Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

MANUSIA KERAGAMAN DAN


KESETARAAN

Dosen Pembimbing :
Ir. Prima Novia, M.Si
Disusun Oleh Kelompok IX :
1. Rakhmatul BP. 0910003600953
Ikhsan BP. 0910003600976
2. Bayu Lesmana BP. 0910003600444
3. Richi Venaloza BP. 0910003600975
4. Ranti Mulyani BP. 0910003600218
5. Januardi Syam BP. 0910003600116
6. M. Fauzi BP. 0910003600926
7. Toni Mardian

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS EKASAKTI PADANG
2010
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini
dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Ilmu Budaya Dasar
Khususnya tentang pembahasan MANUSIA KERAGAMAN DAN KESERATAAN yang kami
sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan
berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun
dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan. Makalah ini memuat tentang “Manusia Keragaman dan Keserataan” Walaupun
makalah ini mungkin kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen Ilmu Sosial Budaya Dasar yang sangat
membantu dalam penyusunan Makalan ini yaitu Ibu Ir.Prima Novia, M.SI yang telah membimbing
penyusun agar dapat mengerti tentang bagaimana cara kami menyusun makalah ini, tidak lupa juga
rasa terimakasih kepada Rekan-rekan Fakultas Hukum Universitas Ekasakti Padang, khususnya
kepada rekan-rekan kelompok IX
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun
makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya.
Terima kasih.

Padang, 26 Mei 2010

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. iii

DAFTAR ISI ................................................................................................................................... v

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah..............................................................................................................1

1.2 Rumusan Msalah.........................................................................................................................3

1.3 Tujuan Penulisan Makalah...........................................................................................................4

BAB II. PEMBAHASAN.................................................................................................................. 5

2.1 1. Mengenali dan mengelola keragaman masyarakat di Indonesia................................................6

2.2 2 Memahami Masyarakat multicultural.......................................................................................10

2.3 3 Kesetaraan dalam Kehidupan masyarakat................................................................................11

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan..................................................................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Keragaman atau kemajemukan merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan dalam


kehidupan di masyarakat. Keragaman merupakan salah satu realitas utama yang dialami
masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan di waktu-waktu mendatang
Sebagai fakta, keragaman sering disikapi secara berbeda. Di satu sisi diterima sebagai fakta yang
dapat memperkaya kehidupan bersama, tetapi di sisi lain dianggap sebagai faktor penyulit.
Kemajemukan bisa mendatangkan manfaat yang besar, namun juga bisa menjadi pemicu konflik
yang dapat merugikan masyarakat sendiri jika tidak dikelola dengan baik.

Setiap manusia dilahirkan setara, meskipun dengan keragaman identitas yang disandang.
Kesetaraan merupakan hal yang inheren yang dimiliki manusia sejak lahir. Setiap individu
memiliki hak-hak dasar yang sama yang melekat pada dirinya sejak dilahirkan atau yang disebut
dengan hak asasi manusia.
Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan dapat terwujud dalam praktik nyata dengan adanya pranata-
pranata sosial, terutama pranata hukum, yang merupakan mekanisme kontrol yang secara ketat dan
adil mendukung dan mendorong terwujudnya prinsip-prinsip kesetaraan dalam kehidupan nyata.
Kesetaraan derajat individu melihat individu sebagai manusia yang berderajat sama dengan
meniadakan hierarki atau jenjang sosial yang menempel pada dirinya berdasarkan atas asal rasial,
sukubangsa, kebangsawanan, atau pun kekayaan dan kekuasaan.

Di Indonesia, berbagai konflik antarsukubangsa, antarpenganut keyakinan keagamaan,


ataupun antarkelompok telah memakan korban jiwa dan raga serta harta benda, seperti kasus
Sambas, Ambon, Poso dan Kalimantan Tengah. Masyarakat majemuk Indonesia belum
menghasilkan tatanan kehidupan yang egalitarian dan demokratis.

Persoalan-persoalan tersebut sering muncul akibat adanya dominasi sosial oleh suatu
kelompok. Adanya dominasi sosial didasarkan pada pengamatan bahwa semua kelompok manusia
ditujukan kepada struktur dalam sistem hirarki sosial suatu kelompok. Di dalamnya ditetapkan satu
atau sejumlah kecil dominasi dan hegemoni kelompok pada posisi teratas dan satu atau sejumlah
kelompok subordinat pada posisi paling bawah. Di antara kelompok-kelompok yang ada, kelompok
dominan dicirikan dengan kepemilikan yang lebih besar dalam pembagian nilai-nilai sosial yang
berlaku. Adanya dominasi sosial ini dapat mengakibatkan konflik sosial yang lebih tajam.

Negara-bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, dapat
disebut sebagai masyarakat multikultural. Berbagai keragaman masyarakat Indonesia terwadahi
dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terbentuk dengan karakter utama
mengakui pluralitas dan kesetaraan warga bangsa. NKRI yang mengakui keragaman dan
menghormati kesetaraan adalah pilihan terbaik untuk mengantarkan masyarakat Indonesia pada
pencapaian kemajuan peradabannya.
Cita-cita yang mendasari berdirinya NKRI yang dirumuskan para pendiri bangsa telah membekali
bangsa Indonesia dengan konsepsi normatif negara bangsa Bhinneka Tunggal Ika, membekali
hidup bangsa dalam keberagaman, kesetaraan, dan harmoni. Hal tersebut merupakan kesepakatan
bangsa yang bersifat mendasar.

Konstitusi secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berkesetaraan.
Pasal 27 menyatakan: “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan” adalah rujukan yang melandasi seluruh produk hukum dan ketentuan moral yang
mengikat warga negara.
Keberagaman bangsa yang berkesetaraan akan merupakan kekuatan besar bagi kemajuan dan
kesejahteraan negara bangsa Indonesia. Negara bangsa yang beragam yang tidak berkesetaraan,
lebih-lebih yang diskriminatif, akan menghadirkan kehancuran.

Semangat multikulturalisme dengan dasar kebersamaan, toleransi, dan saling pengertian


merupakan proses terus-menerus, bukan proses sekali jadi dan sesudah itu berhenti. Di sinilah
setiap komunitas masyarakat dan kebudayaan dituntut untuk belajar terus-menerus atau belajar
berkelanjutan. Proses pembelajaran semangat multikulturalisme terus-menerus dan
berkesinambungan dilakukan. Untuk itu, penting kita miliki dan kembangkan kemampuan belajar
hidup bersama dalam multikulturalisme masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Kemampuan
belajar hidup bersama di dalam perbedaan inilah yang mempertahankan, bahkan menyelamatkan
semangat multikulturalisme. Tanpa kemampuan belajar hidup bersama yang memadai dan tinggi,
niscaya semangat multikulturalisme akan meredup. Sebaliknya, kemampuan belajar hidup bersama
yang memadai dan tinggi akan menghidupkan dan memfungsionalkan semangat multikulturalisme.
Proses pembelajaran semangat multikulturalisme atau kemampuan belajar hidup bersama di tengah
perbedaan dapat dibentuk, dipupuk, dan atau dikembangkan dengan kegiatan, keberanian
melakukan perantauan budaya (cultural passing over), pemahaman lintas budaya (cross cultural
understanding), dan pembelajaran lintas budaya (learning a cross culture).

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Keragaman dan kesetaraan adalah hal yang saling berkaitan satu sama lain

2. Keragaman dan kesetaraan adalah sifat dasar dari manusia dan bangsa Indonesia

menjadikan sebagai bingkai dasar Negara kesatuan Republik Indonesia

3. Mengetahui dan mengenali bagaimana masyarakat Indonesia mengenali dan mengelola

keragaman dan kesetaraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan

Semboyan “ Bhineka Tunggal Ika”

Tujuan

Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan di Bidang Ilmu

Sosial Budaya Dasar dan menambah pemahaman tentang kemajemukan diharapkan bermanfaat

bagi kita semua.

BAB II
PEMBAHASAN
Manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu berkaitan dengan konsep kesetaraan dan
keragaman. Konsep kesetaraan (equity) bisa dikaji dengan pendekatan formal dan pendekatan
substantif. Pada pendekatan formal kita mengkaji kesetaraan berdasarkan peraturan-peraturan yang
berlaku, baik berupa undang-undang, maupuin norma, sedangkan pendekatan substantif mengkaji
konsep kesetaraan berdasarkan keluaran / output, maupun proses terjadinya kesetaraan.
Konsep kesetaraan biasanya dihubungkan dengan gender, status sosial, dan berbagai hal
lainnya yang mencirikan perbedaan-perbedaan serta persamaan-persamaan. Sedangkan konsep
keragaman merupakan hal yang wajar terjadi pada kehidupan dan kebudayaan umat manusia.
Kalau kita perhatikan lebih cermat, kebudayaan Barat dan Timur mempunyai landasan dasar yang
bertolak belakang. Kalau di Barat budayanya bersifat antroposentris (berpusat pada manusia)
sedangkan Timur, yang diwakili oleh budaya India, Cina dan Islam, menunjukkan ciri teosentris
(berpusat pada Tuhan.
Dengan demikian konsep-konsep yang lahir dari Barat seperti demokrasi, mengandung
elemen dasar serba manusia, manusia-lah yang menjadi pusat perhatiannya. Sedangkan Timur
mendasarkan segala aturan hidup, seperti juga konsep kesetaraan dan keberagaman, berdasarkan
apa yang diatur oleh Tuhan melalui ajaran-ajarannya.
Penilaian atas realisasi kesetaraan dan keragaman pada umat manusia, khususnya pada suatu
masyarakat, dapat dikaji dari unsur-unsur universal kebudayaan pada berbagai periodisasi
kehidupan masyarakat.

Sehubungan dengan itu Negara kebangsaan Indonesia terbentuk dengan ciri yang amat unik

dan spesifik. Berbeda dengan Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Yunani, yang menjadi suatu negara

bangsa karena kesamaan bahasa. Atau Australia, India, Sri Lanka, Singapura, yang menjadi satu

bangsa karena kesamaan daratan. Atau Jepang, Korea, dan negara-negara di Timur Tengah, yang

menjadi satu negara karena kesamaan ras. Indonesia menjadi satu negara bangsa meski terdiri dari

banyak bahasa, etnik, ras, dan kepulauan. Hal itu terwujud karena kesamaan sejarah masa lalu;

nyaris kesamaan wilayah selama 500 tahun Kerajaan Sriwijaya dan 300 tahun Kerajaan Majapahit

dan sama-sama 350 tahun dijajah Belanda serta 3,5 tahun oleh Jepang.

1. Mengenali dan mengelola keragaman masyarakat di Indonesia


Tidak ada masyarakat yang seragam. Setiap kelompok, baik di tingkat negara maupun di tingkat

komunitas, dibangun atas berbagai macam identitas. Untuk dapat berfungsi dengan baik, kelompok

tersebut harus mampu mengenali dan mengelola keragaman yang ada.

Identitas dan Salient Identity

Secara mudah, identitas dapat diartikan sebagai ciri yang melekat atau dilekatkan pada seseorang

atau sekelompok orang. Beberapa identitas, misalnya ras dan usia, cenderung bersifat given.

Beberapa lainnya lebih merupakan pilihan, seperti agama, ideologi, afiliasi politik, dan profesi. Di

samping itu, ada pula identitas yang terkait dengan pencapaian, seperti pemenang/pecundang,

kaya/miskin, pintar/bodoh.

Ada kalanya, sebuah identitas terkesan lebih mencolok atau berarti – dibanding lainnya.

Sebelum penghapusan politik Apartheid misalnya, warna kulit menjadi identitas pembeda yang

paling mencolok di Afrika Selatan. Pasca tragedi WTC, identitas Muslim/nonMuslim yang

sebelumnya tidak terlalu mendapat perhatian menjadi penting bagi masyarakat Amerika Serikat.

Identitas agama dan etnisitas biasanya mendapatkan perhatian lebih. Bisa jadi, ini karena

keduanya dianggap lebih rawan konflik dibandingkan identitas lain. Padahal, keragaman status

sosial (kaya/miskin, ningrat/jelata, berpendidikan/tidak berpendidikan), kondisi fisik

(sehat/sakit/diffable/butawarna), fungsi dan profesi (produsen/konsumen, guru/siswa,

dokter/pasien), jenis kelamin, usia, afiliasi politik, ideologi, gaya hidup (moderat/militan), dan lain

sebagainya juga perlu dikelola. Hal ini bukan semata untuk mengurangi potensi konflik, melainkan

juga untuk memungkinkan pelayanan (publik) yang prima dan sesuai dengan kebutuhan pengguna

jasa. Sayang, slogan-slogan seperti Berbeda itu Indah, Bhinneka Tunggal Ika dan Unity in Diversity

lebih ditujukan untuk mengelola keragaman agama dan etnisitas semata.


Jumlah, Struktur, dan Identitas Dominan

Does number count? Apakah jumlah berpengaruh? Pertanyaan ini penting dijawab ketika

mengelola keragaman. Ada kalanya, ketidakselarasan hubungan sangat terkait dengan

ketimpangan jumlah (mayoritas-minoritas). Namun, ketidakselarasan juga dapat timbul dari

ketimpangan yang sifatnya lebih struktural seperti ketimpangan kekuasaan, sumber daya,

pengaruh, keahlian, dan sebagainya.

Ketidakpekaan terhadap komposisi mayoritas-minoritas serta ketimpangan struktural

berperluang memunculkan masalah. Beberapa di antaranya adalah:

Tirani mayoritas

Dalam kelompok yang komposisi mayoritas-minoritasnya mencolok, mekanisme-

mekanisme pengambilan keputusan yang menekankan pada jumlah (sepert

imisalnya voting) perlu dihindari karena cenderung melimpahkan kekuasaan pada

mayoritas saja. Jika hubungan mayoritas-minoritas tidak kondusif, kekuasaan yang

terpusat pada mayoritas dapat disalahgunakan. Salah satu contoh tirani mayoritas

adalah ketika mayoritas kulit putih Amerika Serikat di awal abad 20 memilih

disahkannya undang-undang segregasi berdasar warna kulit – akibatnya, orang kulit

hitam hanya boleh duduk di bagian belakang bus, hanya boleh menggunakan kamar

mandi khusus kulit hitam, hanya boleh menghadiri gereja dan sekolah kulit hitam,

dll.

Ketidakterwakilan

Ada banyak hal yang menyebabkan ketidakterwakilan. Di antaranya adalah

keberadaan minoritas atau kaum lemah yang “tidak nampak”, sehingga mereka tidak
dilibatkan dalam pengambilan keputusan, atau aspirasi mereka tidak dianggap

penting. Rapat desa misalnya, biasanya hanya mengundang laki-laki dewasa. Contoh

lain adalah pengambilan keputusan di lingkungan kampus atau asrama yang tidak

dikonsultasikan dengan mahasiswa atau penghuni asrama.

Sistem dan sarana (publik) yang tidak ramah guna

Umumnya, proses merancang sistem dan sarana (publik) hanya disesuaikan dengan

kebutuhan mayoritas atau kaum kuat. Hal ini dapat dilihat dari loket pelayanan, letak

telfon di box telfon umum, serta lubang kotak pos yang terlalu tinggi untuk

jangkauan anak-anak atau pengguna kursi roda.

Mengelola Keragaman

Ada banyak cara mengelola keragaman antara lain dapat dilakukan dengan:

• Untuk mendekonstruksi stereotip dan prasangka terhadap identitas lain

• Untuk mengenal dan berteman dengan sebanyak mungkin orang dengan identitas yang

berbeda – bukan sebatas kenal nama dan wajah, tetapi mengenali latar belakang, karakter,

ekspektasi, dll, makan bersama, saling berkunjung, dll

• Untuk mengembangkan ikatan-ikatan (pertemanan, bisnis, organisasi, asosiasi, dll) yang


bersifat inklusif dan lintas identitas, bukan yang bersifat eksklusif

• Untuk mempelajari ritual dan falsafah identitas lain

• Untuk mengembangkan empati terhadap identitas yang berbeda

• Untuk menolak berpartisipasi dalam prilaku-prilaku yang diskriminatif

2. Memahami Masyarakat Multikultural

Pemahaman terhadap multikulturalisme sendiri sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pengertian

kebudayaan. Karena kata kebudayaan itulah, yang menjadi kunci pemahaman konsep

multikulturalisme. Kebudayaan merupakan sekumpulan nilai moral untuk meningkatkan derajat

manusia dan kemanusiaan.

Multikulturalisme adalah sebuah paham yang mengakui adanya perbedaan dalam

kesetaraan, baik secara individual maupun kelompok dalam kerangka kebudayaan. Heterogenitas

kekayaan budaya negara-bangsa Indonesia selama ini terekatkan dalam sesanti Bhinneka Tunggal

Ika. Dengan kata lain, kekayaan budaya dapat bertindak sebagai faktor pemersatu, yang sifatnya

majemuk dan dinamis. Tidak ada kebudayaan Indonesia, bila bukan terbentuk dari kebudayaan

masyarakat yang lebih kecil.

Sebagai sebuah konsep, multikulturalisme menjadi dasar bagi tumbuhnya masyarakat sipil

yang demokratis demi terwujudnya keteraturan sosial. Sehingga, bisa menjamin rasa aman bagi

masyarakat dan kelancaran tata kehidupan masyarakat.

Melihat kemajemukan Indonesia yang begitu luasnya – terdiri dari sedikitnya 500 suku
bangsa, maka multikulturalisme hendaknya tidak hanya sekadar retorika, tetapi harus

diperjuangkan sebagai landasan bagi tumbuh dan tegaknya proses demokrasi, pengakuan hak asasi

manusia, dan akhirnya bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Upaya itu harus dilakukan jika

melihat berbagai konflik yang terjadi di sejumlah daerah di tanah air, beberapa waktu lalu. Konflik

itu mengindikasikan belum tuntasnya pembentukan masyarakat multikultural di Indonesia.

Munculnya konflik antarsuku, misalnya, menunjukkan belum dipahaminya prinsip

multikulturalisme yang mengakui perbedaan dalam kesetaraan. Penanaman nilai-nilai kesetaraan

dalam perbedaan itulah yang senantiasa dilakukan secara aktif baik oleh tokoh masyarakat, tokoh

partai, maupun lembaga swadaya masyarakat. Dengan demikian, pemahaman bahwa bangsa

Indonesia merupakan masyarakat yang terdiri dari beragam kebudayaan harus menjadi bagian tak

terpisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kesetaraan setiap warga masyarakat dan dijaminnya hak masyarakat tradisional merupakan

unsur dasar dari prinsip demokrasi, yang terkandung pengakuan terhadap kesetaraan dan toleransi

terhadap perbedaan dalam kemajemukan.

3. Kesetaraan dalam kehidupan masyarakat

Tuntutan kesetaraan mungkin belum beberapa abad terakhir ini di mulai oleh manusia.

Tentunya seruan dengan suara kecil malah yang hampir tidak terdengar, pada ribuan tahun yang

lalu sudah ada. Tingkatannya rakyat jelata, tetapi berkeinginan agar menjadi sepadan dengan para

bangsawan, dengan para orang kaya serta berkuasa bahkan menjadi anggota kalangan Sang

Baginda Raja. Kalau kita mau memikirkan masak-masak keinginan untuk setara itu, biasanya dan

selalu datang dari pihak yang kurang beruntung untuk menyamai kaum yang sedang atau sudah

beruntung.
Sudah adakah yang sebaliknya? Mungkin saja pernah ada dan contohnya bisa kita ambil misalnya

saja seorang raja yang ingin hidup seperti rakyat biasa, seorang pemimpin atau khalifah yang amat

merakyat. Mungkin yang dijalani oleh Siddharta Gautama Budha adalah seperti itu, seorang yang

dilahirkan sebagai anak seorang raja Suddhodana yang memimpin bangsa Shakya. Daerah

kekuasaan sang Raja Suddhodana, terletak di daerah yang pada jaman sekarang dikenal dengan

nama Negara Nepal. Presiden Iran Achmad Dinejad adalah contoh lain yang paling mengena.

Seorang penguasa seperti dia, masih hidup dirumahnya yang kecil sejak dia masih dosen, tidur

bukan diatas tempat tidur, tetapi diatas kasur yang digelar dilantai, kalau bersembahyang di dalam

masjid, dia duduk dimana saja, ditengah jemaah lain, tidak menuju ke saf paling depan seperti

Presiden Indonesia, yang selalu begitu.

Kalau sekarang ini ada yang meneriakkan kesetaraan mungkin sekali adalah karena jurang

yang memisahkan kaum yang merasa dirinya tidak setara dengan kaum yang ingin disetarai,

semakin curam dan semakin lebar saja. Kesetaran ini tidak akan muncul dan berkembang dalam

susunan masyarakat yang didirikan di atas paham dominasi dan kekuasaan satu kelompok terhadap

kelompok yang lain.Republik kita yang sudah berumur tua untuk ukuran manusia, 62 tahun saja

tidak ada keadilan dalam kehidupan berbangsa. Keadaan adil dan makmur yang menjadi idaman

seluruh rakyat Indonesia tidak pernah datang sampai sekarang dan kemungkina besar juga di masa

yang akan depan nanti.

Untuk mencapai kesetaraan itu sebaiknya dengan cara menaikkan derajat, peringkat, kondisi serta

kemampuan setiap perorangan ketingkat yang diingininya, dengan upaya sendiri-sendiri untuk

tahap awal. Ini adalah satu-satunya jalan. Jangan mengajak teman sejawat terlebih dahulu hanya

untuk membentuk massa-mass forming. Mass forming seperti ini akan menjadi solid-utuh kalau

para pembentuknya memang mempunyai peringkat yang setara dan sepadan. Kalau isi para
pembentuknya tidak sama kemampuannya, visinya dan tugasnya, maka massa yang terbentuk akan

tidak utuh serta mudah tercerai-berai. Yang memilukan adalah bahwa setiap orang yang

mempunyai ambisi untuk menggerakan massa untuk mencapai kesetaraan, kurang mengamati

sekelilingnya sendiri.

Dengan identitas pluralis dan multikulturalis itu bangunan interaksi dan relasi antara

manusia Indonesia akan bersifat setara. Paham kesetaraan akan menandai cara berpikir dan perilaku

bangsa Indonesia, apabila setiap orang Indonesia berdiri di atas realitas bangsanya yang plural dan

multikultural itu. Identitas kesetaran ini tidak akan muncul dan berkembang dalam susunan

masyarakat yang didirikan di atas paham dominasi dan kekuasaan satu kelompok terhadap

kelompok yang lain. Kesetaraan merupakan identitas nasional Indonesia.

BAB III

3.1 KESIMPULAN

Di tengah arus reformasi dewasa ini, agar selamat mencapai Indonesia Baru, maka idiom

yang harus lebih diingat-ingat dan dijadikan landasan kebijakan mestinya harus berbasis pada

konsep Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, sekali pun berada dalam satu kesatuan, tidak boleh

dilupakan, bahwa sesungguhnya bangsa ini berbeda-beda dalam suatu Keragaman.

Kesetaraan bisa di wujudkan dengan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah NKRI dan juga

keadilan di dalam bidang hukum ( bahwa semua sama di di hadapan hukum ). Namun, jangan

sampai kita salah langkah, yang bisa berakibat yang sebaliknya: sebuah konflik yang
berkepanjangan.

Oleh karena itu Keragaman dan Kesetaraan harus di tanamkan sejak dini kepada generasi muda

penerus bangsa.

3.2 SARAN

Sebagai makhluk individu yang menjadi satuan terkecil dalam suatu organisasi / kelompok

manusia harus memiliki kesadaran diri terhadap realita yang berkembang di tengah masyarakat

sehingga dapat menghindari masalah yang berpokok pangkal dari keragaman dan keserataan

sebagai sifat dasar manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Siswono Yudo Husodo. 2009. Pancasila dan keberlanjutan NKRI

( http://www.liveconector.com , dikutip tanggal 19 Oktober 2009 )

Ilmu Sosial Budaya Dasar

( http://yudihartono.wordpress.com/ )

M Zaid Wahyudi. 2009. Jadikan Toleransi sebagai Modal. Artikel-artikel

Islam ( http://ajaranislam.com, dikutip tanggal 20 Oktober 2009 )

2009. Mengenali dan Mengelola Keragaman


( http://pdfdatabase.com, dikutip tanggal 20 Oktober 2009 )

Agung mulyana. “Memahami Masyarakat Multikultural”, Suara Karya,

30 November 2006

Ignatius Yunanto. 2008. Multikulturalisme sebuah perjuangan panjang bangsa

Indonesia. ( http://joenanto.multyply.com, diakses tanggal 20 Oktober 2009)

Rujito. 2009. Identitas Nasional Indonesia

( http://maharsi-rujito.blogspot.com, diakses tanggal 23 Oktober 2009 )

Anda mungkin juga menyukai