Candi Pari di Desa Candipari, Kecamatan Porong, semakin merana. Objek wisata
budaya dan sejarah yang sebenarnya bisa dijadikan andalan ekonomi masyarakat
sekitar ini terkesan mangkrak, tidak terurus.
Tak ada seorang pun pengunjung ke sana. Padahal, saat itu anak-anak sekolah
tengah menikmati liburan panjang. "Pengunjungnya, ya, sampeyan sendiri," kata
Maryati, pemilik warung di depan Candi Pari.
Maryati, yang juga istri Tasmin, salah satu juru kunci Candi Pari, menambahkan,
dalam sebulan terakhir ini praktis tidak ada pengunjung yang ingin menapak tilas
perjalanan sejarah di Kabupaten Sidoarjo. Beberapa waktu lalu, kata Maryati,
sempat ada rombongan wisata anak-anak sekolah dari Tulangan.
"Setelah itu nggak ada lagi. Makanya, jualan saya nggak laku-laku," tukas wanita
ini seraya tersenyum. Kunjungan dari pejabat, turis asing, hingga peneliti pun tak
ada.
Apa yang bisa dinikmati di Candi Pari selain tumpukan batu berusia ribuan tahun?
Daya tarik untuk hiburan dan rekreasi di mana? Begitu komentar beberapa warga
yang sempat berbincang dengan saya di kompleks Candi Pari.
"Selama ini orang cuma lihat dari mobil saja, nggak sampai turun. Lain dengan
dulu, mereka turun untuk lihat-lihat atau beli makanan," keluh Ny Maryati.
Dijumpai di rumahnya, Desa Wunut, sekitar satu kilometer dari Candi Pari,
seniman senior Sukarno melihat kasus Candi Pari ini sangat kompleks. Persoalan
utama, katanya, pengelolaan Candi Pari (dan candi-candi lain di Sidoarjo) berada di
tangan Dinas Purbakala. Pemkab Sidoarjo, khususnya Dinas Pariwisata-Budaya,
tidak ikut-ikutan dalam mengelola candi peninggalan Kerajaan Majapahit dan
Kerajaan Jenggolo itu.
"Saya bisa mengerti karena biaya perawatan tidak kecil. Apalagi, kalau harus
dikembangkan menjadi objek wisata sejarah budaya di Sidoarjo," kata Sukarno,
yang juga mantan ketua Dewan Kesenian Sidoarjo.
Selama Candi Pari dan Candi Sumur dibiarkan 'apa adanya' seperti sekarang, Karno
pesimistis kawasan itu bisa menjadi andalan wisata Kabupaten Sidoarjo. Kompleks
candi hanya sekadar situs tua yang semakin lama semakin kehilangan pesona.
Apa boleh buat, kompleks Candi Pari tidak memberikan efek berganda di bidang
ekonomi kepada warga sekitar dan Kabupaten Sidoarjo. "Itu semua tergantung visi
para pemimpin, baik di eksekutif maupun legislatif," tukas Karno.
Dalam bayangan seniman senior ini, kompleks Candi Pari dan Candi Sumur bisa
didesain menjadi objek wisata terpadu dengan sentra industri Tanggulangin. Sebab,
jarak antara Tanggulangin (khususnya Intako) dan Candi Pari sangat dekat.
"Seharusnya setelah belanja di Tanggulangin, mampir ke Candi Pari," kata
Sukarno, yang juga pelukis dan pembina seni tradisi itu.
Mustain (45 tahun), juru kunci Candi Pari dan Candi Sumur di Desa Candi Pari
sejak hampir satu tahun terakhir tergolek lemah di rumahnya. Pak Tain, sapaan
akrabnya, lumpuh total akibat stroke.
ENTAH apa penyebab Mustain menderita penyakit yang selama ini disebut-sebut
hanya monopoli orang-orang 'papan atas'. Bagaimana mungkin wong cilik,
sederhana, aktif bergerak, berjemur di terik matahari, bisa stroke? Ada apa?
Begitulah pertanyaan spontan yang beredar di kalangan warga kompleks Candi
Pari.
Mungkin sudah diatur begitu oleh
Yang Kuasa (Tuhan). Kita ini nggak
tahu kapan kita sakit atau meninggal,"
ujar Maryanti, istri Tasmin, juru kunci
'cadangan' pengganti Mustain, kepada
saya.
Sayang sekali, dalam kondisi stroke berat Mustain tidak bisa berbicara, apalagi
harus bercerita secara runut kayak dulu. Dia hanya tidur, beristirahat, dan dilayani
keluarganya. "Kasihan sekali, Mas. Moga-moga Gusti Allah bisa memberi
kesembuhan karena usianya masih belum sepuh. Dulu sampeyan kan lihat sendiri
orangnya sangat lincah," tambah seorang warga Desa Candipari.
Memang. Ketika Candi Pari dan Candi Sumur direnovasi oleh pemerintah pusat,
Mustain ibarat 'saksi ahli' merangkap pekerja lapangan. Maklum, pengalaman
selama 20 tahun lebih membuat Mustain hafal semua detail candi. Bagian mana
saja yang hilang, batu yang berpindah, mana yang rusak karena lumut, dan
seterusnya sangat dikuasai.
Keterangan beliau sering dipakai sebagai bahan penulisan 'sejarah' Candi Pari dan
Candi Sumur. Sejarah asli dua candi itu tidak begitu jelas tercatat dalam naskah-
naskah resmi. Mustain pun sangat menguasai hikayat atau cerita rakyat seputar
keberadaan Candi Pari dan Candi Sumur.
Menurut Pak Tain, Candi Pari dan Candi Sumur adalah simbol kemakmuran dan
kesejahteraan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. "Pari sebagai simbol
padi, sementara sumur sebagai simbol air untuk memasak. Keduanya tidak bisa
dipisahkan," ujar Mustain beberapa bulan lalu ketika masih segar-bugar.
Untuk menanak nasi, lanjut dia, kita perlu air. Dan, kedua bahan penting ini (padi
dan sumur) bisa kita peroleh dengan mudah dari bumi. Kehadiran Candi Pari dan
Candi Sumur di Sidoarjo secara tak langsung menceritakan kepada kita, di zaman
sekarang, bahwa pada masa lalu Kerajaan Jenggolo (wilayah Sidoarjo sekarang)
adalah lahan subur.
Dalam bahasa agak filosofis, tugas juru kunci adalah membuka segala 'pintu' yang
tertutup dengan 'kunci' pengetahuan dan pengalaman yang ia miliki. Selama 20
tahun lebih Pak Tain sudah membuka 'pintu' Candi Pari dan Candi Sumur kepada
begitu banyak orang.
Mudah-mudahan saja ada orang yang masih sempat mencatat penjelasan Pak Tain,
syukur-syukur membukukannya. Jangan sampai kita kehilangan informasi berharga
seputar Candi Pari dan Candi Sumur gara-gara Pak Tain stroke berat.
Candi Pari
Ornamen yang ada pada dinding sisi utara, timur dan selatan candi berupa miniatur
candi dengan atapnya bertingkat lima dengan puncaknya berbentuk kubus, bagian
atas ambang pintu dan pada masing-masing tingkatan atap miniatur candi terdapat
hiasan teratai dan dipuncaknya ada hiasannya
Bangunan Candi Pari didominasi oleh bata merah pada bagian badannya,
sedangkan ambang atas dan bawah pintu masuk bilik candi menggunakan batu
andesit. Bagian kaki candi memiliki ukuran 13,55 * 13,40 meter dn tinggi 1,50
meter, pada bagian ini terdapat dua buah jalan masuk ke bilik candi dalam bentuk
susunan/trap anak tangga dengan arah utara-selatan dan selatan-utara, jalan masuk
seperti ini tidak ditemui dalam candi-candi lain dijawa timur. Pada bagian dalam
bilik candi saat ini tidak ditemukan arca sama sekali, akan tetapi dibagian tengah
dari sisi dinding timur ( diantara lubang angin ) terdapat sebuah tonjolan sebagai
sandaran dinding arca. Dulu daerah sekitar candi pernah ditemukan dua arca Siwa
Mahadewa, dua arca Agastya, tujuh arca Ganesha dan tiga arca Budha yang
semuanya telah disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Candi Pari tidak memiliki ornamen. Pada kaki candi terdapat hiasan berbentuk
panel yang polos tanpa hiasan. Sedangkan dibagain tubuh candi terdapat pahatan
semacam panel-panel besar polos tanpa hiasan. Di dinding barat tepat diatas pintu
masuk terdapat hiasan segitiga sama sisi dengan bagian kecilnya berada di atas.
Pada bagian tengah dinding utara, timur dan selatan terdapat hiasan miniatur yang
atapnya bertingkat lima dengan puncaknya berbentuk kubus, bagian atas ambang
pintu dan pada masing-masing tingkatan atap miniatur candi terdapat hiasan teratai
dan dipuncaknya ada hiasan (angka) atau Sangkha ? Candi pari yang kita lihat saat
ini merupakan hasil pemugaran tahun 1994-1999 oleh Kanwil Depdikbud dan
Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur melalui dana Proyek
Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur.