Anda di halaman 1dari 6

ABSTRACT

The objective of this research to formulate Shari’ate Financial Statements from the real
transaction and business habitus of Indonesian Moslem Society. Formulation is conducted by
utilising Two-Steps Tazkiyah Methodology. Step one in that methodology, conventional concept
of financial statements and Baydoun and Willett’s (1994) Islamic Corporate Report’s are refined
by Shari’ate Accounting (derived from Islamic Values and Maqashid Asy-Syari’ah). Step two,
the result is then refined by (Islamic) Technosystem and Constructivist Structuralism to generate
Shari’ate Financial Statements.

The first result shows that ma’isyah-rizq-maal trilogy are the substance’s of shari’ate financial
statements. Ma’isyah is a representation of Islamic business transaction. Rizq is a representation
of Islamic value added creation. Maal is a representation of Islamic wealth.

The consequence of the second results shows that formulation of: (1) shari’ate cash flow
statement based on ma’isyah concept; (2) shari’ate value added statement based on rizq concept;
and (3) shari’ate balance sheet based on maal concept.

Keywords: Maisyah-Rizq-Maal Trilogy; Shari’ate Financial Statements; Shari’ate Cash Flow


Statement; Shari’ate Value Added Statement; Shari’ate Balance Sheet.

LAPORAN KEUANGAN SYARIAH BERBASIS TRILOGI MA’ISYAH-RIZQ-MAAL

ABSTRAKSI

Penelitian ini berkenaan dengan teknologi akuntansi syariah, khususnya mengenai laporan
keuangan. Tujuan penelitian ini adalah merumuskan Laporan Keuangan Syariah dari habitus
transaksi dan bisnis masyarakat Muslim Indonesia. Perumusan menggunakan metodologi
Metodologi Tazkiyah Dua-Langkah. Langkah pertama melakukan perubahan konsep laporan
keuangan konvensional dan Islamic Corporate Report’s dari Baydoun dan Willett (1994)
berdasarkan Akuntansi Syari’ah (diturunkan dari Nilai-nilai Islam dan Maqashid Asy-Syari’ah).
Perubahan tersebut dengan langkah kedua melalui Teknosistem (Islam) dan Perluasan
(Islamisasi) Constructivist Structuralism digunakanuntuk membentuk Laporan Keuangan
Syariah.

Hasil pertama menunjukkan bahwa trilogi ma’isyah-rizq-maal merupakan substansi laporan


keuangan syariah. Ma’isyah sebagai representasi transaksi bisnis Islami. Rizq sebagai
representasi penciptaan nilai tambah Islami. Sedangkan maal sebagai representasi kekayaan
Islami.

Konsekuensi dari penggunaan trilogi ma’isyah-rizq-maal adalah bahwa perumusan: (1) laporan
arus kas syari’ah berdasarkan pada konsep ma’isyah; (2) laporan nilai tambah syari’ah
berdasarkan pada konsep rizq; dan (3) neraca syari’ah berdasarkan pada konsep maal.
Keywords: Trilogi Maisyah-Rizq-Maal; Laporan Keuangan Syari’ah; Laporan Arus Kas
Syari’ah; Laporan Nilai Tambah Syari’ah; Neraca Syari’ah.
Berikut disampaikan konsep nilai tambah syariah atau disebut shariate value added.
Tulisan diambil dari Bab 5 buku berjudul  MENYIBAK AKUNTANSI SYARIAH oleh
AJI DEDI MULAWARMAN (Penerbit Kreasi Wacana Yogyakarta). Tulisan  dibagi
dalam 4 bagian mengingat panjangnya tulisan. Bagian Pertama berkaitan dengan Konsep
Value Added atau Nilai Tambah secara umum beserta definisinya. Selamat membaca

A. Konsep Value Added (Nilai Tambah) dalam Konteks Makroekonomi


Menurut Haller dan Stolowy (1995) Value Added (VA) atau Nilai Tambah adalah pengukuran
performance entitas ekonomi yang memiliki sejarah panjang pada aplikasinya dalam ilmu
ekonomi. VA merupakan konsep utama pengukuran income. Konsep ini secara tradisional
berakar pada ilmu ekonomi makro, terutama yang berhubungan dengan penghitungan
pendapatan nasional yang diukur dengan performance produktif dari ekonomi nasional yang
biasanya dinamakan Produk Nasional atau Produk Domestik. Hal tersebut merepresentasikan
nilai tambah perekonomian nasional dalam periode tertentu. Penggunaan secara universal konsep
VA juga telah banyak didiskusikan dan dipraktikkan sebagai kegunaan ekonomis dan indikator
performance dalam area yang berbeda dari ilmu ekonomi dan bisnis.
Konsep VA, menurut Gillchrist (1970) dalam Staden (2000), mulai muncul pertama kali pada
tahun 1790 dalam Sensus Pertama Produksi Amerika Serikat (The First North American Census
of Production), yaitu oleh Trenche Cox, pegawai di Departemen Keuangan yang kemudian
diadopsi oleh banyak negara-negara industri dalam menghitung Gross National Product (GNP),
sebagai respon untuk menghilangkan double counting dalam nilai tambah antara barang setengah
jadi dan barang jadi dalam produksi nasional. Sedangkan secara teoretis, menurut Haller dan
Stolowy (1995), konsep VA berakar dari konsep theory of the economic circle yang
dikembangkan pertama kali di Prancis oleh Quesnay dalam menciptakan “Tableau Economique”
sekitar 1670. Dalam konteks akuntansi nasional, VA awalnya sering digunakan sebagai indikator
perkembangan ekonomi suatu negara dibandingkan dengan negara lainnya. Sebenarnya tujuan
awalnya adalah untuk menunjukkan secara akurat perbandingan internasional berkaitan dengan
gambaran mengenai harmonisasi metode perhitungan VA.
Setelah Perang Dunia II, PBB melakukan pengembangan lebih jauh konsep standardisasi
penghitungan VA secara Nasional. Standardisasi National Income Accounting yang
dipublikasikan pertama kali tahun 1952 dan mengalami perubahan-perubahan sampai dengan
tahun 1993. Kemudian diadopsi oleh banyak negara menjadi standar perhitungan internasional
untuk pendapatan nasional. Agar konsep VA dapat dilihat lebih komprehensif lagi, perlu
dilakukan peninjauan lebih jauh mengenai konsep Pendapatan Nasional.

1. Konsep Pendapatan Nasional


Konsep pendapatan nasional awalnya digagas oleh Sir William Petty yang pada tahun 1665
menaksir pendapatan nasional Inggris sebesar 40 juta pound. Perhitungan Petty itu didasarkan
pada anggapannya bahwa pendapatan nasional merupakan penjumlahan biaya hidup (atau biasa
disebut konsumsi) selama setahun (Rosyidi 2001, 102).
Para ahli ekonomi modern kurang menyepakati pendapat Petty tersebut. Menurut pandangan
ilmu ekonomi yang lebih baru, konsumsi bukanlah satu-satunya unsur di dalam pendapatan
nasional, sedangkan pendapatan nasional itu sendiri bukanlah pokok pangkal dari semua
konsepsi pendapatan nasional. Para ahli modern lebih menyukai Produk Nasional Bruto (Gross
National Product-GNP) atau Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Bruto-GDP) sebagai alat
ukur pokok kegiatan perekonomian.
GDP menyatakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa.
Tujuan dari GDP adalah meringkas aktivitas ekonomi dalam nilai uang tunggal selama periode
waktu tertentu. Terdapat dua cara dalam melihat GDP; pertama, GDP sebagai pendapatan total
dari setiap orang di dalam perekonomian; dan kedua adalah sebagai pengeluaran total atas output
barang dan jasa perekonomian (Mankiw 2003, 16). Dalam pengukuran GDP, dipakai sistem
Akuntansi Pendapatan Nasional (National Income Accounting), yaitu sistem akuntansi yang
digunakan untuk mengukur GDP dan model statistik ekonomi yang terkait lainnya (Mankiw
2003, 16).
Pengukuran Pendapatan Nasional berdasarkan pada GDP dapat diukur dengan tiga pendekatan
(Mankiw 2003, 16; Kamus Ekonomi Collins 1994, 445-446):
a.    Pendekatan VA
Pendapatan nasional ditentukan dari output/produk dalam negeri dari barang-barang dan jasa-
jasa yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan dalam suatu negara. Total output ini tidak
mencakup nilai barang-barang dan jasa yang diimpor. Untuk menghindari penilaian yang terlalu
tinggi atas output yang diproduksi dengan double counting baik barang jadi dan jasa jadi maupun
barang setengah jadi dan jasa yang pada saat tertentu masih harus diolah menjadi output akhir,
hanya VA atau nilai tambah pada setiap proses produksi tersebut yang dimasukkan dalam
penghitungan pendapatan nasional. Jumlah dari seluruh nilai tambah dari setiap bagian
perekonomian (pertanian, pabrik, dan lainnya) sering dikenal sebagai Gross Domestic Product.
Sedangkan untuk mendapatkan Gross National Product, GDP masih harus ditambahkan dengan
pendapatan bersih yang diperoleh dari luar negeri (didefinisikan sebagai pendapatan bersih
dalam bentuk bunga, sewa, laba dan dividen yang diperoleh oleh penduduk suatu negara dari
aktiva yang mereka miliki di luar negeri).
b.    Pendekatan Pendapatan
Pendapatan Nasional ditentukan dari Total pendapatan penduduk suatu negara yang diperoleh
dari produksi barang dan jasa yang sedang berlangsung. Pendapatan ini disebut dengan Factor
Income sebab mereka ditambahkan pada faktor produksi, dan pembayaran transfer (transfer
payment) tidak dimasukkan dalam perhitungan, seperti tunjangan sakit dan tunjangan
pengangguran di mana tidak ada barang atau jasa yang diterima sebagai imbalannya. Jumlah dari
seluruh faktor pendapatan (upah dan gaji, pendapatan dari orang yang bekerja untuk diri sendiri
dan lain sebagainya) harus persis sama dengan GDP.
c.    Pendekatan Pengeluaran
Pendapatan Nasional ditentukan dari Pengeluaran domestik oleh suatu penduduk suatu negara
pada konsumen dan investasi barang-barang. Hal ini mencakup pengeluaran pada barang dan
jasa jadi (tidak termasuk barang dan jasa perantara atau setengah jadi), dan termasuk barang-
barang yang tidak terjual dan yang ditambahkan pada persediaan (investasi persediaan)

Dalam konteks GDP, dijelaskan oleh Mankiw (2003, 20) bahwa VA dari sebuah perusahaan
sama dengan nilai output perusahaan itu dikurangi nilai barang setengah jadi yang dibeli
perusahaan. Untuk perekonomian secara menyeluruh, jumlah seluruh nilai tambah harus sama
dengan nilai seluruh barang dan jasa akhir. Jadi GDP juga merupakan nilai tambah total dari
seluruh perusahaan dalam perekonomian.

2. Definisi Value Added atau Nilai Tambah


Dari konteks Pendapatan Nasional di atas dapat didefinisikan VA. Menurut Kamus Lengkap
Ekonomi Collins (1994), definisi VA:
Perbedaan antara nilai dari output suatu perusahaan atau suatu industri, yaitu total pendapatan
yang diterima dari penjualan output tersebut, dan biaya masukan dari bahan-bahan mentah,
komponen-komponen atau jasa-jasa yang dibeli untuk memproduksi komponen tersebut. VA
adalah nilai yang ditambahkan oleh suatu perusahaan ke bahan-bahan dan jasa-jasa yang
dibelinya melalui produksi dan usaha-usaha pemasarannya.

Definisi VA menurut Wurgler (2000) sebagai berikut:


Value Added is defined as the value of shipments of goods produced (output) minus the cost of
intermediate goods and required services (but not including labor), with appropriate adjustments
made for inventories of finished goods, work-in-progress, and raw materials.

Sedangkan definisi yang lebih detail menurut Ruggles dan Ruggles dalam Staden (2002):
…sebagai nilai tambah perusahaan, seperti penciptaan nilai dari aktivitas perusahaan dan para
karyawannya, yang dapat diukur dengan membedakan antara nilai pasar dari barang yang diputar
oleh perusahaan dan biaya dari barang dan material yang dibeli dari perusahaan (producer)
lainnya. Pengukuran ini akan mengeluarkan kontribusi yang dibuat oleh perusahaan lain pada
nilai total produksi perusahaan, sehingga sebenarnya VA secara esensial sama dengan penciptaan
nilai pasar oleh perusahaan.

3. Permasalahan Substansial dan Kritik terhadap GDP


Seperti dijelaskan di atas, bahwa sebenarnya GDP juga merupakan VA total dari seluruh
perusahaan dalam perekonomian. Tetapi dari beberapa pemikiran ekonomi yang baru, melihat
perhitungan Pendapatan Nasional berdasarkan konsep GDP masih menyisakan permasalahan
substansial. Salah satu pemikir ekonomi yang sangat keras menentang tersebut adalah Paul
Ormerod dalam bukunya yang terkenal, The Death of Economics. Menurut Ormerod (1998, 88-
106), perhitungan Pendapatan Nasional (National Accounting) tidak dapat mengukur
pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya dari masyarakat suatu negara. National Accounting
lanjut Ormerod (1998, 89) hanya tertuju pada tingkat permintaan dan penawaran yang kemudian
praktis terbatas pada transaksi yang bersifat uang, tidak melihat transaksi yang bersifat non uang
seperti pencemaran lingkungan dan pekerjaan rumah tangga, maupun black economy.
Bahkan pada tahun 1971 ketika diadakan Conference on Income and Wealth, menghasilkan
rumusan bahwa national accounts yang hanya menekankan transaksi pasar saja tidak dapat
dipertahankan. Biaya dan laba dari aktivitas lingkungan juga harus dimasukkan dalam national
accounts (Ormerod 1998, 91).
Pada tahun 1972, Tobin dan Nordhaus dalam Ormerod (1998, 91-92) menyusun Ukuran
Kesejahteraan Ekonomi (Measure of Economic Wealth-MEW) untuk mengukur tingkat
kesejahteraan ekonomi di Amerika Serikat tahun 1929-1965. Konsep itu dipertentangkan dengan
ukuran kegiatan ekonomi konvensional, GNP. Kendati tidak secara langsung peduli dengan
masalah lingkungan, hanya memasukkan penyesuaian nilai ekonomi waktu luang dan pekerjaan
rumah tangga, dan beberapa aspek urbanisasi seperti angkutan pulang-pergi dari rumah ke
tempat kerja, yang sebelumnya dijumlahkan dalam GNP, dalam MEW dijadikan faktor
pengurang. Dari perhitungan yang dilakukan, ternyata ditemukan korelasi yang tinggi antara
MEW dan GDP. Dua-duanya sama-sama mengalami pertumbuhan, tetapi MEW mengalami
pertumbuhan yang lebih lambat daripada GNP, sekitar 0,5 persen.
Hal yang sama dalam menguji pendapatan nasional dilakukan oleh Daly dan Cobb dalam buku
mereka yang berjudul For the Common Good (1989) dalam Ormerod (1998, 93), dengan
memeriksa perkembangan ekonomi AS dari tahun 1950-1986 dan menyusun Indeks yang disebut
Index of Sustainable Economic Welfare-ISEW). Mereka menekankan pentingnya konsep
sustainability dan environmental factors. Perhitungan ISEW menunjukkan pendapatan per kapita
naik hanya 0,9% per tahun, sedang menurut GDP naik sampai 2% per tahun. Kemudian juga
diketahui bahwa dalam jangka panjang masyarakat memang bertambah makmur, tetapi tidak
secepat yang diisyaratkan oleh ukuran kemakmuran konvensional.
Tetapi, menurut Ormerod (1998, 94) tantangan paling besar berdasarkan cara berpikir
lingkungan (environmental thinking) terhadap ilmu ekonomi ortodoks tidak terletak pada
National Accounts, melainkan pada gambaran ilmu ekonomi mengenai kodrat manusia dan
masyarakat. Dari konteks ilmu ekonomi ortodoks menurut Ormerod (1998, 95) pandangan
masyarakat terdiri dari individu-individu yang hidup dalam hitung-hitungan rasional saja
berdasarkan kepentingan diri sendiri (self-interest). Tetapi, hal itu ternyata dipatahkan oleh
penelitian yang dilakukan oleh Frank, Gilovich dan Reagen dari Universitas Cornell (dalam
Ormerod 1998, 96-97), yang melihat bahwa orang tidaklah berpikir menurut logika ekonomi,
yang self-interest dan rational calculation, tetapi, orang lebih sering bersedia bekerja sama. Sifat
kerjasama ini juga diungkapkan oleh Robert Axelrod dalam bukunya, The Evolution of Co-
operation (1984) dalam Ormerod (1998, 98), bahwa perilaku kerjasama jauh lebih
menguntungkan daripada mementingkan diri sendiri
Jadi sebenarnya, menurut para pemikiran lingkungan (environmental thinking) bahwa perilaku
kooperatif mendatangkan manfaat, tindakan manusia saling bergantung dan saling terkait, baik
bagi dirinya, lingkungannya, maupun bagi akibat masa kini dan masa depan (Ormerod 1998, 99).
Harusnya manusia melihat dunia bukan seperti mesin, tetapi seperti organisme yang hidup (lihat
juga Capra, 1997).
Di samping itu, selain dipandang sebagai pengukur kemampuan suatu negara menciptakan nilai
tambah bagi produksi nasional, VA seharusnya juga dipandang sebagai alat ukur pengalokasian
bagi kemampuan perusahaan-perusahaan dalam suatu negara meningkatkan nilai tambahnya.
Tetapi saat ini malah VA telah menjadi alat untuk mengukur alokasi modal (Wurgler 2000).
Bahkan, bila kita lihat penelitian yang dilakukan oleh Wurgler (2000), VA sekarang telah
dipakai dan tereduksi dalam bentuk angka statistik yang berubah bentuk dalam pertumbuhan
ekonomi perusahaan yang harus muncul dalam GDP, dan kemudian mengarah pertumbuhan VA
yang merefleksikan kepentingan pengukuran investasi nasional. Maka sebenarnya, konsep VA
telah tereduksi menjadi alat ukur bagi kepentingan suatu negara yang berkarakter kapitalistik.
Hal ini sesuai dengan penjelasan Raj (1989, 3) bahwa sebenarnya pemikiran perusahaan yang
masih menganut sistem kapitalisme, akan selalu melakukan orientasi usahanya untuk
memaksimalkan kekayaan para shareholders saja.
Hal ini berbeda dari konsep VA yang sebenarnya dalam melihat Pendapatan Nasional. Seperti
dijelaskan lebih lanjut oleh Raj (1989, 4), ketika pemikiran pertumbuhan ekonomi diukur dalam
term produk nasional, maka tujuan dari perusahaan dalam pandangan ini, pasti akan
memaksimalkan produk nasional atau pendapatan nasional. Produk nasional naik ketika VA
naik, sehingga dari konsep VA yang sebenarnya, tujuan mendasar dari perusahaan adalah
memaksimalkan VA (Raj, 1989, 4). Sehingga perusahaan akan memiliki dua obligasi mendasar
dalam menjalankan usahanya; pertama, obligasi pada pemilik; kedua, obligasi pada masyarakat
atau negara (Raj 1989, 5).

Anda mungkin juga menyukai