Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Pengadilan Agama merupakan kerangka sistim dan tata hukum Nasional yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 14/1970
diperlukan adanya perombakan yang bersifat mendasar terhadap segala perundang-undangan
yang mengatur Badan Peradilan Agama tersebut.

Berlakunya UU No. 7/1989, secara konstitusional Pengadilan Agama merupakan salah satu
Badan Peradilan yang disebut dalam pasal 24 UUD 1945. Kedudukan dan kewenangannya
adalah sebagai Peradilan Negara dan sama derajatnya dengan Peradilan lainnya, mengenai fungsi
Peradilan Agama dibina dan diawasi oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara
Tertinggi, sedangkan menurut pasal 11 (1) UU No. 14/1970 mengenai Organisasi, Administrasi
dan Finansiil dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan. Suasana dan
peran Pengadilan Agama pada masa ini tidaklah berbeda dengan masa kemerdekaan atau
sebelumnya karena Yurisdiknya tetap kabur baik dibidang perkawinan maupun dibidang waris.
Hukum Acara yang berlaku tidaklah menentu masih beraneka ragam dalam bentuk peraturan
perundang-undangan bahkan juga hukum acara dalam hukum tidak tertulis yaitu hukum formal.
Islam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Pada tahun 1989
lahirlah UU No.7 tahun 1989 yang diberlakukannya tanggal 29 Desember 1989, kelahiran
undang-undang tersebut tidaklah mudah sebagaimana yang diharapkan akan tetapi penuh
perjuangan dan tantangan dengan lahirnya UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah
sebagi tonggak monumen sejarah Pengadilan Agama terhitung tanggal 29 Desember 1989
tersebut.

Lahirnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah mempertegas kedudukan dan
kekuasaan Peradilan Agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 UU No.14 tahun 1970
tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman juga memurnikan fungsi dan susunan
organisasinya agar dapat mencapai tingkat sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang
sebenarnya tidaklah lumpuh dan semu sebagaimana masa sebelumnya. Disamping itu lahirnya
UU tersebut menciptakan kesatuan hukum Peradilan Agama dan tidak lagi berbeda-beda

1
kewenangan dimasing-masing daerah di lingkungan Peradilan Agama. Peradilan Agama baik di
Jawa-Madura maupun diluar Jawa-Madura adalah sama kedudukan dan kewenangan baik hukum
formil maupun materiilnya. Dengan demikian Peradilan Agama telah sama kedudukannya
dengan Peradilan lainnya sebagaimana dalam pasal 10 (1) UU No.14 tahun 1970.

BAB II
PEMBAHASAN

Dalam memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan perkara perdata yang terjadi
diantara anggota masyarakat, salah satu pihak yang bersengketa, harus mengajukan pemeriksaan
kepada pengadilan. Apabila salah satu pihak mengajukan permintaan pemeriksaan,
persengketaan menjadi “perkara” di siding pengadilan. Selama sengketa tidak diminta campur
tangan pengadilan untuk mengadili, pengadilan tidak bisa berbuat apa-apa. Pengadilan dilarang
mencampuri sengketa yang tidak diajukan kepadanya. Pengadilan tidak boleh mencari perkara
untuk diadili. Hal ini ditegaskan Pasal 55 UU No. 7 Tahun 1989. Menurut pasal tersebut tiap
perkara di pengadilan dimulai sesudah diajukan suatu “permohonan” atau “gugatan”. Kemudian
berdasar permohonan atau gigatan pihak-pihak yang berperkara dipanggil untuk menghadiri
pemeriksaan di sidang pengadilan.

Ketentuan pasal 55 dapat dihubungkan dengan penjelasan pasal 60, di lingkungan PA dikenal
dua sifat atau corak mengajkan permintaan pemeriksaan perkara kepada pengadilan. Yang
pertama disebut “permohonan”. Yang kedua disebut “gugatan”. Dalam bahasa sehari-hari lazim
disebut gugatan sehingga dikenal gugat permohonan dan gugat biasa.1

A. Peristilahan Permohonan dan Gugatan

Prof. Sudikno Mertokusumo, menggunakan istilah gugatan berupa tuntutan perdata


(burgerlijke vordering) tentang hak yang mengandung sengketa dengan pihak lain.2

Sistem gugatan disebut juga "stelsel gugatan". Maksudnya bagaimana cara memasukkan
permintaan pemeriksaan perkara kepada Pengadilan agar permintaan dapat diterima pihak
pengadilan. Tidak sembarangan cara memasukkan permintaan pemeriksaan perkara. Harus
dituruti tata cara yang ditentukan undang-undang. Dalam sejarah peradilan di Indonesia, dikenal
2 sistem gugatan. Yang satu disebut sistem dagvaarding dan yang satu lagi disebut sistem
"permohonan".

Dagvaarding.

1 M Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama.(Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hlm 185
2 R. Soesilo. RIB/HIR dengan Penjelasan, (Bogor: Politea, 1985)hlm 34
3
Sistem pemasukan perkara secara dagvaarding diatur dalam Pasa 1 RV (Reglement of de
Rechtsvordering Staatblaad 1847 – 52 Jo. 1849 – 61 dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai
reglement acara perdata). Diperlakukan dimasa kolonial sebagai hukum acara perdata pada
Raad Van Justitie.3 Dalam stelsel dagvaarding, gugatan diberitahu oleh seorang juru sita atas
nama penggugat kepada tergugat. Juru sita langsung menyampaikan panggilan agar tergugat
datang menghadap hakim untuk diperiksa perkaranya dalam suatu proses perdata.

Permohonan.

Sistem penyampaian gugatan dengan cara mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan
yang berisi "permintaan" agar pengadilan memanggil penggugat serta pihak yang digugat untuk
datang menghadap di sidang pengadilan untuk memeriksa sengketa yang diperkarakan
penggugat terhadap tergugat, sebagaimana yang diuraikan dalam surat gugatan.
B. Pengertian Permohonan dan Gugatan

Surat Gugatan ialah surat yang diajukan oleh penggugat kepada Ketua Pengadilan Agama
yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung sengketa dan
sekaligus landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak.

Surat permohonan ialah suatu permohonan yang di dalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh
satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa. Para pihak
tidak ada perselisihan tetapi bersama-sama memohon kepada Pengadilan, produk yang
dihasilkannya berupa Penetapan.4

Pada prinsipnya semua gugatan atau permohonan harus dibuat secara tertulis. Bagi
penggugat atau pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka gugatan atau
permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Agama. Ketua Pengadilan Agama
kemudian memerintahkan kepada hakim untuk mencatat segala sesuatu yang dikemukakan oleh
penggugat atau pemohon, maka gugatan atau permohonan tersebut ditandatangani oleh Ketua
atau hakim yang menerimanya, didasarkan pada ketentuan atau pasal 120 HIR.

Gugatan atau permohonan yang dibuat secara tertulis, ditandatangani oleh penggugat atau
pemohon (pasal 118 ayat (1) HIR). Jika penggugat atau pemohon telah menunjuk kuasa khusus,
maka surat gugatan atau permohonan tersebut ditandatangani oleh kuasa hukumnya (pasal 123

3 Ibid
4 Umar Mansyur Syah, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama menurut teori dan praktek (Garut : Yayasan Al Umaro, 2007)hlm 67
HIR).

Perbedaan gugatan dan permohonan adalah bahwa dalam perkara gugatan ada sesuatu
sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan. dalam suatu gugatan
ada orang yang lebih atau merasa haknya atau hak mereka dilanggar, akan tetapi orang yang
merasa dilanggar haknya atau hak mereka tidak mau secara sukarela malakukan sesuatu yang
diminta itu

C. Bentuk-bentuk Gugatan

Gugatan dapat disimpulkan sesuai dengan ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR atau Pasal 142
ayat (1) RBg dan Pasal 120 HIR atau Pasal 144 ayat (1) RBg. 5 Dari ketentuan pasal-pasal
dimaksud:

Gugatan Lisan dan atau Tertulis Semua gugatan atau permohonan harus dibuat secara
tertulis, akan tetapi dimungkinkan bagi penggugat atau pemohon yang tidak dapat membaca dan
menulis, maka gugatan atau permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang
berwenang. Kemudian Ketua Pengadilan yang berwenang tersebut memerintahkan kepada hakim
untuk membuatkan surat permohonan atau gugatan dengan cara mencatat dan memformulasikan
segala sesuatu yang dikemukakan oleh penggugat atau pemohon dan membacakannya, kemudian
surat gugatan atau permohonan tersebut ditandatangani ketua atau hakim yang membuatkannya
itu, hal ini berdasar ketentuan Pasal 114 (1) R.Bg. atau Pasal 120 HIR. Sementara penggugat
tidak tidak perlu tanda tangan atau membubuhkan cap jempolnya dan juga tidak usah diberi
materai.

Dalam praktik proses pengajuan gugat secara lisan bagi buta huruf dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:

a. Gugatan disampaikan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang.

b. Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan mencatat segala
peristiwa yang disampaikan penggugat, kemudian diformulasikan dalam bentuk surat
gugat.

5 Op Cit hlm 187


5
c. Gugatan yang diformulasikan tersebut dibacakan untuk penggugat dan ditanyakan
kepadanya tentang isi gugatan itu, apakah sudah cukup atau masih perlu ditambah,
dikurangi atau diubah.

d. Gugatan yang dinyatakan cukup oleh penggugat, maka Ketua Pengadilan atau hakim
yang ditunjuk tersebut untuk menandatanganinya.

e. Adapun gugatan atau permohonan yang dibuat secara tertulis, harus ditandatangani
oleh penggugat / pemohon (Pasal 142 (1) R.Bg. / Pasal 118 (1) HIR). Apabila
pemohon / penggugat telah menunjuk kuasa khusus maka surat gugatan / permohonan
harus ditandatangani oleh kuasa hukumnya tersebut (Pasal 147 (1) R.Bg. / Pasal 123
HIR).

Surat gugatan atau permohonan dibuat rangkap enam, masing-masing satu rangkap untuk
penggugat atau pemohon, satu rangkap untuk tergugat atau termohon atau menurut kebutuhan
dan empat rangkap untuk majelis hakim yang memeriksanya. Apabila surat gugatan atau
permohonan hanya dibuat satu rangkap, maka harus dibuat salinannya sejumlah yang diperlukan
dan dilegalisir oleh panitera.

D. Gugat Volunter

Permohonan sering juga disebut gugatan voluntair. Sebutan ini dapat dilihat dalam
penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 (Sebagimana diubah dengan UU No. 35
Tahun 1999) yang menyatakan:

Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan mengandung


pengertian didalamnya penyelesaian masalah yangbersangkutan dengan yurisdiksi
voluntair.6

Pada prinsipnya semua hal atau keadaan dapat diajukan gugat volunter. Permintaan suatu gugat
volunteer harus berdasar ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya undang-undang telah
menentukan sendiri bahwa tentang suatu hal dapat diajukan gugat volunteer.

6 M Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata.(Jakarta : Sinar Grafika, 2008)hlm28


a. Ciri gugat volunteer

Gugatan bersifat sepihak (Ex Parte)

Pihak yang terlibat hanya satu yakni pihak pemohon sendiri. Tidak ada orang lain yang
ditarik kemuka persidangan sebagai pihak yang tergugat.

Permintaan dan Putusan bersifat deklarator

Petitumnya bersifat deklarator, hanya meminta deklarasi tentang suatu keadaan atau
kedudukan. Pada dasarnya bukan gugatan atas suatu persengketaan. Tetapi hanya sekedar
untuk memenuhi keinginan secara sepihak agar ditetapkan mempunyai kedudukan
tertentu dalam hal tertentu.

b. Kekuatan hukumnya hanya sepihak

Putusan volunteer adalah putusan yang bersipat sepihak, berupa kebenaran menurut versi
pemohon saja. Kebenarannya tidak dapat mengikat orang lain tidak memiliki kekuatan
eksekusi.

c. Perlawanan terhadap putusan volunteer

Setiap orang yang merasa berkepentingan atau merasa keberatan atas putusan volunteer
dapat mengajukan “perlawanan” atau verzet. Tujuannya untuk melumpuhkan kekuatan
mengikat putusan tersebut tentang apa saja yang dideklarasikan didalamnya.

E. Gugatan Contentiosa

Suatu gugatan yang didalamnya mengandung sengketa diantara piahk-pihak yang


berperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan dan ditujukan kepada
pengadilan dengan posisi para pihak:

• Yang mengajukan penyelesain sengketa disebut dan bertindak sebagai penggugat.

• Sedangkan yang ditarik sebagai lawan dalam penyelesaian disebut dan


berkedudukan sebagai tergugat.

Ciri yang melekat pada gugatan perdata:


7
• Permasalahan hokum yang diajukan ke pengadilan
mengandung sengketa.

• Sengketa terjadi diantara para pihak paling kurang diantara


dua pihak.

• Gugatan perdata bersifat partai dengan komposisi, pihak yang


satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak
yang lain berkedudukan sebagai tergugat.

Persyaratan yang harus dipenuhi dalam membuat surat gugatan adalah:


Syarat formal
 Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan
 Meterai
 Tandatangan oleh Penggugat atau kuasanya
Syarat substantif
1. Identitas para pihak yang memuat informasi :
 Nama lengkap

 Umur/tempat dan tanggal lahir

 Pekerjaan

 Alamat atau domisil

Dalam hal badan hukum, harus disebutkan nama badan hukumnya, dan nama orang yang
berwenang mewakili badan hukum tersebut menurut anggaran dasar atau peraturan yang berlaku.
Jika merupakan cabang dari badan hukum. Maka tetap harus disebutkan identitas badan hukum
tersebut.

Jika gugatan diajukan kepada beberapa orang/badan hukum, maka harus dikualifikasikan
sebagai TergugatI, Tergugat II dst. Jika gugatan diajukan oleh beberapa orang, maka harus
dikualifikasikan sebagai Penggugat I, Penggugat II dst. Penggugat harus benar-benar pihak yang
berhak untuk mengajukan gugatan tersebut. Jika diajukan oleh orang yang tidak berhak, maka
gugatan tidak dapat diterima Penggugat harus benar-benar lengkap (semua sudah termasuk). Jika
gugatan tidak lengkap para pihaknya, maka gugatan akan dinyatakan tidak dapat diterima (niet
onvankelijke verklaard).
2. Posita (fundamentum petendi) : Dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum
yang merupakan dasar atau alasan dari tuntutan.
Komposisi:
a. Obyek perkara: Uraian mengenai untuk hal apa gugatan itu diajukan. Misalnya
sengketa mengenai kepemilikan tanah, sengketa mengenai perjanjian jual beli atau
sengketa mengenai merk dagang.

b. Fakta-fakta hukum: Uraian mengenai hal-hal yang menyebabkan timbulnya sengketa


misalnya apakah ada perjanjian antara penggugat dan tergugat.

c. Kualifikasi perbuatan tergugat: Perumusan perbuatan meteriil atau formal dari


tergugat yang dapat merupakan perbuatan melawan hukum, wanprestasi dsb.
Diuraikan pula bagaimana caranya perbuatan itu dilakukan oleh tergugat misalnya
tidak melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian, atau melanggar Undang-
Undang dsb.

d. Uraian kerugian: Perincian kerugian yang diderita oleh penggugat sebagai akibat
perbuatan tergugat. Perincian kerugian materill didukung dengan bukti-bukti tertulis.
Kerugian moril hanya berdasarkan taksiran.

e. Hubungan posita dengan petitum: Posita merupakan dasar dari petitum, oleh karena
itu hal-hal yang tidak dikemukakan dalam posita tidak dapat dimohonkan dalam
petitum. Hal-hal yang tidak dimintakan dalam petitum dapat dikabulkan asalkan hal
itu telah dikemukakan dalam posita.

3. Petitum (tuntutan), Menurut Pasal 8 Nomor 3 R.Bg. ialah apa yang diminta atau yang
diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Petitum akan
dijawab oleh majelis hakim dalam amar putusannya. Petitum harus berdasarkan hukum
dan harus pula didukung oleh Posita. Pada prinsipnya posita yang tidak didukung oleh
petitum (tuntutan) berakibat tidak diterimanya tuntutan, pun sebaliknya petitum / tuntutan
yang tidak didukung oleh posita berakibat tuntutan penggugat ditolak.

9
Mekanisme petitum (tuntutan) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian pokok, yaitu:

a. tuntutan primer (pokok) merupakan tuntutan yang sebenarnya diminta penggugat, dan
hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta (dituntut),

b. tuntutan tambahan, merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok, seperti


dalam hal perceraian berupa tuntutan pembayaran nafkah madhiyah, nafkah anak,
mut’ah, nafkah idah, dan pembagian harta bersama, dan

c. tuntutan subsider (pengganti) diajukan untuk mengantisipasi kemungkinan tuntutan


pokok dan tuntutan tambahan tidak diterima majelis hakim. Biasanya kalimatnya
adalah “agar majelis hakim mengadili menurut hukum yang seadil-adilnya “atau”
mohon putusan yang seadil-adilnya” bias juga ditulis dengan kata-kata “ex aequo et
bono”.

F. Syarat-syarat Gugatan

a. Dimana Gugatan Diajukan.

Bila anda yang mengajukan gugatan perceraian, berarti anda adalah pihak Penggugat dan
suami adalah Tergugat. Untuk mengajukan gugatan perceraian, anda atau kuasa hukum anda
(bila anda menggunakan kuasa hukum) mendatangi Pengadilan Agama (PA) di wilayah tempat
tinggal anda. Bila anda tinggal di Luar Negeri, gugatan diajukan di PA wilayah tempat tinggal
suami. Bila anda dan suami anda tinggal di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada
Pengadilan Agama di wilayah tempat anda berdua menikah dulu, atau kepada Pengadilan Agama
Jakarta Pusat (Pasal 73 UU No 7/89 tentang Peradilan Agama)

b. Alasan dalam Gugatan Perceraian

Alasan yang dapat dijadikan dasar gugatan perceraian anda di Pengadilan Agama antara lain:

 Suami berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya;

 Suami meninggalkan anda selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada ijin atau alasan
yang jelas dan benar, artinya: suami dengan sadar dan sengaja meninggalkan anda;
 Suami dihukum penjara selama (lima) 5 tahun atau lebih setelah perkawinan
dilangsungkan;

 Suami bertindak kejam dan suka menganiaya anda;

 Suami tak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami karena cacat badan atau
penyakit yang dideritanya;

 Terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa kemungkinan untuk rukun
kembali;

 Suami melanggar taklik-talak yang dia ucapkan saat ijab-kabul;

 Suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidaakharmonisan dalam


keluarga.
(Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 19 PP No 9 tahun 1975)

c. Saksi dan Bukti

Anda atau kuasa hukum anda wajib membuktikan di pengadilan kebenaran dari alasan-alasan
tersebut dengan:

 Salinan Putusan Pengadilan, jika alasan yang dipakai adalah suami mendapat hukuman 5
(lima tahun) atau lebih (pasal 74 UU No. 7/1989 jo KHI pasal 135).

 Bukti hasil pemeriksaan dokter atas perintah dari pengadilan, bila alasan Anda adalah
suami mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tak mampu memenuhi
kewajibannya (pasal 75 UU 7/1989)

 Keterangan dari saksi-saksi, baik yang berasal dari keluarga atau orang-orang dekat yang
mengetahui terjadinya pertengkaran antara anda dengan suami anda (pasal 76 UU 7/1989
jo pasal 134 KHI).

d. Surat-surat yang Harus di siapkan

 Surat Nikah asli

11
 Foto kopi Surat Nikah 2 (dua) lembar, masing-masing dibubuhi materai, kemudian
dilegalisir

 Foto kopi Akte Kelahiran anak-anak (bila punya anak), dibubuhi materai, juga dilegalisir

 Foto kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) terbaru Penggugat (istri)

 Fotokopi Kartu Keluarga (KK)

Bila bersamaan dengan gugatan perceraian diajukan pula gugatan terhadap harta bersama,
maka perlu disiapkan bukti-bukti kepemilikannya seperti sertifikat tanah (bila atas nama
penggugat/pemohon), BPKB (Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor)/STNK(Surat Tanda Nomor
Kendaraan) untuk kendaraan bermotor, kwitansi, surat jual-beli, dll.

Untuk itu, sangat penting untuk menyimpan surat-surat berharga yang anda miliki dalam
tempat yang aman.

e. Isi Gugatan / Permohonan

1. Identitas para pihak (Penggugat/Tergugat) atau persona standi in judicio, terdiri dari
nama suami dan istri (beserta bin/binti), umur, tempat tinggal, hal ini diatur dalam pasal
67 (a) UU No. 7/1989. Identitas para pihak ini juga disertai dengan informasi tentang
agama, pekerjaan dan status kewarganegaraan

2. Posita (dasar atau alasan gugat), disebut juga Fundamentum Petendi, berisi keterangan
berupa kronologis (urutan peristiwa) sejak mulai perkawinan anda dengan suami anda
dilangsungkan, peristiwa hukum yang ada (misalnya: lahirnya anak-anak), hingga
munculnya ketidakcocokan antara anda dan suami yang mendorong terjadinya
perceraian, dengan alasan-alasan yang diajukan dan uraiannya yang kemudian menjadi
dasar tuntutan (petitum). Memuat dalil-dalil (penjelasan-penjelasan) keadaan yang
konkrit (nyata) mengenai adanya hubungan hukum sebagai dasar dari
permohonan/tuntutan/alasan-alasan yang mendukung tuntutan/permohonan itu.7

Contoh posita misalnya:

 Bahwa pada tanggal…telah dilangsungkan perkawinan antara penggugat dan tergugat


7 Ibid hlm 68
di…

 Bahwa dari perkawinan itu telah lahir …(jumlah) anak bernama…, lahir di…pada
tanggal…

 Bahwa selama perkawinan antara penggugat dan tergugat sering sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran sebagai berikut…

 Bahwa berdasarkan alasan di atas cukup bagi penggugat mengajukan gugatan


perceraian…dst

3. Petitum (tuntutan hukum), yaitu tuntutan yang diminta oleh Istri sebagai Penggugat agar
dikabulkan oleh hakim (pasal 31 PP No 9/1975, Pasal 130 HIR). Gugatan atau
permohonan itu memuat apa yang dituntut.

Bentuk tuntutan itu misalnya:

1. Menerima dan mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya;

2. Menyatakan perkawinan antara penggugat dan tergugat …sah putus karena perceraian
sejak dijatuhkannya putusan oleh hakim;

3. Menyatakan pihak penggugat berhak atas hak pemeliharaan anak dan berhak atas nafkah
dari tergugat terhitung sejak tanggal...sebesar Rp....per bulan sampai penggugat menikah
lagi;

4. Mewajibkan pihak tergugat membayar biaya pemeliharaan (jika anak belum dewasa)
terhitung sejak....sebesar Rp....per bulan sampai anak mandiri/dewasa;

5. Menyatakan bahwa harta berupa....yang merupakan harta bersama (gono-gini) menjadi


hak penggugat...

6. Menghukum penggugat membayar biaya perkara…dst

f. Gugatan Provisional (pasal 77 dan 78 UU No.7/89)

Sebelum putusan akhir dijatuhkan hakim, dapat diajukan pula gugatan provisional di
Pengadilan Agama untuk masalah yang perlu kepastian segera, misalnya:
13
1. Memberikan ijin kepada istri untuk tinggal terpisah dengan suami.

2. Ijin dapat diberikan untuk mencegah bahaya yang mungkin timbul jika suami-istri yang
bertikai tinggal serumah.

3. Menentukan biaya hidup/nafkah bagi istri dan anak-anak yang seharusnya diberikan oleh
suami;

4. Menentukan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan
anak;

5. Menentukan hal-hal yang perlu bagi terpeliharanya barang-barang yang menjadi harta
bersama (gono-gini) atau barang-barang yang merupakan harta bawaan masing-masing
pihak sebelum perkawinan dahulu. `

Macam-macam Gugatan.

Macam-macam gugatan (Vordering) itu terdiri dari/ antara lain:

1. Tuntutan perseorangan (persoonlijk).

Objeknya adalah tuntutan pemenuhan ikatan karena persetujuan dank arena Undang-undang.

2. Tuntutan kebendaan (zakelijk).

Yaitu suatu penuntutan penyerahan suatu barang sebagai objek dari pada hak benda atau
pengakuan hak benda.

3. Tuntutan campuran (gabungan persoonlijk dan zakelijk).

Adalah campuran dari perorangan dengan kebendaan. Dan penggolongan / macam-macam


tersebut dapat dilihat dari dictum (amar sesuatu putusan hakim). Diktum ialah bagian terakhir
dari putusan dan merupakan kalimat dibawah kata-kata : mengadili.

Comulatie dari bebnerapa gugatan (samenvoeging).

Comulatie dapat dibedakan diantaranya :

Comulatie Subjectif
Dalam suatu perkara perdata seorang penggugat melawan beberapa orang tergugat atau
sebaliknya; beberapa orang penggugat melawan seorang tergugat. Umpamanya dalam perkara
warisan, waris merupakan comulatie subjektif (subjektif banyak).

Comulatie Objektif

Merupakan beberapa tuntutan (gugatan) terhadap satu orang dalam satu perkara.
Umpamanya : pertama tergugat mempunyai hutang kepada penggugat yang belum dibayarnya.
Kedua tergugat membeli barang kepada penggugat yang belum dibayar uangnya. Ketiga tergugat
menyewa sesuatu kepada penggugat yang mana sewaanya belum bibayar juga. Jadi dalam
comultie objektif, objeknya yang banyak.

15
BAB III

KESIMPULAN

Dalam sejarah peradilan di Indonesia, dikenal 2 sistem gug atan. Yang satu disebut sistem
dagvaarding dan yang satu lagi disebut sistem "permohonan". Surat Gugatan ialah surat yang
diajukan oleh penggugat kepada Ketua Pengadilan Agama yang berwenang, yang memuat
tuntutan hak yang di dalamnya mengandung sengketa dan sekaligus landasan pemeriksaan
perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak.

Surat permohonan ialah suatu permohonan yang di dalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh
satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa. Para pihak
tidak ada perselisihan tetapi bersama-sama memohon kepada Pengadilan, produk yang
dihasilkannya berupa Penetapan. Gugatan Lisan dan atau Tertulis Semua gugatan atau
permohonan harus dibuat secara tertulis, akan tetapi dimungkinkan bagi penggugat atau
pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka gugatan atau permohonan diajukan
secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang.

Pada prinsipnya semua hal atau keadaan dapat diajukan gugat volunter. Permintaan suatu
gugat volunteer harus berdasar ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya undang-
undang telah menentukan sendiri bahwa tentang suatu hal dapat diajukan gugat volunteer.

Suatu gugatan yang didalamnya mengandung sengketa diantara piahk-pihak yang berperkara
yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan dan ditujukan kepada pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA

M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008

______________, Kedudukan kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta,
2007

Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2005

Umar Mansyur Syah, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Menurut Teori dan Praktek,
Yayasan Al-Umaro, Garut, 2007

17

Anda mungkin juga menyukai