Anda di halaman 1dari 4

Nama : Achmad Taufiq shidqi

NPM : 0806331374
Jurusan : Teknik Metalurgi dan Material
Kelompok : Sembilan

LAPORAN TUGAS ETIKA ENGINEERING

Pada hari senin, 4 Oktober 2010, saya bersama teman saya Roland (mesin 2009)
berkunjung ke rumah-rumah pinggiran rel kereta api. Awalnya kami bingung
hendak kemana lokasi wawancara kami. Pada pagi hari langsung saja tanpa
perencanaan kami berangkat menyusuri pinggiran rel. Akhirnya kami menemui
beberapa rumah yang terletak dipinggir rel kereta. Lokasi rumah-rumah di
pinggiran kereta tersebut terletak diantara stasiun pondok cina dan depok.
Tepatnya di RT 01/15 kelurahan kemiri muka, Depok. Di daerah tersebut
terdapat belasan rumah sekaligus tempat bagi puluhan orang. Bangunan semi
permanen tersebut terletak di depan Sekolah Menengah Kejuruan dan Sekolah
Menengah Atas swasta. Hal tersebutlah yang dimanfaatkan penghuni penggiran
rel untuk mengais rupiah dengan cara menjual makanan. Satu rumah ukurannya
kurang lebih 3 x 3 dengan bangunan terbuat dari batako beratapkan seng.
Biasanya pada pagi hingga sore hari, meja-meja ditata rapi untuk para pelanggan
yang kebanyakan anak sekolah. Namun, malamnya meja-meja tersebut dirapikan
dan disulap menjadi tempat tidur untuk keluarga mereka.

Pagi hari, sekitar pukul sembilan, kami tiba di lokasi. Bingung untuk memulai
percakapan dengan penghuni sekitar, kami berbasa-basi dengan membeli
makanan yang mereka jual. Akhirnya kami berhenti pada suatu rumah yang
menjual nasi berserta lauk pauk, mi instan serta minuman (kurang lebih seperti
warteg). Kebetulan sang pemilik warung sedang tidak ada di rumah. Akhirnya
kami dilayani oleh tetangganya yang menjual es teh manis. Seraya memesan
makanan kami mulai mewawancarai ibu tersebut. Namanya ibu sumiyem, kira-
kira berumur 40 tahunan. Ibu sumiyem banyak bercerita mengenai
kehidupannya di daerah tersebut. Awalnya ibu Sumiyem merupakan pendatang
dari daerah Jawa Tengah. Selama beberapa tahun ia beserta keluarga menyewa
kontrakan di daerah Depok. Namun, sudah beberapa tahun ini mereka tinggal di
sekitaran pinggir kereta api. Alasannya klasik, harga sewa kontrak rumah yang
semakin meningkat. Ia sudah tidak mampu lagi membayar kontrakannya. Hal
tersebnutlah yang membuat ibu Sumiyem tinggal di pinggiran kereta api. Jika
dilihat Ibu sumiyem tergolong keluarga miskin dan terpinggirkan. Keadaan
ekonomi menyudutkannya untuk tinggal ditempat tinggal murah, penghasilannya
pun tergolong pas-pasan.

Berselang beberapa menit kemudian, Ibu sumansih, Pemilik toko tempat kami
makan datang. Kami pun langsung memperkenalkan diri serta bercengkrama
dengannya mengenai kehidupan di daerah tersebut. Ibu sumiyem pun kembali
ke warungnya. Ibu sumansih merupakan pribadi yang baik dan ramah. Dahulu, ia
beserta keluarga tinggal di daerah Sawah Besar. Namun, kembali lagi akibat
faktor ekonomi, ia tidak sanggup untuk membayar kontrakan di daerah Sawah
Besar. Ia lebih memilih tinggal didaerah pinggiran. Sebenarnya Ibu Sumansih
tidak menjadikan rumah tersebut sebagai tempat tinggal. Ia tinggal bersama
ibunya di seberang jalan tidak jauh dari rel kereta api juga. Ia tinggal bersama
anak dan ibunya. Suaminya di Jakarta dan jarang sekali pulang. Ibu sumansih
hanyalah rakyat biasa yang mengharapkan kehidupannya lebih baik dari tahun ke
tahun. Setelah pindah dari Sawah Besar, ia berharap kehidupannya lebih baik.
Pada kenyataannya tidak demikian, kehidupannya tidak banyak berubah. Uang
hasil jualannya hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari.

Daerah pinggiran rel tersebut tadinya tidak ada. Semenjak jalan setapak di
pinggir rel kereta api diperlebar sekitar 3 m, mulailah daerah tersebut menjadi
ramai. Lapak-lapak semipermanen muncul disekitaran rel kereta pondok cina-
depok. Sebenarnya rumah semipermanen tersebut tidak dibangun oleh mereka.
Dibilang bangunan liar juga tidak, sebab PT Kereta Api juga mengijinkan adanya
bagunan disekitaran rel keret api. Namun, sebagai konsekuwensinya mereka
dipungut bayaran tiap bulannya. Harganya berkisar antara 400 hingga 500 ribu.
Keberadaan pintu keluar belakang SMA/SMK juga membuat daerah tersebut
menjadi ramai. Sumber nafkah masyarakat pinggiran tersebut berasal dari anak
sekolah tersebut.

Ada banyak hal yang kami tanyakan kepada ibu Sumansih, Ibu Sumansih banyak
bercerita tentang duka cita tinggal di daerah tersebut. Mulai dari munculnya
perasaan takut tergusur, takut akan maut akibat kereta api hingga masalah
ekonomi. Pemukiman di pinggiran kereta api tersebut selalu dimintai uang sewa
lapak tiap bulannya. Namun, pihak yang mengaku utusan PT Kereta Api tersebut
tidak mau menjamin tentang status mereka. Apakah bakal tergusur atau tidak.
Untungnya sampai saat ini tidak pernah ada razia pembongkaran dari pihak
terkait. Masalah kedua yang menganjal dibenaknya ialah masalah keamanan.
Hidup didekat rel kereta memang penuh ancaman. Banyaknya kereta yang
melintas sangat menjadi perhatian masyarakat pinggiran rel. Sudah banyak yang
menjadi korban kecelakaan kereta api. Ibu sumansih selalu mengingatkan anak-
anaknya agar selalu waspada setiap melewati perlintasan kereta. Hidup di
kawasan tersebut menjadi resiko tersendiri baginya. Baginya itu sudah menjadi
pilihan hidup. Masalah terakhir yang menjadi momok bagi keluarga ibu
sumansih ialah masalah ekonomi. Ternyata, meski hidup di daerah pinggiran
tetap saja sulit. Biaya yang beliau keluarkan untuk sewa bangunan tersebut saja
sudah mencapai 500 ribu, belum lagi ditambah makan sehari-hari.

Sebenarnya tidak jauh dari tempat tersebut masih ada pemukiman milik para
pemulung. Mereka hidup dari mengais sampah plastik untuk didaur ulang
kembali. Namun karena keterbatasan waktu dan juga kesibukan para pemulung,
kami tidak jadi mewawancarai mereka. Kehidupan mereka nampaknya lebih
buruk dari penghuni pinggiran rel kereta. Sungguh ironi, sebab kurang dari 100
meter terdapat hotel dan pusat perbelanjaan terkenal di kota depok.

Dua daerah tersebut merupakan daerah terpinggirkan di tengah ibukota dan


menjadi warna tersendiri. Daerah tersebut terbentuk dengan sendirinya akibat
seleksi alam yang terjadi di jakarta. Mereka yang tidak dapat beradaptasi
akhirnya memilih mundur ke daerah pinggiran. Apalagi bagi mereka yang tidak
memiliki keahlian, bertahan hidup saja sudah susah. Umumnya mereka berasal
dari daerah jawa barat dan jawa timur yang ingin mengadu nasib di ibukota.

Seharusnya pemerintah ibukota bisa lebih tanggap terhadap permasalahan


tersebut. Arus urbanisasi yang tidak terkontrol menjadi salah satu pemicu
adanya daerah marjinal tersebut. Mereka bisa saja berontak dengan melalukan
tindak kejahatan yang dipicu adanya kesenjangan sosial. Andai kata pemerintah
mau menahan laju urbanisasi dan juga lebih memberdayakan mereka, laju
kejahatan juga bisa ditekan. Sebagai mahasiswa, saya juga merasa prihatin.
Mengapa daerah-daerah tersebut masih banyak kita temukan di pelosok jakarta
manapun. Hanya hal-hal kecil yang dapat saya lakukan, seperti memberikan
edukasi terhadap anak-anak daerah tersebut ataupun menyumbang materi
semampu saya.

Saya merasa sangat beruntung diberi rezeki yang cukup oleh allah. Bisa hidup
didaerah yang memadai, makan berkecukupan dan lain sebagainya. Tak dapat
saya bayangkan, apakah saya mampu untuk hidup di daerah tersebut. Saya
berharap pengalaman bercengkrama dengan warga pinggiran rel dapat
menjadikan diri saya lebih baik dalam segala hal.

Anda mungkin juga menyukai