Anda di halaman 1dari 12

SITUASI KESEHATAN DAN GIZI

DAN ISSUE KEBIJAKAN MEMASUKI MILENIUM KETIGA

PENDAHULUAN

Hasil sementara Sensus Penduduk tahun 2000 memperkirakan jumlah


penduduk 203.456.005, dengan laju pertumbuhan penduduk 1990-2000
adalah 1,35 (BPS, 2001). Dari total penduduk tersebut, diperkirakan proporsi
balita adalah 8.88%, usia reproduktif 15-49 tahun: 55,28% (perempuan), dan
54,86% (laki-laki). (lihat table 1). Uraian berikut ini dikaitkan dengan analisis
situasi, issue serta kebijakan tentang kesehatan dan gizi. Informasi dari
Sensus Penduduk ini menjadi penting dalam upaya pemerintah, khususnya
kesehatan dan gizi, dalam mentargetkan kelompok rawan pada penduduk
yang memerlukan intervensi.

Memasuki milenium baru, Indonesia dihadapi dengan perubahan


ekonomi dan politik yang tidak menentu. Walaupun tidak merata, secara
umum Bank Dunia melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif
sebelum tahun 1997 (lihat figure 1: GNP per capita 1986-2000). Pertumbuhan
ekonomi ini berdampak pada penurunan angka kemiskinan dari 40% tahun
1976 menjadi 11% tahun 1996 (Figure 2); penurunan kematian bayi;
penurunan kematian anak 0-4 tahun; dan 25% penurunan kematian ibu.
Secara statistik hal ini ditunjang pula dengan pencapaian keamanan pangan,
dan pencapaian pelayanan kesehatan terutama pada ibu dan anak.

Krisis ekonomi memperlambat proses penurunan yang telah terjadi


selama tiga dekade terkakhir. Krisis ekonomi menurunkan nilai rupiah yang
berakibat pada merosotnya pendapatan perkapita (lihat figure 1) dan jumlah
penduduk miskin meningkat dari 11% tahun 1996 atau 34.5 juta orang
menjadi 16.64% tahun 1999 atau 47,9 juta orang (lihat figure 2). Dampak
krisis ekonomi terhadap kesehatan masyarakat dapat dilihat secara tidak
langsung. Disadari secara luas bahwa dampak krisis ekonomi berdampak
negatif pada status kesehatan masyarakat, akan tetapi bukti nyata secara
statistik masih perlu dikaji agar tidak terjadi kontradiksi. Kenyataannya kajian
perubahan morbiditas dan mortalitas pada penduduk masih dilakukan terus
menerus. Diperlukan informasi data kesehatan dengan kualitas yang baik
dari sistem pelayanan kesehatan dan juga survei lainnya.

Berikut ini adalah kajian kecenderungan beberapa indikator kesehatan


dan gizi tahun 1990-2000, serta issue dan kebijakan untuk program
kesehatan dan gizi pada masa mendatang.

ANALISA SITUASI KESEHATAN DAN GIZI

Wanita, terutama wanita usia subur/WUS, bayi dan anak balita adalah
kelompok rawan pada penduduk yang selalu harus menjadi perhatian.

1
Indonesia tidak mempunyai ‘vital statistic’ yang dapat dilakukan untuk
menghitung angka kematian ibu. Biasanya dilakukan estimasi berdasarkan
survei yang ada seperti Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
dan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Dari analisis SDKI 1991, 1994
diperkirakan Angka Kematian Ibu (AKI) adalah 390 per 100,000 kelahiran
hidup untuk periode 1989-1994, dan 334 pada periode tahun 1992-1997.
Sebelum tahun 1997, Pemerintah Indonesia mentargetkan penurunan AKI ini
dari 450 (1995) menjadi 225 (1999). Melihat variasi AKI di lima provinsi dari
analisis SKRT 1995 yang menunjukkan AKI antara 1025 (Irian), 796 (Maluku),
686 (Jawa Barat), 554 (NTT) dan 248 (Jawa Tengah), diasumsikan AKI masih
sangat bermasalah memasuki milenium ketiga ini (Sumantri, et.al, 1999).

Untuk kelompok bayi dan anak yang dipantau perkembangannya, ada


peningkatan yang cukup baik, akan tetapi angkanya masih cukup tinggi
dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina dan
Thailand. Walaupun terjadi penurunan angka kematian bayi dan balita, masih
diperkirakan dari 4 juta anak yang lahir di Indonesia, 300.000 diantaranya
meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun (Sumantri, 2000). – Lihat figure 3.
Angka kematian bayi dan anak ini bervariasi cukup lebar antar provinsi.
Dijumpai 23 kematian bayi per 1000 lahir hidup di Jogjakarta dan 111
kematian bayi per 1000 lahir hidup di NTB, hal yang sama terjadi juga untuk
kematian balita (Sumantri, 2000).

Masalah gizi kurang, terutama pada anak balita dikaji


kecenderungannya menurut Susenas. Pada tahun 1989, prevalensi gizi
kurang pada balita adalah 37.5% menurun menjadi 24,7% tahun 2000.
Walaupun terjadi penurunan prevalensi gizi kurang, yang menjadi pusat
perhatian adalah penderita gizi buruk pada anak balita, yang terlihat tidak
ada penurunan semenjak tahun 1989. Pada tahun 1989, prevalensi gizi buruk
anak balita adalah 6.3%. Prevalensi ini meningkat menjadi 11,56% pada
tahun 1995 dan menurun menjadi 7,53% pada tahun 2000 (Direktorat Gizi,
2001). Berdasarkan hasil sementara SP 2000, maka diperkirakan jumlah
penderita gizi buruk pada balita adalah 1.520.000 anak, atau 4.940.000 anak
menderita gizi kurang. (lihat figure 4).

Masih tingginya prevalensi gizi kurang pada anak balita berhubungan


dengan masih tingginya bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR).
Prevalensi BBLR ini masih berkisar antara 7 sampai 14% pada periode 1990-
2000. (Lihat figure 5). Akibat dari BBLR dan gizi kurang pada balita
berkelanjutan pada masalah pertumbuhan anak usia masuk sekolah.
Berdasarkan hasil pemantauan tinggi badan anak baru masuk sekolah
(TBABS), diketahui bahwa prevalensi anak pendek tahun 1994 adalah 39,8%.
Prevalensi ini turun menjadi 36,1% pada tahun 1999. Anak yang terpantau
dari TBABS adalah anak usia 5-9 tahun. Jika jumlah anak 5-9 tahun menurut
SP 2000 diperkirakan 21.777.000, maka 7.800.000 anak usia baru masuk
sekolah mengalami hambatan dalam pertumbuhan. Masalah gizi kurang pada
anak berkelanjutan pada wanita usia subur, yang akan melahirkan anak
dengan risiko BBLR disertai dengan masalah anemia dan gizi mikro lainnya.
Dari kajian Susenas, proporsi wanita usia 15-49 tahun dengan Lingkar Lengan
Atas (LILA <23.5 cm) adalah 24,9% tahun 1999 dan 21,5% pada tahun 2000

2
(Lihat Figure 6 dan 7). Proporsi ini sama dengan 13.316.561 wanita usia
subur diperkirakan mempunyai risiko kurang energi kronis. Terlihat juga
bahwa wanita usia subur, khususnya pada kelompok yang paling produktif:
usia 15-19, 20-24 dan 25-29 tahun, mempunyai proprosi LILA <23.5% yang
tertinggi.

Masalah gizi lainnya yang cukup penting adalah masalah gizi mikro,
terutama untuk kurang yodium dan zat besi. Pada tahun 1980, prevalensi
gangguan akibat kurang yodium (GAKY) pada anak usia sekolah adalah 30%,
prevalensi ini menurun menjadi 9,8% pada tahun 1998. Walaupun terjadi
penurunan yang cukup berarti, masih dianggap masalah kesehatan
masyarakat, karena prevalensi di atas 5%. Prevalensi tersebut bervariasi
antar kecamatan, masih dijumpai kecamatan dengan prevalensi GAKY di atas
30% (daerah endemik berat). Berdasarkan prevalensi tersebut, diperkirakan
10 juta penduduk menderita GAKY, dan kemungkinan 9000 bayi lahir dengan
kretin. Masalah berikutnya adalah anemia gizi akibat kurang zat besi. Kajian
Survei Kesehatan Rumah Tangga (1995) menunjukkan bahwa prevalensi
anemi pada ibu hamil adalah 50,9%, pada wanita usia subur 39,5%, pada
remaja putri 57,1%, dan pada balita 40,5%.

Faktor penyebab dari tingginya kematian ibu, bayi dan anak ini tidak
lain disebabkan karena belum memadainya pelayanan kesehatan
masyarakat dan keadaan gizi, diluar faktor pencetus lainnya yang
memperkuat masalah ini seperti kemiskinan dan tingkat pendidikan. Akibat
yang terlihat dari kemiskinan adalah masih dijumpai hampir 50% rumah
tangga mengkonsumsi makanan kurang dari 70% terhadap angka kecukupan
gizi yang dianjurkan (2200 Kkal/kapita/hari; 48 gram protein/kapita/hari). Kita
ketahui Human Development Index pada tahun 2000 yang dilaporkan oleh
UNDP adalah 109 untuk Indonesia, tertinggal jauh dari Malaysia, Filipina dan
Thailand. Masih tingginya masalah gizi, akan berpengaruh nyata terhadap
tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita. Rendahnya kondisi gizi akan
berakibat pada rawannya penyakit infeksi dan semakin tinggi pengeluaran
terhadap kesehatan. Krisis ekonomi yang berkepanjangan akan berdampak
lebih nyata pada masalah kesehatan dan gizi penduduk.

ISSUE STRATEGIS, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

Memasuki milenium ketiga, pelayanan kesehatan masih difokuskan


pada pelayanan pada orang sakit dan kurang gizi. Rendahnya alokasi yang
diberikan untuk pelayanan kesehatan masyarakat memperburuk situasi yang
ada. Indonesia masih dihadapi pada rendahnya rasio dokter dan tenaga
kesehatan lainnya untuk memberikan pelayanan kesehatan, ditambah
fasilitas kesehatan (rumah sakit dan puskesmas) yang juga masih jauh dari
optimal.

Semenjak terjadi krisis ekonomi 1997, banyak upaya yang dilakukan


untuk mempertahankan situasi kesehatan dan gizi masyarakat, terutama
pada kelompok rawan. Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK)
yang mulai dioperasionalkan tahun 1998 melakukan upaya pelayanan

3
kesehatan dasar, kesehatan ibu/safemotherhood dan gizi, terutama untuk
penduduk miskin. Upaya yang telah dilakukan antara lain:

1. Mentargetkan dan memberikan pelayanan kesehatan khusus pada


keluarga miskin yang membutuhkan. Pemilihan keluarga miskin ini
dilakukan menurut indikator yang telah disepakati bersama.
2. Memberikan pelayanan khusus seperti pemberian makanan
tambahan pada balita dan ibu hamil kurang gizi.
3. Memberikan pelayanan kebidanan pada ibu hamil dengan
memberdayakan bidan di desa
4. Melakukan revitalisasi Posyandu agar pemantauan pertumbuhan
pada bayi dan balita tetap dilaksanakan.
5. Melakukan advokasi pada pemerintah daerah setempat untuk selalu
mentargetkan dengan alokasi yang memadai untuk lokasi yang
berisiko tinggi masalah gizi dan kesehatan.
6. Melakukan promosi untuk peningkatan pendidikan dan peningkatan
pelayanan kesehatan dasar.
7. Mengembangkan program jaminan pemeliharaan kesehatan
masyarakat.
8. Mengembangkan dan memperkuat sistem monitoring dan evaluasi
(surveilans) untuk kepentingan daerah, terutama untuk memperbaiki
kebijakan daerah terhadap pelayanan kesehatan dan gizi.

Mempelajari permasalahan yang ada dan upaya yang telah dilakukan,


Indonesia mencanangkan Indonesia Sehat 2010, dengan menetapkan issue
strategis yang menjadi titik tolak kebijakan intervensi atau program yang
diperlukan pada saat ini dan masa yang akan datang. Issue strategisnya
adalah sebagai berikut1:

1. Kerjasama lintas sektor

Perubahan perilaku masyarakat untuk hidup sehat dan peningkatan


mutu lingkungan sangat berpengaruh terhadap peningkatan derajat
kesehatan masyarakat. Selain itu, masalah kesehatan dan gizi merupakan
masalah nasional yang tidak dapat terlepas dari berbagai kebijakan dari
sektor lain. Peningkatan upaya dana manajemen pelayanan kesehatan tidak
dapat terlepas dari peran sektor yang membidangi pembiayaan,
pemerintahan dan pembangunan daerah, ketenagaan, pendidikan,
perdagangan dan social budaya. Dengan demikian kerja sama lintas sektor
yang masih belum berhasil pada masa lalu perlu lebih ditingkatkan.

2. Sumber daya manusia kesehatan

Mutu sumber daya manusia kesehatan sangat menentukan


keberhasilan upaya dan manajemen kesehatan. Sumber daya manusia

1
Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010, Depkes 1999.

4
kesehatan yang bermutu harus selalu mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan berusaha untuk mengusai IPTEK yang
mutakhir. Disadari bahwa jumlah sumber daya manusia kesehatan yang
mengikuti perkembangan IPTEK dan menerapkan nilai-nilai moral dan etika
profesi masih terbatas. Adanya kompetisi dala era pasar bebas sebagai
akibat dari globalisasi harus diantisipasi dengan peningkatan mutu dan
profesionalisme sumber daya manusia kesehatan. Hal ini diperlukan tidak
saja untuk meningkatkan daya saing sektor kesehatan, tetapi juga untuk
membantu peningkatan daya saing sektor lain, antara lain pengamanan
komoditi bahan makanan dan makanan jadi.
3. Mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan

Dipandang dari segi fisik persebaran sarana pelayanan kesehatan baik


Puskesmas, Rumah sakit, maupun sarana kesehatan lainnya termasuk sarana
penunjang upaya kesehatan telah dapat dikatakan merata keseluruh wilayah
Indonesia. Akan tetapi persebaran fisik tersebut masih belum diikuti
sepenuhnya dengan peningkatan mutu pelayanan dan keterjangkauan oleh
seluruh lapisan masyarakat. Mutu pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi
oleh kualitas sarana fisik, jenis tenaga yang tersedia, obat, alat kesehatan
dan sarana penunjang lainnya, proses pemberian pelayanan, dan kompensasi
yang diterima serta harapan masyarakat pengguna. Faktor-faktor tersebut di
atas merupakan prakondisi yang harus dipenuhi untuk peningkatan mutu dan
keterjangkauan pelayanan kesehatan. Peningkatan pelayanan dilakukan
melalui peningkatan mutu dan profesionalisme sumber daya kesehatan.
Sedangkan harapan masyarakat pengguna dilakukan melalui peningkatan
pendidikan umum, penyuluhan kesehatan, serta komunikasi yang baik antara
pemberi pelayanan kesehatan dan masyarakat.

4. Prioritas, sumber daya pembiayaan, dan pemberdayaan masyarakat

Selama ini upaya kesehatan masih kurang mengutamakan atau


memprioritaskan masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat. Selain itu
permasalahan kesehatan yang diderita oleh masyarakat banyak masih belum
diikuti dengan pembiayaan kesehatan yang memadai. Disadari bahwa
keterbatasan dana pemerintah dan masyarakat merupakan ancaman yang
besar bagi kelangsungan program pemerintah serta ancaman pencapaian
derajat kesehatan yang optimal. Diperlukan upaya yang intensif untuk
meningkatkan sumber daya pembiayaan dari sektor publik yang diutamakan
untuk kegiatan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta pencegahan
penyakit. Ketersediaan sumber daya yang terbatas, mengharuskan adanya
upaya untuk meningkatkan peran serta sektor swasta khususnya dalam
upaya yang bersifat penyembuhan dan pemulihan. Upaya tersebut dilakukan
melalui pemberdayaan sektor swasta agar mandiri, peningkatan kemitraan
yang setara dan saling menguntungkan antara sektor publik dan swasta
sehingga sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal.

Sementara itu, issue strategis bidang gizi, karena berhubungan


dengan pangan, keluarga dan anak, maka hal yang berkaitan dengan:

1. Ketahanan pangan tingkat rumah tangga

5
2. Pengembangan agribisnis
3. Pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan yang berkaitan
erat dengan upaya peningkatan daya beli dan akses terhadap pangan.
4. Pola pengasuhan yang tepat dan bermutu untuk anak

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka strategi pembangunan


kesehatan untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2010 adalah:

1. Pembangunan Nasional Berwawasan Kesehatan


2. Profesionalisme
3. Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat
4. Desentralisasi

Strategi program gizi mengikuti strategi pembangunan kesehatan dan


juga memfokuskan pada:

1. Pemberdayaan keluarga dan masyarakat


2. Pemantapan kelembagaan pangan dan gizi
3. Pemantapan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
4. Advokasi dan mobilisasi social
5. Peningkatan mutu dan cakupan pelayanan gizi melalui penerapan
paradigma sehat

Berdasarakan strategi tersebut, maka tujuan pembangunan kesehatan


adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang agar terwujud derajat kesehatan mayarakat yang optimal. Dan
kebijaksanan pembangunan kesehatan untuk mewujudkan tujuan tesebut
adalah:

1. Pemantapan kerja sama lintas sektoral


2. Peningkatan kemandirian masyarakat dan kemitraan swasta
3. Peningkatan perilaku hidup sehat
4. Peningkatan lingkungan sehat
5. Peningkatan upaya kesehatan
6. Peningkatan sumber daya kesehatan
7. Peningkatan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan
8. Peningkatan IPTEK
9. Peningkatan derajat kesehatan

Sejalan dengan kebijakan pembangunan kesehatan, telah dibuat pula


rencana program aksi pangan dan gizi yang juga merupakan penjabaran
Propenas, yaitu:

1. Pengembangan kelembagaan pangan dan gizi


2. Pengembangan tenaga pangan dan gizi
3. Peningkatan ketahanan pangan
4. Kewaspadaan pangan dan gizi
5. Pencegahan dan penanggulangan gizi kurang dan gizi lebih
6. Pencegahan dan penanggulangan kurang zat gizi mikro
7. Peningkatan perilaku sadar pangan dan gizi

6
8. Pelayanan gizi di Institusi
9. Pengembangan mutu dan keamanan pangan
10.Penelitian dan pengembangan

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Indonesia Sehat 2010 merupakan goal yang akan dicapai. Hal ini tidak
mungkin dicapai jika peningkatan kualitas dan akses masyarakat terhadap
kesehatan dan gizi tidak menjadi perhatian utama. Alokasi kesehatan yang
masih sekitar 3% tentunya tidak berarti untuk mencapai tujuan ini. Goal ini
juga mengarahkan kita semua untuk mendukung upaya berkaitan dengan
peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan dan kualitas hidup.
Diperlukan penjabaran Propenas dan Propeda kedalam bentuk program aksi
yang lebih konkrit. Fokus perhatian diutamakan pada keluarga miskin di
wilayah kumuh perkotaan dan pedesaan. Selain itu peningkatan kesehatan
dan gizi masyarakat tidak akan terlepas juga dari kontribusi “komprehensif
dan pelayanan profesional” yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat
secara keseluruhan.

Rekomendasi yang diperlukan tentunya berkaitan dengan:

1) paradigma sehat yang berlandaskan pada visi dan misi


pembangunan kesehatan nasional;
2) revitalisasi pada infrastruktur yang berkaitan dengan upaya
desentralisasi;
3) alokasi kesehatan dan gizi yang optimal;
4) memperkuat aspek teknologi bidang kesehatan dan gizi;
5) memperkuat aspek pelayanan kesehatan dan gizi secara
profesional;
6) mengembangkan JPKM;
7) memperkuat sistem pemantauan dan evaluasi program.

Pada akhirnya kajian terus menerus berkaitan dengan kependudukan


sangat diperlukan, terutama pada kelompok sasaran yang menjadi prioritas
dalam pembangunan kesehatan dan gizi. Peningkatan derajat kesehatan dan
gizi penduduk merupakan investasi yang besar bagi negara.

7
Tabel 1
Proporsi penduduk menurut kelompok umur
(Hasil sementara SP 2000)
Perempua
Umur (tahun) Laki-laki n Total
0-4 9.16 8.59 8.88
5-9 10.56 10.18 10.37
10-14 10.93 10.22 10.58
15-19 10.89 10.17 10.53
20-24 8.71 8.93 8.82
25-29 8.27 9.05 8.66
30-34 7.59 7.96 7.77
35-39 7.39 7.83 7.61
40-44 6.49 6.35 6.42
45-49 5.52 4.99 5.26
50-54 3.97 4.37 4.17
55-59 3.25 3.30 3.28
60-64 2.80 3.09 2.94
65-69 1.92 2.16 2.04
70-74 1.44 1.45 1.45
75+ 1.12 1.35 1.24
0-49 85.51 84.27 84.90
15-49 54.86 55.28 55.07
Sumber: Hasil Sementara SP 2000, BPS

Figure 1
Kecenderungan GNP per capita ($US dollars)
1988-2000
1200

1000

800
$US

600

400

200 GNP/Cap($US)

0
1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002
Tahun

Sumber: World Bank Report, 2000

8
Figure 2
Persen Penduduk Miskin 1976-1999
45

40
Kota
35
Desa
Kota+Desa
Persen Penduduk Miskin

30

25

20

15

10

0
1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005
Tahun

Sumber: BPS, 2000

Figure 3
Angka Kematian Bayi (IMR) dan Balita (U5MR)
SDKI 1991, 1994 dan 1997

100.0

80.0
Kematian/1000 LH

60.0 SDKI-91
97.4 SDKI-94
40.0 81.3 SDKI-97
67.8
57.0 58.2
45.7
20.0

0.0
IMR U5MR

Sumber: Sumantri, et.al 2000


Figure 4

9
Keadaan gizi kurang dan gizi buruk pada Balita, Susenas 1989-2000

40.00

35.00

30.00
persen menurut BB/U

25.00
31.17 28.34 20.02
19.00
20.00
18.25
17.13
15.00

10.00
11.56 10.51
5.00 6.30 7.23 8.11 7.53

0.00
1989 1992 1995 1998 1999 2000
Tahun Survei

Gizi Buruk Gizi Kurang

Sumber: Direktorat Gizi Masyarakat, 2001

10
Figure 5
Proporsi BBLR dari beberapa sumber: 1990-2000
18

16 16.1

15.0
14
WSC Goal
12.6
12 Repelita Goal
11.4
Studi di Jakarta
Proporsi BBLR (%)

10.4
10 9.9 10
9.2 9.4
9
Studi di Sulsel
8.4
8 7.3 7.3
7.7 7.9 Studi di U. Pandang
7.1 6.6 Studi di Jabar
6 6.8
SKRT
4
Studi Long. Ciawi
Studi Long, Indramayu
2 SDKI
SDKI,Kota
0
1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 SDKI,Desa
Sumber: End Decade Goal Report, 2000

11
Figure 6
Proporsi Wanita Usia Subur (15-49 tahun) dengan LILA <23.5 cm: Susenas
1999-2000

60%

50%
1999
2000
40%
% LILA <23.5 cm

30%

20%

10%

0%
10 15 20 25 30 35 40 45 50
Umur (tahun)

Figure 7
Proporsi Wanita Usia Subur (15-49 tahun) dengan LILA <23.5 cm: Susenas
1999-2000

50%

45%
1999
40%
2000
% LILA <23.5 cm

35%

30%
25%
20%

15%

10%

5%

0%
15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49
Kelompok Umur

Sumber: Analisis Susenas 1999 dan 2000 untuk LILA pada Wanita Usia Subur,
Direktorat Gizi Masyarakat, 2001.

12

Anda mungkin juga menyukai