Anda di halaman 1dari 12

BAB II

ISI

2.1 Manusia dalam Pandangan Islam.


Manusia diciptakan Allah Swt. Berasal dari saripati tanah, lalu menjadi nutfah, alaqah,
dan mudgah sehingga akhirnya menjadi makhluk yang paling sempurna yang memiliki
berbagai kemampuan. Oleh karena itu, manusia wajib bersyukur atas karunia yang telah
diberikan Allah Swt.

2.1.1 Status Manusia.

Manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah
SWT. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi
fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah dimuka bumi ini. Al-Quran
menerangkan bahwa manusia berasal tanah dengan mempergunakan bermacam-
macam istilah, seperti : Turab, Thien, Shal-shal, dan Sualalah.

Hal ini dapat diartikan bahwa jasad manusia diciptakan Allah dari bermacam-
macam unsur kimiawi yang terdapat dari tanah. Adapun tahapan-tahapan dalam
proses selanjutnya, Al-Quran tidak menjelaskan secara rinci. Akan tetapi hampir
sebagian besar para ilmuwan berpendapat membantah bahwa manusia berawal
dari sebuah evolusi dari seekor binatang sejenis kera, konsep-konsep tersebut
hanya berkaitan dengan bidang studi biologi. Anggapan ini tentu sangat keliru
sebab teori ini ternyata lebih dari sekadar konsep biologi. Teori evolusi telah
menjadi pondasi sebuah filsafat yang menyesatkan sebagian besar manusia.
Dalam hal ini membuat kita para manusia kehilangan harkat dan martabat kita
yang diciptakan sebagai mahluk yang sempurna dan paling mulia.

Walaupun manusia berasal dari materi alam dan dari kehidupan yang terdapat di
dalamnya, tetapi manusia berbeda dengan makhluk lainnya dengan perbedaan
yang sangat besar karena adanya karunia Allah yang diberikan kepadanya yaitu
akal dan pemahaman. Itulah sebab dari adanya penundukkan semua yang ada di
alam ini untuk manusia, sebagai rahmat dan karunia dari Allah SWT. {“Allah
telah menundukkan bagi kalian apa-apa yang ada di langit dan di bumi
semuanya.”}(Q. S. Al-Jatsiyah: 13). {“Allah telah menundukkan bagi kalian
matahari dan bulan yang terus menerus beredar. Dia juga telah menundukkan bagi
kalian malam dan siang.”}(Q. S. Ibrahim: 33). {“Allah telah menundukkan
bahtera bagi kalian agar dapat berlayar di lautan atas kehendak-Nya.”}(Q. S.
Ibrahim: 32), dan ayat lainnya yang menjelaskan apa yang telah Allah karuniakan
kepada manusia berupa nikmat akal dan pemahaman serta derivat (turunan) dari
apa-apa yang telah Allah tundukkan bagi manusia itu sehingga mereka dapat
memanfaatkannya sesuai dengan keinginan mereka, dengan berbagai cara yang
mampu mereka lakukan. Kedudukan akal dalam Islam adalah merupakan suatu
kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibanding dengan makhluk-
makhluk-Nya yang lain. Dengannya, manusia dapat membuat hal-hal yang dapat
mempermudah urusan mereka di dunia. Namun, segala yang dimiliki manusia
tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar yang tidak boleh
dilewati.

Dengan demikian, manusia adalah makhluk hidup. Di dalam diri manusia terdapat
apa-apa yang terdapat di dalam makhluk hidup lainnya yang bersifat khsusus. Dia
berkembang, bertambah besar, makan, istirahat, melahirkan dan berkembang biak,
menjaga dan dapat membela dirinya, merasakan kekurangan dan membutuhkan
yang lain sehingga berupaya untuk memenuhinya. Dia memiliki rasa kasih sayang
dan cinta, rasa kebapaan dan sebagai anak, sebagaimana dia memiliki rasa takut
dan aman, menyukai harta, menyukai kekuasaan dan kepemilikan, rasa benci dan
rasa suka, merasa senang dan sedih dan sebagainya yang berupa perasaan-
perasaan yang melahirkan rasa cinta. Hal itu juga telah menciptakan dorongan
dalam diri manusia untuk melakukan pemuasan rasa cintanya itu dan memenuhi
kebutuhannya sebagai akibat dari adanya potensi kehidupan yang terdapat dalam
dirinya. Oleh karena itu manusia senantiasa berusaha mendapatkan apa yang
sesuai dengan kebutuhannya,hal ini juga dialami oleh para mahluk-mahluk hidup
lainnya, hanya saja, manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya dalam hal
kesempurnaan tata cara untuk memperoleh benda-benda pemuas kebutuhannya
dan juga tata cara untuk memuaskan kebutuhannya tersebut. Makhluk hidup lain
melakukannya hanya berdasarkan naluri yang telah Allah ciptakan untuknya
sementara manusia melakukannya berdasarkan akal dan pikiran yang telah Allah
karuniakan kepadanya.

2.1.2 Peran Manusia.

Manusia di dalam hidup ini memiliki tiga peran khusus; peran utama; peran
fungsional; dan peran operasional.

• Peran Utama
Keberadaan manusia di muka bumi ini mempunyai peran utama, yaitu
beribadah kepada Allah SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya
harus searah dengan garis yang telah ditentukan. Setiap desah nafasnya
harus selaras dengan kebijakan-kebijakan ilahiah, serta setiap detak
jantung dan keinginan hatinya harus seirama dengan alunan-alunan
kehendak-Nya. Semakin mantap langkahnya dalam merespon seruan
Islam dan semakin teguh hatinya dalam mengimplementasikan apa yang
telah menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu menangkap
sinyal-sinyal yang ada di balik ibadahnya.

• Peran Fungsional
Selain peran utama yang harus diemban manusia, ia juga mempunyai
peran fungsional sebagai khalifah.

Kekhilafan manusia menyangkut beribadah kepada Allah swt adalah


persoalan yang paling banyak mendapat sorotan dalam al-Qur;an dan
hadits. Misalnya, yang disyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya pada
QS. Al-Dzariat (51): 56, yang terjemahannya: “Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku.”
Dalam konteks beribadah kepada Allah, Islam membagi ibadah ada 2
(dua ) macam, pertama : Ibadah Mahdhah (Murni) atau Ibadah
Khashshah (Khusus), dan kedua : Ibadah Sosial atau Ibadah ‘Ammah
(Umum).
Yang termasuk Ibadah Mahdhah adalah hal yang sangat bersifat prinsipil,
itulah yang tercakup dalam Rukun Islam, yaitu : Syahadat, Shalat, Zakat,
Puasa dan Haji. Shalat misalnya adalah ibadah yang dilakukan 5 (Lima)
kali dalam sehari semalam— ibadah yang tidak bisa ditawar-tawar untuk
ditiadakan selama seseorang telah memenuhi syarat untuk itu, yakni
setelah ia mukallaf. Ia hanya bisa ditawar berdasarkan kondisi seseorang.
Misalnya, bila ia tidak mampu berdiri, maka ia boleh duduk, jika tidak
mampu duduk, ia boleh berbaring, jika tidak mampu berbaring, maka
dengan isyarat saja.

Adapun yang termasuk Ibadah yang bersifat umum contohnya adalah:


membantu orang berdasarkan profesinya masing-masing. Seorang petani
misalnya dapat membantu seseorang berdasarkan profesinya sebagai
petani, seorang pelaut membantu seseorang berdasarkan profesinya
sebagai pelaut . Demikian pula profesi-profesi yang lain seperti pedagang/
pebisnis, pegawai, dan seterusnya. Dalam bentuk ibadah ini orang-orang
akan berbeda dalam meresponnya karena ibadah tersebut bisa ia lakukan
bisa juga tidak. Hal ini bergantung pada seberapa besar pemahaman
keagamaan seseorang yang dapat menunjang ke arah itu, sehingga ia akan
termotivasi untuk melakukan ibadah tersebut.

• Peran Operasional
Manusia diciptakan di bumi ini—selain untuk beribadah dan sebagai
khalifah, juga harus bisa bermain cantik untuk memakmurkam bumi
(Huud: 61). Kerusakan di dunia, di darat, maupun di lautan bukan karena
binatang ternak yang tidak tahu apa-apa, tetapi ia lahir dari tangan-tangan
jahil manusia yang tidak pernah mengenal rambu-rambu Tuhannya. Benar,
semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk manusia, namun ia tidak
bebas bertindak diluar ketentuan dan rambu ilahi (ar-Ruum: 41). Oleh
karena itu, bumi ini membutuhkan pengelola dari manusia-manusia yang
ideal. Manusia yang memiliki sifat-sifat luhur sebagaimana disebutkan di
bawah ini.

1. Syukur (Luqman: 31)


2. Sabar (Ibrahim: 5)
3. Mempunyai belas kasih (at-Taubah: 128)
4. Santun (at-Taubah: 114)
5. Taubat (Huud: 75)
6. Jujur (Maryam: 54)
7. Terpercaya (al-A’raaf: 18)

Maka, manusia yang sadar akan misi sucinya harus mampu


mengendalikan nafsu dan menjadikannya sebagai tawanan akal sehatnya
dan tidak sebaliknya, diperbudak hawa nafsu sehingga tidak mampu
menegakkan tonggak misi-misinya. Hanya dengan nafsu muthmainnahlah,
manusia akan sanggup bertahan mengibarkan panji-panji kekhilafahan di
antara awan jahiliah modern, sanggup mengaplikasikan simbol-simbol
ilahi dalam realitas kehidupan, membumikan seruan-seruan langit, dan
merekonstruksi peradaban manusia kembali. Inilah sebenarnya hakikat
risalah insan di muka bumi ini.

2.1.3 Tanggung Jawab Manusia di Bidang Ekonomi.

2.2 Makna Agama.

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan
kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran
kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan
kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio
dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya
dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.

2.2.1 Pengertian Agama

Ada tiga istilah yang dikenal tentang agama, yaitu: agama, religi dan din.

Secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta, yang berasal dari
akar kata gam artinya pergi. Kemudian akar kata gam tersebut mendapat awalan a
dan akhiran a, maka terbentuklah kata agama artinya jalan. Maksudnya, jalan
untuk mencapai kebahagiaan.

Di samping itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa kata agama berasal dari
bahasa Sangsekerta yang akar katanya adalah a dan gama. A artinya tidak dan
gama artinya kacau. Jadi, agama artinya tidak kacau atau teratur. Maksudnya,
agama adalah peraturan yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan yang
dihadapi dalam hidupnya, bahkan menjelang matinya.

Kata religi–religion dan religio, secara etimologi — menurut Winkler Prins


dalam Algemene Encyclopaedie–mungkin sekali berasal dari bahasa Latin, yaitu
dari kata religere atau religare yang berarti terikat, maka dimaksudkan bahwa
setiap orang yang ber-religi adalah orang yang senantiasa merasa terikat dengan
sesuatu yang dianggap suci. Kalau dikatakan berasal dari kata religere yang
berarti berhati-hati, maka dimaksudkan bahwa orang yang ber-religi itu adalah
orang yang senantiasa bersikap hati-hati dengan sesuatu yang dianggap suci.

Sedangkan secara terminologi, agama dan religi ialah suatu tata kepercayaan atas
adanya yang Agung di luar manusia, dan suatu tata penyembahan kepada yang
Agung tersebut, serta suatu tata kaidah yang mengatur hubungan manusia
dengan yang Agung, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia
dengan alam yang lain, sesuai dengan tata kepercayaan dan tata penyembahan
tersebut.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada agama dan religi terdapat empat
unsur penting, yaitu:
1. Tata pengakuan atau kepercayaan terhadap adanya Yang Agung.
2. Tata hubungan atau tata penyembahan terhadap yang Agung itu dalam
bentuk ritus, kultus dan pemujaan.
3. Tata kaidah/doktrin, sehingga muncul balasan berupa kebahagiaan bagi yang
berbuat baik/jujur, dan kesengsaraan bagi yang berbuat buruk/jahat.
4. Tata sikap terhadap dunia, yang menghadapi dunia ini kadang-kadang sangat
terpengaruh (involved) sebagaimana golongan materialisme atau
menyingkir/menjauhi/uzlah (isolated) dari dunia, sebagaimana golongan
spiritualisme.

Selanjutnya, kata din–secara etimologi–berasal dari bahasa Arab, artinya: patuh


dan taat, undang-undang, peraturan dan hari kemudian. Maksudnya, orang yang
berdin ialah orang yang patuh dan taat terhadap peraturan dan undang-undang
Allah untuk mendapatkan kebahagiaan di hari kemudian.

Oleh karena itu, dalam din terdapat empat unsur penting, yaitu:
1. Tata pengakuan terhadap adanya Yang Agung dalam bentuk iman
kepada Allah.
2. Tata hubungan terhadap Yang Agung tersebut dalam bentuk
ibadah kepada Allah.
3. Tata kaidah/doktrin yang mengatur tata pengakuan dan tata
penyembahan tersebut yang terdapat dalam al-Qur`an dan Sunnah Nabi.
4. Tata sikap terhadap dunia dalam bentuk taqwa, yakni
mempergunakan dunia sebagai jenjang untuk mencapai kebahagiaan akhirat.
Sedangkan menurut terminologi, din adalah peraturan Tuhan yang membimbing
manusia yang berakal dengan kehendaknya sendiri untuk kebahagiaan dan
kesejahteraan di dunia dan di akhirat.

Berdasarkan pengertian din tersebut, maka din itu memiliki empat ciri, yaitu:
1. Din adalah peraturan Tuhan.
2. Din hanya diperuntukkan bagi manusia yang berakal, sesuai hadis
Nabi yang berbunyi: al-din huwa al-aqlu la dina liman la aqla lahu, artinya:
agama ialah akal tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal.
3. Din harus dipeluk atas dasar kehendak sendiri, firman Allah: la
ikraha fi al-din, artinya: tidak ada paksaaan untuk memeluk din (agama).
4. Din bertujuan rangkap, yakni kebahagiaan dan kesejahteraan
dunia akhirat.

2.2.2 Macam-macam Agama

Ditinjau dari sumbernya agama dibagi dua, yaitu agama wahyu dan agama bukan
wahyu.

Agama wahyu (revealed religion) adalah agama yang diterima oleh manusia dari
Allah Sang Pencipta melalui malaikat Jibril dan disampaikan serta disebarkan
oleh Rasul-Nya kepada umat manusia. Wahyu-wahyu dilestarikan melalui Al
Kitab, suhuf (lembaran-lembaran bertulis) atau ajaran lisan.Agama wahyu
menghendaki iman kepada Tuhan Pemberi wahyu, kepada rasul-rasul penerima
wahyu dan kepada kitab-kitab kumpulan wahyu serta pesannya disebarkan
kepada seluruh umat manusia

Agama bukan wahyu (agama budaya/ cultural religion atau natural religion)
bersandar semata-mata kepada ajaran seorang manusia yang dianggap memiliki
pengetahuan tentang kehidupan dalam berbagai aspeknya secara mendalam.
Contohnya agama Budha yang berpangkal pada ajaran Sidharta Gautama dan
Confusianisme yang berpangkal pada ajaran Kong Hu Cu.
Agama wahyu disebut juga agama samawi (agama langit) dan agama bukan
wahyu disebut agama budaya (ardhi/ bumi). Sedangkan yang termasuk dalam
kategori agama samawi hanyalah Agama Islam.

Adapun ciri-ciri Agama Wahyu (langit), ialah :

1. Secara pasti dapat ditentukan lahirnya, dan bukan tumbuh dari


masyarakat,melainkan diturunkan kepada masyarakat.
2. Disampaikan oleh manusia yang dipilih Allah sebagai utusan-Nya. Utusan
itu bukan menciptakan agama, melainkan menyampaikannya.
3. Memiliki kitab suci yang bersih dari campur tangan manusia.
4. Ajarannya serba tetap, walaupun tafsirnya dapat berubah sesuai dengan
kecerdasan dan kepekaan manusia.
5. Konsep ketuhanannya adalah : monotheisme mutlak ( tauhid)
6. Kebenarannya adalah universal yaitu berlaku bagi setiap manusia , masa
dan keadaan.

Adapun ciri-ciri Agama Budaya (ardhi), ialah :

1. Tumbuh secara komulatif dalam masyarakat penganutnya.


2. Tidak disampaikan oleh utusan Tuhan ( Rasul).
3. Umumnya tidak memiliki kitab suci, walaupun ada akan
mengalami perubahan-perubahan dalam perjalanan sejarahnya.
4. Ajarannya dapat berubah-ubah, sesuai dengan perubahan akal
pikiranmasyarakatnya ( penganutnya).
5. Konsep ketuhanannya : dinamisme, animisme, politheisme, dan
paling tinggi adalah monotheisme nisbi.
6. Kebenaran ajarannya tidak universal , yaitu tidak berlaku bagi
setiap manusia, masa, dan keadaan.
2.2.3 Agama

2.3 Hubungan Manusia dengan Agama.


Agama merupakan kebutuhan (fitrah) manusia. Berbagai pendapat mengenai kefitrian
agama ini dapat dikaji pada beberapa pemikiran. Misalnya Einstein menyatakan bahwa
sifat sosial manusialah yang pada gilirannya merupakan salah satu faktor pendorong
terwujudnya agama. Manusia menyaksikan maut merenggut ayahnya, ibunya, kerabatnya
serta para pemimpin besar. Direnggutnya mereka satu persatu, sehingga manusia merasa
kesepian dikala dunia telah kosong. Jadi harapan akan adanya sesuatu yang dapat
memberi petunjuk dan pengarahan, harapan menjadi pencinta dan dicintai, keinginan
bersandar pada orang lain dan terlepas dari perasaan putus asa ; semua itu membentuk
dalam diri sendiri dasar kejiwaan untuk menerima keimanan kepada Tuhan.

Pada setiap keadaan dan perbuatan keagamaan, kita selalu dapat melihat berbagai bentuk
sifat seperti ketulusan,keikhlasan, dan kerinduan, keramahan, kecintaan dan
pengorbanan. Gejala-gejala kejiwaan yang bersifat keagamaan memiliki berbagai
kepribadian dan karekteristik yang tidak selaras dengan semua gejala umum kejiawaan
manusia.

Dari beberapa pendapat itu dapat dipahami bahwa manusia terutama orang dewasa
memiliki perasaan dan keinginan untuk melepaskan diri dari wujud terbatas mereka dan
mencapai inti wujud. Manusia tidak mungkin dapat melepaskan keterbatasan dan ikatan
tersebut kecuali berhubungan dengan sumber wujud. Melepaskan diri untuk mencapai
sumber wujud ini adalah ketenangan dan ketentraman, seperti diungkapkan dalam firman
Allah surat Ar Ra’du (13)ayat 28.

Artinya :’’ Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenang.’’

Bahkan bentuk kebahagiaan abadi yang merupakan arah yang hendak dicapai manusia
dalam kehidupannya adalah perwujudan ketentraman dalam dirinya,seperti difirmankan
Allah dalam surat Al Fajr (89) ayat 27-30.
Artinya :’’ Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hambahambaKu,dan
masuklah ke dalam surgaKu.’’

Agama sebagai fitrah manusia melahirkan keyakinan bahwa agama adalah satu-satunya
cara pemenuhan semua kebutuhan. Posisi ini semakin tampak dan tidak mungkin
digantikan dengan yang lain. Semula orang mempercayai dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi kebutuhan akan agama akan mengecil bahkan hilang sama sekali, tetapi
kenyataan yang ditampilkan sekarang ini menampakkan dengan jelas bahwa semakin
tinggi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai manusia, kebutuhan akan agama
semakin mendesak berkenaan dengan kebahagiaan sebagai suatu yang abstrak yang ingin
digapai manusia. Ilmu dan teknologi serta kemajuan peradapan manusia melahirkan jiwa
yang kering dan haus akan sesuatu yang bersifat rohaniah. Kekecewaan dan kegelisahan
bathin senantiasa menyertai perkembangan kesejahteraan manusia. Satu-satunya cara
untuk memenuhi perasaan-perasaan dan keinginan-keinginan itu dalam bentuknya yang
sempurna dan memuaskan adalah perasaan dan keyakinan agama.

Perasaan ketuhanan pada dasarnya telah dimulai sejak manusia berada dalam peradaban
kuno, yang dikenal dengan kepercayaan animisme dan dinamisme,yaitu kepercayaan
akan roh-roh halus melalui perantaraan benda-benda yang mempunyai kekuatan magis.

Pencarian informasi tentang Tuhan melalui pikiran manusia, ternyata tidak ditemukan
jawaban yang dapat melahirkan keyakinan terhadap Tuhan yang dianggap sebagai
keyakinan yang benar, sebab pikiran-pikran itu tidak pernah terlepas dari subyektifitas
pengalaman-pengalaman pribadi manusia yang mempengaruhi pikiran-pikran itu,
sehingga dengan demikian Tuhan senantiasa digambarkan sesuai dengan pikiran yang
ada dalam diri manusia yang memikirkannya. Akibatnya, timbullah beragam informasi
dan gambaran tentang Tuhan yang justru menambah kegelisahan manusia, karena logika
akan terus mencari jawaban Tuhan yang sebenarnya ?.
Mencari kebenaran tentang Tuhan ternyata tidak dapat diperoleh manusia melalui pikiran
semata-mata, kecuali diperoleh dari Tuhan sendiri. Artinya informasi tentang Tuhan
dinyatakan oleh Tuhan sendiri, atau dengan kata lain, informasi tentang Tuhan
diberitahukan sendiri bukan dipikirkan oleh manusia, sehingga dengan demikian
informasi itu akan dapat diyakinkan kebenarannya. Informasi tentang Tuhan yang datang
dari Tuhan sendiri adalah suatu kebenaran mutlak, karena datang dari Tuhan sendiri.
Akan tetapi cara mengetahuinmya tidak dapat diberikan Tuhan kepada setiap orang,
walaupun manusia menghendakinya langsung dari Allah.

Anda mungkin juga menyukai