Anda di halaman 1dari 8

Peranan Manejemen Pendidikan dalam Meningkatkan Kompetensi

dan Profesionalisme Guru

PENDAHULUAN

Fungsi dan peranan guru yang utama adalah mentransfer ilmu kepada siswa dalam proses
belajar mengajar di ruang kelas, dan partisipasinya dalam pengembangan sekolah.

Pengembangan sekolah yang dimaksud dalam makalah ini adalah segala upaya untuk
memperbaiki mutu pendidikan di sekolah.  Definisi yang pendek ini tentunya mengandung
banyak makna dan interpretasi. Tetapi pendidikan sekolah yang saya maksud adalah
pendidikan yang berorientasi kesiswaan atau saya sebut sebagai pendidikan tiga dimensi. 
Yaitu pendidikan yang memfokuskan pengembangan tubuh, otak dan jiwa/pribadi siswa.

Pendidikan yang selama ini kita terapkan masih bertumpu pada pendidikan yang
berorientasi kenegaraan.  Pendidikan yang memiliki obsesi menjadikan bangsa sebagai
bangsa yang terhormat dalam bidang pendidikan di tengah kompetisi anak-anak pandai di
dunia. Yang karenanya, hanya kemampuan akademik yang didorong habis-habisan
pengembangannya, sementara pengembangan kejiwaan dan atau keragaan siswa tidak
diperhatikan dengan baik.

Tujuan pendidikan nasional yang ada di dalam UU Sisdiknas 2003 pada dasarnya tidak
jelas menyebutkan tentang aspek pengembangan tubuh, jiwa dan otak, demikian pula
beberapa kebijakan dalam bidang pendidikan tidak mendukung kea rah pengembangan
tubuh, jiwa dan otak peserta didik.

Dengan berpedoman kepada pendidikan berorientasi kesiswaan seperti di atas saya ingin
menguraikan bagaimana pengembangan sekolah harus direncanakan dan bagaimana
melibatkan guru dalam misi tersebut.  Lalu bagaimana manajemen sekolah berperan dalam
hal ini dan bagaimana manajemen pendidikan di daerah mendorong kelancaran proses
tersebut ?

Peningkatan kompetensi guru dalam makalah ini akan difokuskan pembicaraannya dalam
dua level kebijakan yaitu kebijakan yang terkait dengan manajemen sekolah dan kebijakan
yang terkait dengan manajemen pendidikan di daerah.

Makalah ini akan menguraikan beberapa poin yaitu :

A. Peningkatan kompetensi guru di level sekolah melalui penerapan manajemen sekolah


yang efektif

1. Pengembangan sekolah sebagai sebuah organisasi dan kaitannya dengan


peningkatan kompetensi guru
2. Pengembangan sekolah berbasis orientasi kesiswaan dengan melibatkan partisipasi
aktif siswa dan guru

B. Peningkatan kompetensi guru di level daerah melalui manajemen pendidikan daerah


A.1. PROSES BELAJAR GURU DALAM ORGANISASI SEKOLAH

Sekolah adalah sebuah organisasi yang di dalamnya terdiri dari orang yang mengurus atau
mengelola dan atau dikelola. Sekolah dalam era privatisasi pendidikan  sering juga
disamakan dengan perusahaan dengan kepala sekolah sebagai managernya.  Dalam sebuah
organisasi (mis : sekolah ) disadari atau tidak, ada sebuah siklus yang terbentuk melalui
proses yang panjang. Siklus itu berupa antisipasi terhadap permasalahan yang muncul di
sekolah dan kepekaan terhadap problem atau error yang terjadi dalam proses pelaksanaan
kegiatan pendidikan di sekolah.

Chris Argyris dan Schon, dua ahli proses belajar dan teori aksi dalam organisasi
mencetuskan konsep baru di tahun 1978, yaitu dalam sebuah organisasi, anggota organisasi
harus memiliki kemampuan mendeteksi dan memperbaiki masalah yang muncul (detection
and correction the error). Melalui proses ini setiap pelaku organisasi akan memetakan
sebuah siklus belajar yang tertanam dengan baik dalam dirinya. Kedua ahli tersebut
menyebut siklus belajar ini sebagai single loop dan double loop learning .

Dalam proses belajar single loop, seorang pelaku organisasi hanya menjalankan semua
prinsip/norma dan guidance (governing variable) melalui sebuah aksi (action strategy) yang
pada akhirnya akan menghasilkan sebuah dampak (consequences),  tanpa mempertanyakan
atau mengkritisi hal yang sudah ditetapkan. Sementara double loop adalah siklus belajar yang
memungkinkan pelaku organisasi untuk tidak sekedar melaksanankan tetapi juga
mempertanyakan prinsip/kebijakan/norma yang ada.  Dengan siklus ini norma/misi & visi
sebuah organisasi dapat diubah karena kekritisan pelaku organisasi.

Gambar 1.  Skema proses belajar bagi pelaku organisasi

(Sumber : http://www.infed.org/thinkers/argyris.htm.)

Proses belajar dalam organisasi secara double loop sudah diterima secara luas sebagai sebuah
metode yang lebih baik dalam kemajuan sebuah organisasi.

Bagaimana dengan sekolah ? Guru sebagai salah satu komponen penggerak di dalam
organisasi sekolah akan lebih berkembang kemampuan dan kompetensinya jika
melaksanakan proses belajar double loop.

Sebagai ilustrasi :

Sekolah A mempunyai rutinitas yaitu guru mengevaluasi pemahaman siswa secara periodik. 
Setiap guru di sekolah A juga diwajibkan untuk membuat rekapitulasi atau gambaran tentang
prestasi siswa yang diajarnya, yang kemudian diperoleh data urutan rangking siswa
berdasarkan score yang didapatnya.  Penyebaran nilai biasanya mengikuti kurva distribusi
normal, yaitu siswa pandai sekitar 1/4 dari total siswa, siswa rata-rata adalah separuh dari
jumlah semua murid dan 1/4-nya lagi adalah siswa yang kurang.  Proses penilaian selesai
sampai di sini dan selanjutnya guru kembali mengajar, melanjutkan pelajaran bab demi bab.
Proses ini berulang dari tahun ke tahun, tanpa ada upaya untuk mempertanyakan bagaimana
dengan anak-anak yang berada di bawah sebaran normal ? Bagaimana memacu potensi
belajar siswa-siswa itu ?

Jika siklus double loop diterapkan, maka setiap guru berkewajiban untuk memikirkan upaya
untuk melejitkan prestasi siswa yang ada di bawah rata-rata.  Rekap yang dibuat setiap
semester atau setiap tahun adalah data berharga untuk melakukan analisa.  Selanjutnya guru
dengan bekerja sama dalam sebuah team kerja guru membuat formulasi bagaimana
meningkatkan prestasi anak-anak di bawah rata-rata. Formulasi ini diterapkan dan diuji
secara berulang.

Dengan melakukan proses itu saja, seorang guru telah membentuk dirinya menjadi seorang
pribadi yang kritis, yang merupakan salah satu karakter dari seorang peneliti. Dengan
menjadi peneliti bukankah seorang guru terlatih untuk peka terhadap permasalahan yang
muncul, terbiasa dengan cara berfikir sistematis, dan bahkan akan lebih menjiwai peranannya
sebagai guru.

Sebagai kesimpulan, menjadi bagian dari organisasi sekolah, guru harus memegang prinsip
bahwa proses belajar itu tak mempunyai ujung. Setiap mendapatkan sesuatu ilmu baru, maka
akan lahir ilmu yang lebih baru. Setiap ada pemecahan masalah, maka akan lahir masalah
baru yang menunggu penyelesaian. Dengan latihan kepekaan semacam ini guru akan semakin
meningkat keahlian dan kepekaannya.

Proses belajar dalam sebuah organisasi seperti diungkap di atas tidak akan berjalan jika
kepala sekolah sebagai pimpinan tertinggi di sekolah tidak memahami perlunya proses ini
dan dia menerapkan gaya diktator.  Selain itu pemerintah daerah juga harus memberikan
otonomi yang luas kepada sekolah agar pelaku dalam lembaga sekolah juga senantiasa
berdifat kritis.

Kekritisan yang dilatih dalam lembaga sekolah tidak sama dengan demonstrasi/protes
guru/siswa/orang tua terhadap kebijakan sekolah/pemerintah, tetapi sifat kritis yang dibarengi
dengan analisa tajam, mengapa sebuah konsep perlu diprotes, dandisertai dengan solusi yang
lebih baik.

A.2. PENDIDIKAN TIGA DIMENSI DAN UPAYA PENINGKATAN KOMPETENSI


ILMU MURNI GURU

Pendidikan yang berorientasi kesiswaan saya sebut dengan pendidikan tiga dimensi karena
ada tiga aspek yang ingin dipantau perkembangannya dengan proses pendidikan di sekolah,
yaitu pendidikan tubuh, otak dan jiwa.

Pelatihan dan perkembangan jasmani atau raga siswa tidak sekedar melalui pelajaran olah
raga tetapi yang lebih utama adalah memberikan pemahaman kepada siswa bagaimana
memelihara agar raganya sehat, asupan gizi dan kebersihan makanan yang seharusnya
dikonsumsi, dan sekaligus pemahaman yang baik tentang prinsip-prinsip hidup sehat.
Kesemuanya hanya bisa tersampaikan dengan baik jika seorang guru juga paham dengan
ilmu perkembangan tubuh, pengukuran kesehatan, dan pengenalan pola-pola hidup sehat,
atau perkembangan keilmuan di bidang ini.
Setelah pelajaran tentang hal ini disampaikan di ruang kelas oleh para guru, langkah
selanjutnya adalah mengecek apakah siswa-siswa kita melaksanakannya dalam kehidupan
hariannya.

Saya berikan contoh bagaimana ilmu murni tentang olah raga demikian berharga
mengembangkan perolahragaan di Jepang dari level sekolah. Di Jepang dalam pelajaran
olahraga, anak-anak SD diajari dasar-dasar atletik, yaitu mereka harus bisa melompat, berlari
dan berjalan dengan benar.  Suatu hari di sebuah sekolah diadakan lomba lari antar siswa SD.
Seorang anak selalu saja berada di nomor terbelakang. Gurunya kemudian mendatangi
seorang ahli olah raga dari perguruan tinggi, dan pada akhirnya diketahui bahwa si anak
selalu berlari tanpa mengayunkan tangan.  Dengan pengamatan yang seksama, guru dapat
melihat bahwa anak yang berlari sambil mengayunkan tangan akan berlari di jalur yang lurus
dan cenderung lebih cepat sampai di garis finish dan sebaliknya, anak yang berlari tidak
dengan mengayunkan tangan, jalur lari yang dibentuk melengkung.  Ini salah satu contoh
bagaimana pelajaran olahraga dilaksanakan dan dipahami dengan baik. Yang karenanya tidak
heran jika banyak atlit Jepang meraih prestasi gemilang di dunia internasional.

Pendidikan otak adalah fokus dari banyak sistem pendidikan di dunia.  Sekolah seakan dibuat
hanya untuk mencetak siswa berotak cemerlang tanpa ada perhatian khusus kepada anak yang
mengalami keterlambatan berfikir.

Banyak faktor yang menyebabkan seorang anak mengalami keterlambatan dalam berfikir,
seperti makanan yang dimakannya, kebiasaan hidup di rumahnya, masalah yang ada dalam
keluarganya, atau cara guru yang belum pas dengan metode belajarnya. Seorang guru
ibaratnya seorang detektif, harus menganalisa dan menyelidiki permasalahan ini. Tentu saja
guru tidak bisa bekerja sendiri, guru hendaknya pandai-pandai menjalin komunikasi dengan
orang tua siswa.  Perhatian orang tua akan lebih baik jika guru pun gencar mengajak orang
tua terlibat dalam perkembangan anaknya.

Hal yang sangat penting dalam pembelajaran di ruang kelas adalah bahwa tidak ada anak
yang bodoh.  Yang ada adalah anak-anak yang memiliki keterlamabatan dalam penyesuaian
belajar.  Oleh karena itu guru dituntut untuk memahami ilmunya dengan baik sehingga semua
anak termotivasi belajar sesuatu yang sulit, misalnya matematika.

Saya sering menyaksikan di acara TV NHK di Jepang bagaimana kepandaian seorang guru
matematika di sebuah SD menyajikan pelajaran demi pelajaran dengan sangat menarik. 
Pelajaran matematika bukanlah pelajaran yang hanya ada di kertas dan tidak bisa diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi guru mengajak anak belajar matematika sambil
mempraktekkannya.  Bahkan guru tersebut tidak mengajarkan anak rumus-rumus, tapi
menagajak mereka untuk mempraktekkan dengan cara menggunting atau melipat, dan lain-
lain cara kreatif lainnya, lalu kemudian anak-anaklah yang menemukan rumusnya.  Anak-
anak sangat bersemangat bahwa mereka ternyata bisa, tidak hanya yang berotak cemerlang
tetapi juga yang rata-rata.

Pendidikan di Jepang selama hampir 30 tahun menerapkan konsep yutori kyouiku, yaitu
prinsip pendidikan yang memberikan keleluasaan kepada siswa untuk berkembang.  Dengan
prinsip ini, stress dan tekanan terhadap siswa ditekan misalnya dengan mengurangi PR. 
Anak-anak lebih bebas di sekolah dan tidak tertekan dalam belajar.  Tetapi sekalipun konsep
ini dianggap gagal, karena siswa cenderung santai dalam belajar dan tidak terbiasa dengan
kompetisi dan pressure secara alami, tetapi konsep inilah sebenarnya yang sejalan dengan
pendidikan tiga dimensi. Sayang sekali prinsip ini mulai dihapuskan per 2006 Menteri
Pendidikan (monbukagakusho) juga menambah jam pelajaran untuk siswa pada tahun 2008,
setelah selama 30 tahun tak ada penambahan jam pelajaran untuk siswa SD.

Kebijakan ini tentu saja membiaskan konsep pendidikan tiga dimensi, sebab para guru dari
mulai level SD terfokus kembali dengan pendidikan otak saja.

Pendidikan otak tidak sama dengan pendidikan menghafalkan rumus.  Guru yang hanya
menuliskan rumus/teori di papan tulis kemudian menghabiskan satu jam pelajaran hanya
dengan pelajaran salin menyalin saja, membuat kemampuan siswa hanya terbatas kepada
hafalan mati saja, tanpa dapat menganalisa permasalahan secara benar.

Pembelajaran yang baik adalah jika guru menjadi pandai karena mengajar dan siswa menjadi
pandai karena diajar oleh guru yang cerdas dalam mengajar.  Cerdas dalam mengajar hanya
dimiliki oleh guru yang menguasai apa yang akan diajarkannya dan senantiasa mengajak
siswa untuk berfikir bersama. Pengajaran yang efektif adalah jika guru tidak mendominasi
pembicaraan di dalam kelas.  Oleh karenanya tak ada jalan lain untuk meningkatkan
kompetensi guru atau memperbaiki proses belajar mengajar di kelas kecuali guru harus
meningkatkan diri melalui pendidikan/pelatihan ilmu murni sesuai dengan bidang yang
diajarkannya.

Pendidikan jiwa/pribadi secara umum termuat dalam semua bidang studi, tetapi lebih
dikhususkan dalam tiga bidang studi berikut yaitu, pendidikan moral, pendidikan agama dan
pendidikan sejarah.

Di antara semua unsur pendidikan tiga dimensi, pendidikan akhlaq/pribadi/budi pekerti


adalah yang paling sulit untuk diukur. Pengembangan tubuh dapat diukur dengan pengukuran
tinggi/berat badan siswa, sedangkan pengembangan otak diukur dengan nilai ujian dan
kemampuan siswa mengungkapkan pendapatnya. Tetapi bagaimana menilai bahwa seorang
siswa berperilaku baik ? Anak yang pendiam belum tentu bisa dikatakan berperilaku baik,
atau anak yang punya keingintahuan yang besar dan terus mencecer guru dengan pertanyaan,
pun tidak bisa dikatakan bahwa dia tak bermoral.

Pendidikan akhlaq tidak cukup jika hanya diajarkan di ruang kelas, tetapi orang tua terutama
ibu yang lebih banyak berinteraksi dengan anak-anaknya, juga bertanggung jawab terhadap
pendidikan akhlaq.  Oleh karena itu seorang guru perlu memiliki kemampuan bicara,
pendekatan kepada orang tua demi pengembangan kepribadian si anak.

Pendidikan kepribadian tidak saja mengajarkan siswa terhadap konsep-konsep hukum, atau
mengenalkan siswa terhadap norma-norma dalam masyarakat, tetapi harus ditekankan kepada
melatih kepekaan/empati siswa melalui praktek pembiasaan.

Pendidikan agama sering menjadi polemik di kalangan pakar pendidikan tentang perlu
tidaknya diajarkan di sekolah.  Polemik itu muncul bukan karena content pelajaran sebab
tidak ada agama yang menagajarkan hal yang salah, tetapi polemic muncul karena cara
mengajar pendidikan agama di sekolah tidak berhasil menjadikan siswa paham akan
agamanya, tetapi hanya sekedar menghafal doktrin-doktrin agama.  Selain karena terbatasnya
jam pelajaran agama di sekolah, pembelajaran agama belum menyentuh kepada praktek ilmu
sehari-hari berdasarkan pemahaman.
Pendidikan sejarah saya masukkan sebagai pendidikan kepribadian, sebab sejarah tidak saja
mengajarkan ‘knowledge’, tahun kejadian, peristiwa, tetapi sejarah harus dijadikan pelajaran
yang mengajarkan tentang sikap/prinsip, kerja keras, dan berbagai norma yang dianut
manusia yang telah mengukir sejarah sebelumnya.  Sejarah harus diajarkan secara benar dan
mengajarkan fakta, apakah fakta itu membawa kebanggaan suatu bangsa/suku ataupun justru
membawa kerendahan martabatnya.  Orang akan menjadi besar dengan memahami
sejarahnya. Dan seorang guru sejarah pun tentunya adalah orang yang paling paham
mendorong orang lain untuk mencintai sejarahnya karena dialah yang paham akan hal ini.

Sekarang bagaimana melatih guru agar mampu menerapkan pendidikan tiga dimensi ?

Konsep managemen PDCA/PDSA (Plan-Do-Check/See-Action) cycle approach yang


dikenalkan oleh Walter Shewhart di tahun 1930-an yang kemudian dikembangkan oleh
muridnya yaitu W. Edwards Deming, patut untuk diterapkan dalam hal mengantarkan guru
untuk lebih menjiwai pendidikan tiga dimensi.

Gambar 2. PDCA Cycle

Sumber : http://leadershipchamps.files.wordpress.com/2008/03/pdca.png

Proses PDCA diawali dengan plan (perencanaan) yang dikembangkan dari permasalahan
yang muncul dalam pelaksanaan action. Selanjutnya rencana yang sudah disusun diterapkan
dalam step ‘do’ lalu dilakukan evaluasi untuk memeriksa apakah program sukses
dilaksanakan atau ada kendala baru.  Langkah selanjutnya adalah menyusun action baru
berdasarkan hasil evaluasi. Proses evaluasi ini yang sangat jarang dilakukan di sekolah-
sekolah kita.  Evaluasi yang biasa dilakukan adalah tes untuk mengecek kemampuan
akademik siswa, sedangkan evaluasi/survey terhadap kebiasaan siswa, seperti kebiasaan
makan, kebiasaan membaca, dan pemanfaatan waktu luang yang merupakan data mendasar
untuk mengembangkan proses belajar mengajar tiga dimensi di sekolah, belum dilaksanakan
di Indonesia.

B. PENINGKATAN KOMPETENSI GURU DI LEVEL DAERAH MELALUI


MANAJEMEN PENDIDIKAN DAERAH

Bagaimana manajemen pendidikan di level daerah harus dikelola agar guru-guru di daerah
memiliki kompetensi yang standar dan senantiasa diperbaharui ?

Pendidikan di daerah harus dikelola dengan mempertimbangkan potensi dan karakter daerah. 
Sekolah-sekolah dibangun dengan pertimbangan kapasitas siswa yang masuk dan kualitas
guru yang memadai. Sekolah-sekolah juga harus dibangun dengan fasilitas yang minimum
sama.
Kebijakan pendidikan di daerah pun harus disusun berdasarkan survey yang akurat tentang
fakta di lapang.

Namun sayang, di negara kita banyak kebijakan yang lahir tidak dengan survey yang
menyentuh level pelaksana.  Kebijakan sertifikasi guru dikembangkan dengan dasar guru-
guru kita tidak terstandardisasi dengan baik.  Pejabat menyebut-nyebut tentang kompetensi
yang harus dicapai guru, tetapi apakah survey sudah pernah diadakan tentang pemetaan
kompetensi guru-guru kita ?  Data yang kita punya barangkali hanya bahwa sekian persen
guru kita lulusan Diploma, sekian persen lulusan S1, sehingga perlu dilakukan sertifikasi. 
Tetapi apakah ada pengamatan yang intens dari pejabat tentang bagaimana fakta di sekolah-
sekolah tentang kemampuan mengajar guru ?

Selain survey yang akurat terhadap kondisi guru-guru, pemerintah daerah juga perlu
merancang evaluasi guru.  Berdasarkan data survey/evaluasi, pemerintah dapat memetakan
siapa saja yang harus mengikuti pelatihan, siapa saja yang perlu melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi.

Pelatihan/pendidikan yang perlu disiapkan untuk para guru bukanlah pendidikan tentang
konsep-konsep mendidik, tetapi yang lebih utama adalah pendidikan ilmu murni.  Oleh
karenanya kerjasama dengan universitas perlu dikembangkan untuk membuat sebuah link
peng-update-an keilmuan guru.  Lalu apa fungsi IKIP/UP atau LPTK ? Lembaga-lembaga
pendidikan guru adalah lembaga untuk calon guru, yang bertujuan untuk mempersiapkan
calon guru dengan bekal-bekal ilmu kependidikan untuk menjalankan profesinya
sebagaimana mestinya. Sedangkan Universitas adalah lembaga yang seharusnya dipercaya
untuk mendidik guru dari segi keilmuan yang diajarkannya.

Selain memberikan peluang belajar dan berkembang kepada guru di daerah, pemerintah
daerah juga perlu mempelopori forum ilmiah guru.  Forum yang akan memberikan
kesempatan kepada guru-guru daerah untuk saling bertukar metode mengajar, keilmuan baru
dan sekaligus melatih guru untuk menyampaikan idenya secara ilmiah.  Dalam forum ilmiah
ini, sangat perlu pula mengundang pakar/ilmuan/praktisi untuk menambah keluasan keilmuan
para guru.

Saya menghadiri secara rutin forum guru yang diselenggarakan di sebuah provinsi di Jepang,
yaitu prefektur Nagano.  Setiap tahun pada bulan Oktober, guru-guru seNagano berkumpul di
sebuah kota kemudian mereka melaporkan hasil penelitiannya, baik itu berupa action
research, survey sekolah, atau penerapan manajemen baru di sekolah.  Pakar-pakar
pendidikan dari Univeristas terkenal diundang untuk menjadi komentator dan sekaligus
mereka juga dilibatkan sebagai penasehat proyek penelitian guru. Apa yang dipresentasikan
para guru tak sedikit yang dimuat dalam jurnal-jurnal ilmiah atau bahkan terbit menjadi buku.

Semua kegiatan itu tak akan berjalan jika pemerintah setempat tak mendukungnya dengan
baik, dan para guru juga bersemangat untuk menjadi maju.  Semua guru yang hadir di forum
tersebut, datang dengan kerelaan, karena sekolah tidak pernah mewajibkan.  Mereka pun
secara mandiri membayar uang pendaftaran atau biaya akomodasi.  Karena menariknya
forum ini, dan pelaksanaanya yang selalu di hari Sabtu dan Minggu, memungkinkan semua
guru hadir, tidak hanya guru-guru Nagano, tetapi guru-guru di belahan Jepang yang lain pun
hadir.
Peranan pemerintah yang lainnya yang menurut saya sangat perlu dilaksanakan adalah
menyiapkan mediator yang memadai bagi para guru untuk saling berkomunikasi.  TV daerah
misalnya dapat dijadikan sebagai alat untuk memacu prestasi mengajar guru. Dengan
menyediakan slot acara pendidikan seperti metode mengajar guru sekolah A, bagaimana
menangani anak nakal atau bermasalah di sekolah B, dll, dapat menjadi sarana efektif untuk
pengembangan pendidikan di daerah.

Anda mungkin juga menyukai