Anda di halaman 1dari 2

Pendidikan Multikulturalisme

Indonesia sebagai sebuah negara multikultur telah menjadi sebuah realitas yang tidak terbantahkan.
Multikulturalisme telah menjadi paradigma yang tidak saja mengandaikan hadirnya keanekaragaman elemen
sosial budaya, tetapi juga proses peleburan antara elemen yang satu dengan elemen yang lain ke dalam
sebuah bejana sosial budaya yang berubah-ubah dan mencair, fluid and melting.
Hanya disayangkan, keaneragaman yang ada di masa Orde Baru dikelola ke dalam suatu keseragaman yang
represif, sehingga multikulturalitas kebangsaan Indonesia menjelma menjadi suatu sosok yang mengerikan,
ibarat bom yang dapat meledak sewaktu-waktu.
Karena itu, multikulturalitas kebangsaan Indonesia pun tidak dimengerti sebagai sesuatu yang given, takdir dari
Sang Pencipta, melainkan seolah sebagai sesuatu yang dibentuk oleh manusia.
Dengan kata lain, multikulturalitas kebangsaan terkooptasi logosentrisme tafsir hegemonik yang sarat dengan
prasangka, kecurigaan, kebencian atau sebagai momok yang harus disingkirkan. Maka, realitas indah
multikulturalitas kebangsaan tidak lagi dilihat sebagai suatu realitas yang memberikan energi positif, melainkan
sebagai sumber ledakan destruktif yang menghancurkan pilar-pilar kemajemukan.
Maka, yang kita lihat, multikulturalitas kebangsaan hingga saat ini belum sempurna menjadi suatu realitas
kebangsaan yang membanggakan atau menjadi kebanggaan dalam keberbangsaan.

Landasan Epistemologis
Realitas multikulturalitas kebangsaan sebagaimana dipaparkan di atas, jika dikerling secara lebih ke dalam
dapat menyeruak suatu realitas lain yang harus diakui bahwa pemahaman masyarakat tentang multikulturalisme
ternyata masih sebatas atau hanya di permukaan.
Perbedaan dan/atau multikulturalitas kebangsaan padahal harus dihayati dan direnungkan secara lebih ke
dalam, sehingga, “roh” perbedaan itu dapat ditangkap dan kemudian dikelola untuk menghasilkan perekat-
perekat yang dapat menyatusaudarakan antara yang satu dengan yang lain.
Jika tidak, perbedaan, keanekaragaman dalam kebersamaan tetap dirasakan asing bagi diri sendiri dan
kelompok. Di situ, paradigma multikulturalisme pun tidak sanggup dibuka ruang dialog di dalamnya. Suatu
tuntutan mutlak dari paradigma multukulturalisme adalah terbangunnya dialog antara unsur yang berbeda.
Artinya, paradigma multikulturalisme hakikatnya meniscayakan bahwa segala unsur dalam keanekaragaman
harus bersifat inklusif-membuka diri dan berdialog. Menyitir Masdar Hilmy dalam sebuah esainya, masyarakat
harus membiarkan elemen-elemen sosial budaya saling berdialog, bahkan “bertikai” di tingkat epistemologis
dalam diskursus yang fluid and melting, dan tidak represif. Masyarakat dituntut selalu meningkatkan
“kecerdasan emosional” agar mereka memiliki sensivitas, sensibilitas, apresiasi, simpati dan empati terhadap
kelompok lain.
Jika hal itu tidak diperhatikan secara serius, bukan tidak mungkin akan muncul suatu sikap baru dari kekuasaan
baru yang mencoba menyekap pluralisme-multikulturisme sesuai dengan keinginan kekuasaan seperti Orde
Baru dengan kemasan yang baru.
Pada masa Orde Baru, Soeharto dengan watak kekuasaan yang begitu represif dan sangat terobsesi
melakukan penyeragaman sosial budaya melalui serangkaian kampanye ideologis yang terstruktur di berbagai
lembaga pemerintahan. Tragisnya, dunia pendidikan pun dijadikan sebagai ladang persemaian ideologi
penyeragaman lewat desain-desain kurikulumnya. Maka, peradaban bangsa ini pun tidak terkelola dengan baik
dan berkembang semestinya alias kaku dan tidak ekspresif.
Ingat bahwa sejarah peradaban bangsa-bangsa besar adalah sejarah mengelola multikulturalitas yang
dimilikinya. Hancurnya negara Yugoslavia –sebagai contoh- disebabkan oleh tidak terkelolanya multikulturalitas
kebangsaannya. Indonesia di ambang kehancuran di era pascareformasi juga disebabkan oleh tidak
terkelolanya dengan baik multikulturalisme.

Pendidikan Multikultural
Lalu, apakah terselamatnya Indonesia pascareformasi telah membuat kita puas diri, lalu tidak lagi
memperhatikan lagi bagaimana mengelola multikulturalitas kebangsaan agar dapat terbangun peradaban
bangsa yang lebih maju, berkembang dan kuat?
Jawaban atas pertanyaan di atas, yakni bahwa mantapnya multikulturalisme dan kuatnya perekat persatuan
kebangsaan Indonesia ke depan hanya dapat diraih dengan bentuk-bentuk pendidikan multikultur yang pas
lewat desain multikultural yang mengintegrasikan proses pembelajaran nilai, pengetahuan dan keterampilan
hidup dalam masyarakat Indonesia yang multikultural. Karena memang sistem pendidikan dengan nilai-nilai
seperti humanisme belum diterapkan di dunia pendidikan kita.
Artinya, sistem pendidikan nilai yang dikembangkan di lembaga pendidikan kita belum memungkinkan terjadinya
pemahaman paradigma multikulturalisme yang proporsional akibat distorsi-distorsi. Misalnya, distorsi agama
kerap dijadikan pembenar bagi terjadinya konflik antaragama.
Di era Orde Baru, misalnya, fenomena eksklusivisme begitu kental mewarnai kurikulum pendidikan agama di
sekolah yang dilakukan melalui “pencucian otak” anak didik secara sistematis. Karena itu, pendidikan
multikultural bagi bangsa dan negara yang supermajemuk ini bukan saja perlu, tetapi sangat urgen.
Pendidikan multikultural merupakan upaya kolektif suatu masyarakat multikulturalistik untuk mengelola berbagai
prasangka sosial yang ada dengan cara-cara yang baik. Pendidikan multikultural didasari konsep kebermaknaan
perbedaan secara unik pada setiap orang dan masyarakat. Tujuannya tidak lain adalah untuk menciptakan
hubungan klasik penuh bersahabat, dengan kreasi-kreasi harmonisasi yang impresif di antara berbagai
golongan penduduk dalam masyarakat multikultural.
Pendidikan multikultural ini misalnya siswa yang datang dari berbagai golongan diberikan kurikulum pendidikan
yang multikultural. Karena jika siswa dengan latar belakangan agama dan suku yang berbeda disodori bahan-
bahan pelajaran yang mengandung bias (kelas, jender, etnis, agama, suku), maka siswa akan tumbuh menjadi
manusia yang berpikir negatif terhadap perbedaan dengan penuh praduga dan prasangka. Anak didik dalam
pendidikan multikultural juga dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka sehari-hari. Semua itu
meniscayakan pendidikan sebagai suatu simulasi arena hidup nyata yang plural, yang terus berubah dan
berkembang menuju keberadaban keberbangsaan yang terus maju.

Anda mungkin juga menyukai