Ada yang masih ingat ada apa di balik tanggal 28 Oktober?
Tentu saja bukan hari ulang tahun saya, tapi
sebuah peristiwa bersejarah yang disebut sebagai ‘Sumpah Pemuda’. Ini adalah sebuah ikrar yang dikumandangkan oleh para pendahulu kita (tentu saja waktu itu mereka masih muda usianya) yang menegaskan tentang keinginan mereka untuk bersatu di bawah nama Indonesia. Namun di sini saya tak bermaksud mengulas lebih jauh tentang Sumpah Pemuda itu sekarang (bagaimanapun nilai sejarah saya waktu SMP dan SMA hanya pas-pasan), tapi apa yang saya akan coba bagi sedikit dengan rekan-rekan semua setidaknya berkaitan dengan jiwa dari Sumpah Pemuda itu sendiri. Sebagai awalan, ada yang masih ingat isi Sumpah Pemuda poin ketiga? Atau setidaknya inti dari poin ketiga itu tadi? Tidak boleh buka Google lho ya. Bahasa. Ya, Sumpah Pemuda menjadi penegasan posisi Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bagi kita, Bangsa Indonesia. Penegasan ini penting, mengingat wilayah Indonesia yang amat luas ini dihuni oleh berbagai macam suku yang kebanyakan memiliki bahasa daerahnya sendiri-sendiri. Bisa kita bayangkan bagaimana sulitnya kita berkomunikasi jika tidak ada Bahasa Indonesia. Pasti akan sulit sekali untuk menguasai ratusan bahasa daerah demi untuk sekedar bertukar informasi. Namun kini, ada beberapa fakta soal Bahasa Indonesia kita yang saya rasakan beberapa waktu belakangan. Fakta-fakta yang menurut saya menggelisahkan ini bila tidak kita sadari sejak dini dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi perkembangan Bahasa Indonesia selanjutnya. Beberapa fakta tentang Bahasa Indonesia sekarang ini: 1. Menjadi momok bagi para pelajar dalam Ujian Akhir Nasional (UAN). Sulit dipercaya, namun inilah kenyataannya. Beberapa tahun belakangan, nilai UAN (terutama SMA) untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia menjadi penghalang para siswa untuk bisa lulus UAN. Terlepas dari kontroversi yang selalu menyertai penyelengaraan UAN hingga kini, namun fakta ini tentunya menjadi amat ironis. Nilai Bahasa Inggris boleh tinggi, tapi nilai Bahasa Indonesia jeblok . Padahal para siswa yang ujian tersebut adalah orang-orang Indonesia asli yang dapat dibuktikan karena memiliki Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia (lho?). 2. Kalah pamor oleh bahasa asing lainnya, terutama Bahasa Inggris. Ada dua hal yang membuat Bahasa Indonesia menjadi kalah pamor dibandingkan dengan bahasa asing: a. Pola pikir dan kondisi sekitar kita. Selama ini kita selalu diajarkan bahwa Bahasa Inggris adalah Bahasa Dunia. Menguasai Bahasa Inggris berarti memiliki banyak keuntungan di masa depan, karena dianggap memiliki nilai tambah yang membuat orang tersebut berbeda dari orang lainnya. Sebab itulah, kini banyak orang tua yang memberikan pendidikan Bahasa Inggris sedini mungkin kepada anak-anaknya. Bahkan kalau perlu sejak bayinya mulai belajar bicara pun sudah diajari Bahasa Inggris. Sampai begitu bangganya para orang tua kalau anak-anak kecilnya sudah mahir cas-cis-cus berbahasa asing, padahal mereka hidup sehari-hari dan mencari sesuap nasi di Indonesia (!). Banyak juga kita temui sekarang bagaimana orang-orang mencampur aduk Bahasa Indonesia dengan kata atau frasa asing. Mungkin tujuannya agar terdengar keren atau apalah istilahnya, namun saya akui memang ada beberapa kata-kata dalam bahasa asing (Inggris) yang sulit dicari padanan katanya bila digunakan dalam bahasa Indonesia. Tapi setidaknya kalau kita harus mencampur kata/kalimat/frasa juga hendaknya bisa mengusahakan penggunaan yang tepat. Contoh yang paling sering saya temui adalah (biasanya yang mengucapkan seperti ini adalah artis-artis baru yang diwawancarai oleh infotainment): ‘Saya terjun dalam dunia ini karena saya ingin meng- entertainment orang banyak’. Ada yang bisa menjelaskan mengapa kalimat tersebut (terutama penggunaan istilah asingnya) menjadi janggal? Belum lagi sistem-sistem lain di sekeliling kita yang menempatkan kemampuan Bahasa Inggris sebagai salah satu syarat wajibnya. Kewajiban bagi calon pegawai negeri sipil (CPNS) beberapa waktu belakangan ini untuk memiliki nilai TOEFL minimal 450 (kalau tidak salah) adalah salah satunya. Saya belum paham relevansi keharusan memiliki skor TOEFL bagi CPNS, mengingat sebagian besar ranah pekerjaan mereka dibidang pelayanan masyarakat, dan objek pelayanannya pasti orang-orang Indonesia yang berbahasa Indonesia juga. Lain soal kalau kita mendaftar CPNS untuk pekerjaan yang memang membutuhkan kemampuan Bahasa Inggris yang bagus, seperti dosen, peneliti dan lain sebagainya. b. Penggunaan dalam ranah akademis Hal ini terutama terjadi pada perguruan tinggi. Biasanya mahasiswa diwajibkan untuk mempelajari materi-materi dari buku teks yang sebagian besar berbahasa asing. Memang hal ini bagus untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap materi kuliah dan sekaligus meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris mahasiswa. Namun yang perlu kita sadari bersama adalah tidak semua mahasiswa (yang bagus Bahasa Inggrisnya sekalipun) punya kemampuan yang bagus untuk memahami materi dalam buku teks. Jangankan memahami materi dalam Bahasa Inggris, memahami materi dalam Bahasa Indonesia saja terkadang harus memeras otak terlebih dahulu. Mengapa kita tidak meniru Jepang dan Tiongkok yang begitu bangga dengan bahasanya sendiri, hingga jarang sekali terdapat buku teks berbahasa asing di Perguruan tinggi mereka, karena kebanyakan sudah diterjemahkan dalam bahasa mereka sendiri. Toh, kita juga sama-sama mengetahui bagaimana hebatnya kedua negara itu dalam hal penemuan dan penerapan sains serta teknologi terbaru. Sebenarnya, kita pun sudah memiliki buku-buku teks yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Hanya saja biasanya buku-buku yang diterjemahkan tersebut bukanlah edisi (terbitan) terbaru, namun edisi-edisi sebelumnya. Sehingga materi dalam buku-buku tersebut bisa dikatakan kurang aktual. Sedangkan di Jepang dan Tiongkok, buku-buku edisi terbaru harus diterjemahkan dahulu sebelum bisa masuk ke negara mereka. 3. Banyaknya kejanggalan dan salah kaprah Belum lagi penggunaan Bahasa Indonesia harian yang kacau dan beberapa malah salah kaprah oleh masyarakat di sekitar kita, terutama dalam bahasa lisan. Ada yang tahu maknanya ‘membersamai’? Ini adalah salah satu contoh kata yang sering saya temui (dan pernah juga saya pakai) waktu masih awal- awal kuliah dulu. Waktu pertama kali mendengarnya, kata ini membuat saya bingung karena terdengar agak janggal. Sepemahaman saya, yang dimaksud dengan kata itu adalah ‘menyertai’. Namun karena kata itu sepertinya menjadi lazim digunakan saat itu (mungkin sampai sekarang juga), jadilah saya menerima kata yang baru itu tadi. Tapi, bagaimana jadinya kalau saya ganti kata ‘membersamai’ tadi dengan ‘membesertai’? Toh maksudnya juga sama-sama ‘menyertai’… 4. Perkembangan Bahasa Indonesia itu sendiri Bahasa memang selalu berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Kita tentu ingat bagaimana Bahasa Indonesia punya ejaan lama (yang menurut saya unik) hingga menjadi seperti sekarang ini. Begitu pula dengan istilah-istilah baru (biasanya serapan bahasa asing) yang bermunculan dan menggantikan istilah-istilah lawas.Seiring dengan itu, setiap bahasa juga memiliki bahasa pergaulannya (slang) sendiri-sendiri, begitu halnya dengan Bahasa Indonesia. Bahasa Gaul, begitu istilah populernya. Saking populernya, Bahasa Gaul ini bahkan perlu dibuatkan kamus sendiri. Begitu pula dengan ditemukannya teknologi pesan singkat (SMS) lewat ponsel yang kini telah mempopulerkan Bahasa SMS. Namun, menurut saya perkembangan Bahasa SMS ini (terutama di kalangan ABG) telah melahirkan istilah-istilah yang cukup sulit dimengerti dan tak jarang membuat orang harus menyatukan alis terlebih dahulu untuk memikirkan apa maksud istilah tersebut. Bahasa SMS (yang aneh-aneh) ini lalu tak jarang dinisbatkan orang sebagai ‘Bahasa Alay’. ‘Alay’ sendiri berasal dari singkatan ‘Anak Layangan’ yang dikonotasikan sebagai segala sesuatu yang kampungan, norak dan segala predikat lainnya yang serupa dengan itu. Perkembangan kedua bahasa yang terakhir ini cukup pesat sehingga banyak bermunculan istilah baru yang mungkin akan membuat J.S Badudu hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya. Sebagai contoh, bolehlah rekan-rekan bandingkan (dan artikan) kata-kata berikut ini: ‘berkelindan’, ‘stagnasi’, ‘akika’ dan ‘sK1d p3yyuT’. Terlepas dari itu semua, saya harus akui bahwa belajar bahasa (secara umum) memang gampang-gampang susah. Belajar bahasa selain membutuhkan usaha juga bakat. Saya banyak menemukan orang yang mudah sekali menguasai bermacam bahasa, namun tak sedikit juga yang sebaliknya. Ada juga mengatakan kalau berbahasa itu selain harus menggunakan ‘logika bahasa’ juga memerlukan apa yang disebut sebagai ‘nilai rasa bahasa’. Logika bahasa biasanya lebih banyak digunakan dalam bahasa tulis. Bagaimana kita menyusun kalimat untuk yang baik dalam sebuah laporan penelitian (misalnya), pasti akan memerlukan logika bahsa yang baik. Sedangkan nilai rasa bahasa berkaitan dengan kepekaan kita dalam berbahasa (lisan atau tulis) terutama untuk memilih kata maupun kalimat yang tepat. Tujuannya adalah agar kita dapat menyesuaikan penggunaan kata atau kalimat tersebut, sesuai dengan konteks dan situasinya. Bagaimana mengolah kalimat untuk berbicara di warung wedangan pasti berbeda dengan jika kita bertemu presiden, misalnya. Ah sudahlah, rasanya saya harus cukupkan dulu sedikit tulisan tentang Bahasa Indonesia ini. Lagipula saya tak punya cukup dasar ilmu yang baik tentang sastra dan bahasa. Toh intinya sejak awal saya hanya ingin memberikan beberapa fakta yang saya rasakan menggejala soal bahasa nasional kita ini belakangan. Semoga momentum Sumpah Pemuda yang ke 82 ini dapat membuat kita lebih bangga terhadap Bahasa Indonesia dan ikut andil dalam upaya mempertahankan keberadaannya di rumah sendiri.