Anda di halaman 1dari 10

I.

PENDAHULUAN

1.1. Nematoda Steinernema sp Sebagai BioPestisida


Nematoda Steinernema sp adalah agensia hayati yang dapat dimanfaatkan
sebagai salah satu alternatif pengendalian hama. Teknik pengendalian hama ini
berpotensi mengurangi ketergantungan pada insektisida kimia, yaitu dengan
memanfaatkan nya sebagai bahan biopestisida.
Nematoda entomopatogen Steinernema sp.termasuk famili Steinernematidae
yang diketahui sangat potensial mengendalikan serangga hama. Nematoda ini
memiliki kelebihan-kelebihan tertentu dibandingkan dengan bahan-bahan kimia
sebagai agen pengendali. Selain mudah dikembangbiakan dan memiliki
kemampuan menginfeksi yang tinggi (daya bunuhnya sangat cepat), kisaran
inangnya yang luas, aktif mencari inang sehingga efektif untuk mengendalikan
serangga dalam jaringan, tidak menimbulkan resistensi, mudah diperbanyak
dan aman terhadap lingkungan.
Pada tahap awal untuk mengembangkan nematoda tersebut memang
dibutuhkan investasi yang cukup besar karena harus melalui banyak tahap
kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi eksplorasi, isolasi, perbanyakan
massal, pelepasan, dan konservasi, tetapi dalam jangka panjang dapat menghemat
biaya produksi, sehingga meningkatkan keuntungan usahatani petani. Keuntungan
lain penggunaan nematoda untuk mengendalikan serangga dalah dihasilkan produk
pertanian yang bebas residu bahan kimia.
Pada lingkungan yang cocok virulensi nematoda Steinernema sp menjadi
lebih tinggi sehingga akan meningkatkan kemampuan nematoda Steinernema sp
untuk menemukan inangnya. Nematoda entomopatogenik Steinernema sp yang
telah menemukan inang akan segera berkembang dan memparasitasi inang tersebut
( De Doucet et al., 1998).
Menurut Amelia et al (2006) menyebutkan bahwa Lucilia sericata sebagai
salah satu serangga yang sangat berperan dalam penyebaran beberapa penyakit
merupakan salah satu serangga hama yang dapat dikendalikan oleh nematoda
entomopatogen Steinernema sp. Kematian larva sudah dapat teramati dalam 24 jam

1
setelah penginfeksian untuk kelima konsentrasi nematoda yang digunakan.
Semakin tinggi konsentrasi nematoda entomopatogen Steinernema sp. yang
diinfeksikan terhadap larva Lucilia sericata maka semakin tinggi pula kematian
larva yang terjadi. Selain itu diperoleh juga konsentrasi nematoda yang efektif
menyebabkan kematian sepuluh ekor larva Lucilia sericata yaitu nematoda pada
konsentrasi 380 juvenil infektif/6ml.
Subagiya(2005) dalam Pengendalian Hayati dengan Nematoda Entomogenus
Steinernema carpocapsae (All) Strain Lokal terhadap Hama Crocidolomia
binotalis Zell. di Tawangmangu menyebutkan bahwa serangan C. binotalis pada
tanaman kubis sampai sekarang belum dapat diatasi secara memuaskan, meskipun
pengen-dalian kimia telah dilakukan secara intensif. Salah satu agens pengendali
hayati yang mempunyai potensi tinggi untuk mengendalikan hama ulat jantung
kubis adalah nematoda entomopatogen Steinernema carpocapsae (All)

Penggunaan Steinernematidae dan Heterorhabditidae sebagai agens pengendali hayati


famili and spesiesa Serangga Target Referens
Heterorhabditidae
Heterorhabditis bacteriophora Lepidoptera, Coleoptera Begley (1990), Klein (1990)
H. megidis Coleoptera Klein (1990)
Liu and Berry (1996), Berry et al.
H. marelatus Coleoptera, Lepidoptera
(1997)
Steinernematidae
Lepidoptera, Coleoptera, Begley (1990), Klein (1990),
Steinernema carpocapsae
Siphonaptera Georgis and Manweiler (1994)
S. feltiae Diptera (Sciaridae) Begley (1990), Klein (1990)
S. glaseri Coleoptera (Scarabaeidae) Klein (1990)
S. kushidai Coleoptera (Scarabaeidae) Ogura (1993)
S. riobrave Lepidoptera, Orthoptera Cabanillas et al. (1994)
Coleoptera (Curculionidae) Cabanillas and Raulston (1994)
S. scapterisci Orthoptera (mole crickets) Parkman et al. (1993)

II. MEKANISME PATOGENESIS

2
2.1. Simbiosis Mutualisme Nematoda Patogen Serangga dengan Bakteri
Patogenisitas Steinernema sp sebagai nematoda pathogen serangga dibantu
oleh interaksi mutualistik dengan bakteri simbionnya. Oleh karena itu, bakteri
simbion ini memiliki potensi sebagai agen biokontrol hama. Hubungan mutualistik
ini memberikan beberapa keuntungan bagi nematoda, antara lain membunuh inang
dengan cepat secara septicemia serta menyediakan nutrisi dan lingkungan yang
cocok bagi perkembangan dan reproduksi Steinernema sp sebagai nematoda
pathogen serangga. Bakteri simbion juga mampu memproduksi senyawa antibiotik
yang dapat menghambat perkembangan mikroorganisme sekunder yang ada dalam
tubuh inang. Bagi bakteri simbion, Steinernema sp melindungi bakteri dari kondisi
ekstrim dalam tanah dan melindungi bakteri dari kemungkinan adanya protein
antibakteri yang dikeluarkan serangga inang (Kaya and Gaugler 1993).
Pada mekanisme patogenisitas Nematoda Patogen Serangga, simbiosis
terjadi melalui simbiosis mutualisme antara bakteri pathogen Xenorhabdus untuk
Steinernema dan Photorhabdus untuk Heterorhabditis. Infeksi Steinernema sp
sebagai nematoda pathogen serangga yang dilakukan oleh stadium larva instar III
atau juvenil infektif (JI) terjadi melalui mulut, anus, spirakel, atau penetrasi
langsung membran intersegmental integumen yang lunak. Setelah mencapai
haemocoel serangga, bakteri simbion yang dibawa akan dilepaskan ke dalam
haemolim untuk berkembang biak dan memproduksi toksin yang mematikan
serangga. Steinernema sp sebagai nematoda pathogen serangga sendiri juga
mampu menghasilkan toksin yang mematikan. Dua faktor ini yang menyebabkan
Steinernema sp sebagai nematoda pathogen serangga mempunyai daya bunuh yang
sangat cepat. Serangga yang terinfeksi Nematoda Patogen Serangga dapat mati
dalam waktu 24-48 jam setelah infeksi.
Nematoda dan bakteri simbionnya berbagi dalam suatu siklus hidup yang
kompleks, baik dalam tahap simbiotik maupun patogeniknya (Brown et al. 2006).
Pada saat mendapatkan inang yang sesuai, Steinernema sp sebagai nematoda
pathogen serangga akan memasuki saluran pencernaan dari larva serangga,
kemudian melakukan penetrasi ke dalam hemosel inang. Steinernema sp sebagai

3
nematoda pathogen serangga dapat masuk ke dalam hemosel melalui spirakel
pernapasan atau dengan melakukan penetrasi langsung melalui kutikula larva
serangga. Pada saat masuk ke dalam hemosel, Steinernema sp sebagai nematoda
pathogen serangga melepaskan bakteri ke dalam hemolimfa. Secara bersama-sama
Steinernema sp sebagai nematoda pathogen serangga dan bakteri simbionnya
secara cepat membunuh larva serangga, meskipun dalam beberapa kasus bakteri itu
sendiri mempunyai virulensi yang tinggi (Kaya and Gaugler 1993).
Hasil uji di laboratorium menunjukkan bahwa Steinernema sp. dapat
menginfeksi lebih dari 250 spesies serangga yang berasal dari 75 famili dan 11
ordo (Poinar, 1979). Hal tersebut disebabkan beberapa faktor yaitu: adanya
kepastian terjadinya kontak fisik antara nematoda dengan inang, kondisi
lingkungan optimal, dan rendahnya factor pembatas infeksi nematoda terhadap
inang di lingkungan laboratorium (Schroeder, 1987). Sebaliknya di lapang
nematoda cenderung kurang efektif menginfeksi karena pengaruh sinar ultraviolet.
Meskipun demikian, Steinernema sp. Terbukti efektif membunuh beberapa spesies
serangga hama tanaman hortikultura maupun perkebunan
Patogenitas nematoda terhadap ulat hama diukur berdasar waktu yang
dibutuhkan nematoda untuk membunuh serangga, pengukuran dilakukan pula pada
besarnya populasi nematoda yang berkembang dalam tubuh serangga saat mati
(Subagiya, 2005).

2.2. Isolasi Nematoda Patogen Serangga


Nematoda Patogen Serangga mudah diisolasi dari sampel tanah berpasir
yang porositasnya tinggi. Sampel tanah di tempatkan dalam botol, kemudian
diinfestasi dengan ulat lilin, ulat Hongkong (Tenebrio molitor), atau ulat bambu.
Setelah diinkubasikan selama 5 hari, ulat akan mati terinfeksi oleh nematoda. Ulat
yang mati terinfeksi Steinernema, tubuhnya tampak berwarna coklat muda,
sedangkan yang terinfeksi Heterorhabditis berwarna coklat tua agak kemerah-
merahan. Isolasi Nematoda Patogen Serangga dari tubuh ulat dilakukan dengan
cara menempatkan ulat pada cawan petri yang beralaskan kertas saring basah.

4
Dalam waktu 2–3 hari, Nematoda Patogen Serangga akan keluar dari tubuh
serangga dan masuk ke dalam air di cawan yang lebih besar.

2.3. Reproduksi dalam jaringan inang


Ketika patogen telah mempenetrasi inang, maka proses selanjutnya adalah
reproduksi pada satu atau beberapa jaringan. Pada beberapa patogen reporduksi
terjadi pada jaringan tertentu, sedangkan secara umum reproduksi patogen pada
semua jaringan inang. Jaringan ini juga akan mempengaruhi jumlah propagul
patogen yang diproduksi per berat inang, seperti pada patogen yang menghasilkan
infeksi sistemik pada semua jaringan akan lebih ekonomis dibandingkan hanya
reproduksi pada jaringan tertentu. Steinernematida dan Heterorhabditidae terus
berreproduksi setelah inangnya mati oleh simbion bakteri, konsekuensinya jaringan
inang harus terus tersedia untuk reproduksi nematoda.

2.4. Keluarnya propagul patogen dari inang atau cadaver


Proses setelah reproduksi adalah progeni dari patogen harus kontak dengan
inang lainnya untuk melanjutnya siklus hidupnya. Pada beberpa patogen dimana
transmisi dilakukan secara vertikal dari induk ke anak. Kontak terjadi dengan
kontaminasi telur kemudian baru didepositkan ke lingkungan. Pada kebanyakan
patogen, propagul dilepas secara bebas kembali ke lingkungan dan kemudian akan
kontak dengan inangnya. Jika patogen itu membunuh inangnya, maka pengeluaran
propagul patogen dilakukan dengan disintegrasi tubuh patogen yang mati.
Nematoda keluar dari inangnya melalui beberapa cara, ada beberapa nematoda
juvenil dan dewasanya keluar dari tubuh inang yang sudah mati masuk dalam tanah
atau air. Ada juga nematoda yang keluar dan tersebar melalui organ reproduksi inang
dan nematoda akan tersebar atau keluar ke inang lain akibat proses oviposisi.
Penyebaran protosoa dan bakteri dari inang yang terinfeksi terjadi dalam feses yang
terkontaminasi ketika inang masih hidup dan selanjutnya melalui konsumsi oleh inang
lain.

5
III. CARA PERBANYAKAN

Umumnya negara-negara yang secara intensif menggunakan Steinernema sp.


melakukan perbanyakan massal secara in vivo maupun in vitro (Shapiro et al.,
2002).

Siklus hidup nematoda entomopatogenik (NEP)

6
3.1. Perbanyakan Secara In Vivo
Perbanyakan Steinernema sp secara in vivo dilakukan dengan menggunakan
ulat Hongkong (T. molitor). Ulat Hongkong dimasukkan dalam bak plastik atau
nampan yang dialasi dengan kertas saring atau kertas koran. Suspensi JI
diinokulasikan secara merata pada kertas tersebut. Dalam waktu 7 hari, 80-90%
ulat sudah terinfeksi oleh Steinernema sp. Ulat yang terinfeksi dipindahkan ke rak
perangkap yang dialasi kain, kemudian ditempatkan dalam bak plastik yang berisi
air. Setelah diinkubasikan selama 3-5 hari, JI Steinernema sp akan keluar dari
serangga dan masuk ke dalam air. Satu gram ulat Hongkong bisa menghasilkan
65.000 JI.

3.2. Perbanyakan Secara In Vitro


Perbanyakan secara in vitro dengan medium buatan sebenarnya lebih sulit
dan rumit karena sangat tergantung pada biakan bakteri primer, tetapi lebih efisien
untuk produksi skala besar atau komersial. Medium yang digunakan adalah bahan
berprotein tinggi, seperti homogenat usus, ekstrak khamir, pepton, tepung kedelai,
dan lain-lain. Perbanyakan bisa dilakukan di medium cair atau semi padat. Medium
semi padat dengan spon paling umum digunakan karena porositasnya tinggi.
Nutrisi untuk perbanyakan diresapkan ke dalam spon dengan perbandingan 12,5 : 1
(medium : spon, satuan dalam berat). Spon dimasukkan dalam botol atau plastik
tahan panas, kemudian disterilisasi. Setelah medium dingin, bakteri simbion fase
primer diinokulasikan ke dalam medium. Bakteri dibiarkan berkembang biak
selama 2-3 hari sebelum diinokulasi dengan JI. Steinernema sp dapat dipanen dua
minggu kemudian. Setiap 1 g medium spon dapat menghasilkan 90.000 JI.
Perbanyakan dengan medium cair dilakukan dalam bubble column fermentor untuk
memberikan aerasi yang baik bagi perkembangan Steinernema sp sebagai
nematoda pathogen serangga.
Formulasi yang pernah dicoba dan diteliti di Balai Penelitian Tanaman
Tembakau dan Serat dalam perbanyakan Steinernema sp sebagai nematoda
pathogen serangga.adalah berupa suspensi (cair) dan gabungan suspensi+media
spon. Menurut Gothama et al. (2002), formulasi ini dapat disimpan selama ± 6

7
bulan dan tetap efektif menyebabkan mortalitas ulat S. litura 63 69% dalam waktu
3-5 hari setelah perlakuan. Sedangkan Nickel et al. (1994) telah mencoba
memformulasi nematoda dalam bentuk kapsul (pellet) yang per kapsulnya
mengandung sekitar 100.000 nematoda hidup. Sampai saat ini perkembangan
perbanyakan Steinernema sp. belum banyak mengalami kemajuan. Hal ini
disebabkan hasil-hasil penelitian tentang perbanyakan, penyimpanan, dan
pengemasan (handling) belum memadai dan masih perlu disempurnakan.

8
KESIMPULAN

1. Nematoda Steinernema sp adalah agensia hayati yang dapat dimanfaatkan


sebagai salah satu alternatif pengendalian hama, yaitu dengan
memanfaatkannya sebagai bahan biopestisida.
2. Nematoda Steinernema sp memiliki banyak kelebihan dibandingkan
dengan bahan-bahan kimia sebagai agen pengendali, seperti: mudah
dikembangbiakan dan memiliki kemampuan menginfeksi yang tinggi (daya
bunuhnya sangat cepat), kisaran inangnya yang luas, aktif mencari inang
sehingga efektif untuk mengendalikan serangga dalam jaringan, tidak
menimbulkan resistensi, mudah diperbanyak dan aman terhadap
lingkungan.
3. Nematoda Steinernema sp sebagai nematoda pathogen serangga dibantu
oleh interaksi mutualistik dengan bakteri simbionnya. Oleh karena itu,
bakteri simbion tersebut memiliki potensi sebagai agen biokontrol hama.

9
DAFTAR PUSTAKA

Amelia dan Nurma, 2006. INFEKTIVITAS NEMATODA ENTOMOPATOGEN Steinernema


sp. TERHADAP LARVA Lucilia sericata Meigen (Diptera: Calliphoridae)

Brown, S.E., A.T. Cao, P. Dobson, E.R. Hines, R.J. Akhurst, and P.D. East. 2006.
Txp40, a Ubiquitous insecticidal toxin protein from Xenorhabdus and
Photorhabdus Bacteria. Environ. Microbiol. 72:1653-1662.
De Doucet, M.M.A.; M.M. Bertolotti; A.L. Giayetto; & M.B. Miranda. 1998. Host
Range, Specificity, and Virulence of Steinernema feltiae, Steinernema
rarum, and Hetrorhabditis bacteriophora (Steinernematidae and
Heterorhabditidae) from Argentina. J. Invertebrate Pathology 73: 237-
242.
Gothama, A.A.A., IG.A.A. Indrayani, dan M. Fauzi. 2002. Formulasi Steinernema
sp. untuk aplikasi pada kanopi tanaman dan tanah. Laporan Hasil
Penelitian B Balittas. 12 hal.
Kaya, H.K. and R. Gaugler. 1993. Enthomopathogenic nematodes in biological
control. Florida: CRC Pr.
Nickel, W.R., W.J. Connick, Jr., and W.W. Cantelo. 1994. Effects of pesta-
pelletized Steinernema carpocapsae (All) on western corn rootworms
and colorado potato beetles. J. Nematology 26(2):
249 250.
Poinar, G.O.,Jr. 1979. Nematodes for Biological Control of Insects. CRC. Press.
Florida. 277 pp.
Schroeder, W.J. 1987. Laboratory bioassays and field trials of entomogenous
nematodes for control of Diaprepes abbreviatus (Coleoptera:
Curculionidae) in citrus. Environ. Entomol. 16:987 989
Subagiya, 2005. Pengendalian Hayati dengan Nematoda Entomogenus
Steinernema carpocapsae (ALL) Strain Lokal Terhadap Hama
Crocidolomia binotalis Zell. Di Tawang Mangun. Jurusan Agronomi FP-
UNS Surakarta.

10

Anda mungkin juga menyukai