Pendahuluan
Islam adalah agama yang bisa menyesuaikan diri dengan budaya pada daerah yang
dimasukinya. Bahkan budaya yang sudah lama melekat pada suatu masyarakat yang
jauh adanya sebelum masuk Islam itu tetap deliharah oleh Islam selama adat budaya itu
tidak berseberangan dengan dasar aqidah dan ajaran Islam. Dan itu tetap akan
dilestarikan oleh Islam.
Maka untuk memutuskan suatu budaya atau adat itu bias terus dipakai dalam
keseharian dalam beragama Islam maka sangatlah diperlukan sebuah ilmu untuk
mengukur kemampanannya, maka dalam hal ini peranan ‘Urf sangatlah diperlukan
sebagai tolok ukur pelaksanan sebuah budaya atau sebuah adat tradisi.
Berangkat dari masalah ini kami pemakalah mencoba sedikit banyaknya untuk
menguraikan pembahasan ‘Urf ini yang kami kira sangat perlu untuk kita pahami.
Semoga yang kemidian kami uraikan ini menjadi mamfaat yang tak terhingga
berkahnya.
1
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian ‘uruf dan contohnya
Adapun ‘uruf menurut syara’ dalam kajian usul fiqh ialah, suatu kebiasaan
masyarakat yang sangat dipatuhi dalam kehidupan mereka sehingga mereka merasa
tentram. Kebiasaan yang telah berlangsung lama itu dapat berupa ucapan dan perbuatan,
baik yang bersifat khusus maupun yang bersifat umum. Dalam konteks ini, kami
mengistilahkan ‘uruf semakna dengan istilah al- ‘adah ( adat kebisaan).1
Sebagian ahli tidak setuju menyamakan antara adat dan ‘urf. Dari sisi maknanya,
adat mengandung arti perulangan. Karenanya, segala sesuatu yang baru dilakukan satu
kali belum dinamakan adat. Namun, berapa kali suatu perbuatan harus dilakukan baru
disebut adat, tidak pula ada ukuran dan banyaknya. Ini tergantung pada perbuatan yang
dilakukan tersebut. Sementara sesuatu yang dikatakan ‘urf tidak dilihat dari sisi
berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi lebih dilihat dari sisi bahwa
2
perbuatan itu telah dikenal, diakui dan diterima banyak orang. Dan ‘urf mempunyai dua
sifat yang sangat jelas adanya, yaitu bersifat perbuatan dan yang bersifat ucapan.2
1
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu ushul fiqh, Semarang, hal. 123
2
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta. jilid 2 h. 363.n
Adapun yang menjadi dasar atau ladasan hukum ‘urf ialah seperti yang terdapat
pada surat al-a’raf [199], yakni:
خِذ
ُ ف َوْأُمْر الَعْفو
ِ ض ِبالُعْر
ْ عِر
ْ ن َوا
ِعَ ن
َ جِهِلْي
َ ” الJadilah
engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari
pada orang-orang yang bodoh.”3
1. Kata al ‘urf pada ayat tersebut, dimana umat manusia mengerjakan yang
ma’ruf, para ulama ushul fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah
menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan ayat diatas dipahami seabagai
3
perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik, sehingga telah
menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
2. Pada dasarnya syariat Islam dari masa awal, banyak menampung dan
mengakui adat atau tradisi itu aslakan tidak bertentangan Al-quran dan As-
sunnah. Kedatangan Islam tidak akan mengahapus sama sekali tradisi yang
telah menyatu dengan kehidupan masyarakat, tetapi secara selektif ada yang
diakui dan dilestarikan dan ada pula yang dihapuskan.
3
Qur’an, Surat Al-a’raf, ayat 199
Contoh: ada kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara bagi untung,
praktik seperti ini berkembang dikalangan bangsa Arab sebelum Islam, setealah
kedatangan Islam tradisi yang demikian masih diakui dan dilestarikan oleh Islam
sehingga menjadi hukum Islam.
Mengenai kehujahan ‘urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’
tersendiri. Pada umumnya, ‘urf ditunjukan untuk memelihara kemashlahatan ummat
serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengan ‘urf
dikhususkan lafal yang ‘amm (umum) dan dibatasi yang mutlak. Karena ‘urf pula
terkadang qiyas ditinggalkan. Sebagai contoh kami misalkan pada sahnya kontrak
borongan apabila ‘urf sudah biasa dalam hal ini, sekalipun tidak menurut qiyas, Karena
kontrak tersebut adalah kontrak atas perkara yang ma’dum (tiada).
Mengamati bentuk bentuk ‘urf , dapat dibagi menjadi dua macam., yaitu ‘urf
shahih dan ‘urf fasid .
1. ‘urf shahih ( )العرف الصحيحialah, suatu kebiasaan yang telah dikenal secara baik
dalam masyarakat dan kebiasaan itu sejalan dengan nilai nilai yang terdapat
dalam ajaran Islam ( tidak bertentangan dengan dalil syara’), serta kebiasaan
itu tidak menghalalkan yang haram atau sebaliknya. Contohnya, kebiasaan
pengantin, bahwasanya perhiasan yang diberikan oleh pihak peminang kepada
wanita yang dipinangnya adalah hadiah, bukan bagian dari pada maskawin
(mahar).
4
2. Adapun yang dimaksud dengan ‘urf fasid ( )العرف الفاسدialah suatu kebiasaan
dalam masyarakat, tetapi kebiasaan itu tidak sejalan atau bertentangan dengan
ajaran Islam atau menhalalkan yang haram atau sebaliknya. Umpamanya ,
Apabila manusia telah saling mengenal akad akad yang rusak, seperti akad
riba dan gharar atau akad khatar (tipuan dan membahayakan), maka bagi ‘urf
ini tidak mempunyai pengaruh dalam membolehkannya, maksudnya ‘urf tidak
membolehkan akad semacam itu.4
4
amir syarifuddin, ushul fiqh, hal 97
Urf shahih sendiri dapat dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu ‘urf yang bersifat
‘amm (umum) dan ‘urf yang bersifat khass (khusus).
a. Al ‘urf al ‘amm (kebiasaan yang bersifat umum) ialah semua ‘urf yang telah
dikenal dan dipraktekan masyarakat dari berbagai lapisan diseluruh negeri
pada suatu masa. Misalanya, kebiasaan yang berlaku pada beberapa negeri
mengenai ungkapan talak terhadap istri, seprti pernyataan ;” engkau telah
haram aku gauli”. Bila ungkapan tersebut telang dinytakan trhadap istrinya,
suami telah dipandang menjatuhkan talak terhadap istrinya. Contoh lain, pada
kebiasaan menyewa kamar mandi umum dengan jumlah sewa tertentu, tetapi
tidak ditetapkan secara pasti lamanya waktu mandi dan kadar air yang
dipakai.
b. Al ‘urf al khass (kebiasaan yang bersifat khusus) adalah kebiasaan yang hanya
dikenal dan tersebar disuatu daerah dan masyarakat tertentu saja disuatu
Negara, atau haya dikenal pada suatu suku bangsa tertentu saja. Misalnya, di
Irak, masyarakat menganggap catatan jual beli yang ada pada pihak penjual
sebagai bukti sah dalam masalah hutang –piutang.
5
1. ’Urf itu berlaku umum. Artinya, ‘urf itu dipahami oleh semua lapisan
masyarakat, baik di semua daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh karena itu,
kalau hanya merupakan ‘urf orang-orang tententu saja, tidak bisa dijadikan
sebagai sebuah sandaran hukum.
2. Tidak bertentangan dengan nash syar’i. Yaitu ‘Urf yang selaras dengan nash
syar’i. ‘Urf ini harus dikerjakan, namun bukan karena dia itu ’urf, akan tetapi
karena dalil tersebut. Misalnya:‘Urf di masyarakat bahwa seorang suami harus
memberikan tempat tinggal untuk istrinya. ‘Urf semacam ini berlaku dan harus
dikerjakan, karena Allah A’zza wa Jalla berfirman.
Yang artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu
sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,
kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada
mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik;
dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya. (QS. athTholaq [65]:6)
3. ‘Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘urf baru yang barusan terjadi.
Misalnya:
Maknanya kalau ada seseorang yang mengatakan demi Allah, saya tidak
akan makan daging selamanya. Dan saat dia mengucapkan kata tersebut yang
dimaksud dengan daging adalah daging kambing dan sapi; lalu lima tahun
kemudian ‘urf masyarakat berubah bahwa maksud daging adalah semua daging
termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut makan daging ikan, maka orang
tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya karena sebuah lafadh tidak
didasarkan pada ‘urf yang muncul belakangan.
4. Tidak berbenturan dengan tashrih. Jika sebuah ‘urf berbenturan dengan tashrih
(ketegasan seseorang dalam sebuah masalah), maka ‘urf itu tidak berlaku.
Misalnya:
Kalau seseorang bekerja di sebuah kantor dengan gaji bulanan Rp.
500.000,- tapi pemilik kantor tersebut mengatakan bahwa gaji ini kalau masuk
setiap hari termasuk hari Ahad dan hari libur, maka wajib bagi pekerja tersebut
untuk masuk Setiap hari maskipun ‘urf masyarakat memberlakukan hari Ahad
libur.
5
http//;wikipedia.com/’Urf, 5 mai, jam 21.05. 2009
2. Fiqh Maliki
a. Bolehnya jual beli barang dengan menunjukkan sample
b. Pembagian nisbah antara mudharib dan sahibul maal berdasarkan ’urf jika
terjadi perselisihan
3. Fiqh Syafi’i
a. Batasan penyimpanan barang yang dianggap pencurian yang wajib potong
tangan
b. Akad sewa atas alat transportasi
c. Akad sewa atas ternak
d. Akad istishna
4. Fiqh Hanbali
a. Jual beli mu’thah6
Para ulama sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah. Ulama
Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat
dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama
Kufah dapat dijadikan dasar hujjah.
Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus
memelihara ’urf shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai hukum.
Para ulama juga menyepakati bahwa ’urf fasid harus dijauhkan dari kaidah-kaidah
pengambilan dan penetapan hukum. ’Urf fasid dalam keadaan darurat pada lapangan
muamalah tidaklah otomatis membolehkannya. Keadaan darurat tersebut dapat
ditoleransi hanya apabila benar-benar darurat dan dalam keadaan sangat dibutuhkan.
7
Imam Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian
tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di
Mekkah & Bagdad (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal
ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid
tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.
Abdul Wahab Khalaf berpandangan bahwa suatu hukum yang bersandar pada
’Urf akan fleksibel terhadap waktu dan tempat, karena Islam memberikan prinsip
sebagai berikut:
“Suatu ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu,
tempat, dan siatuasi (kondisi)”.
6
Rafiq Al-A’jam,Ushul Islamiyah Manhajuha wa Ab’aduha. Beirut. 1983.
Dari prinsip ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan
sesuai dengan perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu
ketentuan hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami
perubahan karena perubahan waktu, tempat keadaan, dan adat.
Berikut adalah akad-akad saat ini yang dapat diterima dengan ’Urf, yaitu
1. Konsep Aqilah dalam asuransi
2. Jual beli barang elektronik dengan akad garansi
3. Dalam sewa menyewa rumah. Biaya kerusakan yang kecil-kecil yang
seharusnya menjadi tanggung jawab pemilik rumah, menjadi tanggung
jawab penyewa.
8
KESIMPULAN
Tradisi, kondisi (kultur sosial), dan tempat merupakan faktor-faktor yang tidak
dapat dipisahkan dari manusia (masyarakat). Oleh karenanya, perhatian dan respon
terhadap tiga unsur tersebut merupakan keniscayaan.
9
al-’urf, yang mana ’urf dapat memberikan penjelasan lebih rinci tanpa melanggar al-
Quran dan as-Sunnah.
ُّ عَلُم َوا
ل ْ َأ
Daftar Pustaka
10