Anda di halaman 1dari 9

SUMBER-SUMBER PENDAPATAN NEGARA DALAM

ISLAM

Makalah

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Sistem Moneter dan Fiskal Islam

Oleh;

Khoirul Faiq
208046100068

Dosen Pembimbing:

Muhammad Maksum, MA.

JURUSAN PERBANKAN SYARI’AH


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah dan Pokok Bahasan


Basis dan tujuan utama syariat islam adalah mendorong kesejahteraan manusia
yang terletak pada perlindungan kepada keimanan, kehidupan, akal, dan kekayaan yang
dimiliki oleh setiap manusia. Apa pun yang menjamin terlindunginya kelima
permasalahan ini akan memenuhi kepentingan umum, kemaslahatan yang terletak pada
keadilan yang sempurna, dan kebijaksanaan.1
Sistem perbankan, uang dan pendapatan negara sangat berperan penting dalam
perekonomian umat islam seperti sistem ekonomi lain, pendapatan negara tersebut juga
mempunyai peran dalam memajukan suatu negara. Akan tetapi untuk memainkan peran
ini perlu adanya reorganisasi sedemikian rupa sehingga secara simultan sejalan dengan
etos islam yang mampu mensejahterakan umat islam secara khusus dan umat yang lain
secara keseluruhan.
Dengan demikian distribusi kekayaan yang bisa diambil (dipungut) dari berbagai
sumber baik itu dari ghanimah, shadaqah, ataupun fay’i2 adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari falsafah dan sejarah keislaman yang didasarkan pada komitmen yang
pasti terhadap persaudaraan antar manusia dan kesejahteraan antar umat islam. Dan hal
itu jelas sekali berbeda dengan falsafah dan sistem yang diterapkan oleh ekonomi lain
(misalnya; kapitalis, komunis, dan sosialis).
Sesuai dengan cuplikan latar belakang di atas maka dalam tugas makalah ini
penulis akan membahas tentang “Sumber-Sumber Pendapatan Negara dalam Islam”,
yang mana meliputi beberapa poin yaitu: Ghanimah, Shadaqah, Infaq, Zakat, ‘Ushr,
Fay’i, Jizyah, Kharaj, ‘Ushr (Bea Cukai), Pajak tambang dan harta rikaz, Waqaf, etc.

B. SUMBER-SUMBER PENDAPATAN NEGARA DALAM ISLAM

1 M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Cendekia, 2000),
hal.4.
2 Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 83.
 Ghanimah
Secara etimologi berasal dari kata ghanama-ghanimatuh yang
berarti memperoleh jarahan ‘rampasan perang’. Harta ini menurut Sa’id
Hawwa adalah harta yang didapatkan dari hasil peperangan dengan kaum
musyrikin. Yang menjadi sasarannya adalah orang kafir yang bukan dalam
wilayah yang sama (kafir dzimmi), dan harta yang diambil bisa dari harta
yang bergerak atau harta yang tidak bergerak, seperti: perhiasan, senjata,
unta, tanah, dll. Untuk porsinya 1/5 untuk Allah dan Rasulnya, kerabat
Rasul, anak yatim, dan fakir miskin, dan ibn sabil, dan 4/5 untuk para
balatentara yang ikut perang. Kemudian sisanya disimpan di Baitul Mal
untuk didistribusikan kemudian.

 Shadaqah

Secara etimologi adalah berasal dari kata shadaqa yang berarti


benar, pembuktian, dan syahadat (keimanan) yang diwujudkan dengan
bentuk pengorbanan materi. Menurut Ibn Thaimiyah shadaqah adalah
zakat yang dikenakan atas harta kekayaan muslim tertentu. Menurut Shidiq
Al-Jawi shadaqah itu dibagi kedalam tiga kategori, yaitu: shadaqah dalam
pengertian pemberian sunnah yaitu pemberian harta kepada orang-orang
fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak
menerima shadaqah tanpa imbalan tersebut. Shadaqah dalam pengertian
zakat yaitu karena dalam beberapa nash lafadz shadaqah mempunyai arti
zakat, dalam hal ini shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun
demikian penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat
mutlak, artinya untuk mengartikannya harus berdasarkan indikasi atau
qarinah tertentu yang sudah jelas. Shadaqah dalam pengertian suatu yang
ma’ruf (benar dalam pandangan syara’) pengertian ini didasarkan pada
hadits riwayat Imam Muslim_Nabi bersabda: kullu ma’rufin shadaqatun
(setiap kebajikan adalah shadaqah). Berdasarkan hadits ini, maka
mencegah dari maksiat, memberi nafkah kepada keluarga, beramal ma’ruf
nahi mungkar, menumbuhkan syahwat kepada istri, dan tersenyum adalah
bentuk shadaqah.

3
 Infaq
Infaq diambil dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu
(harta) untuk kepentingan sesuatu. Menurut literature yang lain infaq
berarti mengeluarkan sebagian harta atau pendapatan untuk satu
kepentingan yang diperintahkan ajaran islam. Dalam infaq tidak mengenal
yang namanya nisab, asnaf, dan subjeknya, artinya orang kafirpun bisa
mengeluarkan infaq yang dialokasikan untuk kepentingan agamanya. Infaq
ini boleh diberikan kepada siapa saja dan berapa saja. Untuk ruang
lingkupnya infaq lebih luas daripada zakat yang mana hanya untuk orang
muslim saja.
 Zakat

Kata zakat berasal dari kata zaka (menumbuhkan), ziadah


(menambah), barakah (memberkatkan), thathir (menyucikan), dan an-
nama (berkembang). Adapun menurut syara’ zakat adalah hak yang telah
ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu dan
pada orang-orang yang tertentu pula dengan catatan harta tersebut adalah
milik penuh seseorang, mencapai hawl, dan nisabnya,3 dalam hal ini zakat
dikenakan kepada harta bukan kepada jiwa (jizyah). Di antara objek zakat
itu adalah: binatang ternak (unta, sapi, kerbau, dan kambing), emas dan
perak, biji-bijian (beras, jagung, dan gandum), buah-buahan (kurma dan
anggur saja), harta perniagaan sama seperti syarat-syarat yang telah
disebutkan dalam zakat emas dan perak, dll).4 Zakat merupakan jaminan
pemerintah terhadap rakyatnya yang miskin, agar hartanya (fakir-miskin)
yang menempel kepada orang kaya bisa mereka gunakan untuk memenuhi
kehidupannya.

 ‘Ushr

‘Ushr oleh kalangan ahli fiqh disebut sepersepuluh yang dalam hal
ini memiliki dua arti. Pertama, sepersepuluh dari lahan pertanian yang

3 Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007).


4 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet.ke 41,
2008), hal. 193.
disirami dengan air hujan. Kedua, sepersepuluh diambil dari pedagang-
pedagang kafir yang memasuki wilayah islam dengan membawa barang
dagangan. ‘Ushr diwajibkan hanya ketika ada hasil yang nyata dari
tanahnya. Tanah yang sudah diwakafkan tetap diperlakukan sebagai tanah
‘ushr jika pemilik sudah menanami tanah tersebut. Yang termasuk
kedalam harta ‘ushr adalah hasil pertanian dan perkebunan (buah, madu,
dll.). Untuk hasil pertanian yang diairi dengan sumber alami (hujan,
sumber air, dan arus) maka ‘ushr porsinya 10%, apabila pengairan tersebut
masih menggunakan ala-alat produksi lain (alat irrigasi, sumur, dll) maka
‘ushrnya adalah 5%, dan untuk pengambilan ‘ushr ini adalah apabila sudah
panen.5

 Fay’i

Fay’i berarti mengembalikan sesuatu. Dalam terminologi hukum


fay’i menunjukkan seluruh harta yang didapat dari musuh tanpa berperang
seperti harta tidak bergerak (tanah) atau merupakan harta yang diperoleh
dari non-muslim secara damai. Dari sudut pandang pajak seluruh tanah
yang berada dibawah kekuasaan orang islam dapat dibagi ke dalam dua
kategori, yaitu tanah ‘ushr dan tanah fay’i. Dalam islam status pajak bagi
pemilik tanah (orang islam) disebut zakat, dan non-muslim pajak atas
tanahnya disebut kharaj. Beberapa pendapatan yang bisa disebut fay’i
adalah jizyah, upeti, bea cukai, denda, kharaj, dan amwal fadila (harta
yang diperoleh karena tidak ada yang memiliki baik karena ditinggalkan
pemiliknya ataupun tanpa ahli waris) yang akan kami jelaskan lebih luas
lagi.6

 Jizyah

Asal kata dari jizyah adalah jaza’ yang berarti kompensasi,


sedangkan menurut istilah adalah beban yang diambil dari penduduk non-
muslim yang berada di negara islam sebagai biaya perlindungan atas
kehidupan atau jiwa, kekayaan, dan kebebasan menjalankan agama
5 (QS. Al-an’am, 6: 141)
6 P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 506.

5
mereka, dll. Jizyah dikenakan kepada orang kafir karena kekafirannya
bukan kepada hartanya. Dalam hal ini para laki-laki yang mampu, orang
kaya, dll. yang hidup dan tinggal dalam lingkungan negara islam. Jizyah
merupakan bentuk daripada ketundukan seseorang kepada kekuasaan
islam, membayar jizyah itu karena orang non-muslim itu bisa menikmati
fasilitas umum bersama orang muslim (kepolisian, pengadilan, dll), dan
ketidak wajiban ikut perang bagi para non-muslim. Akan tetapi ketidak
wajiban ini bukan semata-mata karena mereka sudah membayar jizyah, ini
merupakan keadilan islam yang mutlak karena perang dalam islam sangat
erat hubungannya dengan aqidah (jihad fii sabilillah).7 Untuk tarif atau
jumlah jizyah yang akan diambil berbeda-beda, akan tetapi yang pasti
adalah dengan menggunakan perinsip keadilan.

 Kharaj

Secara harfiah kharaj berarti kontrak, sewa-menyewa atau


menyerahkan. Dalam terminologi keuangan islam kharaj adalah pajak atas
tanah atau hasil tanah. Yang mana diambil dari tanahnya orang non-
muslim yang sudah ditaklukan dan tanah tersebut sudah diambil alih orang
muslim. Dengan keringanan dari orang islam maka non-muslim tersebut
masih bisa menguasai tanahnya untuk bercocok tanam yang hasilnya akan
dibagi 50%-50% antara non-muslim dan orang islam.

Dalam hal ini kharaj dibagi kedalam dua bagian, yaitu: Kharaj yang
dikenakan pada tanah (pajak tetap) artinya pajak tersebut tetap atas
tanahnya selama setahun, dan hasil tanah (pajak proporsional) akan
dikenakan sebagai bagian dari total hasil produksi pertanian. Sama seperti
halnya pendapatan lain maka kharaj juga akan didistribusikan kepada
kepentingan seluruh kaum muslimin.

 ‘Ushr (Bea Cukai)

‘Ushr atau sepersepuluh, dalam hal ini kalangan ulama’ membagi


10% (‘ushr) kedalam dua kategori, yaitu: 10% dari lahan pertanian yang

7 Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 119.
disirami dengan air hujan, 10% diambil dari para pedagang kafir yang
memasuki wilayah islam karena membawa barang dagangan (bea cukai).
Penarikan bea cukai terhadap para pedagang non-muslim ini dikarenakan
sebelumnya orang muslim yang ingin melewati daerah non-muslim dengan
membawa barang dagangan juga dikenakan bea cukai (10%), untuk
menutupi kerugian tersebut maka negara islam juga memperlakukan hal
yang demikian. Dalam pemungutan bea cukai ini dilakukan selama satu
tahun sekali sebesar 10% dan diberlakukan terhadap barang yang nilainya
lebih dari 200 dirham, seperti dalam hadits Ziyad Ibn Judair (yang
merupakan seorang pemungut bea cukai pada Umar Ibn Khattab) Umar
Ibn Khattab menulis surat kepadaku seraya berkata, “janganlah kamu
memungut pajak 10% dari mereka kecuali sekali selama satu tahun, bea
cukai ini juga hanya tertentu pada barang yang nilainya lebih dari 200
dirham”.

 Pajak Tambang Dan Harta Karun

Pajak tambang ini yang hasilnya keras seperti emas, perak, besi,
dll. atau harta karun yang ditemukan di wilayah orang islam, maka
seperlima (1/5) harus diserahkan kepada negara untuk memenuhi keadilan
sosial.
Namun para ulama’ berbeda pendapat tentang pajak dan harta
karun ini. Menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali ini dianggap sebagai
zakat, sedangkan menurut Hanafi adalah sebagai barang rampasan.8
 Waqaf

Wakaf secara harfiyah berarti berhenti, menahan, atau diam.


Dalam hukum islam wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang
tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik
berupa perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa hasilnya
akan dipergunakan sesuai dengan syariat islam. Dalam literatur yang lain
wakaf mempunyai pengertian ‘suatu tindakan penahanan dari penggunaan
dan penyerahan asset di mana seseorang dapat memanfaatkan hasilnya

8 Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 133.

7
untuk tujuan amal sepanjang barang tersebut masih ada’.9

Harta yang sudah diwakafkan keluar dari hak miliknya (wakif),


bukan pula harta tersebut adalah milik lembaga pengelola wakaf, akan
tetapi milik Allah yang harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan
masyarakat.

Dalam sejarah umat islam, masa keemasan perkembangan wakaf


itu terjadi pada abad ke-8 dan ke-9 H. Pada waktu itu aset wakaf meliputi
berbagai aset semacam masjid, mushala, sekolah, tanah pertanian, rumah,
toko, kebun, pabrik, bangunan kantor, gedung pertemuan (ruang sidang),
tempat perniagaan, pasar, tempat pemandian, gudang beras, dll.

Dengan demikian para guru dapat bekerja dengan baik karena


nafkahnya sudah terpenuhi, dan siswa pun dapat belajar dengan tenang
karena tampa memikirkan masalah uang sekolah.

C. KESIMPULAN

Dari uraian sumber-sumber pendapatan dan penerimaan negara di atas dapat


kami konklusikan bahwa dalam sejarah perekonomian umat islam sumber pendapatan
negara sangat bervariatif dan cukup memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap
kelangsungan dan kemajuan suatu pemerintahan (negara), sebut saja ghanimah,
shadaqah, infaq, zakat, ‘ushr, fay’i, jizyah, kharaj, bea cukai, pajak tambang dan harta
karun, amwal fadhila, dan wakaf.10

Meskipun semua sumber pendapatan tersebut sangat berperan terhadap


kemajuan dan berkembangnya islam dari awal-awal islam sampai islam yang sekarang,
akan tetapi seiring dengan berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan justru sumber
pendapatan negara tersebut menuai berbagai perdebatan dan kontroversi antar para
ulama’, karena ada sebagian dari sumber pendapatan negara tersebut yang tidak

9 Mannan, Sertifikat Wakaf Tunai: Sebuah Inovasi Instrument Keuangan Islam, (Jakarta: CIBER dan
PKTTI-UI), hal. 29.
10 P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 515.
berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, melainkan menggunakan ijma’, ijtihad, dll. yang
artinya tidak semua ulama’ akan melaksanakan dan menerimanya.

D. DAFTAR PUSTAKA

Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007).


P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008).
Chapra, Umer, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia
Cendekia, 2000).
Mannan, Sertifikat Wakaf Tunai: Sebuah Inovasi Instrument Keuangan Islam, (Jakarta:
CIBER dan PKTTI-UI)
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
cet.ke 41, 2008)

Anda mungkin juga menyukai