Anda di halaman 1dari 5

Lebih Jauh dengan HIV/AIDS dan Penanggulanggannya

HIV - www.stanford.edu
Sampai kini, mendengar kata HIV/AIDS seperti momok yang mengerikan. Padahal jika dipahami
secara logis, HIV/AIDS bisa dengan mudah dihindari. Bagaimana itu?
Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia telah bergerak dengan laju yang sangat mengkhawatirkan. Pada
tahun 1987, kasus HIV/AIDS ditemukan untuk pertama kalinya hanya di Pulau Bali. Sementara
sekarang (2007), hampir semua provinsi di Indonesia sudah ditemukan kasus HIV/AIDS.
Permasalahan HIV/AIDS telah sejak lama menjadi isu bersama yang terus menyedot perhatian
berbagai kalangan, terutama sektor kesehatan. Namun sesungguhnya masih banyak informasi dan
pemahaman tentang permasalahan kesehatan ini yang masih belum diketahui lebih jauh oleh
masyarakat.
HIV adalah virus penyebab AIDS. HIV terdapat dalam cairan tubuh seseorang seperti darah, cairan
kelamin (air mani atau cairan vagina yang telah terinfeksi) dan air susu ibu yang telah terinfeksi.
Sedangkan AIDS adalah sindrom menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. Orang yang
mengidap AIDS amat mudah tertular oleh berbagai macam penyakit karena sistem kekebalan tubuh
penderita telah menurun.HIV dapat menular ke orang lain melalui :
 Hubungan seksual (anal, oral, vaginal) yang tidak terlindungi (tanpa kondom) dengan orang
yang telah terinfeksi HIV.
 Jarum suntik/tindik/tato yang tidak steril dan dipakai bergantian
 Mendapatkan transfusi darah yang mengandung virus HIV
 Ibu penderita HIV Positif kepada bayinya ketika dalam kandungan, saat melahirkan atau
melalui air susu ibu (ASI)
Penularan
HIV tidak ditularkan melalui hubungan sosial yang biasa seperti jabatan tangan, bersentuhan,
berciuman biasa, berpelukan, penggunaan peralatan makan dan minum, gigitan nyamuk, kolam renang,
penggunaan kamar mandi atau WC/Jamban yang sama atau tinggal serumah bersama Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA). ODHA yaitu pengidap HIV atau AIDS. Sedangkan OHIDA (Orang hidup dengan
HIV atau AIDS) yakni keluarga (anak, istri, suami, ayah, ibu) atau teman-teman pengidap HIV atau
AIDS.
Lebih dari 80% infeksi HIV diderita oleh kelompok usia produktif terutama laki-laki, tetapi proporsi
penderita HIV perempuan cenderung meningkat. Infeksi pada bayi dan anak, 90 % terjadi dari Ibu
pengidap HIV. Hingga beberapa tahun, seorang pengidap HIV tidak menunjukkan gejala-gejala klinis
tertular HIV, namun demikian orang tersebut dapat menularkan kepada orang lain. Setelah itu, AIDS
mulai berkembang dan menunjukkan tanda-tanda atau gejala-gejala.Tanda-tanda klinis penderita
AIDS :
1. Berat badan menurun lebih dari 10 % dalam 1 bulan
2. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
3. Demam berkepanjangan lebih dari1 bulan
4. Penurunan kesadaran dan gangguan-gangguan neurologis
5. Dimensia/HIV ensefalopati
Gejala minor :
1. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
2. Dermatitis generalisata yang gatal
3. Adanya Herpes zoster multisegmental dan berulang
4. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
HIV dan AIDS dapat menyerang siapa saja. Namun pada kelompok rawan mempunyai risiko besar
tertular HIV penyebab AIDS, yaitu :
1. Orang yang berperilaku seksual dengan berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom
2. Pengguna narkoba suntik yang menggunakan jarum suntik secara bersama-sama
3. Pasangan seksual pengguna narkoba suntik
4. Bayi yang ibunya positif HIV
HIV dapat dicegah dengan memutus rantai penularan, yaitu ; menggunakan kondom pada setiap
hubungan seks berisiko,tidak menggunakan jarum suntik secara bersam-sama, dan sedapat mungkin
tidak memberi ASI pada anak bila ibu positif HIV. Sampai saat ini belum ada obat yang dapat
mengobati AIDS, tetapi yang ada adalah obat untuk menekan perkembangan virus HIV sehingga
kualitas hidup ODHA tersebut meningkat. Obat ini harus diminum sepanjang hidup.
Skrining Dengan Teknologi Modern
Sebagian besar test HIV adalah test antibodi yang mengukur antibodi yang dibuat tubuh untuk
melawan HIV. Ia memerlukan waktu bagi sistim imun untuk memproduksi antibodi yang cukup untuk
dideteksi oleh test antibodi. Periode waktu ini dapat bervariasi antara satu orang dengan orang lainnya.
Periode ini biasa diseput sebagai ‘periode jendela’. Sebagian besar orang akan mengembangkan
antibodi yang dapat dideteksi dalam waktu 2 sampai 8 minggu. Bagaimanapun, terdapat kemungkinan
bahwa beberapa individu akan memerlukan waktu lebih lama untuk mengembangkan antibodi yang
dapat terdeteksi. Maka, jika test HIV awal negatif dilakukan dalam waktu 3 bulan setelah kemungkinan
pemaparan kuman, test ulang harus dilakukan sekitar 3 bulan kemudian, untuk menghindari
kemungkinan hasil negatif palsu. 97% manusia akan mengembangkan antibodi pada 3 bulan pertama
setelah infeksi HIV terjadi. Pada kasus yang sangat langka, akan diperlukan 6 bulan untuk
mengembangkan antibodi terhadap HIV.
Tipe test yang lain adalah test RNA, yang dapat mendeteksi HIV secara langsung. Waktu antara infeksi
HIV dan deteksi RNA adalah antara 9-11 hari. Test ini, yang lebih mahal dan digunakan lebih jarang
daripada test antibodi, telah digunakan di beberapa daerah di Amerika Serikat.
Dalam sebagian besar kasus, EIA (enzyme immunoassay) digunakan pada sampel darah yang diambil
dari vena, adalah test skrining yang paling umum untuk mendeteksi antibodi HIV. EIA positif (reaktif)
harus digunakan dengan test konformasi seperti Western Blot untuk memastikan diagnosis positif. Ada
beberapa tipe test EIA yang menggunakan cairan tubuh lainnya untuk menemukan antibodi HIV.
Mereka adalah
 Test Cairan Oral. Menggunakan cairan oral (bukan saliva) yang dikumpulkan dari mulut
menggunakan alat khusus. Ini adalah test antibodi EIA yang serupa dengan test darah dengan
EIA. Test konformasi dengan metode Western Blot dilakukan dengan sampel yang sama.
 Test Urine. Menggunakan urine, bukan darah. Sensitivitas dan spesifitas dari test ini adalah
tidak sebaik test darah dan cairan oral. Ia juga memerlukan test konformasi dengan metode
Western Blot dengan sampel urine yang sama.
Jika seorang pasien mendapatkan hasil HIV positif, itu tidak berarti bahwa pasangan hidup dia juga
positif. HIV tidak harus ditransmisikan setiap kali terjadi hubungan seksual. Satu-satunya cara untuk
mengetahui apakah pasangan hidup pasien tersebut mendapat HIV positif atau tidak adalah dengan
melakukan test HIV terhadapnya.Test HIV selama kehamilan adalah penting, sebab terapi anti-viral
dapat meningkatkan kesehatan ibu dan menurunkan kemungkinan dari wanita hamil yang HIV positif
untuk menularkan HIV pada anaknya pada sebelum, selama, atau sesudah kelahiran. Terapi sebaiknya
dimulai seawal mungkin pada masa kehamilan.
Di Indonesia, rumah sakit besar di ibu kota provinsi telah menyediakan fasilitas untuk test HIV/AIDS.
Di Jakarta, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Rumah sakit lain juga sudah memiliki
fasilitas untuk itu. Di Bandung, RS Hasan Sadikin juga sudah memiliki fasilitas yang sama.
Daftar Pustaka
http://www.depkes.go.id/. Fakta Tentang HIV dan AIDS. 05 Dec 2006.
http://www.depkes.go.id/. Kumulatif Kasus HIV/AIDS di Indonesia. 2006.
http://www.hivtest.org/. Frequently Asked Question on HIV/AIDS. 2007.
Adakah Obat untuk HIV/AIDS Saat Ini?
Ditulis oleh Safri Ishmayana pada 11-07-2005
AIDS merupakan penyakit yang paling ditakuti pada saat ini. HIV, virus yang menyebabkan penyakit
ini, merusak sistem pertahanan tubuh (sistem imun), sehingga orang-orang yang menderita penyakit ini
kemampuan untuk mempertahankan dirinya dari serangan penyakit menjadi berkurang. Seseorang yang
positif mengidap HIV, belum tentu mengidap AIDS. Banyak kasus di mana seseorang positif mengidap
HIV, tetapi tidak menjadi sakit dalam jangka waktu yang lama. Namun, HIV yang ada pada tubuh
seseorang akan terus merusak sistem imun. Akibatnya, virus, jamur dan bakteri yang biasanya tidak
berbahaya menjadi sangat berbahaya karena rusaknya sistem imun tubuh.
Karena ganasnya penyakit ini, maka berbagai usaha dilakukan untuk mengembangkan obat-obatan
yang dapat mengatasinya. Pengobatan yang berkembang saat ini, targetnya adalah enzim-enzim yang
dihasilkan oleh HIV dan diperlukan oleh virus tersebut untuk berkembang. Enzim-enzim ini dihambat
dengan menggunakan inhibitor yang nantinya akan menghambat kerja enzim-enzim tersebut dan pada
akhirnya akan menghambat pertumbuhan virus HIV.
HIV merupakan suatu virus yang material genetiknya adalah RNA (asam ribonukleat) yang dibungkus
oleh suatu matriks yang sebagian besar terdiri atas protein. Untuk tumbuh, materi genetik ini perlu
diubah menjadi DNA (asam deoksiribonukleat), diintegrasikan ke dalam DNA inang, dan selanjutnya
mengalami proses yang akhirnya akan menghasilkan protein. Protein-protein yang dihasilkan kemudian
akan membentuk virus-virus baru.

Gambar 1A Struktur Virus HIV

Gambar 1B Daur hidup HIV


Obat-obatan yang telah ditemukan pada saat ini menghambat pengubahan RNA menjadi DNA dan
menghambat pembentukan protein-protein aktif. Enzim yang membantu pengubahan RNA menjadi
DNA disebut reverse transcriptase, sedangkan yang membantu pembentukan protein-protein aktif
disebut protease.
Untuk dapat membentuk protein yang aktif, informasi genetik yang tersimpan pada RNA virus harus
diubah terlebih dahulu menjadi DNA. Reverse transcriptase membantu proses pengubahan RNA
menjadi DNA. Jika proses pembentukan DNA dihambat, maka proses pembentukan protein juga
menjadi terhambat. Oleh karena itu, pembentukan virus-virus yang baru menjadi berjalan dengan
lambat. Jadi, penggunaan obat-obatan penghambat enzim reverse transcriptase tidak secara tuntas
menghancurkan virus yang terdapat di dalam tubuh. Penggunaan obat-obatan jenis ini hanya
menghambat proses pembentukan virus baru, dan proses penghambatan ini pun tidak dapat
menghentikan proses pembentukan virus baru secara total.
Obat-obatan lain yang sekarang ini juga banyak berkembang adalah penggunaan penghambat enzim
protease. Dari DNA yang berasal dari RNA virus, akan dibentuk protein-protein yang nantinya akan
berperan dalam proses pembentukan partikel virus yang baru. Pada mulanya, protein-protein yang
dibentuk berada dalam bentuk yang tidak aktif. Untuk mengaktifkannya, maka protein-protein yang
dihasilkan harus dipotong pada tempat-tempat tertentu. Di sinilah peranan protease. Protease akan
memotong protein pada tempat tertentu dari suatu protein yang terbentuk dari DNA, dan akhirnya akan
menghasilkan protein yang nantinya akan dapat membentuk protein penyusun matriks virus (protein
struktural) ataupun protein fungsional yang berperan sebagai enzim.
Gambar 2 (klik untuk memperbesar)
Gambar 2 menunjukkan skema produk translasional dari gen gag-pol dan daerah di mana produk dari
gen tersebut dipecah oleh protease. p17 berfungsi sebagai protein kapsid, p24 protein matriks, dan p7
nukleokapsid. p2, p1 dan p6 merupakan protein kecil yang belum diketahui fungsinya. Tanda panah
menunjukkan proses pemotongan yang dikatalisis oleh protease HIV (Flexner, 1998).
Menurut Flexner (1998), pada saat ini telah dikenal empat inhibitor protease yang digunakan pada
terapi pasien yang terinfeksi oleh virus HIV, yaitu indinavir, nelfinavir, ritonavir dan saquinavir. Satu
inhibitor lainnya masih dalam proses penelitian, yaitu amprenavir. Inhibitor protease yang telah umum
digunakan, memiliki efek samping yang perlu dipertimbangkan. Semua inhibitor protease yang telah
disetujui memiliki efek samping gastrointestinal. Hiperlipidemia, intoleransi glukosa dan distribusi
lemak abnormal dapat juga terjadi.

Gambar 3 (klik untuk memperbesar)


Gambar 3 menujukkan lima struktur inhibitor protease HIV dengan aktivitas antiretroviral pada uji
klinis. NHtBu = amido tersier butil dan Ph = fenil (Flexner, 1998).
Uji klinis menunjukkan bahwa terapi tunggal dengan menggunakan inhibitor protease saja dapat
menurunkan jumlah RNA HIV secara signifikan dan meningkatkan jumlah sel CD4 (indikator
bekerjanya sistem imun) selama minggu pertama perlakuan. Namun demikian, kemampuan senyawa-
senyawa ini untuk menekan replikasi virus sering kali terbatas, sehingga menyebabkan terjadinya suatu
seleksi yang menghasilkan HIV yang tahan terhadap obat. Karena itu, pengobatan dilakukan dengan
menggunakan suatu terapi kombinasi bersama-sama dengan inhibitor reverse transcriptase. Inhibitor
protease yang dikombinasikan dengan inhibitor reverse transkriptase menunjukkan respon antiviral
yang lebih signifikan yang dapat bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama (Patrick & Potts, 1998).
Dari uraian di atas, kita dapat mengetahui bahwa sampai saat ini belum ada obat yang benar-benar
dapat menyembuhkan penyakit HIV/AIDS. Obat-obatan yang telah ditemukan hanya menghambat
proses pertumbuhan virus, sehingga jumlah virus dapat ditekan.
Oleh karena itu, tantangan bagi para peneliti di seluruh dunia (termasuk Indonesia) adalah untuk
mencari obat yang dapat menghancurkan virus yang terdapat dalam tubuh, bukan hanya menghambat
pertumbuhan virus. Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati, tentunya memiliki potensi yang
sangat besar untuk ditemukannya obat yang berasal dari alam. Penelusuran senyawa yang berkhasiat
tentunya memerlukan penelitian yang tidak sederhana. Dapatkah obat tersebut ditemukan di Indonesia?
Wallahu a’lam.
Pustaka:
1. Flexner, C. 1998. HIV-Protease Inhibitor. N. Engl. J.Med. 338:1281-1293
2. Patrick, A.K. & Potts, K.E. 1998. Protease Inhibitors as Antiviral Agents. Clin. Microbiol. Rev.
11: 614-627

Anda mungkin juga menyukai