Ajimiji
Ajimiji
Dosen Pembimbing :
Ir. Prima Novia, M.Si
Disusun Oleh Kelompok IX :
1. Rakhmatul BP. 0910003600953
Ikhsan BP. 0910003600976
2. Bayu Lesmana BP. 0910003600444
3. Richi Venaloza BP. 0910003600975
4. Ranti Mulyani BP. 0910003600218
5. Januardi Syam BP. 0910003600116
6. M. Fauzi BP. 0910003600926
7. Toni Mardian
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS EKASAKTI PADANG
2010
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini
dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Ilmu Budaya Dasar
Khususnya tentang pembahasan MANUSIA KERAGAMAN DAN KESERATAAN yang kami
sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan
berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun
dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan. Makalah ini memuat tentang “Manusia Keragaman dan Keserataan” Walaupun
makalah ini mungkin kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen Ilmu Sosial Budaya Dasar yang sangat
membantu dalam penyusunan Makalan ini yaitu Ibu Ir.Prima Novia, M.SI yang telah membimbing
penyusun agar dapat mengerti tentang bagaimana cara kami menyusun makalah ini, tidak lupa juga
rasa terimakasih kepada Rekan-rekan Fakultas Hukum Universitas Ekasakti Padang, khususnya
kepada rekan-rekan kelompok IX
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun
makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya.
Terima kasih.
Penyusun
DAFTAR ISI
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap manusia dilahirkan setara, meskipun dengan keragaman identitas yang disandang.
Kesetaraan merupakan hal yang inheren yang dimiliki manusia sejak lahir. Setiap individu
memiliki hak-hak dasar yang sama yang melekat pada dirinya sejak dilahirkan atau yang disebut
dengan hak asasi manusia.
Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan dapat terwujud dalam praktik nyata dengan adanya pranata-
pranata sosial, terutama pranata hukum, yang merupakan mekanisme kontrol yang secara ketat dan
adil mendukung dan mendorong terwujudnya prinsip-prinsip kesetaraan dalam kehidupan nyata.
Kesetaraan derajat individu melihat individu sebagai manusia yang berderajat sama dengan
meniadakan hierarki atau jenjang sosial yang menempel pada dirinya berdasarkan atas asal rasial,
sukubangsa, kebangsawanan, atau pun kekayaan dan kekuasaan.
Persoalan-persoalan tersebut sering muncul akibat adanya dominasi sosial oleh suatu
kelompok. Adanya dominasi sosial didasarkan pada pengamatan bahwa semua kelompok manusia
ditujukan kepada struktur dalam sistem hirarki sosial suatu kelompok. Di dalamnya ditetapkan satu
atau sejumlah kecil dominasi dan hegemoni kelompok pada posisi teratas dan satu atau sejumlah
kelompok subordinat pada posisi paling bawah. Di antara kelompok-kelompok yang ada, kelompok
dominan dicirikan dengan kepemilikan yang lebih besar dalam pembagian nilai-nilai sosial yang
berlaku. Adanya dominasi sosial ini dapat mengakibatkan konflik sosial yang lebih tajam.
Negara-bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, dapat
disebut sebagai masyarakat multikultural. Berbagai keragaman masyarakat Indonesia terwadahi
dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terbentuk dengan karakter utama
mengakui pluralitas dan kesetaraan warga bangsa. NKRI yang mengakui keragaman dan
menghormati kesetaraan adalah pilihan terbaik untuk mengantarkan masyarakat Indonesia pada
pencapaian kemajuan peradabannya.
Cita-cita yang mendasari berdirinya NKRI yang dirumuskan para pendiri bangsa telah membekali
bangsa Indonesia dengan konsepsi normatif negara bangsa Bhinneka Tunggal Ika, membekali
hidup bangsa dalam keberagaman, kesetaraan, dan harmoni. Hal tersebut merupakan kesepakatan
bangsa yang bersifat mendasar.
Konstitusi secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berkesetaraan.
Pasal 27 menyatakan: “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan” adalah rujukan yang melandasi seluruh produk hukum dan ketentuan moral yang
mengikat warga negara.
Keberagaman bangsa yang berkesetaraan akan merupakan kekuatan besar bagi kemajuan dan
kesejahteraan negara bangsa Indonesia. Negara bangsa yang beragam yang tidak berkesetaraan,
lebih-lebih yang diskriminatif, akan menghadirkan kehancuran.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan
1. Keragaman dan kesetaraan adalah hal yang saling berkaitan satu sama lain
2. Keragaman dan kesetaraan adalah sifat dasar dari manusia dan bangsa Indonesia
keragaman dan kesetaraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan
Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan di Bidang Ilmu
Sosial Budaya Dasar dan menambah pemahaman tentang kemajemukan diharapkan bermanfaat
BAB II
PEMBAHASAN
Manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu berkaitan dengan konsep kesetaraan dan
keragaman. Konsep kesetaraan (equity) bisa dikaji dengan pendekatan formal dan pendekatan
substantif. Pada pendekatan formal kita mengkaji kesetaraan berdasarkan peraturan-peraturan yang
berlaku, baik berupa undang-undang, maupuin norma, sedangkan pendekatan substantif mengkaji
konsep kesetaraan berdasarkan keluaran / output, maupun proses terjadinya kesetaraan.
Konsep kesetaraan biasanya dihubungkan dengan gender, status sosial, dan berbagai hal
lainnya yang mencirikan perbedaan-perbedaan serta persamaan-persamaan. Sedangkan konsep
keragaman merupakan hal yang wajar terjadi pada kehidupan dan kebudayaan umat manusia.
Kalau kita perhatikan lebih cermat, kebudayaan Barat dan Timur mempunyai landasan dasar yang
bertolak belakang. Kalau di Barat budayanya bersifat antroposentris (berpusat pada manusia)
sedangkan Timur, yang diwakili oleh budaya India, Cina dan Islam, menunjukkan ciri teosentris
(berpusat pada Tuhan.
Dengan demikian konsep-konsep yang lahir dari Barat seperti demokrasi, mengandung
elemen dasar serba manusia, manusia-lah yang menjadi pusat perhatiannya. Sedangkan Timur
mendasarkan segala aturan hidup, seperti juga konsep kesetaraan dan keberagaman, berdasarkan
apa yang diatur oleh Tuhan melalui ajaran-ajarannya.
Penilaian atas realisasi kesetaraan dan keragaman pada umat manusia, khususnya pada suatu
masyarakat, dapat dikaji dari unsur-unsur universal kebudayaan pada berbagai periodisasi
kehidupan masyarakat.
Sehubungan dengan itu Negara kebangsaan Indonesia terbentuk dengan ciri yang amat unik
dan spesifik. Berbeda dengan Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Yunani, yang menjadi suatu negara
bangsa karena kesamaan bahasa. Atau Australia, India, Sri Lanka, Singapura, yang menjadi satu
bangsa karena kesamaan daratan. Atau Jepang, Korea, dan negara-negara di Timur Tengah, yang
menjadi satu negara karena kesamaan ras. Indonesia menjadi satu negara bangsa meski terdiri dari
banyak bahasa, etnik, ras, dan kepulauan. Hal itu terwujud karena kesamaan sejarah masa lalu;
nyaris kesamaan wilayah selama 500 tahun Kerajaan Sriwijaya dan 300 tahun Kerajaan Majapahit
dan sama-sama 350 tahun dijajah Belanda serta 3,5 tahun oleh Jepang.
komunitas, dibangun atas berbagai macam identitas. Untuk dapat berfungsi dengan baik, kelompok
Secara mudah, identitas dapat diartikan sebagai ciri yang melekat atau dilekatkan pada seseorang
atau sekelompok orang. Beberapa identitas, misalnya ras dan usia, cenderung bersifat given.
Beberapa lainnya lebih merupakan pilihan, seperti agama, ideologi, afiliasi politik, dan profesi. Di
samping itu, ada pula identitas yang terkait dengan pencapaian, seperti pemenang/pecundang,
kaya/miskin, pintar/bodoh.
Ada kalanya, sebuah identitas terkesan lebih mencolok atau berarti – dibanding lainnya.
Sebelum penghapusan politik Apartheid misalnya, warna kulit menjadi identitas pembeda yang
paling mencolok di Afrika Selatan. Pasca tragedi WTC, identitas Muslim/nonMuslim yang
sebelumnya tidak terlalu mendapat perhatian menjadi penting bagi masyarakat Amerika Serikat.
Identitas agama dan etnisitas biasanya mendapatkan perhatian lebih. Bisa jadi, ini karena
keduanya dianggap lebih rawan konflik dibandingkan identitas lain. Padahal, keragaman status
dokter/pasien), jenis kelamin, usia, afiliasi politik, ideologi, gaya hidup (moderat/militan), dan lain
sebagainya juga perlu dikelola. Hal ini bukan semata untuk mengurangi potensi konflik, melainkan
juga untuk memungkinkan pelayanan (publik) yang prima dan sesuai dengan kebutuhan pengguna
jasa. Sayang, slogan-slogan seperti Berbeda itu Indah, Bhinneka Tunggal Ika dan Unity in Diversity
Does number count? Apakah jumlah berpengaruh? Pertanyaan ini penting dijawab ketika
ketimpangan yang sifatnya lebih struktural seperti ketimpangan kekuasaan, sumber daya,
Tirani mayoritas
terpusat pada mayoritas dapat disalahgunakan. Salah satu contoh tirani mayoritas
adalah ketika mayoritas kulit putih Amerika Serikat di awal abad 20 memilih
hitam hanya boleh duduk di bagian belakang bus, hanya boleh menggunakan kamar
mandi khusus kulit hitam, hanya boleh menghadiri gereja dan sekolah kulit hitam,
dll.
Ketidakterwakilan
keberadaan minoritas atau kaum lemah yang “tidak nampak”, sehingga mereka tidak
dilibatkan dalam pengambilan keputusan, atau aspirasi mereka tidak dianggap
penting. Rapat desa misalnya, biasanya hanya mengundang laki-laki dewasa. Contoh
lain adalah pengambilan keputusan di lingkungan kampus atau asrama yang tidak
Umumnya, proses merancang sistem dan sarana (publik) hanya disesuaikan dengan
kebutuhan mayoritas atau kaum kuat. Hal ini dapat dilihat dari loket pelayanan, letak
telfon di box telfon umum, serta lubang kotak pos yang terlalu tinggi untuk
Mengelola Keragaman
Ada banyak cara mengelola keragaman antara lain dapat dilakukan dengan:
• Untuk mengenal dan berteman dengan sebanyak mungkin orang dengan identitas yang
berbeda – bukan sebatas kenal nama dan wajah, tetapi mengenali latar belakang, karakter,
Pemahaman terhadap multikulturalisme sendiri sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pengertian
kebudayaan. Karena kata kebudayaan itulah, yang menjadi kunci pemahaman konsep
kesetaraan, baik secara individual maupun kelompok dalam kerangka kebudayaan. Heterogenitas
kekayaan budaya negara-bangsa Indonesia selama ini terekatkan dalam sesanti Bhinneka Tunggal
Ika. Dengan kata lain, kekayaan budaya dapat bertindak sebagai faktor pemersatu, yang sifatnya
majemuk dan dinamis. Tidak ada kebudayaan Indonesia, bila bukan terbentuk dari kebudayaan
Sebagai sebuah konsep, multikulturalisme menjadi dasar bagi tumbuhnya masyarakat sipil
yang demokratis demi terwujudnya keteraturan sosial. Sehingga, bisa menjamin rasa aman bagi
Melihat kemajemukan Indonesia yang begitu luasnya – terdiri dari sedikitnya 500 suku
bangsa, maka multikulturalisme hendaknya tidak hanya sekadar retorika, tetapi harus
diperjuangkan sebagai landasan bagi tumbuh dan tegaknya proses demokrasi, pengakuan hak asasi
manusia, dan akhirnya bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Upaya itu harus dilakukan jika
melihat berbagai konflik yang terjadi di sejumlah daerah di tanah air, beberapa waktu lalu. Konflik
dalam perbedaan itulah yang senantiasa dilakukan secara aktif baik oleh tokoh masyarakat, tokoh
partai, maupun lembaga swadaya masyarakat. Dengan demikian, pemahaman bahwa bangsa
Indonesia merupakan masyarakat yang terdiri dari beragam kebudayaan harus menjadi bagian tak
Kesetaraan setiap warga masyarakat dan dijaminnya hak masyarakat tradisional merupakan
unsur dasar dari prinsip demokrasi, yang terkandung pengakuan terhadap kesetaraan dan toleransi
Tuntutan kesetaraan mungkin belum beberapa abad terakhir ini di mulai oleh manusia.
Tentunya seruan dengan suara kecil malah yang hampir tidak terdengar, pada ribuan tahun yang
lalu sudah ada. Tingkatannya rakyat jelata, tetapi berkeinginan agar menjadi sepadan dengan para
bangsawan, dengan para orang kaya serta berkuasa bahkan menjadi anggota kalangan Sang
Baginda Raja. Kalau kita mau memikirkan masak-masak keinginan untuk setara itu, biasanya dan
selalu datang dari pihak yang kurang beruntung untuk menyamai kaum yang sedang atau sudah
beruntung.
Sudah adakah yang sebaliknya? Mungkin saja pernah ada dan contohnya bisa kita ambil misalnya
saja seorang raja yang ingin hidup seperti rakyat biasa, seorang pemimpin atau khalifah yang amat
merakyat. Mungkin yang dijalani oleh Siddharta Gautama Budha adalah seperti itu, seorang yang
dilahirkan sebagai anak seorang raja Suddhodana yang memimpin bangsa Shakya. Daerah
kekuasaan sang Raja Suddhodana, terletak di daerah yang pada jaman sekarang dikenal dengan
nama Negara Nepal. Presiden Iran Achmad Dinejad adalah contoh lain yang paling mengena.
Seorang penguasa seperti dia, masih hidup dirumahnya yang kecil sejak dia masih dosen, tidur
bukan diatas tempat tidur, tetapi diatas kasur yang digelar dilantai, kalau bersembahyang di dalam
masjid, dia duduk dimana saja, ditengah jemaah lain, tidak menuju ke saf paling depan seperti
Kalau sekarang ini ada yang meneriakkan kesetaraan mungkin sekali adalah karena jurang
yang memisahkan kaum yang merasa dirinya tidak setara dengan kaum yang ingin disetarai,
semakin curam dan semakin lebar saja. Kesetaran ini tidak akan muncul dan berkembang dalam
susunan masyarakat yang didirikan di atas paham dominasi dan kekuasaan satu kelompok terhadap
kelompok yang lain.Republik kita yang sudah berumur tua untuk ukuran manusia, 62 tahun saja
tidak ada keadilan dalam kehidupan berbangsa. Keadaan adil dan makmur yang menjadi idaman
seluruh rakyat Indonesia tidak pernah datang sampai sekarang dan kemungkina besar juga di masa
Untuk mencapai kesetaraan itu sebaiknya dengan cara menaikkan derajat, peringkat, kondisi serta
kemampuan setiap perorangan ketingkat yang diingininya, dengan upaya sendiri-sendiri untuk
tahap awal. Ini adalah satu-satunya jalan. Jangan mengajak teman sejawat terlebih dahulu hanya
untuk membentuk massa-mass forming. Mass forming seperti ini akan menjadi solid-utuh kalau
para pembentuknya memang mempunyai peringkat yang setara dan sepadan. Kalau isi para
pembentuknya tidak sama kemampuannya, visinya dan tugasnya, maka massa yang terbentuk akan
tidak utuh serta mudah tercerai-berai. Yang memilukan adalah bahwa setiap orang yang
mempunyai ambisi untuk menggerakan massa untuk mencapai kesetaraan, kurang mengamati
sekelilingnya sendiri.
Dengan identitas pluralis dan multikulturalis itu bangunan interaksi dan relasi antara
manusia Indonesia akan bersifat setara. Paham kesetaraan akan menandai cara berpikir dan perilaku
bangsa Indonesia, apabila setiap orang Indonesia berdiri di atas realitas bangsanya yang plural dan
multikultural itu. Identitas kesetaran ini tidak akan muncul dan berkembang dalam susunan
masyarakat yang didirikan di atas paham dominasi dan kekuasaan satu kelompok terhadap
BAB III
3.1 KESIMPULAN
Di tengah arus reformasi dewasa ini, agar selamat mencapai Indonesia Baru, maka idiom
yang harus lebih diingat-ingat dan dijadikan landasan kebijakan mestinya harus berbasis pada
konsep Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, sekali pun berada dalam satu kesatuan, tidak boleh
Kesetaraan bisa di wujudkan dengan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah NKRI dan juga
keadilan di dalam bidang hukum ( bahwa semua sama di di hadapan hukum ). Namun, jangan
sampai kita salah langkah, yang bisa berakibat yang sebaliknya: sebuah konflik yang
berkepanjangan.
Oleh karena itu Keragaman dan Kesetaraan harus di tanamkan sejak dini kepada generasi muda
penerus bangsa.
3.2 SARAN
Sebagai makhluk individu yang menjadi satuan terkecil dalam suatu organisasi / kelompok
manusia harus memiliki kesadaran diri terhadap realita yang berkembang di tengah masyarakat
sehingga dapat menghindari masalah yang berpokok pangkal dari keragaman dan keserataan
DAFTAR PUSTAKA
( http://yudihartono.wordpress.com/ )
30 November 2006