Anda di halaman 1dari 11

SRIWIJAYA

Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Thai: ศรีวช ั atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah salah satu
ิ ย
kerajaan Melayu Tua bersifat maritim yang kuat di pulau Sumatra dan banyak memberi
pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand,
Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam bahasa Sansekerta, sri
berarti "bercahaya" dan wijaya berarti "kemenangan". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan
ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I-tsing, menulis bahwa ia mengunjungi
Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan[3][2][4][5]. Selanjut prasasti yang paling tua
mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang,
bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut
dikarenakan beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa
ditahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Coladewa dari Koromandel, selanjutnya tahun
1183 Sriwijaya dibawah kendali Kerajaan Dharmasraya. Dan di akhir masa, kerajaan ini takluk
di bawah kerajaan Majapahit[8].

Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan sejarawan tidak mengetahui keberadaan
kerajaan ini. Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis
George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient. Sekitar tahun 1992 hingga 1993, Pierre-
Yves Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit
Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra Selatan, Indonesia). Namun
Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak di provinsi Jambi sekarang, yaitu pada
kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi.

Historiografi
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya
yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang
mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès
mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès
menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan
beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.

Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain
Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum
nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum
kolonialisme Belanda.

Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih
atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut
Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu.
Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara
dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang
kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.
Pembentukan dan pertumbuhan
Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan[11]. Kekaisaran Sriwijaya
telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I-tsing.

Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Negara ini tidak
memperluas kekuasaannya diluar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian
berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500, akar
Sriwijaya mulai berkembang di wilayah sekitar Palembang, Sumatera. Kerajaan ini terdiri atas
tiga zona utama - daerah ibukota muara yang berpusatkan Palembang, lembah Sungai Musi yang
berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yang mampu menjadi
pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yang berharga
untuk pedagang Tiongkok Ibukota diperintah secara langsung oleh penguasa, sementara daerah
pendukung tetap diperintah oleh datu setempat.

Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro Jambi, Kerajaan Melayu yang ditaklukkan Sriwijaya.

Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.

Dari Prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa,
Kerajaan Minanga takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Malayu yang kaya
emas telah meningkatkan prestise kerajaan.

Berdasarkan Prasasti Kota Kapur yang yang berangka tahun 682 dan ditemukan di pulau
Bangka, Pada akhir abad ke-7 kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau
Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Jayanasa telah
melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada
Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing
(Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya
tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda,
Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera yaitu Malayu
dan Kedah dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Di akhir abad ke-8
beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan
Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Melayu-Budha Sailendra bermigrasi ke
Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi
bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara
Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua
pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-
candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur
Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut,
Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota
Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya.
Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri
imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan kerajaan di abad yang sama.

Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792
sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan
ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama
masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada
tahun 825.

Di abad ke-9, wilayah kemaharajaan Sriwijaya meliputi Sumatera, Sri Lanka, Semenanjung
Malaya, Jawa Barat, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Filipina. Dengan penguasaan tersebut,
kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang hebat hingga abad ke-13.

Budha Vajrayana
Sebagai pusat pengajaran Budha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari
negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I-tsing, yang melakukan kunjungan ke
Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, serta
di abad ke-11, Atisha, seorang sarjana Budha asal Benggala yang berperan dalam
mengembangkan Budha Vajrayana di Tibet. I-tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah
bagi ribuan sarjana Budha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung
yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan.

Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang
di Sriwijaya.
Relasi dengan kekuatan regional

Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand.

Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, dinyatakan bahwa pada abad ke-9 Sriwijaya telah
melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera,
Jawa, Semenanjung Malaya, Kamboja, dan Vietnam Selatan.Dominasi atas Selat Malaka dan
Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan
perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya
mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar
Tiongkok, dan India.

Minanga merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing Sriwijaya yang akhirnya dapat
ditaklukkan pada abad ke-7. Kerajaan Melayu ini, memiliki pertambangan emas sebagai sumber
ekonomi dan kata Swarnnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini. Dan kemudian
Kedah juga takluk dan menjadi daerah bawahan[13].

Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan
mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota terakhir
kerajaan tersebut, pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya
Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang)
Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.

Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, dan sebuah prasasti
berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputra mendedikasikan seorang biara kepada Universitas
Nalada, Pala. Relasi dengan dinasti Chola di India selatan cukup baik dan kemudian menjadi
buruk setelah Rajendra Coladewa naik tahta dan melakukan penyerangan di abad ke-11.
Masa keemasan

Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di


Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.

Di tahun 902, Sriwijaya mengirimkan upeti ke China. Dua tahun kemudian raja terakhir dinasti
Tang menganugerahkan gelar kepada utusan Sriwijaya. Dari literatur Tiongkok utusan itu
mempunyai nama Arab hal ini memberikan informasi bahwa pada masa-masa itu Sriwijaya
sudah berhubungan dengan Arab yang memungkinkan Sriwijaya sudah masuk pengaruh Islam di
dalam kerajaan.

Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song,
perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya
Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari
perdagangan ini. Pada tahun 903, penulis Muslim Ibnu Batutah sangat terkesan dengan
kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khususnya Bukit
Seguntang), Muara Jambi dan Kedah.

Penurunan
Tahun 1025, Rajendra Coladewa, raja Chola dari Koromandel, India selatan, menaklukkan
Kedah dan merampasnya dari Sriwijaya. Kemudian Kerajaan Chola meneruskan penyerangan
dan berhasil penaklukan Sriwijaya, selama beberapa dekade berikutnya keseluruh imperium
Sriwijaya berada dalam pengaruh Rajendra Coladewa. Meskipun demikian Rajendra Coladewa
tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama
tetap tunduk kepadanya. Setelah invasi tersebut, akhirnya mengakibatkan melemahnya hegemoni
Sriwijaya, dan kemudian beberapa daerah bawahan membentuk kerajaan sendiri, dan kemudian
muncul Kerajaan Dharmasraya, sebagai kekuatan baru dan kemudian mencaplok kawasan
semenanjung malaya dan sumatera termasuk Sriwijaya itu sendiri.
Antara tahun 1079 - 1088, kronik Tionghoa masih mencatat bahwa San-fo-ts'i masih
mengirimkan utusan dari Jambi dan Palembang. Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao
disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 mengirim utusan dimana pada masa itu
Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari
raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan
negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian.
Dan kemudian dilanjutkan dengan pengiriman utusan selanjutnya di tahun 1088.

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[15]yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-
Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat
dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya
memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki
15 daerah bawahan yang meliputi; Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Ling-ya-
si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu
sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai
timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Tan-ma-
ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan
Thailand), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), Sin-t'o (Sunda), Lan-wu-li (Lamuri di
Aceh), and Si-lan (Kamboja)[8][16]

Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan
Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya, dimana pusat pemerintahan dari San-
fo-tsi telah berpindah, jadi, dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar
jajahan kerajaan Dharmasraya yang sebelumnya merupakan daerah bawahan dari Sriwijaya dan
berbalik menguasai Sriwijaya beserta daerah jajahan lainnya.

Pada tahun 1275, Singhasari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, melakukan suatu ekspedisi, dalam
Pararaton disebut semacam ekspansi dan menaklukan bhumi malayu yang dikenal dengan nama
Ekspedisi Pamalayu, yang kemudian Kertanagara raja Singhasari menghadiahkan Arca
Amoghapasa kepada Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa raja Melayu di Dharmasraya
seperti yang tersebut dalam Prasasti Padang Roco. Dan selanjutnya pada tahun 1293, muncul
Majapahit sebagai pengganti Singhasari, dan setelah Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi naik
tahta, memberikan tanggung jawab kepada Adityawarman, seorang peranakan Melayu dan Jawa,
untuk kembali menaklukkan Swarnnabhumi pada tahun 1339. Dan dimasa itu nama Sriwijaya
sudah tidak ada disebut lagi tapi telah diganti dengan nama Palembang hal ini sesuai dengan
Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit.

Dalam Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan juga disebut 'Arya Damar' sebagai bupati
Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada dalam menaklukkan Bali pada tahun 1343,
Prof. C.C. Berg menganggapnya identik dengan Adityawarman. Dan kemudian pada tahun 1347
Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura sesuai dengan manuskrip yang
terdapat pada bagian belakang Arca Amoghapasa. Kemudian dari Kitab Undang-Undang
Tanjung Tanah yang kemungkinan ditulis sebelum pada tahun 1377 juga terdapat kata-kata bumi
palimbang.
Sementara Suma Oriental yang ditulis oleh Tomé Pires antara tahun 1513 dan 1515 juga
menyebutkan bahwa Palembang pada waktu itu telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk
dari Jawa.

Perdagangan
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan
Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat
bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kamper, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga,
gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang
melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh
Asia Tenggara.

Pengaruh budaya
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu dan kemudian
diikuti pula oleh agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Sriwijaya pada tahun 425
Masehi. Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-raja Sriwijaya
menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7
hingga abad ke-9. Sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu dan
kebudayaan Melayu di Nusantara.

Pengaruh Islam
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di
Asia Tenggara, sekaligus sebagai pusat pembelajaran agama Budha, juga ramai dikunjungi
pendatang dari Timur Tengah dan mulai dipengaruhi oleh pedagang dan ulama muslim.
Sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh
menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh
Sriwijaya.

Ada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung
di Sriwijaya, maka raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman masuk Islam pada tahun 718.
Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di
dalamnya terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja
Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Suriah. Bahkan disalah satu naskah surat adalah
ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M) dengan permintaan agar khalifah
sudi mengirimkan da'i ke istana Sriwijaya.

Warisan sejarah
Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan terlupakan dari ingatan
masyarakat Melayu pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès
pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya,
berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit,
tumbuh, dan berjaya di masa lalu.

Berdasarkan Hikayat Melayu, pendiri Kesultanan Malaka mengaku sebagai pangeran


Palembang, keturunan keluarga bangsawan Palembang dari trah Sriwijaya. Hal ini menunjukkan
bahwa pada abad ke-15 keagungan, gengsi dan prestise Sriwijaya tetap dihormati dan dijadikan
sebagai sumber legitimasi politik bagi penguasa di kawasan ini.

Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber
kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi
sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang,
provinsi Sumatera Selatan, dan segenap bangsa Melayu. Bagi penduduk Palembang, keluhuran
Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending
Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat Thailand Selatan yang menciptakan
kembali tarian Sevichai (Sriwijaya) yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.

Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai
kota, dan nama ini telah melekat dengan kota Palembang dan Sumatera Selatan. Universitas
Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang dinamakan berdasarkan kedatuan Sriwijaya.
Demikian pula Kodam Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan
Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV,
Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club
(Klab sepak bola Palembang), semua dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan
merayakan kegemilangan kemaharajaan Sriwijaya.

Raja yang memerintah


Para Maharaja Sriwijaya[2][8]

Prasasti, catatan pengiriman


Tahun Nama Raja Ibukota utusan ke Tiongkok serta
peristiwa

Catatan perjalanan I-tsing di


tahun 671-685
671 Dapunta Hyang Sri Jayanasa Srivijaya
Prasasti Kedukan Bukit (683),
Talang Tuo (684), dan Kota
Kapur Penaklukan Malayu,
penaklukan Jawa
702 Sri Indravarman Srivijaya Utusan ke Tiongkok 702-716,
724
Che-li-to-le-pa-mo Shih-li-fo-
Utusan ke Khalifah Muawiyah I
shih dan Khalifah Umar bin Abdul
Aziz
Srivijaya
Rudra Vikraman
728 Utusan ke Tiongkok 728-742
Shih-li-fo-
Lieou-t'eng-wei-kong
shih
743-
Tidak ada berita pada periode ini
760
Pindah ke Wangsa Sailendra mengantikan
Jawa Wangsa Sanjaya
Maharaja Wisnu
Prasasti Ligor A, menaklukkan
760 Jawa
Kamboja.
Dharmmatunggadewa
Dharanindra
775 Jawa Prasasti Candi Kalasan 778
Sanggramadhananjaya
782 Samaragrawira Jawa Prasasti Nalanda
Prasasti Karang Tengah, tahun
824.
792 Samaratungga Jawa
825 menyelesaikan
pembangunan candi Borobudur
Kebangkitan Wangsa Sanjaya,
Rakai Pikatan
Kehilangan kekuasaan di Jawa,
dan kembali ke Srivijaya
835 Balaputradewa Srivijaya
Prasasti Nalanda (860)
860-
Tidak ada berita pada periode ini
960
Sri Udayadityavarman Srivijaya
960 Utusan ke Tiongkok 960, & 962
Se-li-hou-ta-hia-li-tan San-fo-ts'i
Srivijaya
980 Hie-tche (Haji) Utusan ke Tiongkok 980 & 983
San-fo-ts'i
988 Sri Cudamanivarmadeva Srivijaya Utusan ke Tiongkok 988-992-
1003
Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian- San-fo-ts'i
hwa 990 Jawa menyerang Srivijaya,
pembangunan kuil untuk Kaisar
China, Prasasti Tanjore atau
Prasasti Leiden (1044),
pemberian anugrah desa oleh
raja-raja I
Sri Maravijayottungga Srivijaya
1008 Utusan ke Tiongkok 1008
Se-li-ma-la-pi San-fo-ts'i
Srivijaya
1017 Sumatrabhumi Utusan ke Tiongkok 1017
San-fo-ts'i
Diserang oleh Rajendra
Srivijaya Coladewa
1025 Sangramavijayottungga
San-fo-ts'i Prasasti Chola pada candi
Rajaraja, Tanjore
Dibawah Dinasti Rajendra
1028
Coladewa dari Koromandel
Utusan ke Tionkok 1079
Rajendra Dewa Kulottungga Palembang
1079
Memperbaiki candi Tien Ching
Ti-hua-ka-lo Pa-lin-fong
di Kuang Cho (dekat Kanton)
Palembang
1100 Rajendra II
Pa-lin-fong
Palembang
1156 Rajendra III Piagam Larger Leyden Plates
Pa-lin-fong
Dibawah Dinasti Mauli,
1183
Kerajaan Melayu
1183- Srimat Trailokyaraja Prasasti Grahi tahun 1183 di
Dharmasraya
1286 Maulibhusana Warmadewa selatan Thailand
1286- Srimat Tribhuwanaraja Mauli Prasasti Padang Roco tahun
Dharmasraya
1293 Warmadewa 1286 di Siguntur
1293-
Tidak ada berita pada periode ini
1339
1339 Palembang Dibawah Dinasti Majapahit
Srīmat Srī Udayādityawarma
1347 Pratāpaparākrama Rājendra Malayapura Kembali dibawah Dinasti Mauli
Maulimāli Warmadewa
Penaklukan kembali oleh
Majapahit, sebagian dari
1409
bangsawannya pindah ke
Tumasik atau Malaka

Anda mungkin juga menyukai