Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia menurut lembaga survey internasional Political and Economic

Risk Consultancy yang bermarkas di Hongkong merupakan negeri terkorup di

Asia. Indonesia terkorup di antara 12 negara di Asia, diikuti India dan Vietnam.

Thailand, malaysia, dan Cina berada pada posisi keempat. Sementara negara yang

menduduki peringkat terendah tingkat korupsinya adalah Singapura, Jepang,

Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan. Pencitraan Indonesia sebagai negara paling

korup berada pada nilai 9,25 derajat, sementara India 8,9; Vietman 8,67;

Singapura 0,5 dan Jepang 3,5 derajat dengan dimulai dari 0 derajat sampai 10.1

Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan

bahwa tingkat korupsi di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam

ini termasuk yang paling tinggi di dunia. Bahkan koran Singapura, The Straits

Times, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country.

Mantan ketua Bappenas, Kwik Kian Gie, menyebut lebih dari Rp.300 triliun dana

dari penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun penggelapan hasil sumberdaya

alam, menguap masuk ke kantong para koruptor. Di samping itu, korupsi yang

biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh

pejabat negara menjadi tidak optimal. Heboh privatisasi sejumlah BUMN,

lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU Energi, juga RUU SDA, impor

1
Kompas, 4 Maret 2004

1
2

gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak sebagai kebijakan yang

sangat kolutif karena di belakangnya ada motivasi korupsi.2

Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia, pejabat dan birokrat

di negara ini dicap sebagai tukang rampok, pemalak, pemeras, benalu, self

seeking, dan rent seeker, khususnya di hadapan pengusaha baik kecil maupun

besar, baik asing maupun pribumi. Ini berbeda dengan, konon, birokrat Jepang

dan Korea Selatan yang membantu dan mendorong para pengusaha untuk

melebarkan sayapnya, demi penciptaan lapangan kerja alias pemakmuran warga

negara.3

Korupsi semakin menambah kesenjangan akibat memburuknya distribusi

kekayaan. Bila sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah sedemikian

menganga, maka korupsi makin melebarkan kesenjangan itu karena uang

terdistribusi secara tidak sehat atau dengan kata lain tidak mengikuti kaedah-

kaedah ekonomi sebagaimana mestinya. Koruptor makin kaya, yang miskin

semakin miskin. Akibat lainnya, karena uang seolah mudah dipeoleh, sikap

konsumtif menjadi semakin merangsang, tidak ada dorongan kepada pola

produktif, akhirnya timbul inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi

yang telah tersedia.4

2
M Ismail Yusanto, “Islam dan Jalan Pemberantasan Korupsi,” http: / b.domaindlx.com /
samil / 2004 / read news. tajuk.

3
Samodra Wibawa, “Korupsi: Sebab-Musabab dan Agama,”
http://www.geocities.comcom/adeniha/korup_agama.htm.

4
M Ismail Yusanto, “Islam dan jalan Pemberantasan Korupsi,”http: / b.domaindlx.com /
samil / 2004 / read news. tajuk.
3

Korupsi juga dituding sebagai penyebab utama keterpurukan bangsa ini.

Akibat perbuatan korup yang dilakukan segelintir orang maka kemudian seluruh

bangsa ini harus menanggung akibatnya. Ironisnya kalau dulu korupsi hanya

dilakukan oleh para pejabat dan hanya di tingkat pusat, sekarang hampir semua

orang baik itu pejabat pusat maupun daerah, birokrat, pengusaha, bahkan rakyat

biasa bisa melakukan korupsi. Hal ini bisa terjadi barangkali karena dahulu orang

mengganggap bahwa yang bisa korupsi hanya orang-orang orde baru sehingga

mumpung sekarang orde baru runtuh semua berlomba-lomba untuk ‘meniru’

perilaku korup yang dilakukan orang-orang Orde Baru. Alasan lain yang hampir

sama barangkali seperti yang dipaparkan oleh Rieke Diyah Pitaloka dalam

tesisnya bahwa kekerasan yang dilakukan masyarakat sipil bukan sesuatu yang

otonom, tetapi ada disposisi antara aktor dan kekerasan itu sendiri. Artinya, antara

si penguasa dan pelaku kekerasan itu ada timbal balik, contohnya adalah kasus

korupsi. Jadi ada semacam perpindahan kekerasan dari negara kepada masyarakat.

Perilaku korupsi yang dilakukan oleh hanya segelintir pejabat negara akhirnya

‘berpindah’ dilakukan oleh masyarakat biasa.5

Yang lebih berbahaya lagi, korupsi ini tidak hanya dilakukan oleh per

individu melainkan juga dilakukan secara bersama-sama tanpa rasa malu.

Misalnya korupsi yang dilakukan seluruh atau sebagian besar anggota

DPR/DPRD. Jadi korupsi dilakukan secara berjamaah. Yang lebih berbahaya lagi

sebenarnya adalah korupsi sistemik yang telah merambah ke seluruh lapisan

masyarakat dan sistem kemasyarakatan. Dalam segala proses kemasyarakatan,

5
Rieke Diyah Pitaloka, Banalitas Kejahatan: Aku Yang Tak Mengenal Diriku, Telaah
Hannah Arendt Perihal Kekerasan Negara, (Tesis, UI Jakarta, 2004)
4

korupsi menjadi rutin dan telah diterima sebagai alat untuk melakukan transaksi

sehari-hari. Selain itu, korupsi pada tahap ini sudah mempengaruhi perilaku

lembaga dan individu pada semua tingkat sistem politik serta sosio-ekonomi.

Bahkan, pada tingkat korupsi sistemik seperti ini, kejujuran menjadi irrasional

untuk dilakukan.6

Jika kenyataannya sudah sedemikian parah, maka tidak ada upaya lain

yang harus dilakukan kecuali mengerahkan segala kemampuan dan segenap

energi bangsa ini untuk bersama-sama bahu membahu memberantas penyakit

yang sudah sangat kronis ini. sudah saatnya bangsa ini mengibarkan bendera

perang terhadap tindak korupsi ini.

Korupsi bisa terjadi apabila karena faktor-faktor sebagai berikut:

a. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang

mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang

menjinakkan korupsi.

b. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.

c. Kolonialisme.

d. Kurangnya pendidikan.

e. Kemiskinan.

f. Tiadanya hukuman yang keras.

g. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.

h. Struktur pemerintahan.

i. Perubahan radikal.

6
Khoiruddin Bashori, “Sambutan”, dalam “Membangun Gerakan Antikorupsi Dalam
Perspektif Pendidikan”, (Yogyakarta: LP3 UMY, 2004), hlm. II-VII.
5

j. Keadaan masyarakat.7

Sementara Soejono memandang bahwa faktor terjadinya korupsi,

khususnya di Indonesia, adalah adanya perkembangan dan perbuatan

pembangunan khususnya di bidang ekonomi dan keuangan yang telah berjalan

dengan cepat, serta banyak menimbulkan berbagai perubahan dan peningkatan

kesejahteraan. Di samping itu, kebijakan-kebijakan pemerintah, dalam upaya

mendorong ekspor, peningkatan investasi melalui fasilitas-fasilitas penanaman

modal maupun kebijaksanaan dalam pemberian kelonggaran, kemudahan dalam

bidang perbankan, sering menjadi sasaran dan faktor penyebab terjadinya

korupsi.8

Sedangkan faktor yang menyebabkan merajalelanya korupsi di negeri ini

menurut Moh. Mahfud MD adalah adanya kenyataan bahwa birokrasi dan

pejabat-pejabat politik masih banyak didominasi oleh orang-orang lama. Lebih

lanjut menurutnya orang-orang yang pada masa Orde Baru ikut melakukan

korupsi masih banyak yang aktif di dalam proses politik dan pemerintahan. Upaya

hukum untuk membersihkan orang-orang korup itu juga gagal karena para

penegak hukumnya juga seharusnya adalah orang-orang yang harus dibersihkan.9

Faktor lainnya adalah hukum yang dibuat tidak benar-benar untuk kesejahteraan

masyarakat (Rule of Law), tetapi justru hukum dijadikan alat untuk mengabdi

7
Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data
Kontemporer, (Jakarta: LP3ES, 1986) hlm. 46-47.

8
Soejono, SH., MH., Kejahatan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1996) hlm. 17.

9
Moh. Mahfud MD., Setahun Bersama Gus Dur Kenangan Menjadi Menteri di Saat
Sulit, (Jakarta: LP3ES, 2003) halm. 167
6

kepada kekuasaan atau kepada orang-orang yang memiliki akses pada kekuasaan

dan para pemilik modal (Rule by Law). Sebaliknya masyarakat kecil tidak bisa

merasakan keadilan hukum. Hukum menampakkan ketegasannya hanya terhadap

orang-orang kecil, lemah, dan tidak punya akses, sementara jika berhadapan

dengan orang-orang ‘kuat’, memiliki akses kekuasaan, memiliki modal, hukum

menjadi lunak dan bersahabat. Sehingga sering terdengar ucapan, seorang pencuri

ayam ditangkap, disiksa dan akhirnya dihukum penjara sementara para pejabat

korup yang berdasi tidak tersentuh oleh hukum (untouchable)10

Namun demikian sebenarnya usaha-usaha pemberantasan korupsi di

Indonesia sudah banyak dilakukan, tetapi hasilnya kurang begitu nampak.

Walaupun begitu tidak boleh ada kata menyerah untuk memberantas penyakit ini.

Penulis melihat karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim penting dan

logis kiranya untuk meneliti postulat hukum Islam kaitannya dengan korupsi dan

bagaimana perspektif dan kontribusinya terutama terhadap kasus korupsi yang ada

di Indonesia.

Penulis sendiri berkeyakinan bahwa Islam datang untuk membebaskan dan

memerangi sistem ketidakadilan bukan malah untuk melegalkan praktik-praktik

yang melahirkan eksploitasi dan ketidakadilan. Tindak korupsi tentu termasuk hal

yang harus diperangi Islam karena dapat menimbulkan masalah besar. Dengan

kata lain, Islam harus ikut pula bertanggungjawab memikirkan dan memberikan

solusi terhadap prilaku korupsi yang sudah menjadi epidemis ini. Tentunya Islam

10
Buletin al Islam Edisi 215, “Ancaman Allah Terhadap Pejabat Yang Tidak Amanah”,
http: //www.hizbut.tahrir.or.id/modules.php.
7

tidak bisa berbicara sendiri, harus ada usaha-usaha untuk menyuarakan konsep-

konsep Islam, salah satunya dengan membongkar dogma hukum Islam.

Sejauh pengetahuan penulis, kata korupsi secara literer memang tidak

ditemukan dalam khasanah hukum Islam, tetapi substansi dan persamaannya bisa

dicari dan ditelusuri dalam hukum Islam. Analogi tindakan korupsi bisa ke arah

Ghulul, sariqoh, pengkhianatan dan lain-lain, tetapi terma-terma tersebut masih

perlu dikaji lebih lanjut. Terlebih lagi kalau menelusuri konsep hukum Islam

untuk ikut memberantas tindakan korupsi.

Maka pada titik inilah menurut penulis penelitian ini penting untuk

dilakukan tidak saja untuk mengklarifikasi kegundahan-kegundahan sebagaimana

yang dirasakan penulis di atas tetapi lebih dari itu diharapkan bisa memberikan

jalan keluar terhadap mewabahnya tindakan korup ini dan bisa sama-sama ikut

serta menegakkan supremasi hukum di negeri berpenduduk Muslim terbesar di

dunia ini.

B. Pokok Masalah

Penelitian ini memfokuskan pada permasalahan korupsi dan

pemberantasannya di Indonesia dalam perspektif hukum Islam. Pola

pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah belum terasa

membawa hasil maksimal, maka kami berinisiatif sebagai bagian dari warga

bangsa ini untuk ikut serta memikirkan kasus korupsi dan pemberantasannya ini

dalam perspektif hukum Islam. Dalam penelitian ini penyusun akan memaparkan

hal-hal sebagai berikut berikut:


8

1. Bagaimanakah prespektif hukum Islam mengenai tindak korupsi di

Indonesia?

2. Bagaimana kontribusi hukum Islam untuk memberantas korupsi di

Indonesia?

C. Tujuan dan Kegunaan

- Tujuan

1. Untuk mendeskripsikan korupsi dan pemberantasannya di Indonesia.

2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam tentang korupsi dan cara

pemberantasannya.

- Kegunaan

1. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan kontribusi positif

terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi yang sudah akut di

Indonesia.

2. Sebagai sumbangan dalam memperkaya khazanah penelitian tentang

korupsi terutama yang terjadi di Indonesia

D. Tela’ah Pustaka

Beberapa karya mengenai Korupsi yang sudah pernah ditulis antara lain

buku berjudul Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya karya Andi

Hamzah11. Buku ini membahas tentang korupsi yang terjadi di Indonesia mulai

dari sejarahnya, sebab-sebab, akibat sampai peraturan dan institusi

pemberantasannya.

11
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1984)
9

Kemudian karya S.H. Alatas yang berjudul Sosiologi Korupsi Sebuah

Penjelajahan Dengan Data Kontemporer12. Buku ini merupakan buku saku

mengenai korupsi, dibahas di dalamnya tentang definisi korupsi, fungsi, sebab-

sebab, dan cara pencegahannya. Buku lainnya adalah Controlling Corruption

buah karya Robert Klitgaard yang dialihbahasakan oleh Hermoyo dengan judul

Membasmi Korupsi13. Buku ini secara komprehensif menjelaskan tentang korupsi

mulai dari sasaran, pengertian, penyebab sampai pada upaya-upaya atau kebijakan

pemberantasannya. Hanya saja buku ini tidak secara khusus membahas korupsi di

Indonesia, meski demikian buku ini tetap penting untuk dibaca.

Kemudian buku karangan Lilik Mulyadi, SH. Tindak Pidana Korupsi. Di

dalamnya menjelaskan tindak pidana korupsi sebagai salah satu bagian dari

hukum pidana khusus, maka tindak pidana korupsi mempunyai kekhususan

tertentu, ditinjau dari aspek hukum acara dan hukum materialnya14.

Kemudian literatur keislaman yang berkaitan dengan masalah korupsi

adalah buku yang berjudul Al-Halal wa al-Haram Fi al-Islam tulisan Dr.

Muhammad Yusuf al-Qardawi. Dalam sub bab hubungan masyarakat, pada bagian

hurmah al-amwal (melindungi harta benda) menekankan bahwa Islam

membenarkan hak milik pribadi, maka Islam akan melindungi hak milik tersebut

dengan undang-undang15.

12
S. H. Alatas, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer,
(Jakarta: LP3ES, 1986)
13
Robert Klitgaard, Controlling Corruption, diterjemahkan oleh Hermoyo dengan
Membasmi Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998)

14
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000)

15
Muhammad Yusuf al-Qardawi, Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Beirut: Al Maktab
al-Islami, 1994), hlm. 298.
10

Adapun yang berbicara tentang suap dijelaskan di dalam buku at-Ta’zir fi

Asy-Syari’ah Al-Islamiyah karya Abd Al-Azis Amir. Suap dikategorikan sebagai

salah satu bentuk jarimah ta’zir. Dalam buku tersebut hanya mencontohkan kasus

penyuapan terhadap hakim yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana supaya

hukumannya diringankan.

Selanjutnya al-Mawardi dalam al-Ahkam as-Sultaniyah16 menyebutkan

bahwa perbuatan tindak pidana yang menurut ketentuan-ketentuan syara’ adanya

larangan yang diancam dengan hukuman had dan ta’zir, dan berbuat atau tidak

berbuat baru dianggap sebagai tindak pidana apabila diancamkan hukuman

terhadapnya.

Sebuah skripsi yang ditulis Nurul Khoiriyah Darmawati17, berjudul

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyimpulkan bahwa korupsi

digolongkan ke dalam jarimah ta’zir yang macam dan batasan hukumnya

diserahkan kepada penguasa selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip

syari’ah serta dapat mewujudkan al maslahah al ‘ammah. Di samping itu, UU

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah

sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam.

Kemudian ada buku yang ‘sepertinya’ berasal dari kumpulan ceramah

berjudul Korupsi Dalam Perspektif Agama-Agama diterbitkan oleh LP3 UMY18.


16
al-Mawardi, al-Ahkam as-Sultaniyah, (Mesir: Dar al-Bab al-Halabi, 1973) hlm. 219.

17
Nurul Khoiriyah Darmawati, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Yogyakarta, skripsi Fak.
Syari’ah, 2004) tidak diterbitkan.

18
Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc., M. Ag. Dkk, Korupsi Dalam Perspektif Agama-Agama,
(Yogyakarta: LP3 UMY, Partnership: Governance Reform in Indonesia, Koalisi Antarumat
11

Buku yang merupakan kumpulan tulisan tersebut menjelaskan tentang korupsi

dari sudut pandang agama-agama, tetapi lebih menekankan kepada aspek

moralnya saja. Dengan kata lain, pemberdayaan agama untuk menjalankan

fungsinya sebagai moral force dalam rangka pemberantasan korupsi.

E. Kerangka Teori

Tindak korupsi dari sudut pandang apapun jelas tidak bisa dibenarkan.

Oleh karena itu, tindakan korupsi adalah perbuatan salah. Dalam hukum Islam,

perbuatan dosa atau perbuatah salah disebut jinayah19 atau jarimah20. Abd al-

Qodir Awdah mendefinisikan Jinayah: “Perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik

perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya”21. Jadi jinayah merupakan

tindakan yang dilarang oleh syara’ karena bisa menimbulkan bahaya bagi jiwa,

harta, keturunan, dan akal. Sementara mengenai pengertian jarimah, al-Mawardi

mendefinisikannya: “Larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan

hukuman had atau ta’zir”22.

Jinayah atau jarimah dalam ketentuan hukum Islam memiliki sanksi yang

berupa had dan ta’zir. Perbedaannya had ketentuan sanksinya sudah dipastikan

oleh nash sementara ta’zir pelaksanaan hukumannya diserahkan sepenuhnya

kepada penguasa.

Beragama untuk Antikorupsi, 2004)

19
Luwis Ma’luf, al-Munjid, (Bairut: Dar al-Fikr, 1954), hlm. 88.

20
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967),hlm. 2.

21
Abd. al-Qodir Awdah, at-Tasyri’ al-Jinai al-Islami, (Bairut: Dar al-Kutub, 1963), I: 67.

22
al Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah, (Mesir: Dar al-Bab al-Halabi, 1973), hlm. 219.
12

Menurut Makhrus Munajat23, apa yang menyebabkan suatu perbuatan

dianggap sebagai suatu tindak kejahatan tidak lain adalah karena perbuatan itu

sangat merugikan kepada tatanan kemasyarakatan, atau kepercayaan-kepercayaan

atau harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan lain sebagainya, yang

kesemuanya itu menurut hukum syara’ harus dipelihara dan dihormati serta

dilindungi. Suatu sanksi diterapkan kepada pelanggar syara’ dengan tujuan agar

seseorang tidak mudah berbuat jarimah. Korupsi adalah perbuatan yang sangat

merugikan baik kepada individu, masyarakat, dan negara. Bahkan dampak yang

ditimbulkan dari perilaku korupsi begitu luas terhadap moral masyarakat (al

akhlak al karimah), kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, pantas

kalau korupsi dalam hukum positif dimasukkan sebagai ‘extraordinary crime’,

kejahatan luar biasa.

Meskipun tindak korupsi secara jelas merupakan perbuatan salah dan

termasuk kategori jinayah atau jarimah namun secara jelas syara’ tidak

menyebutkan kata ‘korupsi’ dalam nash-nash baik al-Qur’an maupun hadis. Oleh

karena itu, maka dibutuhkan ‘ijtihad’ misalnya dengan menggunakan metode

qiyas (analogi) untuk menemukan persamaan korupsi dalam literatur hukum

23
Drs. Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2004), hlm. 5.
13

Islam, melihat unsur-unsur umum-khusus jarimahnya24, dan menentukan

sanksinya.

Menurut teori konvensional, Salah satu cara yang paling baik untuk

memerangi kejahatan semisal korupsi adalah dengan menghukum para penjahat

atau pelaku dengan hukuman yang seberat-beratnya25. Pemberantasan korupsi di

RRC China misalnya dipandang berhasil karena para koruptor dijatuhi hukuman

mati. Hanya persoalannya apakah penerapan hukuman yang seberat-beratnya

tersebut misalnya sampai hukuman mati tidak dianggap melanggar HAM. Hal ini

lagi-lagi akan menjadi perdebatan internasional dan menjadikan ruang yang

sangat dilematis dalam upaya pemberantsan korupsi. Pada satu sisi ingin berhasil

memberantas korupsi, tapi pada sisi yang lain khawatir dianggap melanggar

HAM. Namun demikian, pemberian hukuman yang seberat-beratnya bahkan

sampai hukuman mati terhadap para pelaku korupsi bisa menjadi pertimbangan

yang sangat logis di tengah kebuntuan jalan dalam memberantas penyakit

tersebut, sehingga membuat para pelakunya jera dan tidak akan mengulangi lagi

24
Unsur-unsur umum jarimah meliputi 1) unsur formil, yaitu setiap perbuatan tidak
dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dipidana kecuali adanya nash atau undang-
undang yang mengaturnya. Dalam hukum positif biasanya disebut asas legalitas. 2) unsur materiil,
yaitu adanya tingkah laku seseorang yang membentuk jarimah, baik dengan sikap berbuat maupun
sikap tidak berbuat. Unsur ini dalam hukum pidana Islam disebut ar-rukn al-madi. Dan 3) unsur
moril, yaitu pelaku jarimah adalah orang yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap
jarimah yang dilakukannya. Dalam hukum pidana Islam unsur ini disebut ar-ruknu al-adabi.
Sementara unsur khusus adalah unsur yang hanya terdapat pada peristiwa pidana (jarimah)
tertentu dan berbeda antara unsur khusus pada jenis jarimah yang satu dengan jenis jarimah yang
lainnya. Baca Abd Qadir Awdah, at-Tasyri’i: 121, Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran
Ahli Sunnah Wa al Jama’ah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968) hlm. 48, dan Ahmad Hanafi, Asas-
asas, hlm. 36.
25
Teori ini dikemukakan oleh Krishnanda Wijaya-Mukti yang mengutip dari Robert Pheel
(1717). Krishnanda Wijaya-Mukti, “Membangun Sinergi Pendidikan dan Agama dalam Gerakan
Anti Korupsi” , dalam buku Membangun Gerakan Antikorupsi Dalam Perspektif Pendidikan,
(Yogyakarta: LP3 UMY, Partnership: Governance Reform in Indonesia, Koalisi Antarumat
Beragama untuk Antikorupsi, 2004), hlm. 59.
14

perbuatannya serta menjadi peringatan dini yang sangat serius bagi orang lain

yang mungkin akan mencobanya.

F. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian

sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) yaitu

penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji atau menelaah sumber-sumber

kepustakaan khususnya mengenai korupsi dan pemberantasannya di Indonesia

dalam prespektif hukum Islam.

Penelitian ini menurut pengertian Pollack termasuk legal research yang

bertujuan hendak menguji apakah suatu postulat normatif tertentu (postulat

hukum Islam) memang dapat atau tidak dapat dipakai untuk memecahkan suatu

masalah hukum tertentu in concreto dalam hal ini kasus korupsi dan

pemberantasannya di Indonesia.26

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik yaitu menggambarkan dan

menganalisa secara cermat tentang korupsi dan pemberantasannya di Indonesia

dalam prespektif hukum Islam.

3. Tehnik Pengumpulan Data

26
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2001), hlm. 94.
15

Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan cara literer yaitu dengan

menela’ah dan meneliti buku-buku yang memuat tentang wacana korupsi dan

pemberantasannya di Indonesia dalam prespektif hukum Islam.

4. Metode Analisis Data

Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, kemudian dilakukan analisa data

dengan cara:

1) Deduktif: yaitu kerangka berfikir dengan berpijak dari konsep umum

tentang korupsi dan pemberantasannya lalu diformulasikan dalam bentuk

kesimpulan-kesimpulan yang bersifat khusus,27 parsial dan kasuistik yakni

kasus korupsi dan pemberantasannya di Indonesia.

2) Analitis: yaitu pertama, menganalisa data-data mengenai korupsi dan

pemberantasannya di Indonesia yang terkumpul sebagai dasar dalam

penarikan kesimpulan.28 Kedua, menganalisa seperangkat postulat hukum

Islam yang bisa dinisbatkan dengan korupsi untuk kemudian

dikontekstualisasikan dengan kasus korupsi di Indonesia.

5. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam meneliti korupsi dan

pemberantasannya di Indonesia dalam perspektif hukum Islam adalah

pendekatan normatif. Yaitu pendekatan yang lebih menekankan kepada

27
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), hlm. 44.

28
Ibid., hlm. 50.
16

ketentuan-ketentuan hukum Islam yang telah ada baik secara tekstual maupun

kontekstual.

Anda mungkin juga menyukai

  • Jurnal Korupsi
    Jurnal Korupsi
    Dokumen24 halaman
    Jurnal Korupsi
    saif_struggler
    100% (26)
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen5 halaman
    Daftar Pustaka
    saif_struggler
    100% (4)
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen2 halaman
    Bab V
    saif_struggler
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi
    saif_struggler
    100% (2)
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen16 halaman
    Bab Iv
    saif_struggler
    100% (7)
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen21 halaman
    Bab Ii
    saif_struggler
    100% (9)
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen23 halaman
    Bab Iii
    saif_struggler
    Belum ada peringkat