Dan Kesuksesan Kerja: STIE Atma Bhakti Surakarta
Dan Kesuksesan Kerja: STIE Atma Bhakti Surakarta
EQ
dan
ANDHI WIBOWO
IZUL IKHSAN
ZUBAIDI
ANDRIANI
EFI TRIYANI
NIM.
NIM.
NIM.
NIM.
NIM.
M16082219
M16082225
M16082246
M16082268
M16082297
Jurusan Manajemen
Kesuksesan Kerja STIE Atma Bhakti Surakarta
2010
Daniel Goleman dalam bukunya "Emotional Intelligence: Why it Can Matter More than IQ" (Bantam,
1995) mengatakan bahwa untuk mencapai kesuksesan dalam pekerjaan dibutuhkan bukan hanya
"cognitive intelligence" tetapi juga "emotional intellegence". Emotional intellegence atau disingkat EQ
adalah kemampuan untuk untuk mengendalikan hal-hal negatif seperti kemarahan dan keragu-raguan
atau rasa kurang percaya diri dan juga kemampuan untuk memusatkan perhatian pada hal-hal positif
seperti rasa percaya diri dan keharmonisan dengan orang-orang di sekeliling. Dalam buku berikutnya,
"Working With Emotional Intelligence", Goleman menekankan perlunya emotional intelligence dalam
dunia kerja, suatu bidang yag seringkali dianggap lebih banyak menggunakan "cara berpikir analitis"
daripada melibatkan perasaan atau emosi. Menurutnya setiap orang dalam perusahaan atau organisasi
dituntut untuk memiliki EQ yang tinggi. Selain itu Goleman berpendapat bahwa IQ bersifat relatif tetap,
Psikolog memandang pendapat Goleman sangat penting bagi pengembangan ketrampilan atau keahlian
dalam suatu pekerjaan, sementara yang lain menganggap bahwa validitas EQ yang menunjang
terbentuknya suatu ketrampilan dan keahlian belum terbukti. Ada juga yang tidak sependapat bahwa EQ
dapat diajarkan. Bagi mereka hanya kemampuan kognitif dan ketrampilan teknis yang merupakan hal
John Mayer, seorang psikolog dari University of New Hampshire, mendefinisikan EQ secara lebih
sederhana. Menurut Mayer, EQ adalah kemampuan untuk memahami emosi orang lain dan cara
mengendalikan emosi diri sendiri. Sementara Goleman mendefinisikan EQ secara lebih luas, termasuk
optimisme, kesadaran, motivasi, empati dan kompetensi dalam melakukan hubungan sosial. Bagi Mayer,
traits (kecenderungan) tersebut lebih merupakan kecenderungan kepribadian. Hal tersebut juga didukung
oleh Edward Gordon, yang mengatakan bahwa EQ lebih banyak berhubungan dengan kepribadian dan
"mood" (suasana hati) yang tidak dapat diubah. Menurut Gordon, perbaikan kemampuan analisis dan
kemampuan kognitif, adalah cara terbaik untuk meningkatkan kinerja para pekerja. Menanggapi kritikan
tersebut, Goleman mengatakan bahwa kemampuan kognitif mengantarkan seseorang ke "pintu gerbang
suatu perusahaan", tetapi kemampuan emosional membantu seseorang untuk mengembangkan diri
setelah diterima bekerja dalam sebuah perusahaan. EQ merupakan faktor yang sama pentingnya dengan
kombinasi kemampuan teknis dan analisis untuk menghasilkan kinerja optimal. Semakin tinggi jabatan
berinteraksi dengan banyak orang baik di dalam maupun di luar organisasi dan berperan penting dalam
membentuk moral dan disiplin para pekerja. Pemimpin yang memiliki empati akan dapat memahami
kebutuhan para pegawainya dan dapat memberikan feedback yang konstruktif . Jenis pekerjaan juga
berpengaruh terhadap jenis EQ. Menurut Goleman, untuk dapat sukses dibidang sales dituntut
kemampuan berempati guna mengetahui "mood" pelanggan dan kemampuan interpersonal guna
memutuskan kapan saat yang paling tepat untuk menawarkan suatu produk dan kapan harus diam. Di
lain pihak, untuk dapat sukses menjadi seorang pelukis atau petenis professional individu dituntut untuk
Mengajarkan EQ
Nilai mendasar yang mau dikembangkan dengan menampilkan EQ dalam dunia kerja adalah
aktif bagi kesuksesan seseorang dalam bekerja maka organisasi perlu melakukan pelatihan-pelatihan EQ.
Pada area ini para psikolog dapat mengambil peran besar untuk membantu individu dalam membangun
kompetensi emosional yang dibutuhkan oleh pekerjaannya. "EQ mempengaruhi semua aspek yang
berhubungan dengan pekerjaan. Bahkan ketika anda bekerja seorang diri, keberhasilan anda akan sangat
tergantung pada seberapa besar tingkat kedisiplinan dan motivasi anda sendiri".