a. Pengertian Hukum
a. Norma Agama
b. Norma Kesusilaan
c. Norma Kesopanan
d. Norma Kebiasaan
e. Norma Hukum
Secara garis besar ada dua macam norma yaitu Norma Hukum dan Bukan
Hukum,persamaannya adalah sama-sama mengatur tata tertib masyarakat,perbedaannya
terletak pada sanksinya.
5. Pembagian Hukum
a. Menurut sumbernya hukum dapat dibagi dalam
- undang –undang
- traktat
- yurisprudensi
- doktrin
c. Menurut Bentuknya
- Hukum tertulis terdiri lagi atas :
a. Hukum tertulis yang dikodifikasikan seperti KUH Perdata (BW)
Dan KUHAP
e. Menurut sifatnya :
- Hukum mengatur
- Hukum memaksa
Fungsinya memerikasa sah atau tidak suatu penangkapan atau penahanan yang
diajukan Kepada Ketua pengadilan dnegan menyebutkan alasannya.
KEKUASAAN KEHAKIMAN
TINGKAT PERTAMA
SEKALIGUS TERAKHIR
PT
PTA P.UTAMA MIL PTTUN TINGKAT BANDING
PUTUSAN HAKIM
DIJATUHI HUKUMAN
TERHADAP SAKSI-SAKSI
DAN ALAT BUKTI
PEMERIKSAAN DI
TINGKAT BANDING
PEMERIKSAAN
DI MUKA PENGADILAN
EKSEKUSI
b. Alur Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Mulai Tingkat Pertama (di Pengadilan
Negeri) Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi) dan Tingkat Terakhir (Di
Mahkamah Agung)
Jadi secara yuridis formal Undang-undang no.14 tahun 1970 sebagai peraturan
organik pasal 24 UUD adalah inkonstitusional dalam arti bertentangan atau setidak-
tidaknya tidak sinkhron dengan pasal 24 UUD, akan tetapi sudah berlaku dan berjalan
sekian lamanya, sehingga mempunyai kekuatan hukum (die normatieve Kraft des
Faktischen).
Di dalam sistem peradilan kita dewasa ini dikenal pula asas kebebasan hakim atau
kebebasan peradilan (pasal 1 UU no.14 th 1970), dalam arti seperti yang telah
dikemukakan di atas, bahwa hakim bebas dalam atau bebas untuk mengadili. Bebas
dalam arti menurut hati nuraninya tanpa dipengaruhi oleh siapapun: ia bebas dalam
memeriksa, membuktikan dan memutus perkara berdasarkan hati nuraninya. Di samping
itu ia bebas pula dari campur tangan pihak ekstra yudisiil. Di dalam pasal 4 ayat 3
Undang-undang no.14 tahun 1970 ditentukan bahwa segala campur tangan datam urusan
peradilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuati dalam hal-
hal yang tersebut dalam UUD. Di dalam kenyataannya ketentuan ini tidak jarang
dilanggar, antara lain dengan mengambil jalan pintas dengan menggunakan surat sakti,
tilpun sakti dan sebagainya. Sayangnya ketentuan mengenai larangan campur tangan ini
tidak disertai dengan sanksi. Inilah salah satu diantaranya yang menyebabkan peradilan
kita menjadi "kelabu". Ditambahkannya sanksi pada ketentuan tersebut kiranya akan
memulihkan citra peradilan, asal dilaksanakan dengan konsisten.Semua peradilan di
seluruh wilayah Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-
undang, sedangkan yang menduduki tempat yang tertinggi dalam sistem peradilan kita
adalah Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Mahkamah Agung
mempunyai beberapa fungsi atau tugas.
Fungsi Mahkamah Agung keempat ialah funqsi sebaqai penasehat. Dalam pasal
25 Undang-undang no. 14 tahun 1970 ditentukan bahwa semua pengadilan dapat
memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum kepada
Lembaga Negara lainnya apabila diminta. Di samping itu TAP MPR noVI/MPR/1973
pasal 11 ayat 2 menentukan bahwa Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan
dan nasihat-nasihat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lainnya apabila
diminta, sedangkan TAP MPR noVII/MPR/1973 pasal 11 ayat 3 menentukan bahwa
Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada Presiden/Kepala Negara untuk
pemberian/penolakan grasi. Sudah tepatlah kiranya kalau Mahkamah Agung sebagai
pengadilan tertinggi mempunyai fungsi sebagai penasihat mengenai soal-soal hukum.
Bukankah hakim dianggap maha tahu akan soal-soal hukum (ius curia novit). Kiranya
tidak perlu ditegaskan bahwa persoalan hukum yang dapat dimintakan pertimbangan atau
nasihat kepada Mahkamah Agung bukanlah yang semata-mata bersifat abstrak/teoretis,
melainkan yang konkret dan praktis tetapi tidak mengandung perkara atau sengketa,
karena perkara atau sengketa harus melalui mekhanisme yang sudah tersedia.
Fungsi kelima Mahkamah Agung adalah pengawasan. Sudah selayaknya kalau
Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi mempunyai fungsi pengawasan
terhadap perbuatan pengadilan lainnya (pasal 10 ayat 4 UU no.14 th 1970). Untuk
meningkatkan citra peradilan kita dalam hal ini pengawasan oleh Hawas (hakim
pengawas) terhadap hakim-hakim perlu lebih ditingkatkan frekuensi serta intensivitasnya.
Eksaminasi sebagai sarana untuk mengevaluasi para hakim perlu dihidupkan kembali.
Fungsi Mahkamah Agung yang keenam adalah fungsi administratif. Dasar hukum fungsi
administratif Mahkamah Agung ini terdapat dalam pasal 11 ayat 2 Undang-undang no.14
tahun 1970 yang mengatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai administrasinya
sendiri.
Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan, sehingga
putusan yang dijatuhkannya belum tentu cermat, tepat dan adil. Untuk mengantisipasi hal
itu dan untuk memenuhi rasa keadilan maka peradilan dibagi menjadi dua tingkat, yaitu
peradilan tingkat pertama (peradilan dengan original jurisdiction), yaitu peradilan dalam
tingkat awal atau permulaan dan peradilan tingkat banding (peradilan dengan appellate
jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat pemeriksaan ulang. Oleh karena itu pada
asasnya putusan yang telah dijatuhkan pada peradilan tingkat pertama yang belum tentu
cermat, benar serta adil dimungkinkan untuk dimintakan keadilan kepada pengadilan
yang lebih tinggi dalam tingkat banding. Semua lingkungan peradilan negara mengenal
dua tingkatan perdilan itu, pada asasnya pembagian ini bersifat universal. Di dalam dua
tingkatan peradilan itu diperiksa baik peristiwa maupun hukumnya. Jadi peradilan umum
mengenal Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, peradilan agama, Pengadilan Agama
dan Pengadilan Tinggi Agama, peradilan militer, Mahkamah Militer dan Mahkamah
Militer Tinggi, sedangkan peradilan tata usaha negara atau administrasi, Pengadilan Tata
Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Di dalam sistem peradilan
Indonesia, seperti yang telah diketengahkan dimuka masih dikenal pemeriksaan kasasi
yang pada umumnya tidak dianggap sebagai peradilan tingkat ketiga karena di tingkat
kasasi di Mahkamah Agung tidak dipenksa ulang mengenai peristiwanya, tetapi hanyalah
segi hukumnya saja. Pada asasnya putusan banding atau ulang dari peradilan tingkat
banding dan semua Iingkungan peradilan negara dapat dimintakan kasasi kepada
Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.
Pada saat yang bersamaan kita juga melihat adegan yang melukai rasa keadilan.
Koruptor kakap banyak yang dibebaskan berkeliaran, sementara pencuri kelas teri hampir
tak pernah lolos dari hukuman. Dalam catatan ICW, selama kurun waktu 1999 hingga
2006, ada 142 pelaku korupsi yang dibebaskan oleh 133 hakim di berbagai daerah .
Pengadilan terhadap Abu Bakar Ba’asyir yang sudah berusia lanjut dan sakit-sakitan tetap
dipaksakan berjalan, sebaliknya pengadilan terhadap Soeharto malah dihentikan.
Tidak hanya itu, saat ini mencari keadilan seperti mencari sebatang jarum yang
hilang dalam tumpukan jerami, rumit, berbelit-belit, penuh tikungan dan jebakan, yang
berujung kekecewaan dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
Menumpuknya belasan ribu perkara di Mahkamah Agung , tidak hanya menunjukkan
banyaknya permasalahan hukum dan kejahatan di negeri ini, akan tetapi juga karena
panjang dan berbelitnya proses peradilan. Inilah diantaranya penyebab hilangnya
kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Tindakan main hakim sendiri (eigenrechting)
yang dilakukan oleh masyarakat khususnya terhadap kejahatan jalanan (street crimes)
adalah bukti ketidakhormatan dan ketidakpercayaan mereka terhadap hukum
(disrespecting and distrusting the law).
Realita sistem hukum dan peradilan di negeri ini, nampaknya tergambarkan dalam
penelitian yang dilakukan oleh The Asia Foundation & AC Nielsen yang antara lain
menyatakan: 49% sistem hukum tidak melindungi mereka (the legal system does not
protect them), 38% tidak ada persamaan dimuka hukum (there is no such thing as
equality before the law), 57% sistem hukum masih tetap korup (the legal system is just as
corrupt as it has always been) problem.
Penyebab Kebobrokan
Paling tidak ada 4 sebab kebobrokan sistem hukum dan peradilan di Indonesia,
diantaranya:
1. Landasan Hukum
Sistem hukum dan peradilan di Indonesia sangat dipengaruhi dan dilandasi oleh
sistem hukum dan peradilan Barat yang sekular, yakni bersamaan dengan kemunculan
sistem demokrasi pada abad gelap pertengahan’ (the dark middle age) yang memberikan
kebebasan kepada rakyat untuk menetapkan hukum tanpa terikat oleh ajaran agama
(Kristen). Sumber pokok Hukum Perdata di Indonesia (Burgerlijk Wetboek) berasal dari
hukum perdata Perancis, yaitu Code Napoleon (1811-1838), yang karena pendudukan
Perancis di Belanda berlaku di juga negeri Belanda (1838). Sementara di Indonesia,
mulai berlaku sejak 1 Mei 1848 bersamaan dengan penjajahan Belanda. Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana KUHP atau Wetboek van Strafrecht yang mulai berlaku sejak 1
Januari 1918 setelah sebelumnya diberlakukan tahun 1873 juga merupakan copy dari
KUHP untuk golongan Eropa (1867) dan KUHP untuk golongan Eropa juga merupakan
copy dari Code Penal, yaitu Hukum Pidana di Perancis zaman Napoleon (1811). Begitu
juga dengan hukum acara perdata dan pidana yang juga berasal dari Barat, walaupun
dengan penyesuaian.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa sistem hukum dan peradilan di Indonesia
merupakan produk Barat Sekular yang mengesampingkan Al-Khaliq sebagai pencipta
manusia, alam semesta dan kehidupan ini. Sehingga dapat dipastikan produk hukum yang
dikeluarkan pasti tidak (akan) sempurna dan memiliki banyak kelemahan.
Contoh lain, tidak adanya aturan tentang pergaulan laki-laki dan perempuan
termasuk batasan aurat, sehingga berdampak pelecehan terhadap perempuan. Tidak
adanya hukuman bagi peminum khamr yang menyebabkan rusaknya akal masyarakat
dan memicu tindak kriminal, tidak ada sanksi bagi yang murtad, sehingga agama
mudah dilecehkan, dan banyak lagi permasalahan masyarakat yang tidak diatur
sehingga berpotensi rusaknya individu dan masyarakat.
Sanksi yang tidak menimbulkan efek jera sebagaimana contoh diatas alih-alih
menekan angka kejahatan, yang terjadi malah jumlah penjahat dan residivis terus
meningkat yang berakibat pemerintah kewalahan untuk membiayai makan para
napi/tahanan. Bahkan negara harus hutang sebesar 144,6 milyar kepada rekana1n
LP/rutan.
Hal tersebut tentunya juga diperkuat dengan sistem pemidanaan penjara yang
justru memberi peluang terpidana mengulangi kejahatan yang pernah dilakukan. Di
penjara, terpidana bukan hanya dapat bebas ’belajar’ trik melakukan kejahatan yang lebih
besar, bahkan disinyalir saat ini penjara malah menjadi tempat yang nyaman melakukan
pelecehan seksual, seperti kasus sodomi dan lesbi, kasus pemerasan, dan kasus
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Kasus-kasus kejahatan itu tidak hanya
terjadi di antara narapidana, tetapi juga bisa dengan pihak lain, seperti pegawai LP atau
pengunjung.
Sebagai contoh, Perda K-3 seringkali dijadikan alat aparat untuk menindas rakyat
dengan cara menggusur rumah penduduk dan mengusir PKL tanpa memberikan solusi
memuaskan. UU Migas (No. 22/2001) yang memberikan peluang kepada asing
melakukan kegiatan usaha hulu dan hilir mengakibatkan kebijakan yang merugikan
rakyat, yakni kebijakan kenaikan harga BBM hingga penghapusan subsidi. UU Sumber
Daya Air (No. 7/2004) akan berdampak komersialisasi air yang pasti bebannya akan
ditanggung rakyat dan sederet UU dan Peraturan lainnya.
Tidak hanya itu, perubahan atau pembuatan undang-undang baru selalu dibarengi
dengan pengeluaran anggaran negara yang tidak sedikit. Sebagai contoh, menurut Agung
Laksono anggaran pembahasan RUU Pemerintahan Aceh yang berasal dari pemerintah
sebesar Rp 3 milyar dan dari DPR sebesar Rp 500 juta. Tidak cukup dengan itu, Depdagri
pun mengucurkan uang sebesar Rp 250 juta yang diberikan masing-masing Rp 5 juta
kepada 50 orang anggota pansus.
3. Sistem Peradilan
Pembuktian haruslah bersifat pasti dan meyakinkan, agar keputusan yang dihasilkan
pun pasti dan meyakinkan. Seharusnya persangkaan atau dugaan seperti dalam
pembuktian kasus perdata serta keterangan ahli dalam dalam kasus pidana, dihapuskan,
karena persangkaan hanya akan menghasilkan ketidakpastian dan keterangan ahli
seharusnya diposisikan hanya sekedar informasi (khabar) saja.
Persamaan di depan hukum (equality before the law) tanpa memandang status dan
kedudukan merupakan sebuah keharusan. Di Indonesia ada ketentuan, bahwa jika ada
pejabat negara –setingkat bupati dan anggota DPRD—tersangkut perkara pidana harus
mendapatkan izin dari Presiden. Aturan ini cenderung diskriminatif dan memakan waktu
serta justru menunjukkan bahwa equality before the law hanyalah isapan jempol.
4. Perilaku Aparat
Penyebab kebobrokan yang cukup serius adalah bobroknya mental aparat penegak
hukum, mulai dari polisi, panitera, jaksa hingga hakim. Bahkan data terakhir yang
dilansir Komisi Yudisial menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau sekitar 40% dari total
6.100 hakim dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya membuat praktek hukum
diwarnai judicial corruption.
Drs.H. M.Djazuli,2007.PKN.PT.Galileo,Jakarta.
Gunawan Setiardja, A.-, 1993, Hak-hak asasi manusia berdasarkan ideologi Pancasila,
Penerbit Kanisius.
Masyhur Effendi, H.A.-, 1994, Hak asasi manusia dalam hukum nasional dan
intemasional, Ghalia Indonesia.
Nieuwenhuis, J.H.-, Legitimatie en heuristik van het rechterlijk oordeel, Themis 1976/6
Sudikno Mertokusumo, 1973, Sejarah peradilan dan perundang-undangannya di
Indonesia sejak 1942, PT Gunung Agung.
Wendell C.Tombaugh, 1972, My kind of judge, dalam "Special problems in the judicial
function", National College of State Trial Judges, Reno, NevadaPotret Buram Sistem
Hukum dan Peradilan Indonesia