kita mula tersedar budaya dan seni warisan
misalnya telah semakin pupus dan lenyap.

Tamadun Melayu itu sendiri ditegakkan di atas falsafah yang sudah jelas:

Yang kurik itu kundi,


Yang merah itu saga;
Yang molek itu budi,
Yang indah itu bahasa.

KEPUSTAKAAN

Abu Hassan Hasbullah, "Cultural Studies as Geistenswissenschaften? Communication, Media


and Film". Seminar on Media Science. Institut fur Publizistik - und
Kommunikationswissenschaft, Universiti Vienna, September 2004

Adnan Haji Nawang, Za'ba: Patriot dan Pend eta Melayu. Kuala Lumpur: Yayasan Penataran
Ilmu, 1994

Akhtar, Wahid dan Jalal Ali Ahmad. "The Evils of Westernization". Terj. R. Campbell,
Occidentosis: A Plague From The West. Berkeley: Mizan Press, 1984

Alblaster, Anthony. The Rise and Decline of Western Liberalism. New York: Basil
Blackwell, 1984

Althusser, Louis dan Etienne Balibar. Reading Capital. London: Verso, 1970

Aronowitz, Stanley. False Promises. New York: McGraw Hill, 1973

Becker, Werner. Die Freiheit, die wir meinen: EntscheidungfUr die liberale Demokratie.
Munich: Piper, 1982

Bobbio, Norberto. Liberalism and Democracy, trans. Martin Ryle and Kate Soper, London:
Verso, 1990

Flach, Karl Hermann. Noch eine Chance fUr die Liberalen; oder, die Zukunft der Freiheit.
Frankfurt: S. Fischer, 1971

Fiiredi, Frank. Mythical Past, Elusive Future. London: Pluto, 1992

Galtung, Joan. Beitriige zur Friedens- und Konfliktforschung. Hamburg: Reinbeck, 1982
Gilles Deleuze, Gilles. Differenz und Wiederholung. Miinchen: Fink Verlag, 1992

Hassan Hanafi. Min Al-Aqidah ita Al-Tsaurah, (terj.) Dari Aqidah ke Revolusi. Jakarta:
Paramadina, 2003

HS L Murbandono, HS L. "Reformasi Membela Kaum Susah". Radio Nederland


Wereldomroep, 2003

http://www.kakiseni.com/artic1es/ colurnns/MDIyMQ.html

Keniston, Kenneth. "Cultural Diversity or Global Monoculture The Impacts of the


Information Age", Conference Paper on "The Global Village". Bangalore, Karnataka,
India, November 2, 1998

Keupp, Thomas Ahbe et al. Identitatskonstruktionen. Das Patchwork der Identitaten in der
Spatmoderne. Hamburg: Reinbeck, 1999

Laclau, Emesto dan Chantal Mouffe. Hegemony and Socialist Strategy. London: Verso, 1985

Lal, Pandit Madan. "High Culture First! Civilization's Development Are Only A Shell".
http://www.hinduismtoday.com/archives/ 1999/8/ 1999-8-06.shtml

Noam Chomsky, Noam. The Culture ofTerrorism. Boston: South End Press, 1988 Press and
Stanford University Press, 1990

Schmidt, Siegfried J. Geshichten & Diskurse. Abschied vom Konstruktivismus. Hamburg:


Reinbeck, 2003

Sen, Amartya. "Does Globalization Equal http://www.theglobalist.com/DBW


eb/StoryId.aspx?StoryId=23 53

Westernization?" .

Thompson, John. Ideology and Modern Culture. Cambridge and Stanford: Polity

Whitboum, Cade. "How Our Culture Construct Our Identity (?)". 2000

Windelband, Wilhelm. "History and Natural Science". Terj. Guy Oakes. History and Theory
XIX, Volume 2, 1980

Anda mungkin juga menyukai