Anda di halaman 1dari 6

Menguak Misteri Gempa Di Pulau Jawa

Dua tahun lalu gempa hebat mengguncang Yogyakarta sekitarnya.


Kalangan peneliti gempa bumi seakan tersadar untuk mewaspadai
patahan di wilayah Jawa. Masalahnya, tidak banyak dokumentasi yang
dimiliki mereka mengenai karateristik gempa masa lalu di wilayah ini.
Bagaimana menguak tabir riwayat gempa di pulau Jawa?
-----

Belum lepas dari ingatan


kita, Mei 2005 Yogyakarta
diguncang gempa, hanya
selang setahun setelah
gempa dan tsunami
melanda wilayah Aceh
sekitarnya. Puluhan jiwa
melayang, dan ratusan
rumah hancur diguncang
gempa berkekuatan 5,9
skala richter di wilayah
Bantul, Klaten, dan
wilayah lain sekitar
Yogyakarta. Pihak Badan
Meteorologi dan Geofisika, instansi yang bertanggung jawab terhadap
informasi awal gempa, menyebutkan pusat gempa terjadi di 9,77
Lintang Selatan dan 110,71 Bujur Timur berjarak sekitar 220 kilometer
sebelah selatan Yogyakarta dengan kedalaman 33 kilometer di dalam
tanah.

Peristiwa tersebut menghentak banyak pihak, termasuk kalangan ahli


gempa bumi. Bagaimana tidak, kendati 'dihuni' rangkaian gunung
berapi, namun dalam beberapa tahun sebelumnya di wilayah Jawa
termasuk 'jarang' terjadi gempa bumi. Terlebih, sumber gempa kali ini
berasal dari wilayah darat, yang umumnya memiliki magnitude rendah
(dibawah 5 skala richter) .

Namun, setelah peristiwa di Yogya, para peneliti gempa mulai


menyadari agar tidak menganggap remeh gempa yang bersumber di
darat sekalipun. Bahkan, pada tahun yang sama juga terjadi gempa dan
tsunami di wilayah Pangandaraan, Jawa Barat. Meski gempa kali ini
bersumber di laut, namun tetap terjadi di wilayah pulau Jawa.

Riwayat gempa di Jawa pun mulai dikuak para peneliti. Namun,


beberapa tahun sebelumnya sejak 2000, Indonesia sebenarnya sudah
terlibat dalam kerjasama riset kelautan antara Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) dan JAMSTEC dalam Deep Sea Research
Survey (submersible Shinkai 6500) Java Trench menggunakan kapal R/V
Yokosuka, Jepang. Penelitian difokuskan mengenai palung Sunda (Java
Trench). Pada tahun kedua penelitian (2002) palung Sunda ini, salah
seorang peneliti BPPT yang terlibat dalam proyek tersebut, Dr Ir Yusuf S.
Djajadihardja, Msc justru telah memprediksikan gempa di wilayah
Pangandaraan, Ciamis. Saat itu, Iyung, panggilan akrab Yusuf S.
Djajadihardja, mendapat kesempatan sebagai peneliti geologi kelautan
Indonesia pertama yang menyelam sampai kedalaman 2102 meter di
bawah permukaan laut, menggunakan Submersible SHINKAI 6500. Meski
sempat mengundang kontroversi saat itu, laporan Iyung tidak
diantisipasi lebih jauh.

Dalam literatur disebutkan, pulau Jawa merupakan bagian dari suatu


busur kepulauan yang dikenal sebagai busur Sunda (Sunda Arc) yang
terletak di tepi Asia Tenggara dan terbentang mulai dari kepulauan
Andaman-Nicobar di barat sampai busur Banda (Timor) di timur. Busur
Sunda merupakan busur kepulauan hasil dari interaksi lempeng
samudera (disini lempeng India-Australia yang bergerak ke utara
dengan kecepatan 7 cm pertahun) yang menunjam di bawah lempeng
benua (Lempeng Eurasia). Penunjaman lempeng terjadi di selatan busur
Sunda berupa palung (trench) yang dikenal sebagai palung Jawa.
Disamping itu, penunjaman lempeng juga menghasilkan sepasang busur
volkanik dan non-volkanik. Busur volkanik terdiri dari rangkaian gunung
berapi yang menjadi tulang punggung pulau-pulau busur Sunda,
sedangkan busur nonvolkanik merupakan rangkaian pulau-pulau yang
terletak di sisi samudera busur volkaniknya.

Rangkaian pulau seperti Siberut, Simeleu, Nias di barat Sumatra


merupakan bagian busur non-volkanik yang muncul ke permukaan laut,
sedangkan di selatan Jawa busur ini berada di bawah laut. Busur non-
volkanik disusun material-material yang berasal dari daratan, laut
dangkal, laut dalam dan kepingan lantai samudera yang terseret,
tergencet dan tercampur secara tektonik ketika lempeng samudera
menunjam ke palung. Himpunan batuan yang campur aduk di dalam
palung ini, yang disebut melange, membentuk prisma akresi (accretion
prism) di sisi dalam palungnya.

Panjang palung Jawa, tercatat sekitar 5600 km, terentang mulai dari
kepulauan Andaman-Nicobar di barat sampai ke Sumba di Timur,
memiliki corak yang beragam. Hal ini disebabkan oleh arah penunjaman
dan kecepatan lempeng tidak seragam. Arah penunjaman yang hampir
tegak lurus di bagian pulau Jawa ke arah timur menghasilkan ragam
penunjaman lempeng yang lebih sederhana dibandingkan di bagian
Sumatra yang membentuk cesar mendatar (sesar Semangko), karena
arah penunjaman lempengnya miring dan bahkan hampir sejajar di
bagian kepulauan Andaman.

Disisi lain, selat Sunda, yang memisahkan Sumatra dan Jawa,


merupakan batas geodinamik dan terdapat perubahan sudut
penunjaman yang menyolok antara bagian timur dan baratnya.
Disebelah barat selat Sunda, aktifitas gempa umumnya tidak melebihi
kedalaman 200 km sedangkan di sebelah timurnya kedalaman aktifitas
gempanya meningkat mendekati 350-500 km. Unsur geodinamik lain
yang dapat mempengaruhi dinamika palung adalah kondisi morfologi
permukaan lempeng samuderanya. Permukaan lantai samudera bisa
relatif halus atau kasar karena adanya tonjolan-tonjolan yang terdiri dari
gunung-gunung bawah laut (seamount), pematang tengah samudera,
dan plato basalt. Dengan demikian menjadi tidak terhindarkan lagi
penunjaman lempeng samudera membawa juga seamount atau bentuk
morfologi bawah-laut lainnya ke dalam palung.

Dalam hal ini, Iyung juga menguraikan data yang sama. Menurut dia, di
Indonesia bagian barat dan tengah, daerah pertemuan tabrakan
lempeng samudera Indo-Australia dengan lempeng benua Asia (Sumatra
dan Jawa) disebut sebagai daerah Zona Subduksi atau lebih dikenal
sebagai daerah Palung Sunda (Java Trench) yang memanjang kurang
lebih 5500 km mulai dari perairan barat Aceh sampai perairan selatan
Nusa Tenggara Barat. Menurut dia, daerah ini dikenal sebagai daerah
Prisma Akresi (Accretionary Prism) atau daerah dimana batuan sedimen
yang diendapkan di sekitar Palung telah mengalami pengangkatan
karena tertekan oleh pergerakan lempeng samudera Indo-Australia yang
tersubduksi ke bawah Pulau Jawa dan Sumatra.

Menurut Iyung, gempa bumi tektonik umumnya terjadi di daerah zona


subduksi atau di daerah pertemuan antara lempeng samudera dan
benua, atau benua dan benua seperti halnya gempa di Indonesia Bagian
Timur, Lempeng Benua Australia bertabrakan dengan lempeng Benua
Asia. ''Saat lempeng samudera tersubduksi, batuan sedimen yang
diendapkan di daerah palung tertekan, terpatahkan dan terangkat,''
ujarnya. Pada beberapa tempat, lanjut dia, daerah yang terangkat bisa
muncul ke permukaan laut sebagai busur kepulauan. Contohnya saja,
busur kepulauan yang terdapat di perairan barat Sumatera yang
terdistribusi mulai dari Pulau Simeulue sampai ke Pulau Enggano. Proses
subduksi ini, kata Iyung akan terus berlangsung dan terus menekan
daerah prisma akresi, sehingga mengakibatkan terakumulasinya energi
tekanan di daerah ini, terutama terkumpul pada bidang batas antara
lempeng samudera tersubduksi dengan batuan dasar prisma akresi jauh
di kedalaman bawah permukaan bumi. ''Daerah ini sering disebut
sebagai daerah Seismogenic Zone. Apabila batuan sediment yang
tertekan sudah tidak kuat lagi menahan energi, maka energi tersebut
akan dilepaskan. Pelepasan energi oleh batuan tersebut disebut sebagai
gempa bumi tektonik yang menggetarkan batuan di daerah
sekelilingnya merambat ke segala arah di dalam lapisan bumi sebagai
getaran gempa bumi. Getaran ini sampai ke permukaan bumi baik di
darat maupun ke permukaan dasar laut berupa gerakan horizontal
maupun vertikal yang akan merusak infrastruktur yang ada di
permukaan tanah. Saat energi ini dilepaskan, umumnya struktur batuan
di dalam bumi akan terdeformasi dan biasanya diikuti pembentukan
patahan,'' ujarnya.

Patahan tersebut, kata Iyung, bisa berupa patahan naik (thrust fault)
atau patahan normal (normal fault), maupun patahan geser (strike slip
fault). Sebagai contoh pada saat terjadi gempa-tsunami dahsyat di Aceh
pada tanggal 26 Desember 2004, di bawah daerah prisma akresi Aceh
telah terbentuk patahan naik sepanjang kurang lebih 200 – 250 km atau
disebut juga sebagai megathrust fault.

Danny Hilman, peneliti senior gempa dan tsunami LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia), malah lebih memfokuskan patahan di wilayah
Barat. Menurut dia, wilayah Jawa berpeluang terjadi gempa hingga 7
skala richter. ''Cara menentukan dengan mengukur panjang jalur gempa
sendiri. Jika lebih dari 40 km, artinya berpotensi mencapai 7 skala
richter,'' ujarnya.

Disebutkan, di wilayah Jawa terdapat patahan Cimandiri mulai dari


Pelabuhan Ratu (Sukabumi) hingga Lembang (Bandung), ke arah timur
yang mencapai panjang sekitar 102 km.

Selain itu, patahan di sekitar Semarang, juga termasuk patahan aktif


sepanjang 20-30 km ke Timur. Sedangkan, mulai wilayah Cirebon
menuju Jakarta terdapat patahan Baribis. ''Patahan ini mulai dari Cilacap
hingga Utara, melewati Kuningan, Majalengka kemudian Jakarta. Namun
saya tidak bisa mendeteksi jalur di Jakarta, karena tertutup endapan
muda sungai yang menutup jalur gempa. Jika dilihat dari atas (satelit-
red) tidak kelihatan,'' ujarnya.

Sementara di wilayah Jawa Tengah terdapat patahan hingga ke Porong,


Sidoarjo, Jawa Timur. Sedangkan, patahan Opak yang menimbulkan
gempa di Yogya beberapa waktu lalu terdeteksi sepanjang 20 km.
''Namun, saya belum pasti, karena datanya sangat kurang untuk
memastikan panjang patahannya. Gempa di Yogya sebenarnya masih
kecil yaitu dibawah skala richter, dan biasanya ditimbulkan patahan
hanya sepanjang 12 km,'' ujarnya.

Patahan juga terlihat di wilayah Bali. ''Jika diperhatikan di Nusa Dua Bali,
horison di sana terlihat melengkung sebenarnya menunjukkan lipatan
aktif yang dihubungkan dengan sumber gempa di bawahnya,'' ujar
Danny.

Namun demikian, lanjut dia, studi mengenai gempa tidak sekedar


mengukur panjang patahan, tapi juga harus disertai penelitian seberapa
sering gempa terjadi di wilayah tersebut. ''Yang terpenting pernah tidak
terjadi gempa dimasa lalu hingga mencapai 7 skala richter,'' ujarnya.

Danny dan kelompok peneliti LIPI lainya mencoba menguak misteri


gempa melalui metoda geologi (paleoseismik, paleogeodesi), seismik,
dan geodesi (GPS). Metode paleoseismik dan paleogeodesi dapat
menguak sejarah siklus gempabumi di suatu wilayah selama ratusan
bahkan ribuan tahun, sehingga dapat diketahui siklus suatu sumber
gempa bumi besar. Sedangkan, data seismik dapat diketahui seismic
gap, yaitu wilayah yang 'sepi gempa' dalam waktu cukup lama tetapi
mengakumulasi energi regangan sangat besar sehingga mampu terjadi
gempa. Sementara data GPS (Global Positioning System) memberikan
indikasi langsung suatu zona patahan terkunci (locked zone) berpotensi
seismik atau tidak. ''Palaesesmologi bukan hanya mempelajari
gempaan purba, namun juga tsunami purba, karena di Sumatera punya
banyak catatan sejarah yang cukup banyak (jaman Belanda).
Sedangkan di Jawa, sedikit sekali catatan tersebut,'' ujarnya. Bahkan
secara khusus, LIPI menjalin kerjasama dengan Japan Society For the
Promotion on Science (JSPS) untuk penelitian khusus mengenai patahan
Sunda dalam program Japan-Indonesia Reaseach on Natural Disaster.

Jika saja, penelitian tersebut membuahkan hasil, diharapkan para


pemangku kebijakan bisa segera mengantisipasi lebih lanjut guna
meminimalisir dampak dikemudian hari. Sepertihalnya yang dikatakan
Danny Hilman,'' Ini hasil riset, bukan ramalan.''

Terlebih, ancaman gempa tidak hanya Sumatera dan Jawa, namun juga
mengancam wilayah Indonesia bagian timur. Menurut Iyung, di wilayah
tersebut struktur geologi lebih komplek, karena merupakan daerah
Triple Junction, yaitu tiga lempeng utama yaitu lempeng benua Eurasia,
lempeng benua Australia dan lempeng samudera Pasifik bertemu dan
bertabrakan.

Persoalannya, kondisinya saat ini, lempeng samudera Pasifik bergerak


ke arah barat, lempeng benua Australia bergerak ke arah utara,
sedangkan lempeng Eurasia (Indonesia bagian timur) merupakan daerah
yang terjepit oleh pergerakan kedua lampeng yaitu lempeng benua
Australia dan Ke arah ujung timur palung Jawa, di bagian Sumba dan
Timor. ''Sistem tektonik lebih kompleks berkembang disini dimana yang
terjadi bukan lagi penunjaman melainkan tumbukan (collision) antara
busur Banda dengan tepi barat laut kontinen Australia,'' ujarnya.
Dimensi prisma akresi serta kedalaman palung, kata Iyung juga
beragam dari barat ke timur seiring dengan berkurangnya ketebalan
sedimen pada lempeng samudera yang menunjam lempeng samudera
Pasifik. Benua Australia pun mulai bertabrakan dengan kepulauan
Indonesia bagian timur atau dengan busur kepulauan Banda terjadi
pada jaman Pliocene kurang lebih 5 juta tahun yang lalu. Batas
pertemuan lempeng Benua Australia dan busur kepulauan Banda
disebut sebagai Timor Trough, berputar di laut Banda menjadi Aru
Trough dan Seram Trough. '' Akibat dari pergerakan lempeng-lempeng
tersebut, menjadikan daerah Indonesia Bagian Timur merupakan daerah
yang juga rawan terhadap terjadinya gempa bumi tektonik dan
tsunami,'' ujarnya.

Masalahnya, kendati hingga kini belum ada teknologi yang mampu


menebak kapan waktu tepat terjadinya gempa, bukankah sudah
seharusnya masyarakat dan pemerintah mencerna dan menindaklanjuti
hasil-hasil penelitian tersebut.* (Lea/berbagai sumber)

Anda mungkin juga menyukai