Anda di halaman 1dari 3

Cerita Jendela

Diceritakan ulang oleh Hanafia Al Faruq


Sebuah kamar di rumah sakit berisi dua orang pasien rawat inap. Kamar itu hanya memiliki
sebuah jendela. Pasien pertama, sebut saja Budi, penderita asma dan radang paru-paru kronis
menempati ranjang yang dekat dengan jendela. Setiap satu jam, ia boleh duduk menghadap
jendela untuk mendapatkan udara segar dan mengeringkan cairan dalam paru-parunya. Pasien
kedua, sebut saja Eko, penderita penyakit saraf punggung, berada di ranjang lain yang jauh
dari jendela kamar itu. Karena penyakitnya, ia hanya bisa berbaring.
Kedua pasien itu sangat akrab walaupun tidak saling mengenal. Setiap hari mereka berbincang
dan saling menghibur dengan bertukar cerita dan pengalaman hidup masing-masing. Ada
sebuah kebiasaan di antara mereka. Setiap kali Budi menghadap ke luar jendela, ia selalu
berbagi cerita dengan Eko tentang apa yang dilihatnya di luar jendela. Dikatakannya bahwa di
luar jendela itu terdapat sebuah danau kecil yang teduh. Airnya berkilauan memantulkan
cahaya matahari yang tersapu kaki-kaki kawanan angsa berenang di sekitarnya. Di samping
danau itu, diceritakannya ada taman bunga beraneka warna, dengan kupu-kupu berterbangan
di atasnya. Sambil memejamkan mata, Eko selalu membayangkan, betapa indahya
pemandangan di luar jendela itu. Apalagi, cerita Budi silih berganti, sehingga Eko merasa
terhibur. Meskipun hanya satu jam, semua cerita Budi itu mampu memperkaya batin Eko. Hal
tersebut berlangsung beberapa lama, hingga suatu hari, pikiran jahat merasuki Eko. Ia merasa
iri dengan keadaan yang sedang terjadi. Kenapa hanya Budi yang boleh melihat segala
keindahan di balik jendela itu? Kenapa ia hanya boleh berbaring dan mendengar cerita Budi?
Ini tidak adil, batinnya. Perasaan iri itu terus membayangi Eko setiap waktu, terutama ketika
Budi bercerita tentang jendela itu. Ia bertekad suatu hari nanti ia harus berada di ranjang Budi.
Suatu malam, hujan turun begitu derasnya. Hawa dingin membuat batuk dan asma Budi
kambuh. Ia terbatuk-batuk begitu kerasnya, hingga cairan bercampur darah keluar dari
mulutnya. Namun, derasnya hujan mengalahkan suara batuknya, sehingga tak satupun perawat
yang mendengarnya. Hanya Eko yang melihat saat-saat Budi bertarung dengan maut. Melihat
kawannya sekarat, Eko sengaja tidak menekan tombol untuk memanggil perawat, padahal ia
bisa melakukannya. Inilah saatnya, batinnya tersenyum. Lima menit kemudian, batuk Budi
terhenti. Suasana kamar kembali hening. Hanya tetes-tetes hujan yang terdengar gaduh.
Esok paginya, para perawat terkejut mendapati Budi telah meninggal. Karena ranjang Budi
telah kosong, Eko kemudian minta pindah ke ranjang itu. Akhirnya…, begitu gumamnya
penuh kemenangan. Siang itu, sambil menahan separuh tubuhnya dengan siku, Eko berusaha
mendongakkan kepalanya menengok ke jendela. Keinginannya selama ini tercapai, melihat
dunia luar yang indah, seperti cerita Budi dulu. Namun, senyum di bibirnya langsung lenyap
begitu ia melihat pemandangan di luar jendela itu. Yang dilihatnya, tidak lebih dari sebuah
tembok lusuh yang ditumbuhi lumut. Hatinya galau... Kemana danau indah itu? Kemana
taman bunga itu? Kemana kawanan angsa itu? Kemana kupu-kupu itu?
Sesaat kemudian, seorang perawat masuk untuk memeriksa kamar. Eko yang masih penasaran
mencoba bertanya tentang peristiwa yang dialaminya. Dengan senyum yang lembut, perawat
itu menjelaskan, “Pak Eko, bapak tahu enggak, pak Budi itu orangnya rabun dan buta warna,
Pak…Jadi besar kemungkinan ditengah sakitnya, beliau berusaha mengarang cerita untuk
menghibur dan membahagiakan Bapak… Berbahagialah Pak, Anda pernah bertemu dengan
kawan sebaik beliau…”.
Sial atau Beruntung?
Di sebuah desa di jazirah Arab hiduplah seorang lelaki tua yang sangat miskin. Ia tidak
memiliki harta kekayaan selain seekor kuda jantan putih yang sangat indah. Sangat banyak
saudagar dan penjual kuda yang menawarnya dengan harga yang sangat tinggi. Namun tak
satupun yang mendapatkan kuda putih itu. Bahkan tawaran sang Raja sekalipun yang
kebetulan melewati desa tersebut juga ditolaknya dengan halus, “Maaf baginda, hamba telah
berjanji untuk mewariskan kuda ini kepada putra hamba bila hamba dipanggil Allah kelak”.
Akhirnya, sang Raja pun memahami alasan sang lelaki tersebut dan melanjutkan
perjalanannya.

Suatu pagi, ia menemukan bahwa kuda itu tidak ada di kandangnya. Seluruh desa datang
menemuinya. "Orangtua bodoh," mereka mengejek dia. "Sudah kami katakan bahwa
seseorang akan mencuri kuda Anda. Kami peringatkan bahwa Anda akan dirampok. Anda
begitu miskin. Mana mungkin Anda dapat melindungi binatang yang begitu berharga?
Sebaiknya Anda menjualnya. Anda boleh minta harga berapa saja. Harga setinggi apapun akan
dibayar juga. Sekarang kuda itu hilang dan Anda benar-benar sial."

Orangtua itu menjawab, "Jangan bicara terlalu cepat. Katakan saja bahwa kuda itu tidak
berada di kandangnya. Itu saja yang kita tahu, selebihnya adalah penilaian. Apakah saya sial
atau tidak, bagaimana Anda dapat ketahui itu? Bagaimana Anda dapat menghakimi?"

Orang-orang desa itu protes, "Jangan menggambarkan kami sebagai orang bodoh! Mungkin
kami bukan ahli filsafat, tetapi filsafat hebat tidak diperlukan. Fakta sederhana bahwa kuda
Anda hilang adalah sebuah kesialan."

Orangtua itu berbicara lagi, "Yang saya tahu hanyalah bahwa kandang itu kosong dan kuda itu
pergi. Selebihnya saya tidak tahu. Apakah itu kesialan atau berkah, saya tidak dapat katakan.
Yang dapat kita lihat hanyalah sepotong saja. Siapa tahu apa yang akan terjadi nanti?"

Orang-orang desa tertawa. Menurut mereka orang tua itu gila. Mereka memang selalu
menganggap dia orang tolol. Kalau tidak, ia akan menjual kuda itu dan hidup dari uang yang
diterimanya. Sebaliknya, ia seorang tukang potong kayu miskin, orangtua yang memotong
kayu bakar dan menariknya keluar hutan lalu menjualnya. Uang yang ia terima hanya cukup
untuk membeli makanan, tidak lebih. Hidupnya sengsara sekali. Sekarang ia sudah
membuktikan bahwa ia betul-betul tolol.

Tiga hari kemudian, menjelang sore, penduduk desa dikejutkan oleh kembalinya tiba kuda
putih ke rumah lelaki tua itu. Lebih mengejutkan lagi, bersamanya ikut pula sepuluh ekor kuda
liar dari padang pasir. Para tetangga kemudian menghampiri lelaki tua itu dan berkata,
“Sungguh benar ucapanmu, Pak… Lihatlah betapa beruntungnya dirimu… Kudamu kembali
dan membawa sepuluh kuda liar yang bisa kau jual”. Lelaki tua itu kembali menjawab dengan
tegas, “Cukup katakan saja kudaku kembali… Kalian tidak tahu apakah ini sebuah
keberuntungan atau Allah punya rencana lain terhadapku!”. Semua tetangga kembali terheran-
heran mendengar jawaban lelaki tua itu.

Sesudah lima belas hari, kuda itu kembali. Ia tidak dicuri, ia lari ke dalam hutan. Ia tidak
hanya kembali, ia juga membawa sekitar selusin kuda liar bersamanya. Sekali lagi penduduk
desa berkumpul di sekeliling tukang potong kayu itu dan mengatakan, "Orangtua, kamu benar
dan kami salah. Yang kami anggap kesialan sebenarnya berkah. Maafkan kami."

Jawab orang itu, "Sekali lagi kalian bertindak gegabah. Katakan saja bahwa kuda itu sudah
kembali. Katakan saja bahwa selusin kuda bersama dia, tetapi jangan menilai. Bagaimana
kalian tahu bahwa ini adalah berkah? Kalian hanya melihat sepotong saja. Kecuali kalau
kalian sudah mengetahui seluruh cerita. Kalian hanya membaca satu halaman dari sebuah
buku. Dapatkah kalian menilai seluruh buku? Kalian hanya membaca satu kata dari sebuah
ungkapan. Apakah kalian dapat mengerti seluruh ungkapan? Hidup ini begitu luas, namun
Kalian menilai seluruh hidup berdasarkan satu halaman atau satu kata. Yang kita tahu
hanyalah sepotong! Jangan katakan itu adalah berkah. Tidak ada yang tahu. Saya sudah puas
dengan apa yang saya tahu. Saya tidak terganggu karena apa yang saya tidak tahu."

"Barangkali orangtua itu benar," mereka berkata satu sama lain. Jadi mereka tidak banyak
berkata-kata. Tetapi di dalam hati mereka tahu ia salah. Mereka tahu itu adalah berkah. Dua
belas kuda liar pulang bersama satu kuda. Dengan kerja sedikit, binatang itu dapat dijinakkan
dan dilatih, kemudian dijual untuk banyak uang.

Orangtua itu mempunyai seorang anak laki-laki. Anak muda itu mulai menjinakkan kuda-kuda
liar itu. Setelah beberapa hari, ia terjatuh dari salah satu kuda dan kedua kakinya patah. Sekali
lagi orang desa berkumpul di sekitar orangtua itu dan menilai. "Anda benar," kata mereka.
"Anda sudah buktikan bahwa Anda benar. Selusin kuda itu bukan berkah. Mereka adalah
kesialan. Satu-satunya puteramu patah kedua kakinya dan sekarang dalam usia tua Anda tidak
punya siapa-siapa untuk membantu Anda. Sekarang Anda lebih miskin lagi."

Orangtua itu berkata, "Ya, kalian kesetanan dengan pikiran untuk menilai, menghakimi.
Jangan keterlaluan. Katakan saja bahwa anak saya patah kaki. Siapa tahu itu berkah atau
kesialan? Tidak ada yang tahu. Kita hanya mempunyai sepotong cerita. Hidup ini datang
sepotong-sepotong."

Maka dua bulan kemudian negeri itu berperang dengan negeri tetangga. Semua anak muda di
desa diminta untuk menjadi tentara. Hanya anak si orangtua itu yang tidak diminta karena ia
terluka. Sekali lagi orang berkumpul sekitar orangtua itu sambil menangis dan berteriak
karena anak-anak mereka sudah dipanggil untuk bertempur. Kecil sekali kemungkinan mereka
akan kembali. Musuh sangat kuat dan perang itu akan dimenangkan musuh. Mereka tidak
akan melihat anak-anak mereka kembali. "Anda benar, orangtua!" mereka menangis. "Allah
tahu, Anda benar. Ini buktinya. Kecelakaan anakmu merupakan berkah. Kakinya patah, tetapi
paling tidak ia ada bersamamu. Anak-anak kami pergi untuk selama-lamanya."

Orangtua itu berujar, "Tidak mungkin untuk berbicara dengan kalian. Kalian selalu menarik
kesimpulan. Tidak ada yang tahu. Katakan hanya ini, anak-anak kalian harus pergi berperang,
dan anak saya tidak. Tidak ada yang tahu apakah itu berkah atau kesialan. Tidak ada yang
cukup bijaksana untuk mengetahui. Hanya Allah yang tahu."

Anda mungkin juga menyukai