Anda di halaman 1dari 45

Ffffffffffffffffffffffffffffff

Jjjj................................................................................................................................

... .

1
BAB II

LANDASAN TEORI

Kegiatan belajar Bahasa Inggris di sekolah membutuhkan perhatian

yang serius baik oleh siswa maupun orang tua siswa. Hasil belajar bahasa

Inggris siswa akan sangat berhubungan dengan keterlibatan orang tua

dalam memberikan motivasi dalam kegiatan belajar Bahasa Inggris anak-

anaknya. Pengetahuan dan pemahaman orang tua akan pentingnya

motivasi juga berhubungan erat dengan tingkat pendidikan orang tua

setiap siswa. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua siswa maka ada

kecenderungan akan semakin tinggi pula hasil belajar siswa, dalam hal ini

hasil belajar bahasa Inggris siswa. Hal ini dikarenakan pengetahuan yang

lebih yang diperoleh melalui suatu proses belajar yang lebih lama dan

lebih tinggi, selain itu orang tua yang berpendidikan tinggi akan

cenderung lebih mempunyai perhatian yang lebih terhadap pendidikan

dibandingkan dengan orang tua yang berpendidikan menengah atau

rendah. Selain itu orang tua yang berpendidikan tinggi akan cenderung

lebih mempunyai perhatian yang lebih terhadap pendidikan

Pemahaman dan pengetahuan tentang motivasi belajar kepada anak akan

sangat berhubungan dengan hasil belajar bahasa Inggrisnya di sekolah

sehingga hasil belajar anak menjadi sesuai dengan yang diharapkan, baik

2
oleh pihak orang tua maupun pihak sekolah. Oleh karena itu, Penulis

melakukan penelitian terhadap siswa SMK Jakarta Raya 1 dan data latar

belakang pendidikan masing-masing orang tua siswa dengan hasil belajar

bahasa Inggris.

1. Hakikat Motivasi

Manusia sebagai makhluk sosial menggunakan bahasa sebagai sebagai

alat komunikasi dalam berinteraksi dengan sesamanya. Bahasa berperan

sebagai penghubung antarmanusia. Dalam berkomunikasi bahasa

digunakan untuk menyampaikan ide, pendapat, keinginan, dan lain-lain.

Dalam berkomunikasi pula manusia menyampaikan berbagai hal tersebut

dengan dipengaruhi berbagai situasi dan kondisi pribadi dan

lingkungannya. Bahasalah yang membedakan manusia dengan makhluk

lain di alam ini. Melalui bahasa pula komunikasi digunakan bukan hanya

dengan percakapan atau tulisan tetapi dapat divariasikan dengan

menggunakan nyanyian, puisi, atau musik.

Hal ini sesuai dengan pendapat Evison (1987:207), ”Language is

human communication of knowledge, ideas, etc, using a system of sound

symbol”. Bahasa yang digunakan manusia adalah simbol atau lambang-

lambang suara yang dihasilkan melalui alat ucap (organ of speech) yang

digunakan untuk berkomunikasi kepada manusia lain. Sebagai makhluk

yang berbudi yang pekerti dan berpikir, manusia mempunyai hasrat dan

3
keinginan untuk meningkatkan kehidupannya. Manusia menggunakan

bahasa sebagai alat untuk menyampaikan dan mengajarkan segala hal

yang berhubungan dengan ilmu, ide-ide, dan lainnya sebagai bagian dari

kebutuhan dasar manusia.

Bahasa mempunyai banyak fungsi di dalam penggunaannya. Bahasa

menjadi salah satu alat atau medium yang digunakan manusia sebagai

bagian dari kebutuhannya.

Menurut Kunen (1997), ”Language is a tool for doing things in the

world, for reproducing as much as changing reality. From perpective,

language is the most important tool because it has both semiotic and

communicative characterisric. If culture is a product of human

interaction, then cultural manifestations are acts of communication that

assume and build particular speech communities”.

Bahasa merupakan alat yang yang digunakan manusia untuk melakukan

sesuatu di dalam kegiatannya, yaitu melakukan sesuatu untuk

memperbaiki hal-hal yang tidak atau kurang sesuai di dalam aktifitasnya.

Dari suatu sudut pandang, bahasa menjadi sebuah alat yang sangat

berperan penting dalam suatu interaksi di antara manusia, hal ini

dikarenakan bahasa mempunyai sifat yang dapat dipahami antar sesama

penggunanya serta sebagai alat komunikasi dalam menyampaikan

berbagai macam informasi. Sebagai bagian dari budaya, yang merupakan

hasil dari interaksi manusia, maka manifestasi budaya tersebut adalah

4
sebuah tindakan atau kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh suatu

kelompok masyarakat dan pada akhirnya menghasilkan asumsi dan

membangun sebuah komunitas yang menggunakan bahasa tertentu.

Dalam pengelompokannya, manusia dibagi dalam kelompok ras,

bangsa, etnis, suku, dan komunitas. Pada awalnya manusia berinteraksi

dengan kelompoknya yang terkecil dengan menggunakan bahasa sama

melalui proses kesepakatan berdasarkan ikatan kekerabatan hingga

kemudian kepada kelompok yang besar yang berdasarkan budaya.

Seperti dikatakan Kunen (2009), ”Language is Culture and Culture is

Language implies that there is a complex homologous relationship

between language and culture. One could not really understand another

culture without having direct access to its languagebecause of the

intimate connection between culture and language. Language is so

complexly interwined with culture that language and culture must have

evolved together, influencing one another in process and ultimately

shaping what it means to be human”.

Bahasa adalah budaya dan budaya adalah bahasa, yang berarti bahwa

bahasa tumbuh dan berkembang melalui budaya dan budaya tumbuh dan

berklembang melalui bahasa, hal ini terjadi karena adanya hubungan yang

kompleks antara bahasa dengan budaya serta adanya hubungan yang erat

di antara keduanya. Hubungan keduanya tersebut dapat diketahui bahwa

setiap orang tidak akan bisa memahami atau mempelajari budaya suatu

5
kelompok masyarakat tanpa memahami bahasa kelompok tersebut, karena

adanya antara bahasa dan budaya merupakn suatu kesatuan seperti dua

keping mata uang. Bahasa yang dipengaruhi oleh budaya tersebut juga

merupakan dua hal yang tumbuh dan berkembang secara bersamaan dan

dalam prosesnya pada akhirnya menjadi suatu yang bernilai bagi manusia.

Pendapat tersebut diperkuat oleh Tomasow (2002:11) yang

mengatakan, ”Language is an outcome or a result of the culture as a

whole and also a vehicle by wich the other aspects of the culture are

shaped and communicated”.

Bahasa merupakan sesuatu yang lahir dan berkembang sebagai hasil dari

suatu budaya secara keseluruhan. Bahasa juga merupakan sebuah alat

yang mentransformasi berbagai aspek dari budaya tersebut yang dalam

prosesnya menjadikan sebuah bentuk bahasa yang terjadi melalui

komunikasi didalam suatu kelompok masyarakat. Dan sebaliknya, budaya

menjembatani pembentukan bahasa yang dalam fungsinya sebagai alat

komunikasi didalam suatu kelompok masyarakat.

Secara umum bahasa didefinisikan sebagai lambang. Bahasa adalah

alat komunikasi yang berupa lambang bunyi yang dihasilkan alat ucap

manusia. Bahasa diartikan sebagai lambang bunyi berartikulasi yang

bersifat sewenang wenang dan konfensional yang dipakai sebagai alat

komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Sebagaimana

diketahui,bahasa terdiri atas kata-kata atau kumpulan kata. Bahasa bersifat

6
sewenang-wenang (arbitrari) yaitu bahasa berlaku pada suatu kelompok

masyarakat tertentu saja. Setiap kelompok masyarakat tidak akan

mempunyai kesamaan bahasa selama kelompok masyarakat tersebut tidak

mempunyai hubungan yang dekat atau kekerabatan serta tidak adanya

kesepakatan. Setiap kelompok masyarakat mempunyai kebebasan dalam

menggunakan bahasa atau menamakan suatu benda. Masing-masing

mempunyai makna , yaitu, hubungan abstrak antara kata sebagai lambang

dengan objek atau konsep yang diwakilkan serta dibentuk oleh kaidah

aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan

gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan, dan pola-pola

yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk, dan tata kalimat. Agar

komunikasi dapat dilakukan, penerima dan pengirim bahasa harus

menguasai bahasanya sehingga informasi yang dimaksud dapat diterima

dengan baik.

Menurut Saukah dan Wahyudi (1994:v), ”Bahasa adalah alat untuk

menyampaikan gagasan , pikiran, pendapat, dan perasaan”. Kemampuan

lebih yang dimiliki manusia dibandingkan makhluk lain adalah karena

manusia mempunyai pikiran dan perasaan . Segala hal yang ada dipikiran

dan perasaan manusia disampaikan dengan menggunakan bahasa sehingga

sesuatu yang ada dipikiran dan perasaan manusia dapat diketahui oleh

sesamanya dengan menggunakan bahasa. Hal ini bukan hanya berupa

7
percakapan saja tetapi dapat divariasikan dengan bentuk puisi , nyanyian,

atau lagu yang diiringi oleh alat musik.

2.Hakikat Bahasa Inggris

Kegiatan belajar Bahasa Inggris di sekolah membutuhkan perhatian

yang serius baik oleh siswa maupun orang tua siswa. Bahasa Inggris

adalah salah satu bahasa asing yang diajarkan di sekolah. Selain itu bahasa

Inggris adalah salah satu mata pelajaran yang diujikan secara nasional

(UAN).

Dalam perkembangannya bahasa Inggris menyerap berbagai bahasa.

Menurut pendapat McCarthy (2001:32) , ”English has taken over words

from most of the other languages with which it has had contact. It has

taken many expresions from the ancient languages , Latin and Greek ,

and these borrowings usually have academic or literary asociations”.

Bahasa Inggris menyerap banyak berbagai bahasa. Bahasa Inggris

yang digunakan oleh bangsa Eropa yang menggunakan berbagai bahasa ,

seperti bahasa Perancis , Latin, atau Jerman. Didalam penggunaannya,

diantaranya yaitu ungkapan-ungkapan atau istilah-istilah yang digunakan

banyak berasal dari bahasa Inggris kuno, Latin, dan Yunani. Hingga saat

ini bahasa-bahasa tersebut masih dipakai sebagai istilah-istilah dalam

menamakan sesuatu yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Seperti

8
dalam bidang ilmu matematika, biologi, fisika , ilmu bahasa , dan lain-

lain.

Bahasa Inggris juga bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar

pertama dan menjadi bahasa kedua (Second language) hampir di seluruh

negara. Bahasa Inggris menurut Seidlhofer (2005:339), ”In recent years

the term ’English as a lingua franca’ (ELF) has emerged as a way of

referring to communication in English between speakers with different

first languages . Since roughly only one out of every four users of English

in the world is a native speaker of languages”.

Bahasa Inggris adalah bahasa pengantar (lingua franca) yang

digunakan bangsa-bangsa didunia sebagai bahasa komunikasi selain

bahasa resmi. Karena beragamnya bahasa dari berbagai bangsa dan negara

maka komunikasi akan mengalami hambatan karena masing-masing

mempunyai bahasa yang berbeda. Oleh karena itu bahasa inggris menjadi

sangat penting sehingga komunikasi dapat dilakukan walaupun

mempunyai bahasa yang berbeda sehingga tidak sedikit orang yang

menguasai bahasa Inggris dan dapat dikatakan bahwa hanya satu dari

empat orang yang menggunakan bahasa inggris adalah penutur asli.

Pentingnya penguasaan bahasa inggris juga menjadi kebutuhan bagi setiap

orang dikarenakan banyak istilah-istilah atau penjelasan, seperti dalam

bidang industry, elektronik, atau mesin, sehingga informasi dapat diterima

dengan baik.

9
Dalam penggunaannya, bahasa Inggris juga dipengaruhi oleh budaya

masyarakat dimana bahasa tersebut berasal . Sesuai dengan pendapat

Tomasow (2002:11) ,

”Since language and culture are bound together , it is not surprising that

there are also cultural blind spot , developed as responses to our

environment , our culture rewards us for producing certain patterns and

ignoring others”.

Bahasa dan budaya adalah dua hal yang saling berkaitan. Ketika

seseorang belajar atau menggunakan bahasa Inggris, disertai pemahaman

dan penggunaan akan budaya dari bahasa tersebut. Mempelajari budaya

memang lebih sulit dibandingkan mempelajari bahasanya tanpa

berinteraksi langsung dengan masyarakat pengguna bahasa tersebut. Tidak

mengherankan jika banyak para pengguna bahasa Inggris ”buta budaya”

sehingga budaya yang digunakan adalah budaya bahasanya sendiri maka

pengguna bahasa Inggrisnya menjadi tidak sempurna. Para penutur asli

(native speaker) biasanya akan menghargai hal-hal yang mengandung

bentuk budaya baru tertentu dan mengabaikan bentuk budaya baru

lainnya.

Pendapat tersebut juga didukung oleh Seidlhofer(2005) yang

mengatakan,

”English as an international language are also used. Despite being

welcomed by some and deplored by other, it cannot be denied that English

10
functions as a global lingua franca, however, what has so far tended to

denied is that, as a consequence if its international use, English is being

shaped at least as much by its non-native speakers as by its native

speakers”.

Sebagai bahasa komunikasi dunia, bahasa Inggris digunakan oleh

berbagai bangsa yang sudah tentu meliputi beragam budaya. Sehingga

dalam perkembangannya bahasa Inggris melebur dengan budaya bangsa

lain yang pada penggunaannya disesuaikan dengan budaya si pengguna.

Bahasa Inggris kemudian tidak lagi seperti bahasa yang digunakan

penutur asli atau seperti ditempat asalnya. Tidak dapat disangkal jika

banyak terjadi hal demikian sebagai konsekuensi bahwa bahasa tidak

dapat dipisahkan dengan budaya dan begitu juga sebaliknya, budaya tidak

dapat dipisahkan dari bahasa. Pada akhirnya bahasa Inggris mempunyai

banyak beragam karena terbentuk lebih banyak dari bukan penutur asli

dibandingkan oleh penutur asli.

Selain itu keragaman dialek atau aksen dalam bahasa Inggris yang

bergantung kepada dialek bahasa si pengguna.

3. Hakikat Motivasi

Motivasi pada hakikatnya merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan

kualitas belajar dan hasil belajar siswa. Dalam proses pembelajaran, motivasi

merupakan faktor yang sangat penting, dimana motivasi merupakan daya

11
penggerak yang menimbulkan tercapainya tujuan yang diharapkan, serta

berpengaruh terhadap kesungguhan siswa dalam belajar. Disamping itu, ada

juga fungsi-fungsi lain seperti mendorong usaha dan pencapaian prestasi.

Intensitas motivasi seseorang siswa akan sangat menentukan tingkat

pencapaian prestasi belajar siswa. Keterlibatan siswa dalam proses belajar

mengajar sementara didorong oleh upaya untuk memenuhi keinginan yang

dimiliki oleh siswa dalam belajar dan bervariasi tingkatannya. Keinginan-

keinginan siswa tersebut merupakan stimulan dari motivasi yang dimiliki.

Istilah motivasi banyak dugunakan dalam berbagai bidang dan situasi,

namun dalam tulisan ini lebih diarahkan pada motivasi dalam bidang

pendidikan khususnya dalam kegiatan belajar mengajar. Dalam kegiatan

belajar mengajar, dikenal adanya motivasi belajar, yaitu motivasi yang

ditetapkan dalam kegiatan belajar, jadi motivasi belajar adalah keseluruhan

daya penggerak psikis dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar,

menjamin kelangsungan belajar itu demi mencapai satu tujuan. Tujuan-tujuan

pembelajaran akan dengan mudah dicapai apabila peserta didik termotivasi.

Motivasi sebagai sebuah keadaan internal yang mendorong untuk melakukan

tindakan, mendorong pada arah tertentu serta membuat siswa tetap bertahan

dalam melakukan kegiatan belajar. Mengingat pentingnya faktor motivasi ini

maka setiap pihak yang terlibat dalam aktivitas belajar siswa, yaitu orang tua

dan guru, harus berusaha memperhatikan dan mencari cara untuk

12
menumbuhkan, menjaga, serta mengarahkan motivasi tersebut agar peserta

didik dapat meraih prestasi optimal.

Menurut pendapat Romando (2005), “The word motivation is coined

from the Latin word "movere", which means to move. Motivation is defined

as an internal drive that activates behavior and gives it direction. The term

motivation theory is concerned with the processes that describe why and how

human behavior is activated and directed. It is regarded as one of the most

important areas of study in the field of organizational behavior”.

Motivasi berasal dari kata “movere”, yang diartikan sebagai daya upaya yang

mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertujuan untuk

memenuhi kebutuhannya.. Motivasi dapat dikatakan sebagai daya penggerak

dari dalam, dan di dalam subyek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu

demi mencapai suatu tujuan berdasarkan pendapat di atas, maka dapat

dikatakan bahwa motivasi merupakan bagian dari kebutuhan hidup, karena

seseorang yang ingin memenuhi kebutuhan hidupnya harus berusaha agar

kebutuhan hidupnya bisa terpenuhi. Artinya bahwa motivasi merupakan

unsur penentu yang mempengaruhi perilaku siswa dan merupakan daya

penggerak aktif yang terjadi dalamk kegiatan belajarnya untuk tujuan

tertentu. Dengan kata lain, motivasi merupakan jawaban atau tanggapan

terhadap tujuan, dimana motivasi merupakan serangkaian kegiatan belajar

untuk memahami dan mendapatkan pengetahuan, sehingga siswa

berkeinginan untuk melakukan suatu aktivitas belajar untuk mencapai tujuan

13
tersebut yang merupakan kepentingan baginya. Motivasi penting dalam

menetukan seberapa banyak siswa akan belajar dari suatu kegiatan

pembelajaran atau seberapa banyak menyerap informasi yang disajikan

kepada mereka. Siswa yang termotivasi untuk belajar sesuatu akan

menggunakan proses kognitif yang lebih tinggi dalam mempelajari materi itu,

sehingga siswa itu akan menyerap dan mengendapkan materi itu dengan lebih

baik.

McClelland (1999) dalam hal ini mengatakan, “most people possess

and exhibit a combination of these characteristics. Some people exhibit a

strong bias to a particular motivational need, and this motivational or needs

'mix' consequently affects their behaviour and working/managing style”.

Motivasi merupakan suatu tenaga yang terdapat dalam diri manusia yang

menimbulkan, mengarahkan, dan mengorganisasi tingkah laku. Perilaku

merupakan fungsi dari faktor personal dan faktor lingkungan dalam

pengertian bahwa perilaku itu timbul karena adanya dorongan faktor internal

dan kekuatan faktor eksternal. Pentingnya peranan motivasi dalam proses

pembelajaran perlu dipahami oleh pendidik agar dapat melakukan berbagai

bentuk tindakan atau bantuan kepada siswa. Motivasi dirumuskan sebagai

dorongan, baik diakibatkan faktor dari dalam maupun luar siswa, untuk

mencapai tujuan tertentu guna memenuhi/memuaskan suatu kebutuhan.

Dalam konteks pembelajaran maka kebutuhan tersebut berhubungan dengan

14
kebutuhan untuk pelajaran. Kebutuhan anak akan motivasi bisa juga disebut

dengan motivasi kebutuhan.

Motivasi yang menurut para ahli terbagi menjadi intrinsic motivation

dan extrinsic motivation. Brandt mengatakan (1995), “Intrinsic motivation

occurs when the learning activity and the learning environment elicit

motivation in the student. We do not motivate students but rather create,

through our teaching, opportunities that can evoke motivation in students. In

situations where the students believe their perspectives are valid and their

rights are equal to the person distributing the rewards or punishment, there

is often the formation of "power-relationships” with a high probability of

subversion, conflict, and/or resentment”.

Terdapat dua faktor yang membuat siswa dapat termotivasi untuk belajar,

yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Motivasi internal terbentuk karena

kesadaran diri atas pemahaman betapa pentingnya belajar untuk

mengembangkan dirinya dan bekal untuk menjalani kehidupan. Motivasi

tidak diberikan kepada siswa tetapi diciptakan. Motivasi intrinsik atau

motivasi internal tersebut yang timbul atau berasal dari dalam diri pribadi

seseorang itu sendiriitu juga merupakan bagian dari sistem nilai yang dianut,

harapan, minat, cita-cita, dan aspek lain yang secara internal melekat pada

seseorang. Sedangkan motivasi eksternal yaitu berupa rangsangan dari orang

lain, atau lingkungan sekitarnya yang dapat memengaruhi psikologis orang

siswa tersebut. Motivasi ekstrinsik atau motivasi eksternal tersebut muncul

15
dari luar diri pribadi seseorang, seperti kondisi lingkungan kelas-sekolah,

adanya ganjaran berupa hadiah (reward) bahkan karena merasa takut oleh

hukuman (punishment) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

motivasi. Bagi siswa yang selalu memperhatikan materi pelajaran yang

diberikan, bukanlah masalah bagi guru. Karena di dalam diri siswa tersebut

ada motivasi, yaitu motivasi intrinsik. Siswa yang demikian biasanya dengan

kesadaran sendiri memperhatikan penjelasan guru. Rasa ingin tahunya lebih

banyak terhadap materi pelajaran yang diberikan. Lain halnya bagi siswa

yang tidak ada motivasi di dalam dirinya, maka motivasi ekstrinsik yang

merupakan dorongan dari luar dirinya mutlak diperlukan. Di sini tugas guru

adalah membangkitkan motivasi peserta didik sehingga ia mau melakukan

belajar. Dapat dikatakan faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong

berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri

seseorang serta turut menentukan perilaku dalam kehidupan seseorang.

Motivasi belajar tidak akan terbentuk apabila siswa tidak mempunyai

keinginan, cita-cita, atau menyadari manfaat belajar bagi dirinya. Oleh karena

itu, dibutuhkan pengkondisian tertentu agar siswa mengetahui dan

menginginkan semangat untuk belajar. Sesuai dengan yang dikatakan

Hinrichs (2001),

“For students to be motivated in their studies, they need to know that what

they are studying is indeed of real significance. They need to know that they

are not being feed some new-sprung agenda or half-baked innovation that

16
will simply go the way of the faddish educational chaff that, once having

gleaned its profits, goes to the winds never to be seen or thought of again.

Students need to know that they are being feed the best that our civilization

has to offer- that they are studying something that is much, much larger than

themselves”.

Pentingnya peranan motivasi dalam proses pembelajaran perlu dipahami oleh

pendidik agar dapat melakukan berbagai bentuk tindakan atau bantuan kepada

siswa. Motivasi dirumuskan sebagai dorongan, baik diakibatkan faktor dari

dalam maupun luar siswa, untuk mencapai tujuan tertentu guna memenuhi

memuaskan suatu kebutuhan. Dalam konteks pembelajaran maka kebutuhan

tersebut berhubungan dengan kebutuhan untuk pelajaran. Motivasi

merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan kualitas hasil belajar siswa.

Dalam upaya itu, setiap motivasi membutuhkan proses, sehingga transformasi

pengetahuan, pemahaman, dan perilaku yang diberikan kepada anak didik

dapat berjalan sebagaimana yang diinginkan. karena rasa ingin tahu dari

siswa, maka siswa akan berusaha untuk mencari tahu. Sikap ini merupakan

motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dilakukan. Setelah mencari

tahu, maka siswa akan berusaha untuk mendapatkan kepastian/kebenarannya.

Sikap ini muncul sebagai jawaban dari keingin tahuan siswa dan merasa

yakin akan langkah yang diambilnya. Dari mencari tahu menjadi tahu

kemudian siswa kan berusaha mengarahkan langkah apa yang diambil dalam

mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu pembelajaran merupakan

17
suatu interaksi yang bersifat kompleks dan timbal-balik antara guru dengan

siswa dan siswa dengan siswa. Selayaknya siswa diberi kesempatan yang

memadai untuk ikut ambil bagian dan diperlakukan secara tepat dalam sebuah

proses pembelajaran tersebut.

4. Hakikat Tingkat Pendidikan Orang Tua

Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar

sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan

keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan. Adapun

eksistensi orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama dalam

meletakkan dasar pendidikan terhadap anak. Di dalam pendidikan keluarga,

orang tua sangatlah berpengaruh terhadap pendidikan anaknya selepas dari

waktu sekolah, berkewajiban untuk membina anak-anaknya. Selain itu,

pengaruh tingkat pendidikan orang tua merupakan faktor yang utama dalam

masalah ini karena masalah tersebut yaitu masalah pendidikan orang tua

selain membawa dampak positif pada dirinya, keluarganya, juga terhadap

alam sekitarnya. Tingginya tingkat pendidikan orang tua berarti juga

kesejahteraan orang tua dan keluarganya relatif tinggi atau sejahtera,

demikian juga masalah lain seperti pendidikan anak-anak mereka. Sebagai

contoh, dalam rangka mengikuti suatu mata pelajaran disekolah dalam bidang

studi tertentu bagi peserta didik memerlukan bantuan, baik yang berkaitan

18
dengan fasilitas maupun kemampuan yang dimiliki keluarga atau orang tua,

sehingga kurangnya perhatian dari orang tua maka prestasi belajar anak

semakin menurun. Dalam hal ini bagi orang tua dalam mendidik anak harus

diperhatikan keperluan-keperluan yang menyangkut tentang kebutuhan anak,

seperti : buku-buku pelajaran dan lain-lainnya. Sebab tanpa adanya perhatian

ataupun dorongan dari orang tua tentu bagi para siswa hanya suka bermain

dari pada belajar. Tetapi dalam sisi lain harus diperhatikan apakah bagi orang

tua tersebut mengetahui dan memahami perlunya pendidikan bagi anak,

karena bagi orang tua yang mempunyai pendidikan rendah akan sangat

enggan atau berat untuk mengeluarkan biaya demi keperluan pendidikan dan

masa depan anak. Lebih dari separuh waktu kehidupan anak dihabiskan di

rumah. Orang tua mempunyai peranan sangat besar dalam menentukan

pribadi anak. Kualitas pendidikan anak sangat ditentukan oleh tingkat

pendidikan (SDM) orang tua dalam mendidik dan menumbuhkembangkan

konsep belajar dalam keluarga. Kemampuan ekonomi orang tua punya peran

dalam menyediakan fasilitas belajar. Ada anak dengan tingkat pendidikan

orang tua rendah, biasa berhasil dalam belajar karena orang tua mampu untuk

membiayai sarana belajar. Ada sebagian anak yang berasal dari keluarga

dengan ekonomi kurang mampu, tetapi juga berhasil dalam belajar, karena

orang tuanya sendiri kaya dengan wawasan SDM. Yang sangat beruntung

adalah anak yang memiliki orang tua dengan SDM tinggi,

19
Menurut Walker dan Smrekar (2003), “Traditionally, family status

variables such as parents' level of education have been regarded as

predictors of children's academic achievement. Increasingly, research has

suggested that, rather than having a direct association with children's

academic achievement, parents' level of education is part of a larger

constellation of psychological and sociological variables influencing

children's school outcomes”.

Pada umumnya, pengaruh tingkat pendidikan orang tua terhadap kegiatan dan

hasil belajar sisiwa menjadi indikator terhadap prestasi dan hasil belajar

siswa. Dengan demikian, di dalam pendidikan keluarga, orang tua sangatlah

berpengaruh terhadap pendidikan anaknya selepas dari waktu sekolah,

berkewajiban untuk membina anak-anaknya. Bagi orang tua yang memiliki

tingkat pendidikan lebih tinggi atau memiliki pengetahuan tentang pendidikan

akan selalu memperhatikan hasil belajar yang dicapai oleh anaknya di sekolah

dengan memberikan motivasi, seperti membantu anak dalam mengatasi

kesulitan atau masalah belajar di sekolah. Sebaliknya jika tingkat pendidikan

orang tua rendah, kegiatan belajar anaknya di sekolah kurang di perhatikan.

Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan orang tua tersebut dalam

membantu kegiatan belajar anak. Kedua hal tersebut bisa terjadi karena

hubungan orang tua dengan anak-anaknya tidak atau bahkan kurang berjalan

dengan baik. Anak juga akan mempunyai rasa percaya diri yang cukup tinggi

20
dalam hubungan sosialnya yang akhirnya dapat lebih membantu kegiatan

belajarnya. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan orang tua

sangat menentukan tercapainya tujuan pembelajaran.

Sesuai dengan pendapat Markey (2007) yang mengatakan,

“parent's college degree can impact a child's world today. It can be said

and has been stated that there is a direct correlation between a parent's level

of education and the IQ of a child.”.

Orang tua yang berpendidikan perguruan tinggi akan berpengaruh terhadap

anak-anaknya. Adanya pernyataan bahwa ada korelasi yang kuat antara

tingkat pendidikan orang tua dengan IQ (Intellegence Quotient) anak. Hal ini

dikarenakan, seseorang yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang

melahirkan kecerdasan akan mempengaruhi kinerja otaknya di dalam tubuh

secara permanen. Pengaruh tersebut secara biologis akan diturunkan kepada

anak-anaknnya. Berdasarkan hal tersebut di atas bahwa pendidikanpun dapat

ditanamkan bukan hanya melalui interaksi antara pendidik dan objek didik

tetapi dapat dilakukan melalui proses terhadap diri sendiri.

Senada dengan pendapat Emanghe (2007) yang mengatakan bahwa,

“In other words, parents that are intelligent academicians well educated and

professionals provide their children with a favourable environment to

motivate or encourage them to develop similar interest and perform well in

their parent’s subjects areas”.

21
Orang tua yang yang mempunyai intelektual perguruan tinggi yang baik dan

profesional akan menyiapkan pendidikan anak-anaknya dengan lingkungan

keluarga yang menyenangkan. Dalam hal ini, penyediaan sarana dan

prasarana belajar bagi anak dapat membangkitkan motivasi. Selain itu

lingkungan keluarga yang kondusif juga menjadi bagian terpenting dalam

memotivasi belajar anak. Untuk menciptakan kondisi tersebut, pengetahuan

dan pemahaman orang tua akan pendidikan sangat menentukan. Orang tua

yang berpendidikan perguruan tinggi akan cenderung dapat menciptakan

kondisi yang demikian. Kondisi tersebut akan dapat memotivasi anak untuk

mempunyai minat yang sama dengan orang tuanya terhadap pendidikan.

Minat tersebut diantaranya adalah anak memberikan penghargaan yang tinggi

terhadap pendidikan dan nilai-nilai pendidikan itu sendiri.

II. Kerangka Berpikir

Prestasi belajar yang diperoleh seorang peserta didik dapat menjadi

tolak ukur tentang sejauh mana keberhasilan usahanya dalam belajar. Dengan

kata lain bahwa prestasi belajar yang tinggi dan memuaskan dari seorang

peserta didik merupakan suatu indikator bahwa ia telah berhasil dengan baik

menguasai sejumlah pengetahuan atau materi yang diberikan guru dari suatu

kegiatan pembelajaran di sekolah. Sebaliknya, jika prestasi yang diperoleh

seorang peserta didik rendah atau kurang memuaskan maka dapat dikatakan

22
ia belum dapat menguasai sejumlah pengetahuan yang diberikan guru dari

suatu kegiatan belajar di sekolah.

Untuk dapat memperoleh prestasi yang baik dalam belajar, seorang peserta

didik tentunya harus melakukan aktivitas belajar yang maksimal, baik di

sekolah maupun di rumah. Dalam melakukan aktivitas belajar tersebut, segala

bentuk perhatian dari orang tua sangatlah dibutuhkan peserta didik. Karena

perhatian orang tua terhadap belajar peserta didik akan dapat menjadi

pendorong atau motivasi baginya untuk giat belajar dan mencapai prestasi

yang maksimal. Lain halnya bagi peserta didik kurang mendapat motivasi

dari orang tuanya, tentunya akan memiliki motivasi belajar yang rendah dan

akhirnya berpengaruh pada pencapaian prestasi yang rendah pula. Perhatian

orang tua di sini adalah motivasi yang diberikan kepada anak dan berkaitan

dengan tingkat pendidikan orang tua. Semakin tinggi tingkat pendidikan

orang tua maka akan tinggi pula pengetahuan dan pemahamannya terhadap

berbagai bidang ilmu. Selain itu, apresiasi atau penghargaan terhadap

pendidikan akan menjadi teladan bagi anak dalam menghargai pendidikan

tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan orang tua terhadap

anak akan memberi pengaruh besar dalam keberhasilan belajar anak-anaknya,

karena kesulitan dan masalah belajar anak dapt teratasi dengan bantuan dan

bimbingan orang tua. Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu

faktor yang berhubungan dengan motivasi belajar siswa. Motivasi belajar

23
yang dimaksud adalah keseluruhan daya penggerak psikis di dalam diri siswa

yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan belajar

dan memberikan arah pada kegiatan belajar itu dalam mencapai suatu tujuan.

Dalam penelitian ini, motivasi belajar lebih difokuskan pada mata pelajaran

bahasa Inggris. Semakin tinggi pengetahuan dan pemahaman bahasa Inggris

yang dimiliki orang tua maka akan tinggi pula pengetahuan dan pemahaman

bahasa Inggris anak sehingga ada korelasi antara tingkat pendidikan orang tua

dengan motivasi belajar bahasa Inggris anak.

E. Hipotesis

Dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu tingkat pendidikan

orang tua sebagai variabel bebas (Independent Variabel), dan motivasi

belajar bahasa Inggris siswa SMK Jakarta Raya 1, Jakarta sebagai variabel

terikat (Dependent Variabel). Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut,

maka hipotesis yang dikemukakan adalah:

Ha : Ada hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan motivasi

belajar

bahasa Inggris siswa SMK Jakarta Raya 1, Jakarta.

Ho : Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan hasil

belajar bahasa Inggris siswa SMK Jakarta Raya 1, Jakarta.

24
25
JOURNAL OF RESEARCH IN NATIONAL DEVELOPMENT
VOLUME 5 NO 2, DECEMBER, 2007

RENTS’ EDUCATION AND STUDENTS’ PERFORMANCE IN EDUCATIONAL


STATISTICS AT FEDERAL CAPITAL TERRITORY ABUJA, NIGERIA

Dr C.N. Ozurumba
Department of Educational Foundations, Niger Delta University, Wilberforce Island

A.E Briggs
Department of Secretarial Administation, Rivers State University of Science
and Technology, Port Harcourt

and Drs V.O. Ebuara and E.E. Emanghe


Department of Educational Administration and Planning, University of Calabar, Calabar

Abstract

Education has been recognized as the greatest investment that any nation can make for the
quick development of its human and material resources (NPE, 2004). The realization of this,
perhaps, acted as an impetus in the effort of parents towards education of their ward. This
paper critically examined the influence of parental level of education on the performance of
their children in educational statistics at a higher level of education. The population consist
of all higher education students studying education statistics and resident at
the FederalCapitalTerritory (FCT) Abuja, Nigeria. The sample involved in this study was 250
students randomly selected. A 47 item-questionnaire was used as instrument for data
collection. Oral interview and practical observation were made as complementary tools.
One null hypothesis was formulated and tested using independent t-test analysis. The result

26
showed that, though parents level of education affects children’s academic performance,
other variables such as school environment, facilities are also important. On this conclusion
it was recommended that: (i) Parents should provide needs for their children on time at
home and school. (ii) Government and school managers should assist in the education of
children by providing necessary facilities and employ qualified teachers.
Keywords: performance; parents; students; educational

Introduction In recent times there has been an attitude behaviour formation, modification
and crises over the deplorable level of academic performance of students in both internal
and external examinations in pure sciences and statistics subjects across the Federal
Capital Territory in all higher educational institutions. Parents, professionals, academicians
and concerned social critics alike claimed that students are not learning as much and fast
as expected city dwellers. Some complained that it is embarrassing to notice a child leaving
primary and secondary schools to higher institutions like the universities and colleges of
education and cannot communicate effectively skills learnt, to a reasonable degree of
proficiency and effectiveness.
It has been investigated and assumed that the level of parent education affects the
academic performance of the child in school.
In other words, parents that are intelligent academicians well educated and professionals
provide their children with a favourable environment to motivate or encourage them to
develop similar interest and perform well in their parent’s subjects areas. Valencia and
Renald (1991) also observed that the level of parent education is related to English test of
children. From their study, they concluded that parents who are relatively higher in levels of
education tend to transmit to their children more culture of the academic they acquired than
parents who are illiterates or semi-illiterate. The investigation further revealed that parents
positive values attach to education is a function of their educational achievement.
In a study of educational achievement of institutions of learning of education and
uneducated homes in western Nigeria, Ogunlade (1995) opined that children of illiterate
homes perform worse than their counterparts from the education homes. students from this
home also study and concentrate in the
class a lot more than the former. Wilton (1975) confirmed the significant relationship
between educational background and academic performance, Bamisaiye and Williams
(1971) supported the observations on two of the family background, the elite and traditional
household, that the family set up affect the child degree of verbal behaviours, their
instruction attitudes, and communication which in turn affects the child academic
performance in several courses. Entwisted and Nisbet (1977), on the child study attributed
academic performance at school to the parents attitudes and their level of educational
attainment children from the parents who have high interest in science subjects tend to
imbibe some attitude towards parental professional occupational subjects which affects their
academic performance.
Smart (1992) has concluded that in most homes today it is apparent that parents
educational level correlate positively with their academic performance of their children, for
better educated parents are more likely to give their children practice in their school
subjects at home, go to school to find out their progress report and assignment records and
function as achievement models.
Good and Brophy (1997) also stressed that educated parents usually show interest in their
children’s academic performance, choose subjects, meet and collaborate with
administrators of higher institutions to ensure their children’s rate of seriousness in their
studies. Durojaiye (1997) has established that when variables such as income, occupation
and neighbourhood, which do correlate with child academic skill development, and held
constant psychological variables are important. This involves parents responsibilities to
present to their children pictures, narrate stories and provide them with playing facilities as
well as sending them to better schools. The investigation indicated that the students whose
parents gave incentives if they are successful had high achievement scores. Some
researchers like Waston (1985), Hawkes (1995), have confirmed that students academic
performance in most cases do not necessarily depend on

27
parental enlightenment or professional competence/ occupation nor educational
attainment.
Generally however, parents are aware of the determining nature and effect of educational
qualification in the present society, so most of them work out modalities on how to
manipulate educational system of their children so as to achieve their set goals and
objectives.

Statement of the Problem


poor academic performance amongst Federal Capital Territory students of higher education
in all the subjects offered has constituted a serious problem and has become a cause for
concern to most parents in different ways. The internal and external examination results of
educational statistics in the period between 2000 and 2005 made parents anxious to know
the performance of their children even when results were not released. It frustrates both the
students and their teachers. Students become frustrated because they cannot cope with
their final examinations to meet their proposed career. Government and school heads have
been unable to provide adequate solution to the students poor academic performance.
parents have been partly blamed for failing to lay the right foundation in their children,
through informal education. This problem has contributed to a loss of reputation by affected
higher institutions of learning in the area.

Purpose of the Study


The purpose of this study was to critically ascertain the influence of parental level of
education on academic performance of students in the Federal Capital Territory, Abuja. The
paper hope to find out whether there was any relationship between parents academic
background and children academic performance.

Research Hypothesis
The following hypothesis was formulated to guide the study,
Ho1, There is no significant influence of parents level of education on the academic
performance of students in educational statistics.

Methodology
The area covered by this study was the Federal Capital Territory Abuja, Nigeria. The
research design adopted in this study was descriptive survey design. The design enable the
researchers to gather existing data at appropriated time for the study. The population of this
study comprised one thousand (1000) students of higher educational institutions in Abuja
metropolis. The sample involved in the study was 250 which was randomly selected.

Data Collection Procedure


The Data for the study was collected through the use of questionnaire, interview and direct
observation of the subjects. A 47 item questionnaire was administered under the
researchers close supervision and assistance where necessary. A total of two hundred and
fifty (250) students filled the questionnaire independently with honesty.
Interview and personal observations were also used as method of collecting data to
supplement the information gathered through the questionnaire.
The researchers were able to observed academic performance of the students through their
responses in the oral interview.

The word motivation is coined from the Latin word "movere", which means to move.
Motivation is defined as an internal drive that activates behavior and gives it direction.
The term motivation theory is concerned with the processes that describe why and how
human behavior is activated and directed. It is regarded as one of the most important

28
areas of study in the field of organizational behavior. There are two different categories
of motivation theories such as content theories, and process theories. Even though there
are different motivation theories, none of them are universally accepted.HOME :: Self-
Improvement / Motivation

Also known as need theory, the content theory of motivation mainly focuses on the
internal factors that energize and direct human behavior. Maslow's hierarchy of needs,
Alderfer's ERG theory, Herzeberg's motivator-hygiene theory (Herzeberg's dual factors
theory), and McClelland's learned needs or three-needs theory are some of the major
content theories.

Of the different types of content theories, the most famous content theory is Abraham
Maslow's hierarchy of human needs. Maslow introduced five levels of basic needs
through his theory. Basic needs are categorized as physiological needs, safety and
security needs, needs of love, needs for self esteem and needs for self-actualization.

Just like Maslow's hierarchy of needs, ERG theory explains existence, relatedness, and
growth needs. Through dual factors theory, Herzeberg describes certain factors in the
workplace which result in job satisfaction. McClelland's learned needs or three-needs
theory uses a projective technique called the Thematic Aptitude Test (TAT) so as to
evaluate people based on three needs: power, achievement, and affiliation. People with
high need of power take action in a way that influences the other's behavior.

Another type of motivation theory is process theory. Process theories of motivation


provide an opportunity to understand thought processes that influence behavior. The
major process theories of motivation include Adams' equity theory, Vroom's expectancy
theory, goal-setting theory, and reinforcement theory. Expectancy, instrumentality, and
valence are the key concepts explained in the expectancy theory. Goal setting theory
suggests that the individuals are motivated to reach set goals. It also requires that the
set goals should be specific. Reinforcement theory is concerned with controlling behavior
by manipulating its consequences.

Motivation provides detailed information on Motivation, Daily Motivation,


Employee Motivation, Motivation Posters and more. Motivation is affiliated
with Christian Motivational Speakers.

Article Source: http://EzineArticles.com/?expert=Richard_Romando

Motivation Theory
By Richard Romando
Article Word Count: 357 [View Summary] Comments (0)

Ads by Google

www.whiteandmaclean.eu/Management/2005

Se a r c h

29
david mcclelland
david c mcclelland's motivational needs
theory
American David Clarence McClelland (1917-98) achieved his doctorate in psychology at
Yale in 1941 and became professor at Wesleyan University. He then taught and lectured,
including a spell at Harvard from 1956, where with colleagues for twenty years he
studied particularly motivation and the achievement need. He began his McBer
consultancy in 1963, helping industry assess and train staff, and later taught at Boston
University, from 1987 until his death. McClelland is chiefly known for his work on
achievement motivation, but his research interests extended to personality and
consciousness. David McClelland pioneered workplace motivational thinking, developing
achievement-based motivational theory and models, and promoted improvements in
employee assessment methods, advocating competency-based assessments and tests,
arguing them to be better than traditional IQ and personality-based tests. His ideas have
since been widely adopted in many organisations, and relate closely to the theory
of Frederick Herzberg.

David McClelland is most noted for describing three types of motivational need,
which he identified in his 1961 book, The Achieving Society:

• achievement motivation (n-ach)


• authority/power motivation (n-pow)
• affiliation motivation (n-affil)

McClelland said that most people possess and exhibit a combination of these
characteristics. Some people exhibit a strong bias to a particular motivational
need, and this motivational or needs 'mix' consequently affects their behaviour
and working/managing style. Mcclelland suggested that a strong n-affil
'affiliation-motivation' undermines a manager's objectivity, because of their
need to be liked, and that this affects a manager's decision-making capability. A
strong n-pow 'authority-motivation' will produce a determined work ethic and
commitment to the organisation, and while n-pow people are attracted to the
leadership role, they may not possess the required flexibility and people-centred
skills. McClelland argues that n-ach people with strong 'achievement motivation'
make the best leaders, although there can be a tendency to demand too much
of their staff in the belief that they are all similarly and highly achievement-
focused and results driven, which of course most people are not.

McClelland's particular fascination was for achievement motivation, and this


laboratory experiment illustrates one aspect of his theory about the affect of
achievement on people's motivation. McClelland asserted via this experiment
that while most people do not possess a strong achievement-based motivation,
those who do, display a consistent behaviour in setting goals:

Volunteers were asked to throw rings over pegs rather like the fairground game;
no distance was stipulated, and most people seemed to throw from arbitrary,
random distances, sometimes close, sometimes farther away. However a small
group of volunteers, whom McClelland suggested were strongly achievement-

30
motivated, took some care to measure and test distances to produce an ideal
challenge - not too easy, and not impossible. Interestingly a parallel exists in
biology, known as the 'overload principle', which is commonly applied to fitness
and exercising, ie., in order to develop fitness and/or strength the exercise must
be sufficiently demanding to increase existing levels, but not so demanding as
to cause damage or strain. McClelland identified the same need for a 'balanced
challenge' in the approach of achievement-motivated people.

McClelland contrasted achievement-motivated people with gamblers, and


dispelled a common pre-conception that n-ach 'achievement-motivated' people
are big risk takers. On the contrary - typically, achievement-motivated
individuals set goals which they can influence with their effort and ability, and
as such the goal is considered to be achievable. This determined results-driven
approach is almost invariably present in the character make-up of all successful
business people and entrepreneurs.

McClelland suggested other characteristics and attitudes of achievement-


motivated people:

• achievement is more important than material or financial reward.


• achieving the aim or task gives greater personal satisfaction than
receiving praise or recognition.
• financial reward is regarded as a measurement of success, not an end in
itself.
• security is not prime motivator, nor is status.
• feedback is essential, because it enables measurement of success, not
for reasons of praise or recognition (the implication here is that feedback
must be reliable, quantifiable and factual).
• achievement-motivated people constantly seek improvements and ways
of doing things better.
• achievement-motivated people will logically favour jobs and
responsibilities that naturally satisfy their needs, ie offer flexibility and
opportunity to set and achieve goals, eg., sales and business management,
and entrepreneurial roles.

McClelland firmly believed that achievement-motivated people are generally the


ones who make things happen and get results, and that this extends to getting
results through the organisation of other people and resources, although as
stated earlier, they often demand too much of their staff because they prioritise
achieving the goal above the many varied interests and needs of their people.

Interesting comparisons and relationships can be drawn between McClelland's


motivation types, and the characteristics defined in other behavioural models,
eg:

e tend to favour the third mode ('participating'); and the authority-motivated


people tend to favour the style of mode four ('delegating'). Please note that
Situational Leadership® is protected intellectual property: Situational
Leadership® is a trademark of the Centre for Leadership Studies. Situational
Leadership II® is a trademark of The Ken Blanchard Companies. Use of material
relating to Situational Leadership® and/or Situational Leadership II® requires
licence and agreement from the respective companies.

31
© original concept David McClelland 1999; review and contextual material Alan
Chapman 2000-2009

Motivation in Education
Fritz Hinrichs

Education must transfer from generation to generation the core of our culture’s accumulated body of
knowledge. In our day, many think that to believe in an accepted body of knowledge that prioritizes
what is important to learn and what is not smacks of elitism and exclusivity. In part, this charge
cannot be denied because discernment often demands that we play the role of intellectual hatchet-
men; however, if you will reject the notion of a “canon” of knowledge, you are faced with the task of
creating a rational for your own curriculum that can give a convincing answer to that most awkward
but ubiquitous question, “Why do we have to learn this?”

Having cut themselves free of the constraints that guide classical education, our large educational
institutions have resorted to an ever increasingly frantic attempt to construct a convincing rational for
their methodology out of the vacuum of their own errant psyches. Yet, whether they resort to
ethnicity, technology, gender or the deviancy of pop culture, their attempts to give meaning to their
teaching end up being mere exercises in personal assertiveness.

Even though our secular school system abandoned any true foundation for absolutes by rejecting
God’s authority over all of life, academia has been able to keep a coherent system together by merely
coasting on the inertia built up by our culture’s rich intellectual tradition. This has been especially
true in Mathematics where a healthy regard for disciplined rigorous thinking and applied mental
struggle were thought to guarantee mental fruit, but now, even this field seems vulnerable to the
prevailing epistemological meltdown. The “new new math” curricula currently being promoted by
the National Council of Teachers of Mathematics seems bent on destroying mathematical rigor in
hopes of instilling students with such dubiously mathematical abilities as “group learning skills”,
“guess and check techniques” and “awareness of diverse cultural approaches to mathematics”. By
attempting to make math more “interesting” and “accessible”, they have removed precisely what
makes Mathematics a joy to learn. No longer will students be able to savor the hard won pleasure of
successfully working complex mathematical procedures. Even in the field of Mathematics where you
think it would be nearly impossible for the mind to be led astray, our schools are abandoning rigor
and sense for mere gimmicks and social agendas . What is the philosophical lesson from all this? The
closer and closer man comes to pure epistemological autonomy (that is, the ability to accept only
those ideas he finds within himself) the closer he comes to resigning himself to complete nonsense.

For students to be motivated in their studies, they need to know that what they are studying is indeed
of real significance. They need to know that they are not being feed some new-sprung agenda or half-
baked innovation that will simply go the way of the faddish educational chaff that, once having
gleaned its profits, goes to the winds never to be seen or thought of again. Students need to know that
they are being feed the best that our civilization has to offer- that they are studying something that is
much, much larger than themselves. As I guide students through the study of the proofs in Euclid’s
Elements, it is always a pleasure to point out to them the fact that their geometry book is the same
that was used by Thomas Jefferson, James Garfield, Lewis Carroll and a host of other intellectual
witnesses going back before 200 BC. Even though Euclid makes absolutely no attempt to show you
how his system is “practical”, I do not find my students asking, “what will I ever us this for?”

32
Because the Element’s is truly a classic work, the students come to see why mathematicians have
admire Euclid’s beautifully constructed proofs through the ages.

When we climb out of the broad stream that comprises the wisdom of the ages, it is very easy to lose
our educational bearings, being blown to and fro be the winds of opinion. Furthermore, without a
good rational for our curriculum, we will be unable to resist the student’s desire to find the path of
least exertion between now and breaktime. To be motivated to work, we need to instill in our
children first godly character and then the conviction that their studies are indeed significant. Despite
the mantras that are continually chanted around us, the motivation for pursuing an education does not
come from looking at charts of the average salary levels of various degree recipients, or from
following the educational atomism that reduces all educational accomplishment to a single GPA, or
by explaining all labors as just steps in the great “ordu salutis” culminating in acceptance by that Ivy-
league dream college. By putting before students these poor reasons for getting an education we are
drumming into them the idea that education is a means and not an end. Until they understand that
education is an end in itself, that indeed, the creation in which we dwell and the historical saga in
which we take part are truly worthy of our interest and concentrated study, we will only see them
labor with a slave’s reluctance.

Monthly Public Lectures * Webex Classrooms


Becoming a tutor through ETS
Contact * Yearbook
Escondido Tutorial Service provides technical services (2001)

Intrinsic/Extrinsic motivation and Hierarchy


of Needs

MOTIVATION: Something that energizes, direct, and sustains behaviors.

INTRINSIC MOTIVATION: Internal desires to perform a particular task, people

do

Certain activities because it gives them pleasure, develops a particular skill,

or

It’s morally the right thing to do.

33
EXTRINSIC MOTIVATION: Factors external to the individual and unrelated to

the

Task they are performing. Examples include money, good grades, and other

Rewards.

• Intrinsically motivated students are bound to do much better in classroom

activities, because they are willing and eager to learn new material. Their

learning experience is more meaningful, and they go deeper into the subject to

fully understand it. On the other hand, extrinsically motivated students may

have to be bribed to perform the same tasks.

• How can we motivate students intrinsically?

A theorists by the name of Abraham Maslow, has concluded that before we can be

intrinsically motivated we must first satisfy some more basic human

needs. According to Maslow there are five basic levels of human needs.

1. Physiological needs. We are motivated to satisfy needs that ensure our

physical survival. Needs in this group include food, water, air, shelter, clothing

and sex. Most people have satisfied their physiological needs allowing them to

concentrate on higher level needs. For some though, physiological needs are

dominant and are the biggest needs in their lives.

2. Safety needs. Once physiological needs are met one can concentrate on

bringing safety and security to our lives. Safety and security needs include,

order, stability, routine, familiarity, control over one’s life and environment,

certainty and health.

34
3. Social needs or love and belonging needs. These needs include love, affection,

belonging and acceptance. People look for these needs in relationships with

other people and are motivated for these needs by the love from their families.

4. Esteem needs. All people have a need for stable, firmly based, usually high

evaluation of themselves for self-respect or self-esteem and for the esteem of

others. These needs may therefore be classified into two subsidiary sets. These

are, first, the desire for strength, achievement, adequacy, mastery of

competence, confidence, independence and freedom. Second, we have what we

call the desire for reputation or prestige (defining it as respect from other

people), status, fame, glory, dominance, importance, recognition, dignity or

appreciation.

5. Need for self-actualization. This level of hierarchy is concentrated on an

individual being able to reach their full potential a human being. Once someone

has satisfied the first four levels of needs then they have the ability to

concentrate on functioning to their highest potential. But even if all these needs

are satisfied, we may often still expect that a new discontent and restlessness

will soon develop, unless the individual is doing what they are fitted

for. Musicians must play music, artists must paint if they are to be at peace with

themselves. What humans can be, they must be. They must be true to their own

nature.

• The first four needs are what we call deficiency needs, because they come from

things we are lacking. These needs can be met only by external sources, by the

environment, people or things going on around us.

35
•Self-actualization is a growth need. This doesn’t just address what we are lacking

in our lives, but it gives us room to grow and develop as an individual. This need is

always intrinsically motivated, because we do it out of pure enjoyment and desire to

grow.

• Maslow, does explain that self-actualization is rarely achieved, even as adults. But

we as teachers, must make sure our students have satisfied their deficiency needs in

order to move on to their growth one. Intrinsic motivation will not occur until they

are well fed, safe in their environment, and can love and respect the teachers and

their classmates. From there on motivation will be a breeze.

http://www2.fiu.edu.com/~cryan/motivation/intrinsic.htm

Characteristics of Intrinsic and Extrinsic


Motivation
by Schunk|Pintrich|Meece

Before examining the characteristics of intrinsic and extrinsic motivation it will be helpful to
differentiate these forms of motivation from interest. Interest refers to the liking and willful
engagement in an activity (Schraw & Lehman, 2001). And the difference between personal interest,
which is a relatively-stable personal disposition toward a specific topic or domain, and situational
interest, which represents a temporary and situationally specific attention to a topic (Urdan & Turner,
2005)
Interest is not a type of motivation but rather an influence on motivation.
Students who are interested in learning about a topic or improving their skills in
a domain should display motivated behaviors, such as choice of the activity,
effort, persistence, and achievement.

While it may seem that personal interest and intrinsic motivation bear some
similarity to one another, personal and situational interest are not inherently
linked with either intrinsic or extrinsic motivation. Students may be personally or
situationally interested in a topic for intrinsic or extrinsic reasons. Although a
goal of educators may be to develop students’ interest and intrinsic motivation
in learning, in fact there are many reasons underlying students’ interests and
not all of them reflect intrinsic motives.

It is tempting to think of intrinsic and extrinsic motivation as two ends of a


continuum such that the higher the intrinsic motivation, the lower the extrinsic

36
motivation; however, there is no automatic relation between intrinsic and
extrinsic motivation (Lepper, Corpus, & Iyengar, 2005). For any given activity,
an individual may be high on both, low on both, medium on both, high on one
and medium on the other, and so forth. It is more accurate to think of intrinsic
and extrinsic motivation as separate continuums, each ranging from high to low.

Intrinsic motivation and extrinsic motivation are time and context dependent.
They characterize people at a given point in time in relation to a particular
activity. The same activity can be intrinsically or extrinsically motivating for
different people. Jon’s English class is extrinsically motivating for Todd but
intrinsically motivating for Lelia. As another example, assume that Scott and
Rhonda play the banjo. Scott’s intrinsic motivation is high because he plays for
enjoyment, whereas his extrinsic motivation is low. In contrast, Rhonda’s
extrinsic motivation is high because she plays largely as a means to the end of
playing well enough to earn money in a Dixieland band. Rarely does she play for
intrinsic reasons.

Because intrinsic motivation is contextual, it can change over time. Many things that
young children find interesting (e.g., Sesame Street) gradually lose their appeal as
children become older. Sudden changes in level of intrinsic motivation are not
uncommon. Scott may become extrinsically motivated to play the banjo well if he
experiences financial problems and decides to play the banjo to earn money. Doing
something because one wants to can easily become doing it because one needs to.

Excerpt from Motivation in Education: Theory, Research, and Applications, by Schunk &
Pintrich & Meece, 2008 edition, p. 237-238.
© 2008, Merrill, an imprint of Pearson Education Inc. Used by permission. All rights rese

Parenting: Influence of Parents' Level of


Education
Education Encyclopedia:
Parenting: Influence of Parents' Level of EducationHome > Library > History, Politics &
Society > Education Encyclopedia

Traditionally, family status variables such as parents' level of education have been
regarded as predictors of children's academic achievement. Increasingly, research has
suggested that, rather than having a direct association with children's academic
achievement, parents' level of education is part of a larger constellation of psychological
and sociological variables influencing children's school outcomes.

Attendant on higher levels of education may be access to resources, such as income,


time, energy, and community contacts, that allow for greater parental involvement in a

37
child's education. Thus, the influence of parents' level of education on student outcomes
might best be represented as a relationship mediated by interactions among status and
process variables.

The literature also suggests that level of education influences parents' knowledge,
beliefs, values, and goals about childrearing, so that a variety of parental behaviors are
indirectly related to children's school performance. For example, higher levels of
education may enhance parents' facility at becoming involved in their children's
education, and also enable parents to acquire and model social skills and problem-
solving strategies conducive to children's school success. Thus, students whose parents
have higher levels of education may have an enhanced regard for learning, more positive
ability beliefs, a stronger work orientation, and they may use more effective learning
strategies than children of parents with lower levels of education.

While many theorists and researchers argue that student attributes conducive to
achievement are deeply rooted in processes of socialization, such as learning through
observation of parental modeling, others contend that through their personal qualities,
children actively shape the parenting they receive: Parents socialize their children, but
children also influence their parents. Supporting both theoretical perspectives is research
indicating that the combination of learning behavior and intelligence exceeds the
contributions of any single source in predicting children'sscholastic achievement.

Parents with higher levels of education are also more likely to believe strongly in their
abilities to help their children learn. A recent study exploring the relationships between
level of parent education, parent self-efficacy, children's academic abilities, and
participation in a Head Start program found that level of parent education and program
participation was significantly related to parental self-efficacy. In turn, parental self-
efficacy beliefs significantly predicted children's academic abilities.

However, examinations across varied cultural and ethnic groups within the United States
suggest that level of education does not appear to determine the value parents place on
education, their interest in their children's schooling or their aspirations for their
children's academic success. For example, in a 1997 study comparing the relative value
of varied predictors of parental involvement, Thomas Watkins found that
parents' efficacy for involvement and educational goals for their children were stronger
predictors of school success than parental level of education and ethnicity. Additionally,
this study found that teacher communications to parents predicted parental involvement,
suggesting that, regardless of education level, parents need encouragement from
educators to become involved in their children's education.

In sum, it appears that process variables, or factors susceptible to the influence of


parents, their children, and school personnel (e.g., educational expectations, level of
involvement, child attributes conducive to achievement, and teacher invitations for
parental involvement) are more predictive of children's school success than status
variables such as parental level of education. This is an important conclusion, for while
educators and researchers cannot influence the status of students' families, they may
improve students' educational outcomes by influencing selected mediating process
variables.

38
Journal of Educational Research 2003
(1):314. — JOAN M. T. WALKER, CLAIRE SMREKAR

http://www.answers.com/
English▼

how the education level of parents impacts


involvement in their child's education
• Top Article
• All 2 Articles
http://www.helium.com/knowledge/318857-the-impact-between-parents-education-
level-and-involvement-in-their-childrens-education/2007/show_rank/12of 2
Write now Article Tools
by Patrick Markey
A parent's college degree can impact a child's world today. It can be said and and has
been stated that there is a direct correlation between a parent's level of education and
the IQ of a child. We know that a child's early enrichment opportunities can be major
contributing factor for success later in life. The idea that parent's education level
impacts involvement in a child's education is not necessarily a point to be argued but a
simple concept that makes sense.

Children learn by example and observation. Parents that model certain behaviors are
more likely to see the same behaviors displayed in their children. This can have a
positive affect as well as a negative one depending on the examples a parent sets.
Parents that have acquired more skills and abilities might also have a larger skill set
that they can share with their children. Educated parents might also be more cautious
about knowing what a child should learn and what behaviors should not be modeled by
parents.

The earning power of parents with a higher degree of education generally exceeds
those without one. Jobs that require more education generally tend to be more flexible
and provide autonomy for the employees. Parents that have a higher level of
education might be able to get involved more with school functions, find other learning
tools outside of the classroom and be able to sign a student up for enrichment
opportunities. Enrichment opportunities are sometimes afforded for the sheer fact of
the financial ability of the parents. This is not to say that there are no enrichment
opportunities for free but parents involvement directly effects how these opportunities
are found and utilized.

39
Children are motivated when they can see the benefit in something. Parents that are
involved in a child's learning influence how a child perceives the value of something.
Valuing education can rub off on students in the most positive of ways. Parents that
explain why and how to children might provide more engaging conversations that are
more meaningful.

Spending time with children and teaching them that learning is fun and rewarding is

Center for Teaching, Learning & Faculty


Development
something that everyone can do but those that have gone through education and spent
years learning will see the importance in being involved in a child's education and
schooling opportunity. Time is a valuable learning tool that every parent can share
today.

Learn more about this author, Patrick Markey.

40
Intrinsic versus Extrinsic Motivation

Intrinsic Motivation (
Faculty wanting further information about any of these topics are encouraged to contact
Brandt 1995 /Chance 1992
Terry Doyle atdoylet@ferris.edu

The following are traits of human nature:


Check back for updates!
Website comments? Contact danielsl@ferris.edu
• To be curious
• To be active
• To initiate thought and behavior
• To make meaning from experience
• To be effective at what we value

Intrinsic motivation occurs when the learning activity and the learning environment
elicit motivation in the student.

We do not motivate students but rather create, through our teaching, opportunities
that can evoke motivation in students.

The following help to create intrinsic motivation:

• When the goals and rewards of the learning are meaningful to the learner
• When the learning is important to the student
• When the learning assists the learner in obtaining valued accomplishments
• When the learning assists the learners in integrating themselves with the
world, with others, and promotes self-awareness

Extrinsic Motivation
Ryan and Deci (1996), Kohn (1993)

In the classroom, it is a way of doing things to children rather than working with
them" KOHN, 1993 (p.784). This view of management disregards a child's ability
to think and reason on their own, not allowing them the chance to develop self-
determination or independent thinking.

Punishments or rewards are used to control the motivation of the students.

In situations where one person (the teacher) is clearly in power, extrinsic motivation
has a greater opportunity to be effective.

In situations where the students believe their perspectives are valid and their rights41
are equal to the person distributing the rewards or punishment, there is often the
formation of "power-relationships” with a high probability of subversion, conflict,
and/or resentment.
LOA Semudah 1,2,3
18 JULY 2007 18 COMMENTS

Banyak teman yang mengatakan pada saya, bahwa mereka umumnya sudah pernah mengalami
sendiri berjalannya hukum Law of Attraction (LOA). Bahwa pikiran dan perasaan Anda, akan menarik
hal-hal yang berkesuaian kedalam hidup Anda. Likes attract likes. Ini mungkin banyak yang sudah
pernah mengalami. Dari sekedar Anda ingat seorang teman, tiba-tiba teman tadi menelpon. Hingga
pada saat Anda berniat menjalankan bisnis, tiba-tiba ada kesempatan bisnis yang datang tidak
terduga. Namun, hampir semua umumnya terjadi di luar kesadaran. Sementara untuk “menggunakan”
LOA secara sadar, kelihatannya masih agak sulit.

Padahal menerapkan Law of Attraction (LOA) secara sadar, ternyata semudah 1,2,3. Paling tidak
begitu kata Michael J. Losier. Beliau ini pengarang buku “Law of Attraction” (2006), yang pemikiran-
pemikirannya banyak terinspirasi oleh Jerry dan Ester Hicks. Tidak hanya Losier, konsep yang
diajarkan Joe Vitale pun banyak yang mirip dengan konsep dari Ester Hicks. Bahkan di Indonesia
banyak praktisi LOA, pengajar, dan motivator yang sering mengajarkan ini. Namun sayangnya,
karena buku dan tulisan yang banyak beredar di Indonesia jarang menyebut referensi nya dari mana,
maka ketika ada beberapa detil yang hilang, jadi sedikit membingungkan. Selain itu, banyak teman

42
saya yang mengalami kesulitan melakukan teknik-teknik visualisasi canggih seperti yang sering
diajarkan. Saya juga begitu. Saya termasuk orang yang lebih mudah menulis daripada bervisualisasi.
Jadi kadang niatnya saja bervisualisasi, tapi ujung-ujungnya malah ketiduran.

Nah, akan saya coba sampaikan 3 langkah mudah menerapkan LOA menurut Michael J. Losier, yang
menurut saya cukup lengkap namun sederhana. Anda yang sudah mencoba LOA secara sadar
silakan membandingkan dengan praktek Anda. Tiga langkah ini oleh Michael J. Losier disebut
sebagai “Deliberate Attraction”. Maksudnya proses attraction yang kita lakukan secara sadar. Ah,
jangan kepanjangan, mari kita mulai saja.

Satu.
Kalau Anda pernah nonton film the Secret, Anda pasti ingat wajah Pak Tua Bob Proctor, yang dengan
muka serius bertanya: “what do you really want?” Di sampul DVD asli nya bahkan ada selembar
kertas kosong, dimana Bob meminta kita menuliskan, apa sebetulnya yang kita mau. Memang
langkah awal ini penting. Michael J. Losier menyebut langkah pertama ini sebagai langkah
mengidentifikasikan hasrat kita (identify your desire). Mengidentifikasikan apa yang sebetulnya kita
inginkan. Nah, ini yang gampang-gampang susah. Biasanya ketika ditanya “jadi sebetulnya kamu
mau apa?”, mulut langsung terkunci, pikiran jadi blank. Atau sebaliknya, nyerocos tanpa henti dari A
sampai Z, sampai gak jelas mau apa. Nah, supaya jelas gunakanlah “clarity through contrast
worksheet”.

Caranya? Pertama, tentukan dulu di “prominent area” apa Anda ingin identifikasikan hasrat Anda ini.
Misalnya, dalam area karir, keuangan, kesehatan, keluarga atau asmara juga boleh, kalau mau.
Katakan Anda akan membuat worksheet untuk keuangan, maka ambil selembar kertas, tulis judulnya:
Kondisi Keuangan Idealku. Ini contoh saja, Anda bisa kreatif sedikit lah. Misalnya kalau soal asmara,
tulis saja: Pacar Idealku, dsb.

Di bawah judul, buat tabel dua kolom. Kolom sebelah kiri sebut saja kolom “contrast”. Di kolom ini
cantumkan hal-hal yang Anda tidak mau terjadi. Karena manusia memang aneh. Ketika disuruh
mengungkapkan hal-hal yang gak disukai biasanya lebih gampang. Tuliskan satu item untuk satu
baris. Misalnya kalau dalam hal keuangan: 1. Selalu kekurangan uang, 2. Penghasilan pas-pas an, 3.
Penghasilan gak naik-naik, 4. Cuma mengandalkan penghasilan dari satu sumber, 5. Penghasilan
tidak cukup untuk menyekolahkan anak di sekolah terbaik, dst. Gampang kan? Sounds familiar?
Hehehe … maaf ya, saya gak maksud nyinidir siapa2. Tuliskan sebanyak yang Anda mau.

Kemudian, baca setiap item. Dan kemudian tanyakan: “Jadi, apa yang kamu inginkan? Nah, lalu tulis
jawabannya di kolom sebelah kanan, kita sebut saja kolom “clarity”. Misalnya item 1: “Selalu
kekurangan uang”. Ini tidak Anda inginkan, jadi tanyakan: “Jadi, apa yang kamu inginkan?”, nah tulis
jawaban Anda, misalnya: “Selalu memiliki uang dalam jumlah yang stabil dan melimpah”. Jawaban ini
yang kita tulis di kolom clarity, dan kemudian jangan lupa coret kalimat di kolom contrast. Selesai satu
item, ulangi untuk setiap item yang sudah Anda tulis.

43
Akhir dari langkah pertama ini, Anda akan memiliki daftar apa yang sebetulnya Anda inginkan. Anda
bisa membuat beberapa worksheet sesuai prominent area yang sedang ingin Anda kerjakan.

Dua.
Nah, setelah jelas keinginan Anda. Langkah ke dua adalah memberi perhatian dan perasaan atas
keinginan tadi, sehingga vibrasi nya akan semakin kuat. Michael J. Losier termasuk yang skeptis
dengan efektifitas afirmasi tradisional, sehingga menganjurkan untuk memodifikasi. Alternatifnya?
Dengan membuat “Desire statement”. Nah, ambil kertas kosong lagi. Hehehe … saya lupa
mengingatkan ya, Anda harus sediakan alat tulis dan kertas banyak2. Kemudian tulis desire
statement Anda dalam tiga bagian. Alinea pertama, adalah opening sentence, tuliskan: “Saya sedang
dalam proses menarik segala sesuatu yang perlu saya lakukan, ketahui, dan miliki untuk menarik
….”Nah, titik2 nya silakan diisi sesuai judul prominent area yang sedang Anda kerjakan. Misalnya,
dari contoh di atas adalah “situasi keuangan ideal saya”.

Bagian kedua adalah batang tubuh (body) desire statement itu sendiri. Disini Anda mulai berikan
perhatian dan perasaan. Anda tuliskan kembali poin-poin keinginan yang sudah Anda identifikasikan
di clarity through contrast worksheet, kedalam kalimat-kalimat positif yang penuh emosi. Caranya
dengan menggunakan kata-kata seperti: “Saya sangat senang, bahwa …”, “Saya sangat bahagia dan
bersemangat, mengetahui bahwa …”. Dan semacam itu. Contoh? Misalnya: “Saya sangat bahagia
dan bersemangat bahwa kondisi keuangan ideal saya memungkinkan saya selalu memiliki uang
dalam jumlah yang stabil dan melimpah”, dsb. Rasakan emosi nya sewaktu Anda menuliskan.
Apalagi kalau sudah menyangkut keluarga. Misalnya, “Saya sangat berbahagia dan penuh semangat,
bahwa kondisi keuangan ideal saya memungkinkan saya menyekolahkan anak saya di sekolah yang
terbaik …”. Bagian ini bisa terdiri dari beberapa alinea sesuai jumlah desire yang sudah Anda
identifikasikan.

Bagian ketiga adalah penutup. Tuliskan satu alinea yang menjadi closing sentence, misalnya: “Law of
Attraction bekerja dan menggerakkan apa yang perlu terjadi untuk terwujudnya hasrat saya”. Oh ya,
ini contoh saja dari Michael Losier. Anda mungkin kurang sreg dengan bunyi kalimatnya. Menurut
saya, ya Anda harus sreg dengan apa yang Anda tuliskan, jadi silakan dimodifikasi sendiri. Point nya
adalah memberi perhatian dan perasaan pada point2 yang sudah Anda identifikasikan.

Tiga.
Bagian ketiga adalah “allowing”. Ya meskipun Anda memiliki hasrat yang membara, namun jika
disertai dengan keraguan yang kuat, sama saja anda tidak membiarkan LOA bekerja. Umumnya yang
membatasi adalah keraguan bahwa apa yang sudah Anda tulis akan ditarik kedalam hidup Anda.
Tapi tenang, karena sekali lagi Losier memberikan kita cara praktis. Nah, kalau Anda masih punya

44
cukup persediaan kertas, ambil selembar lagi, dan siaplah menulis “allowing statement”. Tujuannya
adalah menyingkirkan keraguan Anda.

Caranya? Pertama biarkan keraguan Anda muncul melalui pernyataan “tapi …” dan “karena …”.
Biasanya setelah membaca Desire Statament Anda muncul berbagai keraguan, tuliskan saja.
Misalnya, keragan Anda adalah: “Tapi … saya saat ini tidak punya uang sama sekali, karena … saya
nyaris bangkrut …”. Tulis. Berapapun banyaknya keraguan Anda, tulis semua. Paling tidak selesai
latihan ini, Anda jadi lebih pandai menulis, hehehe … Kemudian, atas pernyataan yang sudah Anda
tulis, sampaikan pertanyaan: “Adakah di dunia ini orang yang (dalam kondisi seperti Anda), namun
bisa mencapai (kondisi ideal Anda)?”. Misalnya dalam contoh ini, maka pertanyaannya
adalah: “Adakah di dunia ini, orang yang nyaris bangkrut, namun kemudian bisa memiliki kondisi
keuangan yang stabil dan berlimpah?”. Ingat baik-baik, apakah ada orang yang seperti itu. Saya yakin
pasti ada. Nah, Jawab pertanyaan tadi secara tertulis. Misalnya, “Di dunia ini, banyak sekali orang
yang pernah hampir bangkrut, namun bisa bangkit dan memiliki keuangan yang berlimpah …”. Anda
akan rasakan bahwa keraguan Anda tidak beralasan sama sekali, karena ada orang lain yang pernah
dalam kondisi seperti Anda namun bisa mewujudkan hasrat yang Anda inginkan.
Demikian beberapa latihan yang pernah saya baca dari buku Law of Attraction nya Michael J. Losier.
Tentu tidak sampai disitu saja, ada beberapa latihan praktis lagi yang akan semakin memperkuat
vibrasi untuk menarik yang Anda inginkan. Misalnya dengan membuat “book of proof”, dimana Anda
catat semua kejadian yang menjadi bukti bahwa LOA yang Anda niatkan terjadi. Kemudian membuat
“appreciation and gratitude statement”, dimana setiap hari Anda menulis jurnal yang isinya rasa
syukur dan apresiasi Anda atas kejadian-kejadian positif yang mulai terjadi pada diri Anda. Sekecil
apapun.

Relatif mudah bukan? Nah kini Anda siap mencoba membuktikan LOA secara sadar. Selamat
mencoba.

45

Anda mungkin juga menyukai