I . PENDAHULUAN
Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia.
Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada
pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita
rawat jalan di rumah sakit (Mangunkusumo, 2007). Kejadian sinusitis umumnya disertai atau
dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis
adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat
prevalensinya. Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat.
Sinusitis adalah infeksi atau peradangan dari mukosa sinus paranasal, bila mengenai
beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal
disebut pansinusitis. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus
maksilaris, kemudian ethmoidalis, frontalis, dan spheinoidal (Mansjoer, 2000). Yang
berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intrakranial. Komplikasi ini
terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tak dapat dihindari
(Mangunkusumo, 2007).
II. Klasifikasi
Secara klinis sinusitis dibagia atas : ( Peter , 1997)
1. Sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu
2. Sinusitis subakut, bila infeksi beberapa minggu hingga beberapa bulan
3. Sinusitis Kronis, bila infeksi beberapa bulah hingga beberapa tahun.
V Diagnosis
Penegakan diagnosis sinusitis secara umum: (Pletcher, 2003)
1.Kriteria Mayor :
- Sekret nasal yang purulen
- Drenase faring yang purulen
- Purulent Post Nasaldrip
- Batuk
- Foto rontgen (Water’sradiograph atau air fluid level) : Penebalan lebih 50% dari antrum
- Coronal CT Scan : Penebalan atau opaksifikasi dari mukosa sinus
2.Kriteria Minor :
- Edema periorbital
- Sakit kepala
- Nyeri di wajah
- Sakit gigi
- Nyeri telinga
- Sakit tenggorok
- Nafas berbau
- Bersin-bersin bertambah sering
- Demam
- Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil dan bakteri
- USG
Kemungkinan terjadinya sinusitis jika :
Gejala dan tanda : 2 mayor, 1 minor dan ≥ 2 kriteria minor
Pemeriksaan Penunjang
1.Laboratorium
- Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu diagnosis sinusitis akut
- Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada sinusitis akut, tapi harus dilakukan
pada pasien immunocompromise dengan perawatan intensif dan pada anak-anak yang tidak
respon dengan pengobatan yang tidak adekuat, dan pasien dengan komplikasi yang
disebabkan sinusitis.
2.Imaging
- Rontgen sinus, dapat menunjukan suatu penebalan mukosa, air-fluid level, dan
perselubungan.Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi untuk
mengetahui adanya abses gigi.
- CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis akut, menunjukan suatu
air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi pernafasan atas dan 40% pada
pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk luas dan beratnya sinusitis.
- MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak yang menyertai
sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis sinusitis akut
VI Sinusitis Maksilaris
Sinus maksila disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang sering terinfeksi
oleh karena merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari
dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan
silia, dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi
dapat menyebabkan sinusitis maksila, ostium sinus maksila terletak di meatus medius di
sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat (mansjoer, 2000)
Sinusitis maksilaris akut biasanya menyusul infeksi saluran napas atas yang ringan.
Alergi hidung kronik, benda asing, dan deviasi septum nasi merupakan faktor-faktor
predisposisi lokal yang paling sering ditemukan. Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa
demam, malaise, dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian
analgetik biasa seperti aspirin. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata
dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan
depan telinga (Mansjoer, 2000). Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada
gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat
nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Selama
berlangsungnya sinusitis maksilaris akut, pemeriksaan fisik akan mengungkapkan adanya
pus dalam hidung. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau
busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada (Peter, 1997)
Gambaran radiologik sinusitis akut mula-mula berupa penebalan mukosa,
selanjutnya opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak hebat, atau akibat
akumulasi cairan yang memenuhi sinus. Biakan bakteri yang muncul biasanya
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, bakteri anaerob, Branghamella
catarrhalis. Jika tidak mendapatkan penanganan yang adekuat Sinusitis maksilaris akut
dapat berubah menjadi sinusitis maksilaris kronis yang berlangsung selama beberapa bulan
atau tahun (Peter, 1997) .
Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah:
1. Mempercepat penyembuhan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah perubahan menjadi kronik.
Daftar Pustaka
Arisandi, Defa. 2008ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN SINUSITIS
(online), (http://stikep.blogspot.com, diakses tanggal 1 juni
2010 pukul 21.00)
Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala dan leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3
Mansjoer, Arif, et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. 3, Penerbit Media
Ausculapius FK UI, Jakarta 2001, 102 – 106
PERHATI. Fungsional endoscopic sinus surgery. HTA Indonesia. 2006. Hal 1-6
Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505
Peter A. Hilger, MD, Penyakit Sinus Paranasalis, dalam : Haryono, Kuswidayanti, editor,
BOIES, buku ajar Penyakit THT, penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, 1997, 241 –
258.