Anda di halaman 1dari 17

HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL (KARYA TULIS )

Terciptanya kesarasian dan keselarasan hubungan antar manusia perlu adanya


pedoman yang dijadikan sebagai acuan dalam melakukan kegiatan untuk hidup rukun
bersama-sama dalam kehidupan Pedoman tersebut bersifat mengatur,mengikat bahkan
ada yang memaksa warga masyarakat Indonesia untuk di taati.

Dalam kehiduoan bernegara diperlukan peraturan yang bersifat tegas dan


memaksa warga negara agar kehidupan bernegara dapat lebih tertib,teratur sesuai denagn
ideologi bangsa.Peraturan bersifat memaksa itu berupa hukum yang memberikan
jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta hak warga negara.

Bangsa Indonesia megkehendaki kehidupan yang serasi ,slaras dan seimbang


untuk meraih pencapaian kehidupan bernegara sesuai plannig bangsa dalam filosofinya.

1. Jenis –jenis Hukum Nasional

a. Pengertian Hukum

Di dalam kehidupan masyarakat di perlukan aturan-aturan atau petunjuk hidup


untuk mengatur tata trtib yang dikenal dengan noram atau kaidah yaitu :

a. Norma Agama
b. Norma Kesusilaan
c. Norma Kesopanan
d. Norma Kebiasaan
e. Norma Hukum

Secara garis besar ada dua macam norma yaitu Norma Hukum dan Bukan
Hukum,persamaannya adalah sama-sama mengatur tata tertib masyarakat,perbedaannya
terletak pada sanksinya.

Beberapa pendapat dari para ahli hukum tentang pengertian hukum :


1. Grotius,dalam “De Jure Belli ac facis tahun 1625”hukum adalah peraturan
Tentang moral yang menjamin keadilan.
2. Van Vollenhoven, dalam “Het Adatrecht van Nederlands Indie ”.Hukum adaah
suatu gejala dalam keadaan bentur dan membentur tanpa henti dengan gejala
lainnya
3. Utrecht dalam buku berjudul (Pengantar dalam bahasa Indonesia )Hukum
adalah himpunan peraturan (perintah dan larangan) mengurus tata tertib
suatu masyarakat maka dari itu harus ditaati.

2. Unsur –unsur Hukum


- Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalampergaulan masyarakat
- Peraturan itu dibuat oleh badan resmi yang berwajib
- Peraturan bersifat memaksa
- sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas

3. Ciri ciri Hukum:


- adanya perintah dan larangan
- Perintah dan larangan itu harus ditaati
4. Tujuan Hukum
- Menurut Van Apeldoom,yaitu untuk mengatur tata tertib masyarakat
- Menurut Van Khan,yaitu untuk mejaga kepentingan tiap manusia supaya
kepentingan itu tidak dapat diganggu.
- Menurut Utrecht,bertugas menjamin tugas adanya kepastian hukum.
- Menurut Mochtar Kusumaatmadjaja,tujuan hukum adalah terpelihara dan
terjamin kepastian hukum dan ketertiban.

5. Pembagian Hukum
a. Menurut sumbernya hukum dapat dibagi dalam
- undang –undang
- traktat
- yurisprudensi
- doktrin

b. Menurut isinya dapat dibagi :


- Hukum publik
- Hukum sipil (hukum privat)

c. Menurut Bentuknya
- Hukum tertulis terdiri lagi atas :
a. Hukum tertulis yang dikodifikasikan seperti KUH Perdata (BW)
Dan KUHAP

b. Hukum tertulis yang tak dikondifikasikan

- Hukum tidak tertulis

d. Menurut waktu berlakunya


- Ius constitutum
- Ius constituentum
- Hukum alam

e. Menurut sifatnya :
- Hukum mengatur
- Hukum memaksa

f. Menurut tempat / ruang berlakunya


^ Hukum Nasional
^ Hukum Internasional
^ Hukum asing
^ Hukum gereja

g. Menurut cara mempertahankan (fungsi) hukum dapat dibagi :


- Hukum materiil
- Hukum formiil

h. Menurut wujudnya hukum dapat dibagi dalam :


- Hukum objektif
- Hukum subjektif

Fungsi dan tujuan Hukum


Fungsi Hukum adalah untuk membatasi tingkah laku manusia dalam hidup
bermasyarakat sehingga kebenaran dalam keadilan dalam masyarakat dapat terwujud.

Tujuan Hukum adalah menciptakan ketertiban,keamanan ,ketentraman serta


kebahagiaan dimasyarakat.

Fungsi Lembaga Peradilan


a. sebagai pengayoman
b. melindungi HAM
c. Penegak keadilan dan kebenaran
d. Pengatur tata tertib masyarakt
e. Pelindung harkat dan martabat manusia

Pengadialan Tingkat Pertama

Mencakup Pengadilan Negeri,Pengadilan Militer,Pengadilan agama dan


Pengadilan Tata Usaha Negara.

Fungsinya memerikasa sah atau tidak suatu penangkapan atau penahanan yang
diajukan Kepada Ketua pengadilan dnegan menyebutkan alasannya.

Pengadilan Tingkat Dua


Mencakup antara lain:
- Pengadilan Tinggi
- Pengadilan Tinggi Agama,
- Pengadilan Tinggi Militer
- Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

Fungsinya adalah sebagai berikut:

a. Menjadi pemimpin pengadilan negeri dalam wilayah kekuasaannya.


b. Melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan terhadap daerah
hukum dan menjaga agar peradilan itu diselesikan dengna seksama dan
sebenarnya.
c. Mengawasi dan meneliti perbuatan para hakim pengadilan negeri
didaerah hukum.
d. Untu kepentingan Negara dan keadilan denagn memberikan teguran
atau apalah sebagainya.

Pengadilan tingkat kasasi

Tugas dan wewenang Mahkamah Agung memeriksa dan memutus:


a. Permohonan Kasasi
b. Sengketa tentang wewenang mengadili
c. Permohonan peninjauan kemabali putusan pengadilan yang
memperoleh kekuaan hukum yang pasti.

Kasasi berarti pembatalan putusan atau penetapan pengadilan dari semua


lingkungan peradilan dengan alasan :
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
c. Lalai memenuhi syarat- syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaaian itu dengan batalnya
putusan itu.

Perbedaan proses Peradilan Sipil dan Peradilan Militer


PENGADILAN SIPIL PENGADILAN MILITER
SASARAN/PERUNTUKAN
Pengadilan Sipil di peruntukkan bagi Pengadilan Militer diperuntukan bagi
rakyat pada umumnya,yang mencari prajurit (anggota militer) yang
keadilan dipersamakan dengan prajurit,atau
seseorang yang harus diadili di pengadilan
militer berdasarkan keputusan panglima
dengan persetujuan menteri kehakiman.
MACAM –MACAM
a. Pengadilan Negeri a. Pengadilan Militer
b. Pengadilan Tinggi b. Pengadilan Militer Tinggi
c. Pengadialan Militer Utama
d. Pengadilan Militeer Pertempuran
Perangkatnya
a.Pengadilan Negeri : Hakim, Panitera, a. Hakim
sekretaris dan juru sita. b. Panitera
b.Pengadilan Tinggi : Hakim,Panitera,dan c. Oditurat
sekretaris.
Lembaga yang Terlibat Menangani Perkara
a. Kepolisian a. Oditurat
b. Kejaksaan b. Pengadilan (Militer,Militer
c. Pengadilan Tinggi,Militer Utamadan Militer
Pertempuran)
Pihak –Pihak yang terlibat dalam Persidangan
a. Dalam Perkara pidana : Hakim, A. Hakim
Panitera/Panitera Pengganti, Jaksa, B. Panitera
Terdakwa, Penasehat Hukum dan C. Oditur
saksi. D Terdakwa
b. Dalam Perkara Perdata : Hakim, E. Penasehat saksi
Panitera/ Panitera Pengganti, F. Saksi
Penggugat dan tergugat.

6.. Hierarkhi Pengadilan


Pasal 24 UUD 1945,menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan Peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum,lingkungan peradilan agama, Lingkungan peradilan
militer,lingkungan Peradilan Tata Usaaha Negara,dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi ini kententuan dasar bagi pengaturan lembaga peradilan di Indonesia.

Pembentukan Badan –badan peradilan di Indonesia dalam UU Darurat No. 1


Tahun 1951 tentang Peradilan dalam lingkungan Pengadilan Umum.Pembentukan
Mahkamah Agung diatur dalam UU No.13 Tahun 1966 diperbarui dengan UU No.14
Tahun 1985.Ketentuan – Ketentuan pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam UU NO.14
Tahun 1970 yang sudah diperbaharui Tentang Ketentuan –Ketentuan dalam Pokok
Kekuasaan Kehakiman.

Dalam pasal 10 UU No.14 Tahun 1970, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh


pengadilan dalam lingkungan :

a. Peradilan Umum c. Peradilan Militer


b. Peradialan Agama d. Peradilan Tata Usaha Negara
Badan – badan Peradilan itu semua berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai
Peradilan Kasasi.Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir
semua sengketa tentang kewewenangan :

a. Antara lingkungan pengadilan yang satu dengan pengadilan yang lain di


Lingkungan yang sama.
b. Antara dua peradilan yang ada dalam hukum peradilan tingkat banding yang
berlainan dari lingkungan peradilan yang sama.
c. Antara dua pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan yang sama
Atau lingkungan peradila yang berbeda.

1. Pengadilan Negeri (PN)

Pengadilan kita sehari- hari yang memerikasa dan memutuskan suatu


perkara dan berkedudukan I ibukota kabupaten atau kota.

2. Pengadilan Tinggi (PT)

Peradilan banding yaitu peradilan yang memeriksa kembali perkara


yangtelah diputuskan oleh Pengadilan Negeri.

Sengketa tentang wewenang mengadili suatu perkara terjadi karena :

a. Apabila dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak


Berwenang mengadili atas perkara yang sama.
b. Apabila dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya yang
Berwenang mengadili perkara yang sama.

KEKUASAAN KEHAKIMAN

MAHKAMAH AGUNG MAHKAMAH KONSTITUSI


TINGKAT KASASI

TINGKAT PERTAMA
SEKALIGUS TERAKHIR

PT
PTA P.UTAMA MIL PTTUN TINGKAT BANDING

PN PA P..MIL PTUN TINGKAT PERTAMA

UMUM AGAMA MILITER ADIMINISTRASI /


TATA USAHA NEGARA

PROSES PERKARA PIDANA DAN PERDATA DALAM LINGKUNGAN


PENGADILAN UMUM
a. Tahap – tahap Proses Perkara Pidana

PENYELIDIKAN,PENYIDIKAN,DAN PRAPENUNTUTAN DAN


PENGUMPULAN ALAT-ALAT PENUNTUTAN BUKTI
BUKTI

LEPAS DARI SEGALA


TUNTUTAN HUKUM
BEBAS DARI
PEMERIKSAAN SEGALA DAKWAAN
PENDAHULUAN

PUTUSAN HAKIM

DIJATUHI HUKUMAN
TERHADAP SAKSI-SAKSI
DAN ALAT BUKTI
PEMERIKSAAN DI
TINGKAT BANDING
PEMERIKSAAN
DI MUKA PENGADILAN

REQUSITORIR DARI PEMERIKSAAN


JAKSA DAN PLEDOI DITINGKAT
TERHADAP TERDAKWA
OLEH TERDAKWA ATAU KASASI
PEMBELANYA

EKSEKUSI

Beberapa hal yang peelu diperhatikan tentang perkara pidana :


- Perbuatan melawan hukum atau tindak pidana terjadi apabila seseorang atau badan
hukum melakukan perbuatan yang bertentangan dengan aturan – aturan yang berlaku,
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
- Orang yang melakukan tindak pidana atau kejahatan sering disebut tersangka,jika
sudah diajukan dalam persidangan dalam pengadilan disebut terdakwa dan apabila
sudah dijatuhi hukuman disebut terpidana.
- Hukum perdata adalah ketentuan – ketentuan yang mengaturr da membatasi ketentuan
tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhannya dan kepentingannya.
- Perkara Perdata terjdi apabila seseorang atau badan hukum ag merasa dirugikan oleh
Orang lain atau badan hukum sehungga mengajukan gugatan kepada pihak yang
berwenang (Pengadilan )
- Orang / badan hukum yang dirugikan melakukan gugatan disebut penggugat dan
orang/badan hukum yang dituduh melakukan perbuatan merugikan disebut tergugat.

b. Alur Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Mulai Tingkat Pertama (di Pengadilan
Negeri) Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi) dan Tingkat Terakhir (Di
Mahkamah Agung)

10. PUTUSAN 11.KASASI


1. SURAT GUGATAN PENGADILAN TINGGI

12. PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG


2. JAWABAN GUGAT 9.BANDING

3. REPTIK 8. PUTUSAN PENGADILAN NEGERI 13. PENINAUAN KEMBALI

4. DUBLIK 7. MUSYAWARAH MAJELIS HAKIM

14. GUGATAN PIHAK KE TIGA


5. PEMBUKTIAN
6. TANGGAPAN TERHADAP
ALAT – ALAT BUKTI

Sekalipun peradilan Indonesia dewasa ini dasar hukumnya terdapat dalam UU


no.14 tahun 1970 jo. pasal 24 dan 25 UUD namun pada hakekatnya merupakan warisan
dari zaman Hindia Belanda. Bagaimanakah sistem peradilan di Indonesia ini?
Pasal 24 ayat 1 UUD berbunyi: "Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang", sedangkan
ayat 2 berbunyi: "susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan
undang-undang ". Pasal 25 UUD berbunyi: "Syarat untuk menjadi dan untuk
diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang". Dua pasal UUD itu
masih memerlukan peraturan organik untuk melaksanakannya. Peraturan organik itu
tertuang dalam Undang-undang no.14 tahun 1970. Mahkamah Agung merupakan
pengadilan negara tertinggi, demikianlah bunyi pasal 10 ayat 2. Kemudian di dalam pasal
11 ayat 1 Undang-undang no.14 tahun 1970 ditentukan bahwa organisatoris, administratif
dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan,
sedangkan ayat duanya berbunyi bahwa Mahkamah Agung mempunyai organisasi,
administrasi dan keuangan sendiri. Kalau disimak maka UU no.14 tahun 1970 itu, kalau
tidak boleh dikatakan bertentangan, tidak sinkhron dengan pasal 24 UUD. Pasal24 UUD
menghendaki bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Undang-undang no.14 tahun 1997
pasal11 ayat 1 menentukan bahwa badan-badan yang melakukan peradilan tersebut dalam
pasal 10 ayat 1 organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-
masing Departemen yang bersangkutan, sedangkan ayat 2 menentukan bahwa Mahkamah
Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Terasa adanya
dualisme: disatu pihak UUD menghendaki kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung dengan badan-badan pengadilan lain, di pihak lain Undang-undang
no.14 tahun 1970 menentukan bahwa pihak eksekutif diberi wewenang juga untuk
mengurusi kekuasaan kehakiman. Bukankah ini merupakan dualisme dalam peradilan.
Dualisme ini sudah seringkali diungkap dalam seminar-seminar dengan mengetengahkan
bahwa tidak selayaknyalah bahwa hakim itu "bernaung di bawah dua atap" atau
"mempunyai dua kepala atau dua atasan", yaitu Mahkamah Agung dan Departemen
Kehakiman. Pandangan ini ditegaskan lagi belum lama ini di dalam Memorandum Ikatan
Hakim Indonesia (IKAHI) dalam Mukernasnya pada tanggal 23 Oktober 1996 di Ujung
Pandang yang menyatakan agar Undang-undang no.14 tahun 1970 dicabut (Varia
Peradilan tahun XII no. 136 Januari 1996). Adanya dualisme peradilan itu seringkali
dijadikan alasan mengapa hakim atau peradilan itu sekarang tidak bebas, yaitu karena
hakim mempunyai dua atasan. Dualisme itu pula yang dijadikan alasan mengapa
peradilan kita sekarang ini tidak lagi memenuhi harapan, tidak lagi berfungsi sebagai
tempat pelarian terakhir atau benteng terakhir bagi pencari keadilan. Tidak mengherankan
kalau timbul istilah-istilah "peradilan kelabu", "mafia peradilan" dan sebagainya. Apakah
benar bahwa menurunnya citra peradilan atau parahnya keadaan peradilan kita dewasa ini
disebabkan oleh dualisme sistem peradilan kita yang sudah berumur setengah abad lebih
(pada hakekatnya sistem peradilan kita dewasa ini merupakan warisan dari zaman Hindla
Belanda)? Apakah benar bahwa sistem peradilan kita selama inilah (adanya "hakim di
bawah dua atap") yang menyebabkan keadaan peradilan kita menjadi parah: berlarut-
larutnya penyelesaian melalui pengadilan, banyaknya putusan-putusan yang tidak
profesional, pelanggaran peraturan-peraturan antara lain hukum acara dengan dalih
"penyimpangan prosedur", adanya surat sakti, belum lagi adanya kolusi suap dan
sebagainya? Harus diakui bahwa keadaan peradilan kita dewasa ini tidaklah memenuhi
harapan: tidak merupakan benteng terakhir bagi para pencari keadilan, banyak pencari
keadilan dikecewakan oleh perlakuan maupun putusan pengadilan. Pertanyaan yang
timbul ialah apakah salama ini (setengah abad lebih!) keadaan peradilan kita itu seperti
sekarang? Sebelum kurang lebih tahun 70an keadaan peradilan kita masih baik, tidak
banyak terdengar berita-berita tentang peradilan yang negatif, putusan-putusan tidak
sedikit yang profesional dan bermutu, kalaupun ada suap atau kolusi tidaklah sebanyak
sekarang ini, pad a hal sistem peradilannya sama dengan sekarang (bandingkan pasal 7
ayat 3 UU no. 19 th 1964 dengan pasal 11 UU no. 14 th 1970) dalam arti dualistis.
Sepanjang pengetahuan saya selama ini belum pernah diadakan studi evaluasi yang
intensif dan serius tentang sistem peradilan kita dewasa ini. Kembali kepada pertanyaaan
tersebut di atas: apakah benar sistem peradilan kita dewasa ini menyebabkan tidak adanya
kebebasan peradilan (hakim) dan menjadi parahnya peradilan kita dewasa ini? Apakah
betul bahwa sebabnya adalah sistemnya, apakah bukan sumber daya manusianya?
Kiranya kita semuanya sependapat bahwa keadaan sumber daya manusia memberi
kontribusi juga pada menurunnya citra peradilan. Sebelum kita hendak mengubah sistem
peradilan kita dewasa ini sebaiknya ditingkatkan lebih dulu integritas sumber daya
manusianya, karena dari sejarah ternyata bahwa dari dulu sampai sekarang sistem
peradilannya sama, dan baru pada kurang lebih tahun 1970an wajah peradilan kita mulai
pudar: inilah yang harus diprioritaskan sebelum kita hendak mengubah sistem peradilan
kita dewasa ini. Integritas sumber daya manusia terutama di bidang peradilan
harus dapat dihandalkan. Peradilan kita harus bebas, bersih dan profesional.
Berikut ini saya kutipkan beberapa pendapat tentang betapa pentingnya integritas
sumber daya manusia di bidang peradilan. "In the long run there is no guarantee of
justice except the personality of the judge. It has been said that the trial judge is the
key man in our system of adjudication: the law can be no better than the judge who
administers it'/5, Nations fall when judges are injust, because there is nothing which
the multitude think worth defending (Cardozo dalam Wendell C. Tambauugh, 1972).
Walaupun ungkapan-ungkapan itu berasal dari penulis asing, namun tidak ada salahnya
diterapkan pula di negeri kita untuk menciptakan peradilan yang bersih. Kalau kita
hendak mengubah sistem peradilan kita harus terlebih dahulu mengevaluasi sistem
peradilan kita dewasa ini: untung-ruginya, terlindungi tidaknya terutama kepentingan
para pencari keadilan, ada tidaknya kepastian hukum, ada tidaknya kebebasan hakim dan
sebagainya. Jangan hendaknya kita mengubah sistem karena hanya ingin sesuatu yang
baru tanpa mempertimbangkan manfaat serta risikonya. Apa yang akan diubah itu seluruh
sistem peradilan ataukah hanya beberapa undang-undang atau bagian dari undang-undang
saja? Mengubah undang-undang, dalam hal ini sistem peradilan, banyak konsekuensinya.
Mengubah sistem peradilan memerlukan penelitian, studi banding, pertemuan-pertemuan
ilmiah yang tidak boleh dibatasi waktunya dengan menentukan target, seperti yang
sekarang lazim dilakukan dalam membuat undang-undang. Belum nanti dalam
pembuatan rancangan undangundangnya. Andai kata kita berhasil mengubah sistem
peradilan kita, kalau kebijaksanaan politik masih seperti sekarang apakah peradilan kita
akan lebih baik dari sekarang? Kita harus segera mengambil sikap: memulihkan segera
citra peradilan dengan meningkatkan integritas sumber daya manusianya walaupun kita
mungkin masih harus menunggu lama kalau ingin memperoleh hasil yang memuaskan,
atau mengubah sistem peradilan yang akan makan waktu lebih lama lagi karena harus
mengadakan penelitian, studi banding, pembentukan undang-undang dan sosialisasinya,
yang hasilnya masih merupakan tanda tanya. Telah dapat dipastikan bahwa "untuk
sementara" Pemerintah tidak akan mencabut Undang-undang no.14 tahun 1970, dengan
perkataan lain akan mempertahankan sistem peradilan yang sekarang berlaku. Maka oleh
karena itu mengingat bahwa peradilan kita dewasa ini sudah cukup parah, yang perlu
segera dibenahi dan dikembalikan citra baiknya, untuk mengembalikan citra peradilan
kita perlu terlebih dulu ditingkatkan integritas sumber daya manusianya baru kemudian
dipikirkan untuk mengubah sistemnya kalau memang perlu, atau bersama-sama dengan
peningkatan integritas sumber daya manusianya sekaligus dapat dimulai dengan studi
evaluasi peradilan kita dewasa ini.

Jadi secara yuridis formal Undang-undang no.14 tahun 1970 sebagai peraturan
organik pasal 24 UUD adalah inkonstitusional dalam arti bertentangan atau setidak-
tidaknya tidak sinkhron dengan pasal 24 UUD, akan tetapi sudah berlaku dan berjalan
sekian lamanya, sehingga mempunyai kekuatan hukum (die normatieve Kraft des
Faktischen).

Di dalam sistem peradilan kita dewasa ini dikenal pula asas kebebasan hakim atau
kebebasan peradilan (pasal 1 UU no.14 th 1970), dalam arti seperti yang telah
dikemukakan di atas, bahwa hakim bebas dalam atau bebas untuk mengadili. Bebas
dalam arti menurut hati nuraninya tanpa dipengaruhi oleh siapapun: ia bebas dalam
memeriksa, membuktikan dan memutus perkara berdasarkan hati nuraninya. Di samping
itu ia bebas pula dari campur tangan pihak ekstra yudisiil. Di dalam pasal 4 ayat 3
Undang-undang no.14 tahun 1970 ditentukan bahwa segala campur tangan datam urusan
peradilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuati dalam hal-
hal yang tersebut dalam UUD. Di dalam kenyataannya ketentuan ini tidak jarang
dilanggar, antara lain dengan mengambil jalan pintas dengan menggunakan surat sakti,
tilpun sakti dan sebagainya. Sayangnya ketentuan mengenai larangan campur tangan ini
tidak disertai dengan sanksi. Inilah salah satu diantaranya yang menyebabkan peradilan
kita menjadi "kelabu". Ditambahkannya sanksi pada ketentuan tersebut kiranya akan
memulihkan citra peradilan, asal dilaksanakan dengan konsisten.Semua peradilan di
seluruh wilayah Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-
undang, sedangkan yang menduduki tempat yang tertinggi dalam sistem peradilan kita
adalah Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Mahkamah Agung
mempunyai beberapa fungsi atau tugas.

Pertama, Mahkamah Agung mempunyai fungsi peradilan (yustisiil). Mahkamah


Agung sebagai badan kehakiman, yang melakukan kekuasaan kehakiman,
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dengan tugas pokok menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan
setiap perkara (pasal 28, 29, 30 UU no.14 th 1985 jo. pasal 1, 2 ayat 1 UU no.14 th 1970).
Dalam fungsi yustisiil ini Mahkamah Agung memutus pada tingkat peradilan pertama
dan terakhir, yaitu mengenai semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara
badan-badan peradilan dalam lingkungan yang berbeda dan semua perselisihan tentang
kekuasaan mengadili antara badan-badan peradilan sederajat yang termasuk wewenang
Pengadilan Tinggi yang berlainan. Di samping itu Mahkamah Agung memutus pada
peradilan tingkat banding atas putusan-putusan wasit. Dalam tingkat terakhir Mahkamah
agung memutus terhadap putusan yang diberikan oleh pengadilan-pengadilan lain selain
Mahkamah Agung dalam tingkat terakhir. Kasasi bukanlah merupakan pemeriksaan
dalam tingkat ke 3, karena dalam tingkat kasasi tentang peristiwanya tidak diperiksa lagi,
melainkan hanya segi hukumnya. Mahkamah Agung wenang pula untuk menyatakan
dalam tingkat kasasi tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang
lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa Mahkamah Agung melakukan pengujian
materiel terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Kalau tidak
ada perkara diajukan ke Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung tidak
dapat menyatakan tidak sah suatu peraturan perundang-undangan. Peninjauan kembali
merupakan wewenang yustisiil Mahkamah Agung juga. Putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap apabila memenuhi syarat dapat dimintakan
peninjauan kembali.
Selanjutnya Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi mempunyai funqsi
kedua yaitu memimpin peradilan dalam pembinaan dan pengembangan hukum dan
sekaligus mengembangkan hukum Indonesia melalui putusan-putusannya kearah
kesatuan hukum dan peradilan. Fungsi Mahkamah Agung yang ketiga adalah menqatur.
Mahkamah Agung berwenang untuk menentukan penyelesaian suatu persoalan yang
belum diatur acaranya (pasal 79 UU no.14 th 1985). Apabila tidak atau belum diatur
dalam undang-undang, khususnya mengenai jalannya peradilan, agar peradilan dapat
berjalan lancar, Mahkamah Agung wajib menciptakan peraturannya. Peraturan macam
apakah yang dapat atau boleh diciptakan oleh Mahkamah Agung? Terutama yang
berhubungan dengan prosedur mengadili dan penyelesaian perkara yang belum atau tidak
diatur oleh undang-undang. Mengingat akan fungsinya sebagai lembaga yudikatif maka
apa yang dapat atau boleh dibuat atau diciptakan oleh Mahkamah Agung bukanlah
peraturan yang bersifat umum mengikat setiap orang. Bukan hukum materiil yang harus
dibuatnya, melainkan "aturan permainan" yang hanya berlaku bagi atau mengikat para
"pemain" dalam "permainan peradilan" (janqan diartikan negatif!), yaitu hakim. Dalam
hal ini jangan sampai Mahkamah Agung melanggar ajaran tentang pembagian kekuasaan.
Dalam fungsi mengatur Mahkamah Agung harus membatasi diri untuk tidak memasuki
hukum materiel. Mahkamah Agung dapat menciptakan peraturan yang bersifat normatif,
informatif dan instruktif. Mahkamah Agung dapat menciptakan peraturan yang bersifat
normatif yang berupa Peraturan Mahkamah Agung (Perma) seperti misalnya Perma
1/1990 tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing, yang sekaligus merupakan
pedoman kerja. Kalau ada hal-hal yang perlu segera diketahui oleh para hakim
dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), yang bersifat informatif dan sering
juga instruktif seperti misalnya SEMA 3/1963. Dengan SEMA 3/1963 Mahkamah Agung
pada hakekatnya hendak menginstruksikan para hakim menyesuaikan KUHPerdata
dengan perkembangan masyarakat. Akan tetapi sementara orang (termasuk hakim)
berpendapat bahwa SEMA 3/1963 itu mempunyai kekuatan membatalkan KUHPerdata.
Tujuan SEMA 3/1963 itu baik, yaitu agar para hakim menyeseuaikan KUHPerdata
dengan perkembangan masyarakat. Dilihat dari segi yuridis formal SEMA 3/963 sebagi
produk Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan untuk membatalkan undang-
undang mengingat Mahkamah Agung hanya mempunyai wewenang di bidang yudikatif
bukan legislatif.

Fungsi Mahkamah Agung keempat ialah funqsi sebaqai penasehat. Dalam pasal
25 Undang-undang no. 14 tahun 1970 ditentukan bahwa semua pengadilan dapat
memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum kepada
Lembaga Negara lainnya apabila diminta. Di samping itu TAP MPR noVI/MPR/1973
pasal 11 ayat 2 menentukan bahwa Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan
dan nasihat-nasihat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lainnya apabila
diminta, sedangkan TAP MPR noVII/MPR/1973 pasal 11 ayat 3 menentukan bahwa
Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada Presiden/Kepala Negara untuk
pemberian/penolakan grasi. Sudah tepatlah kiranya kalau Mahkamah Agung sebagai
pengadilan tertinggi mempunyai fungsi sebagai penasihat mengenai soal-soal hukum.
Bukankah hakim dianggap maha tahu akan soal-soal hukum (ius curia novit). Kiranya
tidak perlu ditegaskan bahwa persoalan hukum yang dapat dimintakan pertimbangan atau
nasihat kepada Mahkamah Agung bukanlah yang semata-mata bersifat abstrak/teoretis,
melainkan yang konkret dan praktis tetapi tidak mengandung perkara atau sengketa,
karena perkara atau sengketa harus melalui mekhanisme yang sudah tersedia.
Fungsi kelima Mahkamah Agung adalah pengawasan. Sudah selayaknya kalau
Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi mempunyai fungsi pengawasan
terhadap perbuatan pengadilan lainnya (pasal 10 ayat 4 UU no.14 th 1970). Untuk
meningkatkan citra peradilan kita dalam hal ini pengawasan oleh Hawas (hakim
pengawas) terhadap hakim-hakim perlu lebih ditingkatkan frekuensi serta intensivitasnya.
Eksaminasi sebagai sarana untuk mengevaluasi para hakim perlu dihidupkan kembali.
Fungsi Mahkamah Agung yang keenam adalah fungsi administratif. Dasar hukum fungsi
administratif Mahkamah Agung ini terdapat dalam pasal 11 ayat 2 Undang-undang no.14
tahun 1970 yang mengatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai administrasinya
sendiri.

Ada 4 lingkungan peradilan negara yang kesemuanya berpuncak pada Mahkamah


Agung. Empat lingkungan peradilan itu dapat dibagi menjadi dua, yang bersifat umum,
yaitu lingkungan peradilan umum (peradilan dengan general jurisdiction), dan yang
bersifat khusus (peradilan dengan special jurisdiction), yaitu lingkungan peradilan agama,
Iingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara (pasal10 ayat 1
UU no.14 th 1970). Disebut sebagai peradilan umum karena peradilan umum ini
diperuntukkan bagi semua warga masyarakat tanpa membedakan golongan atau agama;
yustisiabele atau pencari keadilannya umum: setiap orang. Di dalam peradilan umum
masih dikenal spesialisasi seperti pengadilan ekonomi. Peradilan khusus disediakan untuk
yustisiabele atau pencari keadilan yang khusus (beragama Islam, militer) atau yang
menggunakan hukum materiil khusus (hukum pidana militer, hukum Islam). Khas bagi
peradilan agama terdapat pilihan hukum: orang Indonesia asli yang beragama Islam
khususnya dalam pembagian warisan dapat memilih tunduk pada hukum adat yang
menjadi wewenang peradilan urn urn atau hukum Islam yang menjadi wewenang
peradilan agama.

Di samping 4 lingkungan peradilan negara seperti yang disebutkan dalam pasal 10


ayat 1 Undang-undang no.14 tahun 1970 sistem peradilan kita masih mengenal peradilan
sui generis atau peradilan semu yang tidak diatur dalam Undang-undang no.14 tahun
1970. Dikatakan "semu" karena petugas yang diberi wewenang untuk memeriksa dan
menyelesaikan konflik atau pelanggaran bukanlah petugas yang khusus diangkat untuk
itu seperti hakim pada pengadilan negeri, akan tetapi mempunyai tugas rangkap.
Termasuk peradilan semu ialah peradilan perburuhan (UU no.22 th 1957), peradilan
perumahan (PP no.55 th 1981 jo. PP no.49 th 1963), peradilan pelayaran (Skp. Mphbl.
No.Kab 4/3/24 jo. S 1949 no.103). Di samping badan-badan peradilan yang telah
disebutkan masih dikenal juga arbitrase atau pewasitan. Kalau 4 peradilan negara itu
berpuncak pada Mahkamah Agung, maka 3 peradilan semu yang telah dikemukakan di
atas tidak berpuncak pada Mahkamah Agung.

Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan, sehingga
putusan yang dijatuhkannya belum tentu cermat, tepat dan adil. Untuk mengantisipasi hal
itu dan untuk memenuhi rasa keadilan maka peradilan dibagi menjadi dua tingkat, yaitu
peradilan tingkat pertama (peradilan dengan original jurisdiction), yaitu peradilan dalam
tingkat awal atau permulaan dan peradilan tingkat banding (peradilan dengan appellate
jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat pemeriksaan ulang. Oleh karena itu pada
asasnya putusan yang telah dijatuhkan pada peradilan tingkat pertama yang belum tentu
cermat, benar serta adil dimungkinkan untuk dimintakan keadilan kepada pengadilan
yang lebih tinggi dalam tingkat banding. Semua lingkungan peradilan negara mengenal
dua tingkatan perdilan itu, pada asasnya pembagian ini bersifat universal. Di dalam dua
tingkatan peradilan itu diperiksa baik peristiwa maupun hukumnya. Jadi peradilan umum
mengenal Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, peradilan agama, Pengadilan Agama
dan Pengadilan Tinggi Agama, peradilan militer, Mahkamah Militer dan Mahkamah
Militer Tinggi, sedangkan peradilan tata usaha negara atau administrasi, Pengadilan Tata
Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Di dalam sistem peradilan
Indonesia, seperti yang telah diketengahkan dimuka masih dikenal pemeriksaan kasasi
yang pada umumnya tidak dianggap sebagai peradilan tingkat ketiga karena di tingkat
kasasi di Mahkamah Agung tidak dipenksa ulang mengenai peristiwanya, tetapi hanyalah
segi hukumnya saja. Pada asasnya putusan banding atau ulang dari peradilan tingkat
banding dan semua Iingkungan peradilan negara dapat dimintakan kasasi kepada
Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.

Dimanapun, lembaga peradilan diharapkan menjadi tempat bagi masyarakat


mendapatkan keadilan dan menaruh harapan. Namun, realitanya jauh dari harapan.
Justru, pengadilan dianggap sebagai tempat yang berperan penting menjauhkan
masyarakat dari keadilan. Orang begitu sinis dan apatis terhadap lembaga peradilan.
Harapan akan memperoleh kebenaran dan keadilan pun pupus ketika ditemukan adanya
permainan sistematis yang diperankan oleh segerombolan orang yang bernama mafia
peradilan. Pengadilan perkara korupsi mantan Dirut Jamsostek Ahmad Djunaedi yang
mengamuk dan berteriak telah memberikan uang Rp 600 juta kepada jaksa yang
sebagiannya, yakni Rp 250 juta digunakan untuk memesan hakim adalah bukti bahwa
keberadaan mafia peradilan bukanlah isapan jempol. Disinyalir, menurut hampir semua
lapisan aparat penegak hukum terlibat mulai dari polisi, jaksa, hakim, panitera, hingga
advokat mulai dari tingkat daerah sampai di Mahkamah Agung.

Daniel Kaufman dalam laporan Bureaucarti Judiciary Bribery tahun 1998


menyebutkan, korupsi di peradilan Indonesia memiliki ranking paling tinggi di antara
negara-negara seperti Ukraina, Venezeula, Rusia, Kolombia, Mesir, Yordania, Turki, dan
seterusnya. Bahkan, hasil survei nasional tentang korupsi yang dilakukan Partnership for
Governance Reform pada 2002 juga menempatkan lembaga peradilan di peringkat
lembaga terkorup menurut persepsi masyarakat. Hal tersebut diperkuat dengan laporan
Komisi Ombudsman Nasional (KON) tahun 2002, bahwa berdasarkan pengaduan
masyarakat menyebutkan penyimpangan di lembaga peradilan menempati urutan
tertinggi, yakni 45% dibandingkan lembaga lainnya. Bahkan data terakhir yang dilansir
Komisi Yudisial menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau sekitar 40 persen dari total 6.100
hakim dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya membuat praktek hukum diwarnai
judicial corruption

Pada saat yang bersamaan kita juga melihat adegan yang melukai rasa keadilan.
Koruptor kakap banyak yang dibebaskan berkeliaran, sementara pencuri kelas teri hampir
tak pernah lolos dari hukuman. Dalam catatan ICW, selama kurun waktu 1999 hingga
2006, ada 142 pelaku korupsi yang dibebaskan oleh 133 hakim di berbagai daerah .
Pengadilan terhadap Abu Bakar Ba’asyir yang sudah berusia lanjut dan sakit-sakitan tetap
dipaksakan berjalan, sebaliknya pengadilan terhadap Soeharto malah dihentikan.

Tidak hanya itu, saat ini mencari keadilan seperti mencari sebatang jarum yang
hilang dalam tumpukan jerami, rumit, berbelit-belit, penuh tikungan dan jebakan, yang
berujung kekecewaan dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
Menumpuknya belasan ribu perkara di Mahkamah Agung , tidak hanya menunjukkan
banyaknya permasalahan hukum dan kejahatan di negeri ini, akan tetapi juga karena
panjang dan berbelitnya proses peradilan. Inilah diantaranya penyebab hilangnya
kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Tindakan main hakim sendiri (eigenrechting)
yang dilakukan oleh masyarakat khususnya terhadap kejahatan jalanan (street crimes)
adalah bukti ketidakhormatan dan ketidakpercayaan mereka terhadap hukum
(disrespecting and distrusting the law).

Realita sistem hukum dan peradilan di negeri ini, nampaknya tergambarkan dalam
penelitian yang dilakukan oleh The Asia Foundation & AC Nielsen yang antara lain
menyatakan: 49% sistem hukum tidak melindungi mereka (the legal system does not
protect them), 38% tidak ada persamaan dimuka hukum (there is no such thing as
equality before the law), 57% sistem hukum masih tetap korup (the legal system is just as
corrupt as it has always been) problem.

Penyebab Kebobrokan
Paling tidak ada 4 sebab kebobrokan sistem hukum dan peradilan di Indonesia,
diantaranya:

1. Landasan Hukum

Sistem hukum dan peradilan di Indonesia sangat dipengaruhi dan dilandasi oleh
sistem hukum dan peradilan Barat yang sekular, yakni bersamaan dengan kemunculan
sistem demokrasi pada abad gelap pertengahan’ (the dark middle age) yang memberikan
kebebasan kepada rakyat untuk menetapkan hukum tanpa terikat oleh ajaran agama
(Kristen). Sumber pokok Hukum Perdata di Indonesia (Burgerlijk Wetboek) berasal dari
hukum perdata Perancis, yaitu Code Napoleon (1811-1838), yang karena pendudukan
Perancis di Belanda berlaku di juga negeri Belanda (1838). Sementara di Indonesia,
mulai berlaku sejak 1 Mei 1848 bersamaan dengan penjajahan Belanda. Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana KUHP atau Wetboek van Strafrecht yang mulai berlaku sejak 1
Januari 1918 setelah sebelumnya diberlakukan tahun 1873 juga merupakan copy dari
KUHP untuk golongan Eropa (1867) dan KUHP untuk golongan Eropa juga merupakan
copy dari Code Penal, yaitu Hukum Pidana di Perancis zaman Napoleon (1811). Begitu
juga dengan hukum acara perdata dan pidana yang juga berasal dari Barat, walaupun
dengan penyesuaian.

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa sistem hukum dan peradilan di Indonesia
merupakan produk Barat Sekular yang mengesampingkan Al-Khaliq sebagai pencipta
manusia, alam semesta dan kehidupan ini. Sehingga dapat dipastikan produk hukum yang
dikeluarkan pasti tidak (akan) sempurna dan memiliki banyak kelemahan.

2. Materi dan Sanksi Hukum

Penyebab kebobrokan berikutnya adalah materi hukum sebagai konsekuensi dari


sumber hukum yang sekular. Setidaknya tercermin dalam beberapa hal berikut:

a) Materi dan Sanksi Hukum Tidak Lengkap

Ketidaklengkapan mengatur semua hal, bukan hanya akan menimbulkan


kekacauan, akan tetapi akan memicu tindak kejahatan yang lain dan memiliki dampak
yang luas. Sebagai contoh, dalam KUHP Pasal 284, yang termasuk dalam kategori
perzinahan (persetubuhan di luar nikah) yang dikenakan sanksi hanyalah pria dan atau
wanita yang telah menikah, itupun jika ada pengaduan dari pihak yang merasa
dirugikan. Jika yang berzinah salah satu atau keduanya belum menikah dan dilakukan
atas dasar suka-sama suka, maka tidak dikenakan sanksi. Saat ini fenomena seks
bebas di kalangan remaja (kumpul kebo), lalu hamil di luar nikah dan berujung
pengguguran kandungan (aborsi), diduga kuat karena tidak adanya sanksi atas
mereka.

Contoh lain, tidak adanya aturan tentang pergaulan laki-laki dan perempuan
termasuk batasan aurat, sehingga berdampak pelecehan terhadap perempuan. Tidak
adanya hukuman bagi peminum khamr yang menyebabkan rusaknya akal masyarakat
dan memicu tindak kriminal, tidak ada sanksi bagi yang murtad, sehingga agama
mudah dilecehkan, dan banyak lagi permasalahan masyarakat yang tidak diatur
sehingga berpotensi rusaknya individu dan masyarakat.

b) Sanksi Hukum Tidak Menimbulkan Efek Jera


Salah satu tujuan diterapkannya sanksi bagi pelaku kejahatan, agar pelaku tidak
mengulangi perbuatannya lagi. Untuk itu, seharusnya pelaku dihukum dengan sanksi
yang membuat jera. Sebagai contoh, pembunuhan yang disengaja (Pasal 338 KUHP)
hanya dikenakan sanksi paling lama penjara 15 tahun, Pencurian (Pasal 362 KUHP)
hanya dikenakan sanksi penjara paling lama 5 tahun. Hubungan badan (perzinahan)
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 284 KUHP, hanya dikenakan sanksi paling
lama 9 bulan penjara.

Sanksi yang tidak menimbulkan efek jera sebagaimana contoh diatas alih-alih
menekan angka kejahatan, yang terjadi malah jumlah penjahat dan residivis terus
meningkat yang berakibat pemerintah kewalahan untuk membiayai makan para
napi/tahanan. Bahkan negara harus hutang sebesar 144,6 milyar kepada rekana1n
LP/rutan.

Hal tersebut tentunya juga diperkuat dengan sistem pemidanaan penjara yang
justru memberi peluang terpidana mengulangi kejahatan yang pernah dilakukan. Di
penjara, terpidana bukan hanya dapat bebas ’belajar’ trik melakukan kejahatan yang lebih
besar, bahkan disinyalir saat ini penjara malah menjadi tempat yang nyaman melakukan
pelecehan seksual, seperti kasus sodomi dan lesbi, kasus pemerasan, dan kasus
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Kasus-kasus kejahatan itu tidak hanya
terjadi di antara narapidana, tetapi juga bisa dengan pihak lain, seperti pegawai LP atau
pengunjung.

c) Hukum Hanya Mementingkan Kepastian Hukum dan Mengabaikan


Keadilan.

Sistem hukum di Indonesia mengharuskan bahwa hukum harus menjamin kepastian


hukum dan harus bersendikan keadilan. Kepastian hukum artinya produk dan ketentuan
hukum haruslah memiliki landasan hukum, keadilan berarti setiap produk dan ketentuan
hukum haruslah memenuhi rasa keadilan masyarakat, dan tidak merugikan. Realitanya
hingga kini, para ahli hukum ’bingung’ untuk menentukan mana yang harus didahulukan,
kepastian hukum atau keadilan? Banyak ketentuan yang dihasilkan di negeri ini yang
memiliki kepastian hukum akan tetapi mengusik rasa keadilan bahkan merugikan. Hal
tersebut sangat wajar terjadi, karena dalam sistem hukum sekular seluruh produk hukum
dibuat oleh manusia. Alih-alih menghasilkan produk hukum yang memberikan keadilan,
yang ada produk hukum hanyalah dijadikan alat memuaskan kepentingan para
pembuatnya.

Sebagai contoh, Perda K-3 seringkali dijadikan alat aparat untuk menindas rakyat
dengan cara menggusur rumah penduduk dan mengusir PKL tanpa memberikan solusi
memuaskan. UU Migas (No. 22/2001) yang memberikan peluang kepada asing
melakukan kegiatan usaha hulu dan hilir mengakibatkan kebijakan yang merugikan
rakyat, yakni kebijakan kenaikan harga BBM hingga penghapusan subsidi. UU Sumber
Daya Air (No. 7/2004) akan berdampak komersialisasi air yang pasti bebannya akan
ditanggung rakyat dan sederet UU dan Peraturan lainnya.

d) Tidak Mengikuti Perkembangan Zaman


Sebagai konsekuensi dari ketidaksempurnaan pembuat hukum, yakni akal manusia,
hukum yang diterapkan di Indonesia seringkali mengalami perubahan karena tidak lagi
sesuai dengan perkembangan zaman. Banyak ketentuan dalam KUHP yang sudah usang
mengharuskan adanya UU baru yang ‘menyempurnakan’, seperti UU Korupsi, UU Pers,
UU KDRT, dll. Undang-undang Korupsi yang sudah mengalami 3 kali perubahan dan
UU Pencucian Uang yang berubah hanya dalam kurun waktu setahun (2002-2003) adalah
bukti konkret, bahwa hukum buatan manusia memang sangat rentan mengalami
perubahan karena harus menyesuaikan dengan kondisi.

Tidak hanya itu, perubahan atau pembuatan undang-undang baru selalu dibarengi
dengan pengeluaran anggaran negara yang tidak sedikit. Sebagai contoh, menurut Agung
Laksono anggaran pembahasan RUU Pemerintahan Aceh yang berasal dari pemerintah
sebesar Rp 3 milyar dan dari DPR sebesar Rp 500 juta. Tidak cukup dengan itu, Depdagri
pun mengucurkan uang sebesar Rp 250 juta yang diberikan masing-masing Rp 5 juta
kepada 50 orang anggota pansus.

3. Sistem Peradilan

a. Peradilan yang Berjenjang

Di Indonesia, struktur pengadilan berjenjang, yakni upaya hukum yang


memungkinkan terdakwa yang tidak puas terhadap vonis hakim mengajukan banding.
Dengan upaya hukum tersebut, keputusan yang telah ditetapkan sebelumnya bisa
dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Dengan mekanisme tersebut diharapkan
menghasilkan kepastian hukum dan keadilan. Yang terjadi sebaliknya, yakni
ketidakpastian hukum karena keputusan hukum dapat berubah-ubah sesuai jenjang
pengadilan, juga akan berujung pada simpang siurnya keputusan hukum; kepastian
hukum yang didambakan masyarakat pun semakin lama didapatkan, karena harus melalui
rantai peradilan yang sangat panjang. Fenomena ini akan dengan cepat disergap oleh
pelaku mafia peradilan—entah para jaksa, hakim, maupun pengacara—yang
menjadikannya sebagai bisnis basah.

a. Pembuktian yang Lemah dan Tidak Meyakinkan

Pembuktian haruslah bersifat pasti dan meyakinkan, agar keputusan yang dihasilkan
pun pasti dan meyakinkan. Seharusnya persangkaan atau dugaan seperti dalam
pembuktian kasus perdata serta keterangan ahli dalam dalam kasus pidana, dihapuskan,
karena persangkaan hanya akan menghasilkan ketidakpastian dan keterangan ahli
seharusnya diposisikan hanya sekedar informasi (khabar) saja.

a. Tidak ada persamaan di depan hukum

Persamaan di depan hukum (equality before the law) tanpa memandang status dan
kedudukan merupakan sebuah keharusan. Di Indonesia ada ketentuan, bahwa jika ada
pejabat negara –setingkat bupati dan anggota DPRD—tersangkut perkara pidana harus
mendapatkan izin dari Presiden. Aturan ini cenderung diskriminatif dan memakan waktu
serta justru menunjukkan bahwa equality before the law hanyalah isapan jempol.

4. Perilaku Aparat

Penyebab kebobrokan yang cukup serius adalah bobroknya mental aparat penegak
hukum, mulai dari polisi, panitera, jaksa hingga hakim. Bahkan data terakhir yang
dilansir Komisi Yudisial menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau sekitar 40% dari total
6.100 hakim dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya membuat praktek hukum
diwarnai judicial corruption.

Untuk mengantisipasi dan dan melakukan pengawasan terhadap aparat hukum di


Indonesia dibentuklah berbagai macam komisi sebagai state auxilary bodies antara
lain Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, KPKPN (sudah
dibubarkan) dan KPK. Tidak cukup sampai disitu saja, tuntutan publik juga diarahkan
untuk pembentukan lembaga pengawasan eksternal lembaga penegak hukum.
Tuntutan inilah yang ada pada akhirnya direspon oleh pembentuk

Undang-Undang dengan mengamanatkan pembentukan komisi, misalnya Komisi


Yudisial pembentukannya dimanatkan oleh konstitusi, Komisi Kepolisian
diamanatkan oleh UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI mengmanatkan
pembentukan Komisi Kejaksaan meskipun sifatnya tidak wajib. Sebagai tindak lanjut
dari amanat pasal 38 UU Nomor 16 tahun 2004 (meskipun tidak imperatif) Presiden
mengeluarkan Peraturan Presiden RI No. 18 tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan
Republik Indonesia.

Apakah dengan adanya mekanisme tersebut akan menghilangkan praktek mafia


peradilan? Memang, adanya berbagai komisi yang diantaranya memiliki fungsi
melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum memang merupakan sebuah
terobosan yang memiliki ’niat baik’, akan tetapi ’niat baik’ saja nampaknya tidak
cukup. Sebagai contoh, belum lagi Komisi Yudisial berjalan efektif, sudah muncul
masalah baru, yakni perseteruan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung (MA).

Sesungguhnya, selain sistem pengawasan berbasis sistem, permasalahan


mendasarnya justru karena tidak ada pengawasan yang melekat dan berdimensi
ruhiyah. Konsekwensi dari sistem hukum dan peradilan sekular yang menafikan
keberadaan Allah mengakibatkan mereka melakukan sesuatu tanpa memperhatikan
benar-salah, baik-buruk apalagi halal-haram. Logika sederhananya, kalau hukum
dibuat manusia, yang memerintahkan mentaati aturan adalah manusia, apa
hubungannya dengan Allah dan akhirat?!
Daftar Pustaka

Prof.Dr.Sjacharan Basah,SH.CN,1989.Hukum Tata Negara Perbandingan, PT.Alumni,


Bandung.

dkk,Drs.Chotib,2006.Kewarganegaraan 1 Menuju Masyarakat Madani Kelas 1 SMA,


PT.Ghalia Indonesia.

Asih,S.Pd. 2008,Pendidikan Kewarganegaraan Kelas 1 SMA,PT. Sinar Mandiri,Klaten.

Drs.H. M.Djazuli,2007.PKN.PT.Galileo,Jakarta.

Gunawan Setiardja, A.-, 1993, Hak-hak asasi manusia berdasarkan ideologi Pancasila,
Penerbit Kanisius.

Masyhur Effendi, H.A.-, 1994, Hak asasi manusia dalam hukum nasional dan
intemasional, Ghalia Indonesia.

Nieuwenhuis, J.H.-, Legitimatie en heuristik van het rechterlijk oordeel, Themis 1976/6
Sudikno Mertokusumo, 1973, Sejarah peradilan dan perundang-undangannya di
Indonesia sejak 1942, PT Gunung Agung.

Wendell C.Tombaugh, 1972, My kind of judge, dalam "Special problems in the judicial
function", National College of State Trial Judges, Reno, NevadaPotret Buram Sistem
Hukum dan Peradilan Indonesia

Anda mungkin juga menyukai