Anda di halaman 1dari 11

DRAFT REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA

PORTO-SISTEMIK ENSEFALOPATI

DISUSUN OLEH
Ananda D. Damanik
04-004

PEMBIMBING :
dr. Tiroy Sari Bumi Simanjuntak, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


PERIODE 27 SEPTEMBER 2010 – 04 DESEMBER 2010
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KEDOKTERAN INDONESIA
JAKARTA
2010
DIAGNOSA DAN TATALAKSANA
PORTO-SISTEMIK ENSEFALOPATI

Hati merupakan salah satu organ yang berperan penting dalam mengatur metabolisme
tubuh, yaitu pada proses anabolisme atau sintesis bahan-bahan yang penting seperti sintesis
protein, pembentukan glukosa serta proses katabolisme yaitu dengan melakukan detoksikasi
bahan-bahan seperti aonia, berbagai jenis hormon, obat-obat-an dan sebagainya.
Selain itu hati juga berperan sebagai penyimpanan bahan-bahan seperti glikogen dan
vitamin serta memelihara keseimbangan aliran darah splanknikus.
Adanya kerusakan hati akan mengganggu fungsi-fungsi tersebut sehingga dapat
menyebabkan terjadinya gangguan sistem saraf otak akibat zat-zat yang bersifat toksik.
Keadaan klinis gangguan sistem saraf otak pada penyakit hati tersebut merupakan gangguan
neuropsikiatrik yang disebut sebagai koma hepatik atau ensefalopati hepatik.
Perjalanan klinis koma hepatik dapat subklinis, apabila tidak begitu nyata gambaran
klinisnya dan hanya dapat diketahui dengan cara-cara tertentu. Angka prevalensi ensefalopati
subklinis berkisar antara 30% - 88% pada pasien sirosis hati.
Merupakan suatu sindrom neuropsikiatrik yang umumnya terjadi karena kadar protein
yang tinggi di saluran pencernaan atau karena stress metabolik akut (perdarahan saluran
pencernaan, infeksi, dan gangguan elektrolit pada pasien dengan portal-systemic shunting.
Gejala-gejala yang muncul umumnya gejala neuropsikiatrik (confusion, flapping tremor,
koma). Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis.

ETIOLOGI
Porto-sistemik ensefalopati dapat muncul pada hepatitis fulminan yang disebabkan oleh
virus, obat-obatan, atau racun, namun umumnya muncul pada sirosis atau penyakit kronik
lainnya saat terjadi kolateral portal-sistemik yang besar sebagai komplikasi dari hipertensi
portal.
Pada pasien dengan penyakit hati kronis, episode akut ensefalopati umumnya dicetuskan
oleh beberapa faktor, antara lain :
- stress metabolik (infeksi, ketidakseimbangan elektrolit (terutama hipokalemia),
dehidrasi, diuretik)
- gangguan yang meningkatkan protein di saluran cerna (perdarahan saluran cerna, diet
tinggi protein)

1
- depresan cerebral non-spesifik (alkohol, sedatif, analgesik)

Porto-sistemik ensefalopati dapat diklasifikasikan berdasarkan gangguan dari hepar, yaitu :


- tipe A : berhubungan dengan gangguan hepar akut
- tipe B : berhubungan dgn bypass portosistemik tanpa penyakit hepatoselular intrinsik
- tipe C : berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal atau shunt portosistemik. Pada
kasus dengan penyakit hati kronik, PSE tipe ini dapat muncul secara episodik atau
bahkan menetap

PATOFISIOLOGI
Patogenesis koma hepatikum sampai saat ini belum diketahui secara pasti karena :
1. masih terdapatnya perbedaan mengenai dasar neurokimia/neurofisiologis.
2. heterogenitas otak baik secara fungsional ataupun biokimia yang berbeda dalam
jaringan otak
3. ketidakpastian apakah perubahan-perubahan mental dan penemuan biokimia saling
berkaitan satu dengan lainnya.
Secara umum dikemukakan bahwa koma hepatik terjadi akibat akumulasi dari sejumlah
zat neuro-aktif dan kemampuan komagenik dari zat-zat tersebut dalam sirkulasi sitemik
(Sherlock, 1989)
Beberapa hipotesis yang telah dikemukakan :
1. Hipotesis Amoniak
Amonia berasal dari mukosa usus sebagai hasil degradasi protein dalam lumen usus dan
dari bakteri yang mengandung urease. Dalam hati amonia dirubah menjadi urea pada
sel hati periportal dan menjadi glutamin pada sel hati perivenus, sehingga jumlah
amonia yang masuk ke sirkulasi dapat dikontrol dengan baik. Glutamin juga diproduksi
oleh otot (50%), hati, ginjal, dan otak (7%). Pada penyakit hati kronis akan terjadi
gangguan metabolisme amonia sehingga terjadi peningkatan konsentrasi amonia
sebesar 5-10 kali lipat.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa amonia secara in vitro akan mengubah loncatan
(fluk) klorida melalui membran neural dan akan menganggu keseimbangan potensial
aksi sel saraf. Di samping itu amonia dalam proses detoksifikasi akan menekan eksitasi
transmiter asam amino, aspartat, dan glutamat.

2
2. Hipotesis Toksisitas Sinergik
Neurotoksin lain yang mempunyai efek sinergis dengan amonia seperti merkaptan,
asam lemak rantai pendek (oktanoid), fenol, dan lain-lain. Merkaptan yang dihasilkan
dari metionin oleh bakteri usus akan berperan menghambat NaK-ATP-ase.
Asam lemak rantai pendek terutama oktanoid mempunyai efek metabolik seperti
gangguan oksidasi, fosforilasi dan penghambatan konsumsi oksigen serta penekanan
aktivitas NaK-ATP-ase sehingga dapat menyebabkan koma hepatik reversibel.
Fenol sebagai hasil metabolisme tirosin dan fenilalanin dapat menekan aktivitas otak
dan enzim hati monoamin oksidase, laktat dehidrogenase, suksinat dehidrogenase,
prolin oksidase yang berpotensi dengan zat lain seperti amonia yang mengakibakan
koma hepatikum. Senyawa-senyawa tersebut akan memperkuat sifat-sifat
neurotoksisitas dari amonia.
Inhibisi dari NaK-ATP-ase membran yang disebabkan amonia akan berakibat pada
edem cerebri dan pembengkakan dari astrosit. Pada otak yang normal, astrosit menjaga
hemato-enephalic barrier dan melakukan fungsi detoksifikasi yaitu mengubah amonia
menjadi glutamin. Jika kadar amonia meningkat dari yang seharusnya, fungsi
detoksifikasi tidak akan maksimal dan hemato-encephalic barrier akan rusak.

3. Hipotesis Neurotansmiter Palsu


pada keadaan normal pada otak terdapat neurotransmiter dopamin dan nor-adrenalin,
sedangkan pada keadaan gangguan fungsi hati, neurotrasmiter otak akan diganti oeh
neurotransmiter palsu seperti oktapamin dan feniletanolamin, yang lebih lemah
dibanding doamin atau nor-adrenalin. (Mullen, 1996).
Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah :
a. pengaruh bakteri usus terhadap protein sehingga terjadi peningkatan produksi
oktapamin yang melalui aliran pintas (shunt) masuk ke sirkulasi otak
b. pada gagal hati seperti pada sirosis hati akan terjadi penurunan asam amino rantai
cabang (BCAA) yang terdiri dari valin, leusin dan isoleusin, yang mengakibatkan
terjadinya peningkatan asam amino aromatik (AAA) seperti tirosin, fenilalanin, dan
triptopan karena penurunan ambilan hati (hepatic-uptake). Rasio antara BCAA dan
AAA (Fisischer’ ratio) normal antara 3-3.5 akan menjadi lebih kecil dari 1.0.
Keseimbangan kedua kelompok asam amino tersebut penting dipertahankan karena
akan menggambarkan konsentrasi neurotransmiter pada susunan saraf.
3
4. Hipotesis GABA dan Benzodiazepin.
Ketidakseimbangan antara asam amino neurotransmiter yang merangsang dan yang
menghambat fungsi otak merupakan faktor yang berperan pada terjadinya koma
hepatik. Terjadi penurunan neurotransmiter yang memiliki efek merangsang seperti
glutamat, aspartat, dan dopamin sebagai akibat meningkatnya amonia dan GABA yang
menghambat transmisi impuls. Efek GABA yang meningkat bukan karena influks yang
meningkat ke dalam otak tapi akibat perubahan reseptor GABA dalam otak akibat suatu
substansi yang mirip benzodiazepin.
Tidak berfungsinya hati untuk mendetoksifikasi dikaitkan sebagai penyebab dari
timbulnya porto-sistemik ensefalopati. Hal ini dapat muncul sebagai akibat dari gagal hati akut
atau gangguan hati kronis (seperti adiposis hepatica, sirosis hati, portocaval shunt).
Dikarenakan adanya bypass darah pada hati (pembuluh-pembuluh kolateral, therapeutic shunt),
maka proses pembersihan pada hepar akan berkurang. Dalam hal ini, substansi beracun seperti
amonia, merkaptan (yang dibuat di saluran pencernaan oleh bakteri pada makanan dan
normalnya dibuang atau didetoksifikasi melalui hati) masuk ke sirkulasi sistemik.
Pada porto-sistemik ensefalopati, jumlah dari substansi-substansi berikut ini meningkat dan
oleh karena itu diperkirakan substansi tersebut merupakan mediator untuk terjadinya porto-
sistemik ensefalopati :
- amonia
- merkaptan (berhubungan dengan foetor hepaticus)
- GABA
- Asam lemak rantai pendek
- Asam amino aromatik
- Osmolit (hasil dari kompensasi pelepasan dari astrosit)\
Faktor-faktor pemicu ensefalopati hepatik antara lain :
- perdarahan gastro-intestinal (1000 cc darah = 200 gr albumin)
- infeksi (berhubungan peningkatan proteolisis albumin)
- gangguan elektrolit (berhubungan dengan penggunaan diuretik)
- obstipasi
- intake protein yang berlebih
- alkalosis (peningkatan difusi amonia ke otak)
- iatrogenik (terapi dengan benzodiazepin, diuretik)

4
GAMBARAN KLINIS
Pada umumnya berupa kelainan mental, kelainan neurologis, kelainan parenkim hati
serta kelainan laboratorium.
Sesuai perjalanan penyakit hati maka koma hepatik dapat dibedakan atas :
1. Koma hepatik akut (fulminant hepatic failure) ditemukan pada pasien hepatitis virus,
hepatitis toksik obat (halotan, asetaminofen), perlemakan hati akut pada kehamilan,
kerusakan parenkim hati yang fulminan tanpa faktor pencetus (presipitasi).
Perjalanan penyakit eksplosif ditandai dengan delirium, kejang disertai denga edem
otak. Dengan perawatan intensif angka kematian masih tinggi sekitar 80%. Kematian
terutama disebabkan edem serebral yang patogenesisnya belum jelas, kemungkinan
akibat perubahan permeabilitas sawar otak dan inhibisi neuronal (Na + dan K+) ATPase,
serta perubahan osmolar karena metabolisme amonia.
2. Pada penyakit hati kronik dengan koma portosistemik, perjalanan tidak progresif
sehingga gejala neuropsikiatri terjadi pelan-pelan dan dicetuskan oleh beberapa faktor
pencetus seperti azotemia, sedatif, analgesik, perdarahan gastrointestinal, alkalosis
metabolik, kelebihan protein, infeksi, obstipasi, gangguan keseimbangan cairan, dan
pemakaian diuretik akan dapat mencetuskan koma hepatik.
Pada permulaan perjalanan koma hepatikum (ensefalopati subklinis) gambaran gangguan
mental mungkin berupa perubahan dalam mengambil keputusan dan gangguan konsentrasi.
Keadaan ini dapat dinilai dengan uji psikomotor atau pada pasien dengan intelektual cukup
dapat dites dengan membuat gambar-gambar atau dengan uji hubung angka (UHA), Reitan
trail making test, dengan menghubungakan angka-angka dari 1-25, kemudian diukur lama
penyelesaian oleh pasien dalam satuan detik.

Uji Hubung Angka

5
Ensefalopati mempunyai tingkatan-tingkatan yang bergradasi
STAGE Cognition & Behaviour Neuromuscular Function EEG
0 Asymptomatic None Frekuensi Alfa
(subclinical) (8.5-12 siklus/dtk)
1 Sleep disturbance Monotone voice 7-8 siklus/dtk
Impaired concentration Tremor
Depression, anxiety, or Poor handwriting
irritability Constructional apraxia
2 Drowsiness (Lethargy) Ataxia 5-7 siklus/dtk
Disorientation Dysarthria
Poor short-term Asterixis
memory Automatism (yawning,
Disinhibited behaviour blinking, sucking)
3 Somnolence Nystagmus 3-5 siklus/dtk
Confusion Muscular rigidity
Amnesia Hyperreflexia or
Anger, paranoia, or hyporeflexia
other bizzare
4 Coma Dilated pupils 3 siklus/dtk atau
Oculocephalic or negatif
oculovestibular reflexes
Decebrate posturing

Gejala-gejala tersebut tidak akan muncul sampai fungsi otak terpengaruh. Gejala yang
muncul pada awal adalah constructional apraxia, di mana pasien tidak mampu untuk
menggambar hal-hal yang sederhana seperti bintang.
Agitasi dan mania dapat muncul tapi jarang terjadi. Defisit neurologis yang terjadi
bersifat simetris. Bau mulut yang khas dapat muncul dan tidak bergantung pada grade dari
PSE.

DIAGNOSIS
Porto-sistemik ensefalopati dapat ditegakkan berdasarkan :
- Pemeriksaan fisik  berdasarkan gejala klinis di atas
- Laboratorium

6
karena PSE merupakan sindrom neuropsikiatrik non-spesifik, maka tes biokemikal
kurang memadai untuk menegakkan diagnosis. Yang paling informatif adalah kadar
amonia dalam darah. Amonia merupakan hasil akhir dari metabolisme asam amino baik
yang berasal dari dekarboksilasi protein maupun hasil deaminasi glutamin pada usus
dari hasil katabolisme protein otot. Dalam keadaan normal amonia dikeluarkan oleh hati
dengan pembentukan urea. Pada kerusakan sel hati seperti sirosis hati, terjadi
peningkatan konsentrasi amonia darah karena gangguan fungsi hati dalam
mendetoksifikasi amonia serta adanya pintas (shunt) porto-sistemik. Nilai >100 g/100
ml dianggap abnormal.

Tingkat ensefalopati Kadar amonia dalam darah (gram/dl)


0 < 150
I 151-200
II 201-250
III 251-300
IV >300

- EEG
Terlihat peninggian amplitudo dan menurunnya jumlah siklus gelombang per detik.
Terjadi penurunan frekuensi dari gelombang normal Alfa (8-12 Hz). Pemeriksaan ini
kurang tepat dibandingkan dengan pemeriksaan evoked potentials.
- Tes psikometri
Cara ini dapat membantu menilai tingkat kemampuan intelektual pasien yang
mengalami koma hepatik subklinis. Penggunaannya sangat sederhana dan mudah
melakukannya serta memberikan hasil dengan cepat dan tidak mahal. Tes ini pertama
kali dipakai oleh Reitan (Reitan Trail Making Test) yang dipergunakan secara luas pada
ujian personal militer Amerika (Conn HO, 1994) kemudian dilakukan modifikasi dari
tes ini yang disebut Uji Hubung Angka (UHA) atau Number Connection Test (NCT).
Dengan UHA tingkat ensfalopati dibagi atas :
Tingkat Hasil UHA
ensefalopati (detik)
0 15-30
I 31-50
II 51-80
III 81-120
IV >120

DIAGNOSA BANDING

7
1. koma akibat intoksikasi obat-obatan dan alkohol
2. trauma kepala seperti komosio serebri, kontusio serebri, perdarahan subdural, dan
perdarahan epidural
3. tumor otak
4. koma akibat gangguan metabolisme lain seperti uremia, koma hipoglikemi, koma
hiperglikemi
5. epilepsi

PENATALAKSANAAN
Harus diperhatikan apakah koma hepatik yan terjadi adalah primer atau sekunder.
Pada koma hepatik primer, terjadinya koma adalah akibat kerusakan parenkim hati yang berat
tanpa adanya faktor pencetus (presipitasi), sedangkan pada koma hepatik sekunder terjadinya
koma dipicu oleh faktor pencetus.
Tujuan utama :
1. Memberikan dukungan perawatan suportif
2. Memperbaiki faktor-faktor pencetus
3. Mengurangi asupan nitrogen di dalam saluran cerna
4. Memberikan kebutuhan pengobatan jangka panjang
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut maka yang harus dilakukan adalah :
1. Mengobati penyakit dasar hati jika mungkin
2. Mengidentifikasi & menghilangkan faktor pencetus
3. Mencegah & mengurangi pembentukan / influks toksin nitrogen ke dalam otak :
- Mengubah, menurunkan/menghentikan makanan yang mengandung protein
Diet rendah protein ditingkatkan secara bertahap, misalnya dari 10 gram menjdi 20
gram sehariselama 3-5 hari disesuaikan dengan respon klinis, dan bila keandaan
telah stabil dapat diberikan rotein 40-60 gram/hari. Sumber protein terutama dari
campuran asam amino rantai cabang. Pemberian asam amino ini diharapkan akan
menormalkan keseimbangan asam amino sehingga neurotransmitter asli dan palsu
akan berimban dan kemungkinan dapat meningkatkan metabolisme amonia di otot.
Tujuan pemberian asam amino rantai cabang pada koma hepatic antara lain
adalah :
1. untuk mendapatkan energi yang dibutuhkan tanpa memperberat fungsi hati
2. pemberian asam amino rantai cabang akan mengurangi asam amino aromatic
dalam darah

8
3. asam amino rantai cabang akan memperbaiki sintesis katekolamin pada
jaringan perifer
4. pemberian asam amino rantai cabang dengan dextrose hipertonik akan
mengurangi hiperaminosidemia
- Menggunakan laktulosa, antibiotik atau keduanya
Laktulosa merupakan disakarida sintetis yang tidak diabsorbsi oleh usus halus
yang terdiri dari galaktosa dan fruktosa, diuraikan bakteri di usus besar dengan
hasil akhir asam laktat, sehingga terjadi lingkungan dengan pH asam yang akan
menghambat penyerapan amoniak. Selain itu frekuensi defekasi bertambah
sehingga memperpendek waktu transit protein di usus. Penggunaan laktulosa
bersama antibiotika yang tidak diabsorbsi usus seperti neomisin, akan memberikan
hasil yang lebih baik
Neomisin diberikan 2-4gram per hari baik secara oral atau secara enema, walaupun
pemberian oral lebih baik kecuali terdapat tanda-tanda ileus. Metronidazol 4x250
mg perhari merupakan alternatif.
- Membersihkan saluran cerna bagian bawah
Upaya ini dilakukan agar darah sebagai sumber toksin nitrogen segera dikeluarkan.
4. Upaya suporif dgn menjaga kecukupan masukkan kalori dan mengobati komplikasi
kegagalan hati

PROGNOSIS
Pada koma hepatic portosistemik sekunder, bila factor-faktor pencetus teratasi, maka dengan
pengobatan standar hamper 80% pasien akan kembali sadar.
Pada pasien dengan koma hepatic primer dan penyakit berat prognosis akan lebih buruk bila
disertai hipoalbuminemia, ikterus, serta asites. Sementara koma hepatic akibat gagal hati
fulminan kemungkinan hanya 20% yang dapat sadar kembali setelah dirawat pada pusat-pusat
kesehatan yang maju.

DAFTAR PUSTAKA

9
1. Fauci, A.S., Kasper, D.L., Longo, D.L, et all; Hepatic Encephalopathy in
Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition. USA: McGraw-Hill.
2006.
2. Herrine, Steven K. Portal-systemic Encephalopathy. Merck & CO.2009.
http://www.merck.com/mmpe/sec03/ch022/ch022g.html
3. http://www.duphalac.com/professionals/portosystemicencephalopathy/informati
on/0,,10318-2-0,00.htm
4. Sood, Gagan K. Porto-systemic Encephalopathy. Baylor College Medicine.
2010. http://emedicine.medscape.com/gastroenterology#liver
5. Zubir, Nasrul. Koma Hepatik in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, 4th
Edition. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006. p. 449-451.

10

Anda mungkin juga menyukai